Prolog: Merah Delima


"Kek Aba, dengerin aku dong! Aku serius nih, Kek! Ada binatang deh di loteng kita. Suer Kek, suer!"

Pemuda bertopi oranye itu menjelaskan lekas dan bergebu-gebu, manik karamelnya mengobarkan api membara akan kurangnya perhatian sang kakek pada dirinya. Sungguh, ia muak dengan kakeknya yang sedari tadi acuh kepadanya, diam saja bagaikan objek. Tangan Kek Aba sajalah yang sedari tadi bekerja, melap meja kedai yang sudah kelewat mengkilat, sorot matanya mati—layaknya mayat hidup.

Mengeryitkan dahinya, ia akhirnya tersadar akan perilaku ganjil beliau. Bingung, si pemuda itu lalu menyodok-nyodok pipi kakeknya dengan jari telunjuknya, sembari menghentikan pergerakan kakeknya.

"Kek Aba?" Panggil si cucu, heran.

Nihil. Target sodokannya tidak bereaksi. Sama sekali tidak.

Mata anak muda itu melebar, pikirannya telah pergi melayang berpikiran macam-macam tentang kelakuan aneh sang kakek. Si cucu terus mencoba menggoyang-goyangkan pundak pria tuanya, kekhawatiran mulai terbenam.

"Kek?" Panggil pemuda itu lagi, alis menyatu dan bahu Kek Aba terus ia goyangkan. "Kakek nggak apa-apa kan?"

Sontak saja, si kakek tiba-tiba melontarkan diri ke atas, meronta dari cengkraman cucunya, berteriak racau: "Ya Tuhan, Boboiboy! Kita kebanjiran! Kakek tenggelam, Boboiboy! Tenggelam... coklat...! Ack."

Lalu pria berubanan itu terselungkur ke tanah loyo tanpa peringatan, orokannya bisa terdengar bermil-mil jauhnya.

Si cucu, Boboiboy, hanya bisa memukul jidatnya, pasrah.

"Alamak, ternyata Kek Aba ketiduran sambil berdiri-...?" Menyadari apa yang telah terjadi, wajah pemuda itu langsung memucat. "—Lagi?!"

Bahu Boboiboy merosot, sadar bahwa ocehannya semenit yang lalu memang tidak pernah terdengar, upayanya jelas sia-sia. Menunjukan isi hatinya, urat muncul dipelipisnya. "Ya ampun, Kakek...!"

Ingin ia marah, meluapkan kekesalan, mengomel sesuka hatinya sampai telinga kakeknya yang sudah lebar itu bengkak. Tapi mau bagaimana lagi, objek amarahnya itu mana mungkin juga bisa mendengarkannya, tidurnya pulas amat lagi.

Si cucu memberengut, tangan terlipat ke depan dada, meneguk bulat nasib apesnya. Heh, dia benci ini. Masa dia harus angkat Kek Aba lagi, sih?

Walau ia memang tidak suka, tetapi, melihat kakeknya sekarang ini - tertidur manja bagaikan bayi - mau nggak mau Boboiboy mengutas senyuman, amarah dan dendam diredamkan.

Paling nggak, buat sementara.

Boboiboy cengengesan.

Eleh. Kakek, Kakek. Ada-ada aja deh, pikir pemuda bertopi tersebut sambil menggelengkan kepalanya. Tangan pria tuanya itu lekas ia selingkan melawati pundaknya, bermaksud menggotong tubuh si kakek sampai ke rumah mereka.

"Oomph...!" Gerutunya saat berat Kek Aba sudah benar ia sokong.

Si kakek cuma mendengkur keras saat kepalanya terguling ke lekuk leher cucunya, berguman soal mandi coklat, ikan, dan hutang Gopal. Menyimak racauan tak karuan dari kakeknya, Boboiboy hanya diam menggeleng menahan senyum.

"Waktunya pulang, Kek."


Sepulangnya ia dari kedai, matahari sudah lama tenggelam, membiarkan bulan purnama untuk mengambil alih tempatnya di angkasa.

Lagi, Boboiboy merasa bulu kuduknya bergidik seraya ia berdiri di pekarangan kediamannya bersama Kek Aba, merasakan adanya sorotan tajam tepat ke arahnya entah dari mana dan untuk keberapa kalinya minggu ini.

Menggelengkan kepala, ia coba mengusir ide-ide absurd yang otaknya sediakan akan firasatnya ini, berpura-pura kalau semunya baik-baik saja; bahwa tidak ada orang yang membuntutinya, tidak ada yang menyelinap masuk untuk memergokinya, ataupun-...

—Kilat. Sesuatu yang mengkilat telah mengikutinya.

Boboiboy mengambil napas tajam, leher berotasi ke segala arah, mata mengedar dan membulat, menelusuri setiap gang, setiap rumah, setiap tanaman-...! dan kosong. Tidak ada apa-apa disekitarnya. Hanya dia dan Kek Aba.

Pemuda bertopi itu menghembuskan napasnya yang tertahan, merasa bodoh. Batinnya bergejolak. Ugh, aku ini kenapa sih? Nggak ada yang abnormal. Semuanya biasa-biasa aja! Normal senormal-normalnya perumahan!

...Iya kan?

Ia gelengkan lagi kepalanya, berusaha sekuat tenaga untuk percaya—menyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada yang lain dari yang lain, bahwa ia sedang paranoid; dan usahanya tak berhasil, secuil pun tidak. Nyalinya menciut. Lengannya gemetaran.

Ada apa sih sebenarnya? Ia sungguh kewalahan, merasa tak nyaman dalam kulitnya sendiri.

Tiba-tiba saja, Kek Aba terbangun:

"Gopal!" Teriak si kakek, tepat digendang telinga sang cucu. "Ice... Cocoa... satu...! Kakek haus-...!"

Lalu beliau kembali jatuh tak sadarkan diri.

Pupil si cucu melebar, terkejut, otot mengerat, dan reflex menyeimbangkan tubuh kakeknya yang hampir menyelam hidung dulu jatuh ke pekarangan tandus mereka. Boboiboy menghembuskan napas untuk kedua kalinya, kali ini karena lega daripada paranoid.

Lebih baik mikirin ini nanti aja, harus urus Kek Aba dulu, ujar batinnya, mengelak.

Boboiboy manggut-manggut sendiri, lagi-lagi menyakinkan diri sambil memutar kenop pintu depan rumahnya. Pemuda itupun memasuki tempat tinggalnya, percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja—apalagi dengan dirinya yang sekarang berada di tempat yang sudah ia anggap sebagai satu-satunya surga amannya.

Walaupun begitu, telinganya masih saja bergeming, hampir seperti ada petir yang bergemuruh.


Tap, tap, tap.

Grogi dan masih kantuk-kantuknya, Boboiboy terpaksa harus membuka kelopak matanya nan berat, lagi-lagi terbangun untuk kesekian kalinya malam itu. Sesuai dengan protesnya berjam-jam yang lalu pada Kek Aba, suara dalam loteng akhirnya memunculkan diri bak Kuntilanak di dekat kuburan. Tak di undang dan tak di jemput. Anehnya, kali ini kasak kusuknya jauh lebih keras dari malam-malam yang lain. Apa maksudnya itu?

Resah dan kesal, ia selimuti diri dari jari kaki sampai ujung rambut, bantal dibekapkan menutupi kepalanya, sangatlah berharap kalau Tuan Bantal sudah cukup untuk memblok hal-hal gaib - contoh: suara gubrah di loteng. Malu ia mengakui, tapi kedua tangannya sedang terkunci rapat memeluk Ochobot—boneka plushie pemberian Kek Aba sewaktu ia SD, yang ia simpan dengan baik dan rahasianya seorang.

Boboiboy mengaku, ia memang enggan untuk membagi Ochobot dengan kawanannya yang lain. Ia takut, apa yang bakal dipikir teman-temannya coba kalau mereka tau bahwa Boboiboy - yang notabenya cowok terkeren se-SMA Pulau Rintis - ternyata masih perlu memeluk boneka untuk tidur?

Ya Tuhan, apa yang Fang bakal lakuin coba kalau dia tau informasi macam ini?

Boboiboy meneguk ludahnya, langsung berkeringat dingin walau hanya membayangkannya saja. Pelukan pemuda dengan warna khas oranye ini pada Ochobot makin mengerat.

"Oh Ochobot," ia mulai sesi curhatnya dengan boneka kuning tersebut. "Bagaimana aku bisa tidur coba? Loteng terlalu berisik! Pasti ada makhluk di dalam sana kan? Apa bener hanya binatang? K-kalau bukan binatang gimana?!"

Ochobot bergeming layaknya objek yang memang dirinya. Tetapi, dalam benak Boboiboy, boneka itu berucap: "Jadilah seorang pria dan cek sendiri sana! Jangan jadi pengecut!"

Boboiboy meringis, menatap benda berbusa itu ragu. "Masa hanya aku sendiri, sih?"

Tangan pemuda itu bergerak ahli, membuat Ochobot seolah mengangguk pasti. "Boboiboy kan bukan anak-anak lagi. Pasti bisa kok! Kan ada aku juga. Boboiboy nggak sendirian!"

Si pemilik boneko tertegun. Benar juga apa yang Ochobot - ralat: otaknya - katakan. Boboiboy ini anak laki, murid SMA pula! Pasti bisalah mengurus binatang yang besar kemungkinannya hanya tikus kecil. Enteng, pikirnya. Apalagi kalau ditemenin Ochobot, apapun yang ada diatas sana, tuntas akan ia urusi!

Mendengus mantap, Boboiboy menampar kedua pipinya beberapa kali, semangat memakan bulat rasa takutnya. "Hmhp, liat aja kamu tikus, ku bakar baru tau rasa kau!"

Ochobot masih bergeming dengan tatapan menerawang, tidak seperti boneka lucu seharusnya.


Decitan. Itulah yang memasuki telinga Boboiboy sewaktu ia diam-diam mengendap di lorong menuju anak tangga loteng rumahnya, lugas ia hindari kamar Kek Aba. Didekapnya di satu tangan masih ada Ochobot yang setia berperan sebagai penambah moral dalam misi mulianya ini.

Dalam perjalanannya menelusuri kediamannya, pemuda itu teringat kembali akan masa kecilnya. Lebih tepatnya dimasa ia SD, dimana loteng itu dulu adalah kamar tidurnya. Setahun lebih ia tempati loteng tersebut, dan Boboiboy happy-happy saja tuh tinggal disitu. Tapi entah kenapa, nggak ada geledek nggak ada hujan, Kek Aba malah menyuruh Boboiboy pindah ke ruang tamu. Mengunci loteng rapat-rapat dari jangkauan sang cucu.

Dan sekarang, tepatnya lima tahun kemudian, dengan kunci serap yang ia curi ditangan, Boboiboy berdiri tegap menyiapkan hati untuk memasuki kamarnya kembali. Pintu kayu berdiri kokoh sebagai perantara solo dirinya dan loteng tersebut.

Menghirup dalam-dalam oksigen disekitar, ia putar kenop dihadapannya dengan pasti, mendorong pintu kayu tersebut pelan dan lamban.

Kreeeek...

Pintu itu terbuka dengan semestinya, membuat Boboiboy linglung.

Huh, masa sih, semudah ini? Pikirnya, melirik loteng yang sekarang terbuka lebar untuk ia telusuri itu dengan tatapan curiga. Anak muda itu lalu celingak-celinguk ke samping kiri dan kanan, berdiri di kusen pintu dengan mata mengedar menginspeksi bekas tempat tidurnya tersebut. Cepat saja ia bernostalgik, sudah nyaman dan gagal menangkap sesuatu yang janggal, mendapati semua terjaga sama seperti yang ia ingat. Ia sumringah, melangkahkan kakinya masuk tanpa pikir panjang.

"Awas Boboiboy!" Pekik Ochobot, nyata dan tak terduga.

BLAM! Swoooosh!

Terjengkal, Boboiboy bobrok ditikam dari depan, seolah geper menjadi daun yang diterpa badai kuat. Tubuhnya yang termasuk kekar untuk standar anak SMA sukses dibuat tak berkutik dengan cengkraman kuat dikedua bahunya, baju tidur jingga remas dibuatnya. Ia spontan merintih kesakitan. Badannya tergapar dilantai lemah tak berdaya, bagian bawah perutnya menjadi tempat duduk bagi penyerangnya. Ochobot terlepas dan terbang meluncur entah kemana. Boboiboy kebablasan.

A-apa-apaan ini?! Belum sempat otak Boboiboy bisa mencerna kejadian absurd yang ia alami sekarang ini, kejutan lainnya terus datang bertubi-tubi. Mencatoki isi kepalanya, tak mengampuni sama sekali.

Sedetik telah berlalu dan ia rasakan cengkraman pada bahu kanannya terlepas, tangan penyerangnya malah berjalar menuju lehernya, kuku-kuku panjang menusuk kulitnya tajam. Dua manik merah darah mengkilat ngeri dikegelapan malam, mengintimidasi.

"Siapa kau?" Ucapnya, dingin.

Boboiboy bergeming, terlalu shock untuk menanggapi.

Pemilik manik darah itu berdecak kesal, menusuk lebih dalam. "Ku tanya sekali lagi. Siapa kau? Apa maumu kesini? Denganku? Jawab!"

Yang ditanya mangap. "A-aku... aku...,"

Geblar! Terdengar nyaring ledakan petir entah darimana, cahaya merah membelenggu menyelimuti kedua insan tersebut. Penuh makna. Penuh umpatan. Penuh amarah.

Boboiboy terkepik. Matilah aku...!

"Boboiboy? Cu, kau kah itu?"

Yang dipanggil terperanjat, juga si Penyerang. Kepalanya mendongkat mendapati Kek Aba yang berada diambang pintu.

"Ka-Kakek...!"

Histeris, Boboiboy tergopoh-gopoh berdiri dan berlari ke sisi sang kakek, entah dapat kekuatan darimana, memeluknya erat dilingkaran pinggang. Tak sadar ia akan berat menumpuk yang seharusnya ada, telah hilang dalam sekejap entah kemana.

"Ow, aduh, sakit Boboiboy! Sakit! Punggung Kakek kambuh lagi nih..."

Mendengar rintihan kakeknya yang mengaduh, lekas saja Boboiboy melepaskan pelukannya, pipi merona. "M-maaf Kek," ia tundukan kepalanya, iba. Terdengar jantungnya yang berdegup kencang mengalahkan pelari marathon.

Kek Aba tersenyum kecut, membelai kepala sang cucu lembut. "Tak apalah. Jarang-jarang juga bisa dipeluk cucuku yang ganteng ini."

Boboiboy terkekeh, menyembunyikan rasa leganya.

Untung Kek Aba datang, batinnya berucap, kalau nggak ada Kek Aba sudah mampus aku.

Mengingat kejadian yang betul terjadi hanya semenit yang lalu, ia rasakan gigil yang teramat mencengkeram. Boboiboy takut bukan main. Baru pertama kalinya ada hal semengerikan itu menimpanya. Heck, ia sendiri tak nyakin apa itu benar terjadi apa tidaknya.

Ia gigit jempolnya. Pasti khayalanku saja.

"Ne-... Cu-...? Oi, Boboiboy! Dengerkanlah kalau kakekmu ini berbicara! Hormati yang tua! Jangan gigiti kukumu! Famali!"

Plok! Dengan keras kepala Boboiboy dijedot kepalan keriputan milik kakeknya.

"Sakiiiit...!" Rengek si cucu, mengusap jidatnya yang memerah.

Pipi Kek Aba menggempul. "Kamu juga, mau apa kamu ada di loteng jam segini, hah?! Matahari tak ada, Genderuwo yang bersisa. Bukannya Kakek pernah bilang? Jangan-...!"

"—Pernah ke loteng." Boboiboy memotong selajur mengindahkan. "Aku tau, Kek. T-tapi kan... t-tikusnya..."

"Tikus apa?!" Kek Aba berkumandang, "Hush! Ndak ada alasan! Pergi ke kamarmu sana! Kau diskors seminggu! Tak ada Gopal, tak ada video game!"

Boboiboy makin keberatan. "Kek Abaaaa...!"

Terlambat, tangan yang muda sudah dikatup rapat sama yang tua. Boboiboy ditarik paksa keluar menuju kamarnya. Kakeknya tentu tak lupa untuk mengunci kembali loteng bermasalah tersebut. Jelas ia geram akan tempat itu.

Sepanjang penyeretan penuh gebu dari Kek Aba, walau merasa melupakan sesuatu, Boboiboy tetap merasakan tatapan itu. Tatapan yang mencabik-cabik, yang menuduh, yang penuh tanda tanya. Tatapan yang sama yang ia rasakan baru-baru ini, yang selalu mengikutinya bila ia menginjakan kaki keluar rumah.

Ia bergidik.

Aku trauma, umelnya dalam hati, kapok aku nyelinap ke loteng. Sumpah, nggak bakal lagi deh aku kesana.

Tapi apa yang Boboiboy tidak tahu—yang teramat ingin ia tidak ketahui; mau nggak mau, tetap ia harus kembali. Takdir akan menjaminnya. Titik. Takdir kurang ajar.


Disclaimer: Kartun animasi Boboiboy dengan berhak dimiliki oleh Animonsta Studio, bukan ane, penulis fanfic abal-abalan. Tapi sudah jelas juga, yah. Mana mungkin pemilik Boboiboy bikin fanfic soal Boboiboy! Wkwkwk... or is it? (dun dun duuuun).

A/N: Salam kenal para Readers semua! Nama ane Dilly, orang baru di fandom Boboiboy! Nonton satu episode sudah kepincut ane sama kartun yang satu ini. Melihat umur yang... yah, nggak muda-muda amatlah, seharusnya ane nonton K-Drama atau semacamnya gitu. Tapi biarlah, mumpung bahagia masa kecil ane, masa dewasa juga harus dibahagiakan!

Oh ya, by the way buswey, fanfic yang satu ini bakal memuat multiple pair; pasangan yang banyak. Tapi, karna ane orangnya plin-plan, masih belum pasti yang mana yang harus direalisasi. Maunya Boboiboy kecimpung sama Yaya. Tapi harem juga menggiyurkan, sih. Bisa BL, bisa incest. Ane supel kok orangnya. Wkwkwk, tolong bantu ane di review, ya~ Terserah Readers deh pair-nya apa! Tolong juga di fav dan follow! Sungguh, kalau dilakuin bakal bikin ane melayang ke surga sono! (itupun kalau dibolehin masuk... ane banyak dosa rupanya, wkwkwk).

Ya udah, sampe sini dulu basa-basi tak bermutu ane.

Bye-bye! Moga jumpa di next-chapter!