.
.
.
_Tokyo—Oktober, 3074_
Biotechnology Network INC adalah perusahaan penyedia jasa telekomunikasi terbesar di Jepang. Dengan kekuatan jaringan dan sistem informasi yang mereka punya, perusahaan tersebut merupakan pemegang 'jantung' dunia dalam bidang teknologi. Bahkan kekuasaan mereka sudah merambah di belahan pulau lain di era robotic ini. Tetapi bukan itu saja yang membuat perusahaan ini hebat, melainkan Biotechnology Network INC juga merupakan badan militer pemerintah sebagai wadah laboratorium 'rahasia' yang digunakan untuk persenjataan biologis.
.
Sore ini, kantor pusat Biotechnology Network INC yang berada di tengah-tengah kota Tokyo sangat tidak biasa. Beberapa pegawai di bagian system control terlihat panik dengan raut wajah cemas. Mata mereka terus memandang layar 3D yang menampilkan beberapa denah perusahaan mereka.
Cetak biru yang berbentuk 3D tersebut berputar dengan lambat memperlihatkan satu titik merah yang berkelip di suatu sudut ruangan.
.
"Status—?" Tanya seorang pria yang berada di tengah ruangan yang sibuk mengamati layar transparan lain yang memperlihatkan sebuah kode matriks.
Seorang wanita berpakaian jas laboratorium yang memiliki 'name tag' Tsunade berdiri disebelahnya sambil berdehem tegang.
"Sampel kabur. Tetapi dia tidak bisa melarikan diri. Kami sudah menutup seluruh area jalan keluar." Jawabnya tegas walaupun samar-samar terdengar nada tidak yakin.
"Tsunade-san, seharusnya kau mengerti apa pekerjaanmu disini bukan?" Tegas pria itu lagi.
Wanita yang tadi bersuara hanya diam seribu bahasa. Bibirnya terkatup rapat.
"Aku tahu—aku sangat ceroboh kali ini." Jawab Tsunade lagi sambil mencengkram lembaran kertas di tangannya dengan kuat.
Pria paruh baya tadi hanya mendesah pelan, "Bagian kepala laboratorium adalah jabatanmu dengan Orochimaru. Hanya karena masalah sepele, kalian bertengkar dan lalai dalam mengawasi sampel?—memalukan." Tegas suara yang kini beralih menatap denah 3D perusahannya di tengah-tengah ruangan. Titik merah yang berada di sudut ruangan masih tidak bergerak.
Tsunade berkerut protes, dia menggebrak meja utama dengan kasar, "Jangan menyalahkanku!—Orochimaru yang membuat semua berantakan! Kau harusnya tahu itu, Jiraiya!" Seru Tsunade lagi.
Pria yang dipanggil Jiraiya hanya mendengus kesal. Pikirannya pusing dengan masalah dibagian system computer dan kini, kaburnya sampel laboratorium membuat otaknya harus bekerja dua kali lipat.
"Aku tidak peduli pertengkaran kalian berdua tentang apa, dan aku tidak mau tahu, bagaimanapun juga sampel harus kembali ke sel nya." Jelas Jiraiya lagi sambil menatap tajam Tsunade dan Orochimaru yang berdiri kaku di pojok ruangan.
Sebelum wanita dan pria pecinta ular itu menjawab, sebuah teriakan membuat mereka berdua berpaling.
Seorang wanita yang memakai jas putih khas laboratorium berteriak panik, "Sampel Kabur! Hanya Gelang ID nya Saja Yang Tertinggal!" Katanya lagi sambil menyerahkan sebuah gelang kepada Jiraiya.
Pria paruh baya itu menatap gelang dan titik merah di denah 3D secara bergantian. Titik merah itu berkelip tepat dimana mereka sekarang berada.
Jiraiya menyentuh keningnya yang berdenyut sakit, "Hubungi pemerintah Jepang sekarang. Katakan bahwa—" Jiraiya meneguk air liurnya yang tercekat, "—Senjata biologis pemerintah telah kabur."
Tsunade mengangguk cemas kemudian beralih menuju salah satu layar computer utama. Tangannya menyentuh screen computer kemudian memasukkan beberapa kode, "Jiraiya-san—ID name nya?"
Jiraiya melirik gelang ID yang berada ditangannya, "Sasuke—Uchiha Sasuke."
.
.
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: Yaoi, AU, Out Of Character, Sci-fic dan hal-hal lainnya.
Pairing: NaruxSasu
Rating: M for Mature and Sexual Content
Dirty Virus
.
~ By: CrowCakes ~
.
.
Seorang pemuda terlihat berlarian dari kejaran beberapa satuan polisi yang berseragam lengkap dengan persenjataan laser yang telah dimodifikasi.
Salah seorang polisi terlihat berlari menuju ke arah komandannya, "Lapor!—Target menghilang!" Serunya sambil bersikap penuh hormat.
Sang komandan berdecak kesal.
"Telusuri area ini dan area pinggiran lainnya! Jangan sampai dia kabur!"
Serentak anak buahnya berteriak 'Siap!' dengan keras, kemudian disusul langkah-langkah tegap yang mulai mencari seorang buronan pemerintah.
.
.
Sepasang mata pemuda yang bersembunyi di area pembuangan berbentuk slinder lorong yang gelap dan bau hanya menatap mereka dengan tajam. Baju hijau khas pasien operasi masih melekat di badannya, hanya saja kini berlumuran lumpur dan tanah. Kakinya yang gemetaran terduduk lemas di batu dingin pembuangan itu. Napasnya yang tadinya terengah-engah kini mulai normal seiring berlalunya beberapa orang yang menyebut diri mereka polisi.
Satuan polisi dikerahkan oleh pemerintah Jepang untuk mencari 'senjata biologis' mereka yang kabur dan menghilang di tengah kerumunan kota metropolitan yang modern dengan beberapa robot dan technology lainnya yang berterbangan di udara. Sayangnya, pencarian polisi tersebut bernilai NOL besar!
Sang komandan menekan tombol di pergelangan tangannya, kemudian sebuah layar kecil transparan muncul dengan wajah Jiraiya yang terlihat cemas.
"Bagaimana statusnya?" Tanya Jiraiya tanpa perlu berbasa basi.
Sang komandan kepolisan itu terdiam sejenak kemudian menggeleng pelan.
"Target menghilang, kami sudah mencarinya hingga pinggiran kota dan—"
"Cukup!—Kembali ke markas!" Potong Jiraiya tanpa memberikan kesempatan polisi itu untuk beralasan.
Sang komandan hanya mengangguk paham kemudian beralih menuju para anak buahnya.
"Kita pergi!" Serunya memberi perintah yang disambut teriakan 'SIAP!' dari seluruh anak buahnya.
.
.
.
_Tokyo, pukul 08.00 Malam_
.
Seorang cowok pirang yang memiliki ID Uzumaki Naruto yang tertempel di gelang pada pergelangan tangannya terlihat sibuk bekerja di sebuah restoran junk food yang melayani burger dan beberapa makanan siap saji lainnya.
Pemuda pirang itu dengan cekatan mengolah bahan mentah menjadi menu yang spesial bagi pelanggan restorannya, karena ia adalah koki utamanya di restoran siap saji ini.
Sebuah robot pramusaji terlihat membawa nampan dengan segelas soda dan burger di pegangannya, "Satu paket kelas A untuk meja tiga." Kata robot tadi dengan suara statis yang kaku.
Pelanggan yang menerima hanya mengucapkan terima kasih dengan penuh senyuman.
Sudah bukan hal aneh bahwa seluruh umat manusia yang hidup di dunia bergantung pada benda metalik yang disebut robot itu. Tanda pengenal masyarakat pun sudah berubah menjadi gelang ID yang terletak di tangan sebagai pengganti kartu identitas yang lama.
Bahkan di era robotic ini, pemindai retina sudah digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang yang ingin memasuki area terlarang pemerintah. Namun sampai sekarang hanya segelintir orang saja yang mengetahui dimana letak area tersebut. Orang-orang awam seperti Naruto tidak ambil pusing dengan masalah politik dan lainnya, dia hanya sibuk bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
"Naruto-kun, kau mau kerja lembur? Sekarang shift ku—" Ucap seorang gadis yang memiliki ID gelang bertuliskan 'Haruno Sakura'.
Naruto menggaruk pipinya kemudian memperlihatkan cengirannya.
"Begitu ya—aku lupa kalau shift ku sudah habis." Jawab Naruto yang menyerahkan celemek kerjanya pada gadis itu.
"Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Sakura-chan." Lanjut Naruto lagi sambil menepuk pundak gadis itu sebelum melesat keluar dari dapur. Meninggalkan Sakura yang berdecak maklum.
.
.
Kota Tokyo pada malam hari tidak ubahnya seperti pekan raya di hari minggu. Penuh dengan kerumunan orang yang berlalu lalang selama 24 jam non-stop. Bahkan kota yang tidak pernah tertidur itu terlihat masih mempertunjukkan kerlap kerlip lampu-lampu malam yang menggoda mata.
Naruto hanya melirik sekilas iklan yang ditampilkan di sebuah layar transparan di tengah-tengah kota, kemudian beralih pada robot-robot yang menjadi sales di depan pertokoan dan beberapa transportasi automatic yang sibuk berseliweran di atas langit Tokyo.
Naruto meniup telapak tangannya untuk mengusir rasa beku yang ada di jari-jarinya. Malam ini benar-benar dingin dari hari-hari biasanya, bahkan pemuda pirang itu harus menaikkan kerah jacketnya agar menutupi bagian leher supaya tetap hangat. Tapak kakinya berjalan dengan pelan di atas jembatan metalik yang khusus dibangun bagi pejalan kaki sepertinya.
Mata birunya terus memandang kerumunan orang yang sibuk berbicara dengan layar transparan di gelang mereka, sejenis alat komunikasi canggih terbaru. Ada yang sibuk mengobrol, bercanda bahkan berbicara bisnis di tengah-tengah kerumunan itu.
Naruto menarik sebatang rokok dari saku jacketnya, menyulutnya sebentar kemudian menghisapnya dalam-dalam. Setidaknya benda kecil panjang itu sanggup menghangatkan dirinya diantara dinginnya udara kota Tokyo.
Kakinya terus berjalan menuju apartemen kecilnya yang berada di salah satu pinggiran kota metropolitan itu.
Sebuah apartemen sederhana yang menemani hidupnya hingga berumur 23 tahun sampai sekarang. Dia terus berjalan memasuki beberapa gang sempit tepat disamping pembuangan limbah kota.
Matanya terus menatap langit malam hingga tiba-tiba tanpa sengaja, pandangannya teralihkan pada seonggok tubuh yang terlihat dari balik slinder bulat tempat limbah yang dibuang ke laut. Tubuh itu terlihat tidak bergerak dan tetap terbaring kaku di dalam sana.
Naruto membelalakkan matanya kemudian berdecak kesal, "Sial—sepertinya aku bertemu mayat yang dibuang orang." Ucapnya dengan nada sarkastik.
Pemuda pirang itu berjalan mendekat kemudian menatap lebih jelas tubuh yang terbaring tadi. Seorang pemuda yang berpakaian layaknya pasien rumah sakit dan berambut mirip gagak.
Bagi Naruto sendiri, pemuda itu terlihat cantik dengan wajah manis dan tubuh putih mulusnya, hanya saja badannya penuh dengan lumpur dan kotor.
"Hei—" Naruto menyentuh kepala pemuda tadi dengan ujung sepatunya.
Pemuda itu masih tidak bergerak.
"Hoi—Bangun!" Kali ini Naruto berteriak kesal.
Dia berharap pemuda ini masih hidup.
Menemukan mayat merupakan hal yang paling sial dalam hidupnya, terlebih lagi mayat tanpa ID pengenal di pergelangan tangannya. Dan Naruto itu termasuk orang yang tidak suka berurusan dengan polisi terutama menyangkut soal mayat.
Naruto menyentuh pergelangan tangan pemuda raven itu. Terasa detak jantungnya yang sangat lemah. Naruto menghela napas lega. Setidaknya dia tidak menemukan mayat.
Dengan cepat Naruto memapah orang tersebut menuju apartemennya. Toh tidak ada salahnya sedikit membantu orang yang kesusahan.
Benar kan —?
.
.
.
_Biotechnology Network INC, pukul 12.00 malam_
Tsunade bergerak cepat menuju ruang laboratoriumnya. Sapaan dari pekerja yang lembur disana tidak dihiraukan oleh wanita yang selalu terlihat awet muda itu. Matanya lebih fokus pada sebuah pintu metalik yang memiliki tombol panel disebelahnya.
Tsunade menekan beberapa tombol panel, kemudian sebuah alat pendeteksi retina mata keluar dan memindai mata Tsunade. Setelah terdengar bunyi -Beep- kecil, pintu metalik yang berada disitu terbuka perlahan.
Orochimaru yang sudah berada di dalam ruangan hanya mendongak malas menatap Tsunade yang terlihat tergesa-gesa masuk ke dalam. Wanita itu bergerak menuju sebuah layar komputer yang menunjukkan beberapa garis kurva dan angka-angka yang tertera disana.
Orochimaru lebih memilih diam sambil mengelus ular kesayangannya yang berada di dalam sebuah akuarium kaca.
"Masih belum stabil!—bahkan yang ini pun gagal!" Seru Tsunade sambil menghantam meja kerjanya dengan kesal. Matanya melirik beberapa binatang yang mati karena menjadi kelinci percobaannya. Ada anjing dengan kulit kepala terkelupas, kucing dengan beberapa ulat busuk yang menggerogoti bangkainya dan tikus dengan kepala terbelah.
Bagi Tsunade mereka semua adalah eksperimen gagal.
"Kita harus mencari 'kelinci' baru." Jelas Orochimaru dengan suara tawa serak dan parau. Kekehnya membuat Tsunade memandangnya dengan jijik.
"Kelinci baru?—Maksudmu 'Sasuke' yang baru?—tidak—tidak—aku hanya butuh Sasuke. Dia merupakan 'kelinci' yang sempurna!" Tukas Tsunade sambil mengistirahatkan tubuhnya di salah satu kursi kerja. Sepatunya terus mengetuk lantai metalik itu dengan keras—menandakan wanita itu terlihat gelisah.
Orochimaru diam, matanya menatap ular kesayangannya yang sibuk menyantap tikus putih, "Tapi Sasuke sudah kabur, kau tidak bisa mengejarnya di kota ramai seperti ini." Jelas Orochimaru yang mendapat delikan marah oleh wanita itu.
"Kita harus menangkapnya segera, bagaimanapun caranya! Dia adalah 'virus' yang mematikan! Dia tidak bisa berkeliaran di kota dan menyebarkan penyakit ke seluruh manusia! Dia adalah 'senjata biologis' yang dimiliki pemerintah saat ini!" Seru Tsunade yang semakin memanas. Ia tidak menyangka bahwa partnernya ini begitu bodoh dengan mencari 'kelinci percobaan' lainnya.
Walaupun mereka mendapat pengganti Sasuke lalu selanjutnya apa? Bagaimana dengan umat manusia yang berada diluar sana tanpa tahu kalau ada virus mematikan yang berkeliaran? Tidak—tidak—sebelum itu terjadi, Tsunade harus menemukan Sasuke dan membunuhnya. Keamanan Jepang berada ditangan mereka! Dia tidak ingin seluruh dunia mengetahui senjata biologis mereka! Ini akan menimbulkan perang dunia ketiga.
Orochimaru lagi-lagi hanya diam, pria itu bergerak mengambil sebuah suntikan yang berisi cairan bening kemudian menyuntikan cairan tadi ke ular miliknya. Hewan itu menggeliat kesakitan beberapa detik, kemudian detik selanjutnya dia terbujur kaku dengan kepala yang berdenyut-denyut mengeluarkan beberapa ulat yang menggerogoti tengkorak ular itu.
Orochimaru terkekeh.
"Cairan ini yang disuntikan ke Sasuke—bukan? Aku tidak menyangka bahwa imun anak itu benar-benar kuat. Aku rasa cacing-cacing yang ditanam ditubuhnya akan siap untuk menular ke siapa saja yang bersentuhan cairan miliknya." Kata pria itu sambil terus terkekeh. Tsunade mendengus kesal.
"Itu bahaya—cairan ditubuh anak itu sudah terkontaminasi dengan bakteri dan virus. Air liur, darah bahkan sperma miliknya merupakan penyakit yang langsung membunuh orang dalam hitungan detik. Bayangkan saja kalau tanpa sengaja dia menjilat atau bersetubuh dengan wanita? Aku rasa pasangannya akan mati seperti ular milikmu." Kata Tsunade lagi sambil meneliti laporan miliknya.
Orochimaru hanya diam.
"Kalau begitu—kita harus segera menangkapnya." Jawab pria penyuka ular itu yang disambut dengan tatapan Tsunade—aku sudah mengatakannya dari tadi, Bodoh!
.
.
.
_Apartemen Naruto, pukul 01.00 Malam_
Sosok asing yang dibawa Naruto ke kamarnya adalah kesialan terburuk bagi pemuda pirang itu. Naruto bingung bagaimana membersihkan tubuh pemuda yang cantik tanpa harus melihat tubuh putih itu telanjang.
Jawabannya adalah dengan membuka seluruh pakaian—dan itu makin membuat Naruto gemetaran panas-dingin.
Bukannya Naruto takut kotor, hanya saja melihat tubuh cowok sedikit membuatnya—jijik? Entahlah, yang pasti Naruto enggan menatap sesuatu yang berada diselangkangan pemuda itu.
Tetapi mau tidak mau, Naruto harus melakukannya juga. Dia tidak ingin pemuda ini tidur dengan tubuh yang kotor dan—bau.
Blehhh! Bisa-bisa apartemen kecilnya yang bersih menjadi ternodai oleh pemuda yang penuh lumpur ini.
"Baiklah—aku akan melepas pakaianmu, jadi—Uhmm—jangan bergerak." Kata Naruto pada pemuda yang masih pingsan itu. Memang aneh berbicara pada orang yang belum sadar, tetapi saat ini Naruto memang harus berhati-hati agar tidak terjadi kesalah pahaman.
Dengan cekatan, tangan Naruto melepas baju operasi warna hijau dari tubuh pemuda asing itu. Kemudian dia cepat mengambil handuk basah dan menyeka beberapa lumpur yang menempel, sedangkan baju kotor tadi sudah dimasukannya ke tempat sampah yang otomatis langsung melakukan pembakaran layaknya incenerator dalam skala kecil.
Walaupun Naruto termasuk tipe cowok cekatan, tetap saja pandangannya tidak luput dari selangkangan cowok putih itu.
Astaga—demi robot penyuka ramen. Kenapa cowok cantik ini harus menggodanya dengan tubuh telanjang. Keteguhan hati Naruto memang sangat kuat, tetapi tidak sekuat degup jantungnya yang sejak tadi terkesima dengan tubuh ramping dihadapannya ini.
"Nghhh—" Suara erangan terdengar dari pemuda berambut hitam yang ada didepan Naruto.
Sedikit panik, Naruto berusaha mundur 1 meter dari dirinya. Pemuda asing itu membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap pelan hingga pandangannya jatuh pada Naruto yang berusaha melambai pelan sambil mengatakan 'Halo'.
Sedikit tersentak, pemuda raven itu mundur dengan ketakutan, seluruh badannya gemetaran dan mata onyxnya terbelalak kaget ketika Naruto mulai mendekatinya.
"SIAPA KAU?! DIMANA INI?!—DAN—KENAPA AKU TELANJANG BEGINI?!" Seru pemuda raven itu dengan mata berkilat tajam, siap menyerang Naruto kapan saja.
Pemuda pirang itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Begini—Kau kutemukan di pinggiran limbah pembuangan. Aku membawamu kesini dengan niat baik, lalu soal dirimu itu—aku hanya mencoba membersihkan badanmu saja." Jelas Naruto sambil menunjuk lap basah di tangannya.
Pemuda bermata onyx yang semula tegang itu, kini dapat merileks'kan tubuhnya sedikit, "Kau... Tidak menyentuh 'cairan' ku kan? Maksudku—darah, ludah, dan cairan lainnya?" Tanya nya sambil meneliti seluruh bagian tubuhnya kalau-kalau dia terluka, tetapi sama sekali tidak ada goresan di tubuh putihnya, dan itu sedikit membuatnya lega.
Setidaknya dia tidak akan menular'kan penyakit pada pemuda pirang dihadapannya ini. Untungnya saja, penyakitnya hanya menular lewat cairan, jadi bersentuhan kulit masih diperbolehkan.
Naruto menggeleng pelan sebagai jawabannya, "Tenang saja, kau tidak terluka sama sekali." Pemuda pirang itu mendekat perlahan, "Aku Naruto—Kau siapa?" Tanya pemuda itu dengan suara pelan agar tidak membuat takut cowok dihadapannya ini.
Pemuda asing itu tidak menjawab, bola matanya menjelajah kamar sempit milik Naruto. Sebuah lemari metalik di sisi ruangan, tempat sampah kecil, robot cleaner yang terdiam kaku, dan sebuah ranjang yang hanya cukup ditiduri oleh satu orang. Kesimpulannya, dia sedang tidak berada di sel laboratorium miliknya yang kumuh dan berbau obat-obatan. Kamar ini beraroma citrus yang menyejukan.
Cowok raven itu kembali menatap Naruto kemudian beralih memandang dirinya sendiri. Dengan cepat dia mencengkram lengan dan tubuhnya yang telanjang, mencoba menutupi dirinya yang tanpa pakaian itu.
Naruto terlihat salah tingkah, "Ah—Itu—Pakaianmu sudah kubakar karena kotor. Kau bisa meminjam bajuku kalau kau mau." Ucap Naruto yang bergegas menuju lemarinya dan mengeluarkan sederet kemeja putih yang berjejer rapi.
Naruto mengambil satu kemudian menyerahkan pada cowok asing tadi, "Maaf—aku hanya punya ini." Katanya lagi yang disambut anggukan kecil dari pemuda didepannya.
Naruto lagi-lagi hanya berusaha tersenyum pada cowok yang sedang memakai kemejanya. Cowok itu terlihat kesusahan mengancing baju putih tadi, dan tubuh langsingnya tenggelam dalam kemeja yang terlihat besar ketika dipakainya.
Cantik—satu kata itulah yang langsung ada dibenak Naruto ketika cowok tadi menatapnya dalam diam ketika selesai berpakaian.
"Lalu—" Naruto kembali membuka obrolan, cowok didepannya menatap Naruto waspada, "Namamu siapa?" Lanjut Naruto lagi.
Cowok itu diam, mata onyxnya melirik pergelangan tangannya yang kosong. Tidak ada gelang ID disana, dengan menghela napas pelan cowok itu kembali menatap Naruto.
"Sasuke." Jawab cowok raven itu dengan singkat.
Naruto mengangguk paham.
"Baiklah Sasuke, kau tinggal dimana?" Kali ini Naruto bertanya hati-hati, tetapi cowok itu malah diam dan menunduk tanpa menjawab.
Naruto berpikir kalau cowok ini mungkin kabur dari rumah atau buronan polisi. Oke—pernyataan terakhir sedikit membuat Naruto ketakutan. Lagipula mana mungkin buronan polisi terlihat sangat cantik begini—benar?
"Baiklah kau tidak perlu menjawab, hari ini kau boleh menginap ditempatku kalau kau mau." Lanjut Naruto sambil menggaruk belakang kepalanya.
Sasuke hanya diam menatap cowok pirang dihadapannya ini. Walau samar-samar, Naruto dapat mendengar bahwa Sasuke mengucapkan 'terima kasih' dengan suara pelan.
"Sebelum itu—kau pasti lapar." Kata Naruto lagi yang bergegas ke salah satu kotak panel di sisi temboknya, memencet beberapa tombol kemudian dengan nada -beep- kecil, sebuah ramen yang mengepul panas keluar dari kotaknya.
Sasuke lagi-lagi hanya memeluk lututnya diam ketika Naruto membawa dua cup ramen ke arahnya. Yang satu disodorkan padanya dan satu lagi di makan oleh Naruto.
"Makanlah." Ajak Naruto yang menyuruh Sasuke memegang sumpitnya.
Cowok raven itu menurut, dengan perlahan dia menerima ramen tadi kemudian melahapnya dengan cepat.
Naruto tebak, Sasuke pasti tidak makan beberapa hari ini. Pemuda itu terlihat rakus sekali ketika menyantap ramen miliknya.
Naruto tertawa, "Tidak perlu buru-buru. lihat—kau belepotan." Kata Naruto lagi yang berusaha menyentuh sisa ramen di bibir pemuda itu. Sedikit kaget, Sasuke langsung menepis tangan Naruto dengan kasar. Matanya tajam menatap Naruto.
"Jangan menyentuhku atau kau akan mati." Jawab Sasuke dengan nada dingin.
Naruto berdecak kesal, dia mengetuk-ngetuk kepala Sasuke dengan sumpit ramennya.
"Oi Teme—jangan belagu ya. Aku sudah menolongmu tahu, apa kau tidak bisa terlihat lebih manis—begitu?" Sahut Naruto yang tidak suka dengan sikap kurang ajar pemuda ini.
Sasuke hanya diam tidak menjawab.
"Aku—ngantuk." Kata Sasuke yang langsung merebahkan dirinya di lantai metalik.
Naruto mendengus kecil. Baru pertama kali ini dia bertemu orang se-brengsek pemuda yang ada dihadapannya ini. Kalau tahu begini, dia tidak akan menolong Sasuke.
"Baiklah—tidurlah dimanapun kau suka. Aku tidak peduli." Sahut Naruto yang beranjak menuju tempat sampah dan membuang cup ramen yang sudah dimakannya habis. Kemudian ia bergerak menuju ranjang miliknya, mengambil selimut dan melemparkannya ke Sasuke.
"Pakailah itu untuk menghangatkan dirimu, Teme." Ujar Naruto yang langsung merebahkan dirinya di kasur.
Sasuke tidak menjawab, hanya mengambil selimut yang dilemparkan Naruto dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Sasuke menggigit bibirnya gelisah, matanya sedikit melirik Naruto dengan takut-takut.
"Terima—kasih." Ucap Sasuke yang berhasil mengatakan perasaan sesungguhnya. Walalupun enggan untuk mengakuinya, Sasuke memang harus mengatakan kalau Naruto itu orang yang baik. Dia bahkan tidak memaksa Sasuke untuk mengatakan jati dirinya ataupun asal-usulnya. Setidaknya ucapan 'terima kasihlah' yang bisa cowok raven itu sampaikan.
"Ya—sekarang tidurlah, Teme. Aku mengantuk." Sahut Naruto dengan nada tidak peduli. Pemuda raven itu menurut. Dengan perlahan dia mulai menutup onyxnya, dan membiarkan alam bawah sadarnya bergerak mencari mimpi.
Setidaknya untuk malam ini, Sasuke tidak akan bermimpi buruk seperti biasanya.
.
.
.
_Biotechnology Network INC, pukul 08.00 Pagi_
Pagi itu suasana control room terlihat tegang dengan wajah para karyawan yang panik. Jiraiya sebagai kepala system control langsung bergerak cepat menuju ruang kerjanya. Beberapa komputer miliknya sudah menyala dengan layar yang menunjukkan angka-angka dan kode matriks. Pria separuh baya itu mulai menyentuhkan jarinya ke screen dan mengetikkan sesuatu disana.
"Sial—Tidak berhasil." Desisnya kesal. Belum sempat kekesalannya reda, sebuah teriakan lain membuatnya berpaling.
Seorang teknisi bagian control system utama menatapnya dengan pandangan takut.
"Dinding kedua sudah dijebol. Firewall kita tidak dapat bertahan dari serangan worm itu." Ucap sang teknisi sambil bergerak gelisah ditempatnya, mengingat bahwa worm tersebut merupakan virus yang merusak jaringan komputer utama dan dapat merusak beberapa program dan data penting milik perusahaan tersebut.
Jiraiya menggigit bibirnya kesal.
"Bagimana dengan file transfer protocol dan program otoritas kita?" Desak Jiraiya lagi sambil mengetikkan beberapa kode di screen komputer miliknya. Sang teknisi mengangguk lemah.
"Sudah dijebol—ini gawat kalau tidak segera bertindak seluruh data akan—"
"Panggil Tsunade! Cepat!" Potong Jiraiya lagi yang langsung menyuruh teknisi tadi segera berlari menuju laboratorium.
Setelah kepergian teknisi tadi, Jiraiya kembali berkutat dengan komputer miliknya. Data-data menunjukkan tingkat eror diambang genting. Jiraiya semakin panik ketika terdengar teriakan dari teknisi lain yang memberitahu worm sudah memasuki dinding ke empat sistem data.
"Apa yang terjadi?" Suara dari Tsunade membuat Jiraiya langsung berpaling dan menujuk layar computer utama. Wanita cantik itu mendekat kemudian berdecak marah. Tanpa perlu disebutkan pun Jiraiya mengerti arti wajah kesal Tsunade.
"Hacker—file akan rusak kalau worm itu menjebol sistem keamanan kelima. Atau lebih parahnya—data rahasia pemerintah akan ter-copy dengan sendirinya ke dalam worm dan itu berarti pembocoran file negara." Sahut Jiraiya tanpa perlu Tsunade bertanya apa yang akan terjadi ataupun akibatnya.
Tsunade mengetikan sesuatu di keyboard transparan dihadapannya.
.
PROGRAM FAILED
.
Tulisan besar yang terpampang dihadapan wanita itu semakin membuat Tsunade menggebrak meja hingga patah. Kali ini pun Jiraiya mendesah sedih ketika mengingat tagihan gajinya akan berkurang karena biaya perbaikan meja kerjanya.
Tsunade menatapnya tajam, "Tidak ada cara lain, keluarkan 'Dirty Virus' untuk menghalau worm menjijikan ini."
"Dirty virus? Apa Kau Gila?! Program keamanan itu masih dalam tahap percobaan! Bila gagal seluruh data dan file penting akan hancur! Apa kau mengerti, Tsunade?!" Seru Jiraiya tak kalah emosinya dengan wanita sombong dihadapannya ini.
Tsunade memalingkan wajah sembari berdecak marah.
"Tidak ada cara lain, Jiraiya! Data kita akan tetap hancur oleh worm ini atau hancur oleh program keamanan sendiri! Kau pilih yang mana?!" Balas Tsunade yang langsung membuat pria berambut putih dan berpenampilan modis itu terdiam.
Seorang teknisi kembali berteriak pada Jiraiya sambil mengetikkan sesuatu.
"Dinding kelima hampir dijebol! Worm mulai menggerogoti file!" Seru teknisi tadi dengan wajah pucat dan takut.
Jiraiya mengelus jidatnya yang sakit, sedangkan Tsunade mengetuk-ngetukkan sepatunya—tanda gelisah.
"Baiklah—aktifkan Dirty Virus sekarang." Ucap Jiraiya lirih.
Tsunade tersenyum kemudian segera mengetikkan beberapa code di screen.
.
DETECTED ILLEGAL PROGRAM! REMOVE ILLEGAL PROGRAM? (Y/N)
.
Tsunade menyentuh 'Y' yang berarti 'yes', kemudian beberapa bahasa pemrograman mulai keluar dengan code-code yang rumit.
Tsunade menghela napas lega, dan Jiraiya tahu kalau Dirty Virus sudah berhasil menghalau worm. Wanita itu berbalik menatap Jiraiya dengan pandangan angkuh.
"See?—semua akan baik-baik saja ditanganku." Ucap Tsunade sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pria paruh baya itu mengibas-ngibaskan tangannya tidak peduli.
"Yeah—yeah—whatever. Tetapi sekarang, kita tidak tahu siapa yang mengirimkan worm itu. Kau punya dugaan, Tsunade?" Tanya Jiraiya yang kembali meregangkan ototnya yang kaku sejak tadi.
Tsunade menyentuh dagunya, berpikir. Kemudian menggeleng lemah. Tanda tidak tahu.
Jiraiya hanya mengangguk mengerti kemudian kembali memperbaiki sistem keamanan di komputer utama. "Yah—setidaknya semua data penting tidak hancur." Jawab pria itu lagi yang ditanggapi Tsunade dengan delikan tajam—Tentu saja! Itu semua karena aku!
.
.
.
_Apartemen Naruto, 08.30 pagi_
Sasuke berkutat di sebuah layar computer tipis transparan yang ada dihadapannya. Tangannya terus mengetikan sesuatu di atas screen dan alisnya berkerut tidak senang ketika sebuah tulisan besar terpampang jelas di layar tersebut.
.
ACCESS DENIED!
.
Sasuke meninju udara kosong, mencoba melampiaskan kemarahannya.
Menjebol pertahanan perusahaan Biotechnology Network INC tidak segampang yang dipikirkannya. Dengan worm sederhana miliknya saja tidak akan cukup. Setidaknya dia harus menyiapkan program penjebolan lainnya. Trojan, horse dan virus apa pun itu asalkan bisa menghancurkan atau meng-copy file penting milik badan rahasia pemerintah itu akan membuat perusahaan terbesar menjadi hancur dalam sekejap.
.
"Sasuke—kau sedang apa?" Suara Naruto yang bangun tidur membuat pemuda raven itu terkesiap kaget sambil menekan tombol off di layar komputernya. Mencegah Naruto untuk melihat apa yang sedang dilakukannya sekarang.
"Aku—bermain game." Bohong Sasuke sambil meletakkan kembali komputer canggih milik Naruto ke tempat asalnya.
Pemuda raven itu bergegas menuju panel kotak sederhana tempat makan, memencet beberapa tombol, kemudian lagi-lagi suara -beep- kecil menandakan makanan yang keluar dari sana merupakan jenis junk food instan di zaman ini.
Semangkuk sup tomat yang mengepul panas keluar dari kotak panel, membuat Sasuke harus mengangkatnya hati-hati diatas nampan dan menyerahkannya pada Naruto.
"Apa ini?" Tanya Naruto bingung.
Sasuke mencoba membentuk sebuah senyum tipis di bibirnya, tetapi malah terlihat seperti seringai licik bagi Naruto.
"Sup tomat—untukmu. Sebagai ucapan terima kasih." Jawab Sasuke yang menghentikan senyumannya ketika melihat Naruto bergidik ngeri.
Naruto menerimanya dengan setengah hati. Bukan karena dia takut dengan wajah tersenyum milik Sasuke, melainkan dari dulu dia benci dengan yang namanya tomat. Bagi Naruto—tomat itu ibaratnya banci, dibilang buah juga bisa, dibilang sayur juga boleh. Jadi Naruto bingung harus mengelompokkan tomat ke dalam bagian buah-buahan atau sayur-sayuran.
"Kau tidak suka?" Tanya Sasuke dengan nada sedikit kecewa.
Naruto cepat-cepat menggeleng lalu menampilkan cengirannya.
"Siapa bilang aku tidak suka? Aku sangat suka kok." Hibur Naruto yang langsung menyendok sup tadi dan memasukkannya ke dalam mulut. Wajah Naruto berkerut lucu ketika menahan hasrat ingin muntahnya.
Sasuke tersenyum lega.
"Syukurlah, aku pikir kau tidak menyukai tomat." Ucap Sasuke sambil menunggu Naruto untuk menghabiskan sup tadi. Naruto tersenyum kaku sambil menggerutu dalam hati karena rasa bencinya pada tomat.
"Ngomong-ngomong Sasuke, aku harus bekerja. Kau tinggallah sementara di sini, dan jangan berkeliaran di luar." Perintah Naruto yang menyerahkan sup tomat tadi ke Sasuke dan bergegas menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka ataupun menggosok gigi.
Sasuke hanya mengangguk paham sambil menatap Naruto yang berpakaian cepat.
"Ingat—tetap di sini. Aku akan pulang jam 5 sore." Kata Naruto lagi yang ingin mengacak rambut raven Sasuke. Tetapi pemuda bermata onyx itu langsung menghindar dengan cepat membuat Naruto menyentuh udara kosong. Bukannya dia tidak suka bersentuhan dengan orang lain, hanya saja Sasuke harus menjaga agar tidak ada orang yang mati karenanya.
Naruto yang melihat gelagat gelisah Sasuke hanya menggaruk belakang lehernya. Dia tidak bisa menebak pikiran dan tingkah cowok raven itu. Untuk sekarang, Naruto tidak mempermasalahkan sikap Sasuke, karena yang terpenting adalah jam kerjanya.
"Aku pergi dulu, Teme!" Seru Naruto sambil melambai ke arah Sasuke. Pemuda raven itu membalas lambaian Naruto dengan canggung.
Setelah Naruto pergi menjauh, Sasuke kembali membuka computer dan melancarkan aksinya lagi.
.
.
.
Naruto terlihat tergesa-gesa memakai seragam kerjanya, matanya terus memandang Sakura yang meliriknya tajam. Tanpa diberitahu pun Naruto sadar kalau dia sudah terlambat dari 10 menit yang lalu. Dengan sigap dia segera berdiri disamping Sakura dan mengambil beberapa bahan makanan.
"Tidak biasanya kau telat." Kata Sakura basa-basi. Naruto memperlihatkan senyum terpaksanya.
"Ya—aku harus sarapan dulu." Jawab Naruto asal-asalan sambil menyiapkan kompor elektroniknya. Sakura hanya memutar bola matanya malas. Dia sudah terbiasa dengan Naruto yang sering terlambat, hanya saja 10 menit merupakan rekor terlama yang dibuat oleh pemuda pirang itu.
Naruto terlihat sibuk menggoreng beberapa makanan yang dipesan oleh pelanggannya. Sedangkan Sakura sibuk memotong beberapa sayuran. Mereka berdua memang koki handal di restoran tersebut. Walaupun sudah ada mesin otomatis untuk menciptakan makanan, tetap saja orang-orang lebih suka untuk memakan masakan yang dibuat oleh tangan manusia. Mereka bilang, rasa bumbunya lebih enak dan menggoyang lidah daripada mesin yang membuat makanan dengan rasa hambar dan ala kadarnya itu.
Tiba-tiba beberapa orang yang berseragam polisi lengkap dengan peralatan layaknya tim SWAT masuk sambil membawa tongkat yang terus berbunyi -Beep- kecil dengan lampu hijau.
Naruto menyenggol Sakura dengan sikunya, membuat gadis itu ikut menatap beberapa orang yang masuk. Sakura tebak, mereka adalah tim satuan Jepang yang bertugas menjaga ketertiban dan kedamaian di kota metropolitan ini.
"Heran—kenapa pagi-pagi begini sudah berkeliaran polisi? Bahkan di jalan tadi aku melihat jumlah mereka banyak sekali." Ucap Naruto dengan nada bingung.
Sakura mengangkat bahunya.
"Kau itu tidak menonton berita ya? Sekarang Jepang dalam siaga tingkat dua. Katanya sih buronan pemerintah kabur." Jawab Sakura seadanya. Gadis itu lebih fokus pada bawang yang sedang dipotongnya.
Naruto terlihat berpikir sejenak.
"Buronan? Maksudmu—penjahat?" Tanya Naruto lagi yang mendapat getokan keras dari Sakura.
"Ya iyalah—memangnya siapa lagi kalau bukan penjahat? Artis begitu?" Kesal Sakura yang tidak mengerti jalan pikiran cowok pirang dihadapannya ini.
Naruto hanya cemberut.
"Siapa sih penjahatnya? Aku tebak pasti orangnya kekar, punya kumis dan jenggot lebat—ya sejenis penjahat-penjahat di film-film barat." Kata Naruto lagi sambil cekikikan geli membayangkan penjahat versi dirinya.
Sakura menyenggolnya sedikit kemudian berbisik pelan.
"Jangan salah. Penjahat yang ini sangat tampan. Cowok tertampan yang aku tahu, bahkan artis pun kalah." Ucap Sakura berdebar-debar sambil memukul-mukul gemas pundak cowok pirang itu.
Naruto mengibas-ngibaskan tangannya malas.
"Tidak mungkin—mana buktinya." Tantang Naruto lagi.
Sakura melotot kemudian menyodorkan tangannya, menekan tombol di gelang ID nya dan sebuah layar kecil transparan terpampang dengan wajah cowok yang dikenal oleh Naruto.
"Lihat—dia tampan'kan? Aku mendapatkan fotonya dari acara berita tadi malam. Kau sih tidak pernah menonton berita." Tukas Sakura lagi yang memandang foto tadi dengan tatapan kagum. Sedangkan Naruto hanya terbelalak ngeri.
Gambar yang muncul dihadapannya adalah sosok Sasuke dengan baju operasi berwarna hijau. Hanya saja, Sasuke yang terlihat digambar lebih kurus dan pucat. Naruto menutup mulutnya dan menyentuh keningnya. Gara-gara stress, migren nya kumat.
"Itu—buronannya?" Tanya Naruto lagi, mencoba menegaskan akal sehatnya.
Sakura mengangguk senang tanpa tahu bahwa Naruto sudah menggigil ketakutan.
"Benar!—Tampan'kan?" Goda Sakura yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Naruto. Pemuda pirang itu lebih memilih melepas celemek kerjanya dan melempar ke arah Sakura.
"Aku pulang. Katakan pada manajer kalau aku izin hari ini." Tegas Naruto yang bergegas menuju lokernya untuk ganti seragam. Sakura berusaha menahan tubuh cowok pirang itu, tetapi Naruto segera menepisnya dengan cepat, meninggalkan Sakura yang mengomel sendirian.
Bagi Naruto, keadaan ini lebih genting daripada mendengar omelan Sakura, karena hal ini sudah menyangkut hidup dan mati dirinya. Kalau pemerintah sampai tahu dia menyembunyikan buronan, bisa-bisa dia langsung dihukum gantung. Atau lebih parahnya dijadikan tontonan gratis masyarakat Jepang yang beramai-ramai mencambuknya.
Oke—ini harus dituntaskan segera! Tapi bagaimana caranya? Dia tidak mungkin ke kantor kepolisian lalu mengatakan bahwa ada buronan dirumahnya, bisa-bisa dia dianggap gila. Yang penting sekarang adalah dia pulang, kemudian menyeret Sasuke dan menyerahkannya pada satuan polisi.
Benar!—menurut Naruto, hanya itulah satu-satunya pilihan cerdas yang dimiliki otaknya saat ini.
Langkah Naruto bergerak cepat menuju kamar apartemennya di lantai 5, setelah berada di depan panel kecil sebelah pintunya. Naruto menyentuhkan gelang tangannya ke panel scan tadi, kemudian bunyi -klik- halus menandakan pintu sudah bisa terbuka.
Naruto menghirup oksigen dalam-dalam sebelum masuk ke dalam apartemennya.
"SASUKE—!" Teriak Naruto langsung tanpa basi-basi.
Tetapi orang yang dipanggil sama sekali tidak menampakan hidungnya. Naruto menatap sekeliling ruangan. Kamar mandi, pojok kamar, bahkan dibalik selimut. Sasuke masih tidak ditemukan.
"Kemana dia? Atau jangan-jangan sudah kabur?" Pikir Naruto sambil terus meneliti seluruh ruang apartemennya.
Naruto beranjak menuju jendela yang mengarah keluar. Jendela sama sekali tidak terkunci. Dengan perlahan Naruto melongok keluar dan melihat beberapa orang berbaju jas hitam sedang menarik seseorang yang dikenalnya.
Naruto mengucek matanya sekali lagi, mencoba memfokuskan pandangannya. Pemuda itu tertegun sejenak ketika mengetahui orang-orang berjas hitam itu menarik Sasuke yang terlihat berontak.
Sasuke meronta-ronta dari cengkraman orang-orang bertubuh besar itu, bahkan para polisi sudah siaga dengan laser dan alat kejut kalau Sasuke mencoba kabur.
Naruto yang melihat pemandangan itu langsung panik. Dia melirik apa saja yang ada di apartemennya untuk membantu Sasuke—tunggu—kenapa Naruto harus membantu Sasuke? Bukankah dia itu buronan? Jadi wajar saja'kan kalau Sasuke tertangkap?
Naruto mengangguk-angguk sendiri dengan pemikiran cerdasnya.
Toh, bukan urusannya Sasuke tertangkap. Pikir Naruto yang terlihat senyum sendiri.
.
"LEPASKAN AKU!" Teriakan Sasuke yang berada di luar sedikit mengusik pendengaran Naruto.
Cowok pirang itu menengok sekali lagi dari jendela apartemennya. Sekarang dia dapat melihat Sasuke yang dihajar ketika dia berontak.
"BERISIK!" Seru salah seorang pria berjas hitam yang langsung menonjok wajah Sasuke. Membuat wajah pucat itu mengeluarkan darah segar.
Naruto terdiam kaku karena kaget, kemudian detik selanjutnya entah karena kerasukan setan atau dia memang benar-benar marah, Naruto mengambil alat vacuum cleanernya kemudian melemparkan ke tanah tepat disamping pria berjas hitam dengan kesal.
"HOI BRENGSEK! LEPASKAN SASUKE!" Teriak Naruto sambil terus melempar barang yang ada di apartemennya ke bawah sana.
Sasuke yang melihat celah untuk kabur, langsung berbalik cepat ke arah penangkapnya kemudian menggigit tangan pria itu dengan keras hingga berdarah. Pria tadi berteriak kesakitan ketika tangannya berdenyut-denyut nyeri yang disusul beberapa ulat-ulat kecil keluar dari pori-pori kulitnya. Beberapa teman se-tim nya langsung menghindar dengan cepat, begitu juga Sasuke. Pemuda raven itu memanfaatkan waktunya untuk melarikan diri menuju kamar apartemen Naruto.
"KALIAN—CEPAT KEJAR DIA!" Seru salah seorang pria berseragam polisi yang disinyalir pemimpin satuan polisi tersebut sambil menunjuk Sasuke yang sudah menyelinap masuk ke gedung apartemen Naruto.
Pemuda raven itu berlari dengan cepat menuju lift otomatis, menekan tombolnya, dan bergerak perlahan menuju lantai 5.
Beberapa polisi yang mengejar memilih menaiki tangga untuk mempersingkat waktu. kerumunan orang yang sedang menggunakani tangga langsung berhimpitan ke dinding untuk memberikan ruang bagi para polisi yang sedang lari.
Naruto yang berada di dalam kamar langsung keluar dengan cepat, berusaha kabur dari satuan polisi yang sebentar lagi akan menangkapnya.
Matanya melirik lorong yang masih sepi. Dia panik—seharusnya dia tidak gegabah untuk melempar barangnya ke arah polisi. Sial!—dia harus membeli vacuum cleaner baru.
"NARUTO—" Sasuke berteriak memanggil dari arah lift.
Naruto yang baru saja keluar kamar langsung menoleh ke arahnya dengan cepat.
"KAU ITU BODOH! KAU MEMBUATKU DALAM BAHAYA, TEME!" Sahut Naruto yang tidak kalah kesal. Bukannya takut, Sasuke malah tersenyum. Hanya saja kali ini senyumnya terlihat lebih manis. Naruto harus menenangkan degup jantungnya agar tidak ketiban cinta oleh cupid.
Sasuke berlari ke arah Naruto kemudian menariknya ke lantai paling atas. "Ada ide untuk kabur?" Tanya Sasuke ketika mereka berdua bergerak menuju lantai 24.
Naruto merenggut rambut pirangnya, frustasi.
"Nol besar! Otakku tidak bisa berpikir." Sahut Naruto lagi. Sasuke hanya diam.
"Kau bisa meloncat sampi jarak berapa?" Tanya Sasuke sambil menarik Naruto.
Kini mereka berdua sudah diatas atap gedung. Kiri-kanan mereka hanya ada atap bangunan gedung lain.
"Sekitar 1 meter." Jawab Naruto seadanya.
"Bagus—karena kita akan meloncat kesana." Tunjuk Sasuke pada atap gedung di sebelah mereka.
Naruto melotot kaget.
"KAU GILA APA?! ITU JARAKNYA 5 METER LEBIH!" Teriak Naruto kaget.
Derap langkah beberapa polisi membuat Sasuke dan Naruto berpaling cepat. Mereka semakin panik.
"Cepat Naruto!" Seru Sasuke yang kini berancang-ancang untuk meloncat.
"Tidak—tidak—idemu gila. Biarkan aku berpikir sebentar." Ucap Naruto yang berusaha tenang. Mata birunya menatap sekitar.
Jalur lalu lintas berbentuk slinder tipis bergelantungan diatas mereka. Kemudian dipojok atap, ada tali tambang yang sedikit usang dan beberapa besi penahan.
Naruto tersenyum. Ia mendapatkan ide.
"Sasuke—ambil tali itu, dan besi tadi. Kita akan bergelantungan di jalur ini." Kata Naruto sambil menunjuk tiang slinder tipis yang terbentang di hadapan mereka.
Sasuke terkesiap kaget.
"Itu jalur kereta gantung! Kau bisa mati—" Protes Sasuke lagi. Naruto mengangkat bahunya tidak peduli kemudian mengikat dirinya dan sasuke dengan tali.
"Tidak ada pilihan—setidaknya aku tidak perlu meloncat indah ke gedung sebelah." Sahut Naruto lagi yang mendekap Sasuke ke pelukannya. Mereka berdiri tepat di pinggir bibir atap.
"Kau siap?" Tanya Naruto yang disambut gelengan cepat Sasuke.
"Tidak—sangat tidak siap!"
"Bagus—kita melompat!"
Naruto segera mendorong tubuhnya dan Sasuke ketika mendengar suara teriakan para polisi yang menyuruh mereka berhenti.
Sasuke memejamkan matanya cepat ketika mereka melompat terjun, angin kencang langsung menerpa wajahnya saat mereka meluncur turun melewati jalur lalu lintas kereta slinder itu.
Naruto memeluk pinggang Sasuke erat agar pemuda itu tidak jatuh menghantam tanah.
"Naruto!—di depan ada kereta gantung!" Teriak Sasuke panik.
"Pegangan yang erat!" Sahut Naruto lagi. Mata biru pemuda itu berubah tajam, dua detik sebelum tabrakan dia mengangkat kedua kakinya dan—
PRANG!—
Jendela kaca kereta gantung tadi pecah berhamburan ketika bertubrukan dengan kaki Naruto.
Sasuke terlempar ke dalam beberapa meter dan Naruto sanggup mengusai dirinya sehingga ia melandas mulus dengan kaki berjongkok.
"Sasuke—kau tidak apa-apa?" Tanya Naruto yang berlari untuk membantu Sasuke bangun. Pemuda raven itu menggenggam lengannya yang tergores kaca, memperlihatkan darah segar yang mengucur keluar.
"Darahmu—"
"JANGAN SENTUH!" Teriak Sasuke sambil mencoba mundur ketika Naruto bermaksud untuk melihat seberapa dalam goresan di tangan pemuda itu.
"Tapi—darahmu—"
.
PRAAANNNGG!—
.
Kaca jendela kembali pecah dihantam beberapa polisi yang ikut menerjang masuk melalui pesawat yang terbang rendah di samping mereka.
Helikopter pemerintah dengan nomor di bagian belakangnya terlihat memposisikan burung besi itu untuk sejajar dengan kereta gantung. Di sisi kanan kereta gantung, sebuah helikopter sudah bersiap dengan seorang tentara lengkap dengan persenjataannya.
Naruto dapat melihat dari jendela, beberapa unit pesawat militer dikerahkan maksimal untuk menangkap buronan seperti Sasuke.
Naruto bisa menebak—Sasuke lebih hebat dibandingkan para teroris yang membombardir gedung Amerika, sebab pemerintah Jepang sampai mengeluarkan unit pesawat militer hanya untuk mengejar pemuda itu.
Mata sapphire nya beralih pada para polisi yang berada didepannya, mereka terlihat berpakaian seragam lengkap dengan baju pelindung dan helm pelindung. Yang berarti, kali ini tidak ada celah untuk kabur.
"Menyerahlah sekarang!" Seru salah seorang dari mereka yang terlihat membawa alat kejut listrik.
Naruto menegang, dia memposisikan tubuhnya di depan Sasuke.
"Tidak akan!" Desis Naruto marah.
Polisi tadi berdecak kesal karena sifat keras kepala pemuda pirang itu.
Tangan pria berseragam tadi terangkat pelan kemudian menurunkan dengan cepat yang berarti tanda untuk segera menyerang Naruto.
Sasuke yang mengerti tatapan komandan polisi dihadapannya, berusaha mendorong Naruto menjauh, tetapi sekali lagi usahanya—
—terlambat!
"AARGGHHH!" Tubuh Naruto sudah terlebih dahulu mengejang kesakitan ketika terkena aliran listrik dari alat pengejut milik salah satu anak buah pria tadi.
"NARUTOO—" Jerit Sasuke dengan wajah ketakutan.
Pemuda raven itu berusaha berlari ke arah Naruto tetapi tendangan diperutnya membuatnya harus terpelanting ke belakang.
Sang komandan kepolisian menatap geram pada Sasuke, tangannya memposisikan senjata kejut ke kening pemuda itu, "Kau—benar-benar menyusahkan."
.
"GWAARGHHH—!" Dan teriakan Sasuke yang terkena sengatan listrik menghentikan seluruh pengejaran tadi.
.
.
.
_Biotechnology Network INC, pukul 01.00 Siang_
Perusahaan berbentuk kubah besar itu berdiri megah ditengah-tengah kota Jepang yang ramai. Para militer dikerahkan pemerintah untuk melindungi perusahaan tersebut dengan membuat benteng pertahanan diri. Sedangkan warga sipil sendiri dilarang mendekat dalam radius 30 meter. Sehingga beberapa turis asing hanya bisa menatap gedung besar itu dari jarak yang jauh.
Tsunade yang berada di ruang kontrol segera bergegas menuju laboratoriumnya ketika menerima panggilan dari Orochimaru yang mengatakan 'Sampel telah kembali.'
Dengan senyum misterius, wanita itu terus bergerak menuju belokan di samping ruangan system utama, kemudian menaiki lift ke bawah untuk menuju lorong besar yang berdinding metalik.
"Bagaimana sampelnya?" Tanya Tsunade pada salah satu pegawai perempuannya.
"Kondisinya lemah, tetapi akan segera pulih dalam sekejap. Dan lagi—" Pegawai wanita itu terdiam sambil melirik takut-takut pada Tsunade.
"Ada apa?" Tanya Tsunade tidak sabaran sambil menyentuh panel pintu yang mengeluarkan alat pemindai retina. Sinar merah keluar untuk men-scan mata Tsunade dan mencocokkannya dengan data base system.
"Mungkin sebaiknya, Orochimaru-san saja yang menjelaskannya." Jawab pegawai wanita tadi.
Tsunade hanya mengangguk paham.
"Baiklah—kau boleh pergi. Kirimkan laporan DNA sampel padaku secepatnya." Jelas Tsunade sambil melangkah masuk ke ruangannya, sedangkan pegawainya berbalik arah menuju ruang data lain.
.
Orochimaru terlihat serius menatap Sasuke yang terbaring lemah dimeja operasi. Tangannya bergerak menelusuri lengan Sasuke yang tergores kaca.
Darah Sasuke masih belum diobati dan dibiarkan terbuka seperti itu.
Tsunade mengambil baju pelindung, kemudian masuk ke ruang operasi setelah dilakukan scanning dan pen-steril-an udara.
"Bagaimana?" Cecar Tsunade langsung yang mulai meneliti Sasuke.
Orochimaru menggeleng.
"Untuk saat ini dia masih baik-baik saja. Hanya saja—bakteri dan virus di dalam tubuhnya mulai menggerogoti kulitnya. Lihat—" Tunjuk Orochimaru pada bekas luka di lengan Sasuke. Darahnya menghitam dengan cacing-cacing kecil yang keluar dari pori-pori kulitnya. Walaupun penyebarannya lambat, tetapi Orochimaru yakin, tidak sampai 6 jam, tubuh Sasuke akan habis dimakan oleh penyakitnya sendiri.
Tsunade berdecak kesal.
"Suntikan antibiotik keras. Dia sampel yang berharga." Tukas Tsunade cepat.
"Percuma. Daya tahan anak ini mulai melemah. Daripada itu, pemuda pirang yang ada disana terus menatapku dengan tatapan menggoda." Tunjuk Orochimaru pada Naruto yang berada dalam jeruji besi kecil di pojok ruangan.
Mata biru sapphire nya menatap murka pada dua ilmuwan itu.
"APA YANG KAU LAKUKAN PADA SASUKE?!" Teriak Naruto yang mencoba menggapai Orochimaru untuk mematahkan lehernya.
Pria penyuka ular itu terkekeh kecil.
"Lihat'kan Tsunade? Dia bernafsu sekali ingin menjamahku." Ucapnya dengan nada menjijikan.
Wanita itu hanya melirik Orochimaru dengan delikan tajam seakan-akan mengatakan—Ya! Dia bernafsu untuk membunuhmu!
Tsunade bergerak angkuh menuju Naruto, menatapnya dengan malas, "Kau siapa?"
"SEHARUSNYA AKU YANG BERTANYA SEPERTI ITU! KALIAN SIAPA?! DAN—DIMANA INI?!"
"Hentikan jeritanmu, bocah. Telingaku berdenging." Sahut Tsunade sambil membaca beberapa lembar data di dokumennya. Sedangkan Orochimaru sibuk menyuntikkan cairan tertentu pada luka Sasuke.
Naruto terlihat ingin berteriak lagi tetapi erangan Sasuke membuat matanya teralihkan kepada sosok pemuda raven itu.
Sasuke sudah siuman.
Tsunade yang menyadari bahwa Sasuke sadar langsung membuka mata onyx cowok itu dan memeriksa retinanya, memastikan tidak ada gejala shock pada sampel berharganya.
"Bagaimana perasaanmu? Apa lenganmu masih sakit?" Tanya Tsunade cepat tanpa memberikan Sasuke kesempatan untuk berontak.
"—Orochimaru, ini gawat. Kita harus mengambil penawar lainnya. Kelihatannya, antibiotika saja tidak akan cukup." Terang Tsunade yang bergerak gelisah keluar dari ruangan kecil itu.
Pria penyuka ular tadi hanya mengekor Tsunade dari belakang menuju keluar ruangan, meninggalkan Naruto dan Sasuke yang masih terjebak di tempatnya.
.
.
"Teme—sebenarnya ada apa ini?! Dimana kita?!" Seru Naruto yang berusaha menggoyang-goyangkan terali besi didepannya, mencoba keluar dari kerangkengnya. Sedangkan Sasuke bergerak gelisah ingin melarikan diri dari meja operasi yang menahan kedua tangan dan kakinya.
"Laboratorium rahasia milik pemerintah." Jawab Sasuke cepat.
"Labo—apa?" Tanya Naruto lagi dengan wajah yang kebingungan.
Sasuke mendesah kesal.
"Badan rahasia pemerintah untuk memproduksi persenjataan biologi dengan penularan penyakit yang mematikan."
Naruto bersiul takjub, "Di tengah-tengah kota Jepang yang ramai ini?—hebat sekali."
"Sekarang bukan saatnya untuk kagum, Dobe! Cepat bantu aku!" Teriak Sasuke kesal.
"Aku tahu! Aku juga sedang berusaha keluar dari kandang anjing yang sempit ini!—Sial!" Balas Naruto yang kali ini mencoba menggapai deretan kunci di dekat lemari di sebelahnya.
Dapat!—dengan cekatan dia memutar kunci tadi dan membuka jeruji besi yang mengurungnya. Naruto tidak menyangka kalau acara kaburnya akan segampang ini, biasanya di film-film akan memakan waktu hingga beberapa jam.
"Dobe cepat!" Kata Sasuke yang sudah melihat bahwa cowok pirang dihadapannya ini sudah bebas. Naruto ingin menyentuh Sasuke, mencoba membantunya keluar dari ikatan yang membelit pergelangan tangan dan kakinya, tetapi usahanya harus terhenti ketika Sasuke menyuruhnya untuk menjauh sebentar.
"Pakai perlindungan! Disana—ada sarung tangan, pakai itu untuk membuka ikatanku. Dan jangan sampai kau menyentuh lukaku, mengerti?" Desak Sasuke lagi sambil menunjuk sepasang sarung tangan yang ada di dalam lemari metalik kaca.
Naruto hanya mengangguk menurut tanpa protes, dia segera memakai sarung tangan kemudian melepaskan ikatan yang memborgol tangan dan kaki Sasuke.
"Kemana kita sekarang?" Tanya Naruto lagi setelah berhasil membebaskan Sasuke dari meja operasi.
"Aku akan mencoba meng-hack panel pintu melalui komputer disini. Kau bersiagalah." Ujar Sasuke dengan nada serius.
Naruto lagi-lagi mengangguk paham dan membiarkan pemuda raven itu menggerakan jari-jarinya di atas keyboard transparan.
Beep—Suara kecil tersebut menandakan pintu berhasil terbuka dengan warna hijau yang menyala.
Sasuke segera bergegas keluar ruang laboratorium diikuti oleh Naruto yang terus bersikap waspada.
"Kita akan belok kanan setelah melewati lorong ini kemudian mencari ruang kontrol utama. Hanya dari sanalah kita dapat kabur ke luar." Jelas Sasuke sambil menunjukkan arahnya.
Sekali lagi Naruto hanya mengangguk menurut, pandangannya lebih fokus pada lengan Sasuke yang mengeluarkan cacing-cacing kecil.
Naruto tebak—itu pasti sangat menyakitkan, terlihat dari wajah Sasuke yang terus meringis menahan nyeri. Apakah yang dikatakan ilmuwan itu benar? Sasuke adalah sampel eksperimen dari tempat persenjataan biologis ini? Bukankah itu terlalu—
—menggelikan?
"Kau sedang memikirkan apa?" Tanya Sasuke sambil melirik pemuda yang berada disebelahnya ini.
Naruto menggeleng cepat sambil terus mensejajarkan larinya dengan Sasuke.
"Tidak—aku hanya berpikir. Apa yang akan kita lakukan setelah keluar dari sini." Bohong Naruto.
Sasuke terdiam, "Mungkin—kabur ke luar negeri. Bagaimana denganmu?"
"Entahlah. Mungkin aku juga harus ikut denganmu kabur ke luar negeri." Sahut Naruto sambil memperlihatkan cengirannya yang lebar.
Sasuke menatapnya sebentar kemudian tertawa pelan.
"Baiklah, sudah diputuskan. Kita berdua akan pergi ke luar negeri bersama." Ujar Sasuke dengan nada senang.
Naruto hanya terkekeh pelan.
.
.
.
TEEEEETT—TEEEEETT—TEEEEETT—
"Suara sirine apa itu?!" Seru Jiraiya dari ruang kerjanya. Beberapa karyawannya berlarian keluar melihat keadaan.
Salah satu karyawannya berlari dengan tergesa-gesa ke arah pria modis itu.
"Jiraiya-san—mereka—" Belum selesai karyawannya melapor. Mata Jiraiya sudah menangkap bayangan Tsunade dan Orochimaru yang berlarian di koridor. Tanpa diberitahu pun Jiraiya sudah tahu apa permasalahannya. Pria paruh baya itu menyuruh karyawannya diam dan memilih keluar ruangan untuk mengejar Tsunade.
"Kali ini apa lagi, Heh?!" Seru Jiraiya yang berusaha mengimbangi larinya Tsunade.
Wanita itu berdecak kesal.
"Sampel kabur." Jawab Tsunade singkat.
"Kabur?—Lagi? Astaga Tuhan!" Jiraiya menampar keningnya yang semakin berdenyut sakit.
Tsunade yang tersinggung langsung berbalik menantang Jiraiya.
"Hei—Dengar! Kali Ini Bukan Salahku, Mengerti?!" Seru Tsunade yang tidak terima dipandangi dengan tatapan curiga seperti itu.
Jiraiya berkacak pinggang.
"Lalu salah siapa?! Kau mau menyalahkan Orochimaru lagi?" Balas Jiraiya yang tidak kalah sengit. Disebelah mereka, Orochimaru hanya memandang tontonan gratis itu dalam diam.
Tsunade menunjuk Jiraya dengan kasar, "See?! Kau selalu menyalahkanku dan membela Orochimaru. Apa kau punya hubungan khusus dengan pria ular itu, Heh?!"
Jiraiya memutar bola matanya kesal, "Oh Astaga—demi ilmu pengetahuan kuno, kau berpikiran sempit, Tsunade! Memangnya kau pikir hubunganku dengan Orochimaru itu seperti apa?!"
Tsunade mendengus marah, "Mana Aku Tahu!" Jawabnya lagi sambil mendelik ke arah Orochimaru yang cekikikan.
"Sudahlah—aku pusing berdebat denganmu, Tsunade! Aku akan melihat keadaan lebih dulu." Ucap Jiraiya yang beranjak menuju ruang kontrol utama.
Orochimaru mengikuti pria paruh baya yang modis itu dibelakang, disusul Tsunade yang masih terlihat sebal.
.
"Status—?" Tanya Jiraiya tegas pada salah satu karyawan di ruang kontrol.
"Penjebolan system. Semua pintu area utama terbuka termasuk—"
"Pintu keluar darurat, begitu?" Tebak Jiraiya yang ditanggapi anggukan lemah oleh karyawannya.
Tsunade menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Dia pintar sekali. Dia memilih pintu keluar darurat karena pintu keluar utama di jaga ketat oleh pasukan militer pemerintah." Ucap Tsunade kasar.
"Walalupun begitu—sepertinya mereka sama sekali belum keluar dari gedung ini." Jelas karyawan tadi sambil memperlihatkan denah 3D yang menunjukkan sebuah titik merah yang menyala.
Orochimaru mendekat.
"Itu—"
"Ya—ID pemuda pirang bernama Naruto. Setelah dia tertangkap kami langsung menanamkan sensor pendeteksi ke gelangnya. Untuk berjaga-jaga." Jelas karyawan tadi sambil memasukkan beberapa code matriks di layar computer yang transparan.
Tsunade menyeringai.
"Pemikiran yang cerdas." Puji Tsunade yang bergerak ke luar ruangan. Jiraiya mencoba menghentikan wanita itu dengan menarik tangannya.
"Mau kemana kau?" Tanya Jiraiya.
"Tentu saja—menangkap 'kelinci' ku lagi." Tunjuk Tsunade pada titik merah di denah perusahaan berbentuk 3D itu.
.
.
.
Di tempat lain, Sasuke terlihat panik membongkar seluruh lemari metalik kaca yang berisi tabung dengan cairan aneh. Naruto juga ikut mencari walaupun sebenarnya dia tidak tahu apa yang sedang dicarinya.
"Sial—tidak ada!" Desis Sasuke kesal. Naruto menatapnya khawatir, terlebih lagi mereka sekarang berada di sebuah ruangan penyimpanan laboratorium.
Bagi mata Naruto, disini tempatnya pembunuhan massal. Ada tabung setinggi 2 meter yang berisikan manusia dengan cairan aneh, beberapa hewan yang diawetkan dan organ-organ manusia yang juga di masukkan dalam botol kecil. Naruto harus menahan hasrat ingin muntah dari perutnya.
"Sebenarnya untuk apa kita kesini?" Tanya Naruto setelah berhasil mengendalikan rasa mualnya.
"Aku tidak bisa kabur tanpa obat penawarku." Jelas Sasuke sambil mencengkram lengannya yang luka. Robekan itu meluas dengan cacing-cacing yang terus bermunculan.
Naruto mengangguk paham, "Aku mengerti, kita kan mencari penawarmu lalu lari dari sini."
"Tetapi sebelum itu—sebaiknya kau buang gelangmu." Ucap Sasuke lagi.
Naruto berbalik bingung, "Memangnya ken—"
DAK!—DAK!—DAK!—
Gedoran di pintu membuat mereka berdua terlonjak kaget. Sasuke dapat mendengar beberapa langkah kaki yang mulai mendekat ke arah mereka. Dengan panik Naruto merapat ke arah Sasuke.
"Jangan-jangan, gelangku sudah dimasukkan alat pemindai, ya?" Tanya Naruto yang mendapat delikan tajam Sasuke.
"Hebat—kau baru sadar sekarang." Kata Sasuke sarkastik.
Naruto melotot. "Seharusnya Kau Memberitahuku Sejak Awal!"
"Aku juga baru ingat sekarang, Dobe! Berhenti mengeluh dan cepat berpikir!" Seru Sasuke yang tak kalah emosinya dengan Naruto. Mereka berdua terpaku di tempat masing-masing sambil terus memandang pintu yang mulai terbuka perlahan. Seberapa pun besar keinginan mereka untuk lari tetap saja, tidak ada celah untuk kabur.
"Sudah kuduga—kalian memang payah dalam melarikan diri." Suara Tsunade dari arah pintu yang terbuka membuat Naruto geram. Sedangkan Sasuke memilih bersembunyi di belakang pemuda pirang itu dengan waspada.
Orohimaru yang berada disamping Tsunade terlihat menjatuhkan alat yang sebelumnya digunakan untuk menjebol panel pintu. "Apa yang akan kita lakukan pada mereka?" Tanya pria penyuka ular itu.
"Aku... punya ide yang menarik." Desis wanita glamour itu dengan seringai menyeramkan.
.
.
.
TBC
.
.
.
Ok! Maaf Minna kalau di chap ini belum ada adegan rated M nya dan terlalu panjang! XD
Entah kenapa, saia lagi ingin bikin fic yang agak serius, walaupun nanti di chap 2 bakalan ada adegan lemonnya #Plak *author digampar massa*
Fic nya rencananya dibagi menjadi dua bagian... hope you enjoy guys/girls... hehehe ^^
RnR Please!
