I don't owe Tokyo Mew Mew nor Kuroko no Basuke.

Warning: OOC, garing, kurang feeling, typos, potless, dll. (warning ini tidak hanya hiasan)

.

.

.

Beberapa orang selalu terpaku ketika melihatnya pertama kali. Mereka bertanya-tanya dimana pernah mengenal wajah cantik familier itu. Seorang gadis tengah sendirian menekuri sinopsis buku yang akan dia pilih. Beberapa yang berani menghampirinya dan menyapa, gadis itu selalu ramah dan tersenyum. Tapi ada kesan lain yang selalu orang-orang dapat meskipun gadis itu ramah~ada unsur dingin yang menyelubungi keramahan itu hingga akhirnya orang-orang memilih menjauh memberikan apa yang diinginkan gadis itu~sedikit privasi.

Toko buku ini redup, tidak sesuai untuk membaca. Zakuro, gadis itu ingin sekali menyuruh manajer toko ini untuk merubah konsepnya yang suram, tapi Zakuro urung karena ternyata dia juga telah tertawan oleh suasana itu sendiri. Bukan tanpa alasan Zakuro pergi ke tempat suram dan tidak terkenal itu sendirian, tempat yang mengingatkannya tentang rasa sakit ditolak.

Ya, padahal sudah tahu kalau selalu datang ke situ hanya membangkitkan kenangan lama, tapi toh lebih nyaman begitu. Zakuro tidak mau menyerah pada waktu yang selalu membawa semuanya menghilang. Gadis bersurai ungu lurus itu memilih menikmati tiap kenangan tentang seorang pria bersurai blonde tampan.

"Zakuro-chan?" panggil seorang pria bertubuh kurus; pemilik toko buku suram itu.

"Ada apa Keichiro?" jawab si gadis dingin.

"Bisa tidak kau cepat bayar? Petugas kasir baruku bisa terus salah melakukan tugasnya jika kau ada di sini," kata lelaki ramah itu sambil tersenyum mengancam.

"Ada baiknya kusapa dia, hm … sebentar lagi Keiichiro ..." Zakuro malah menggodanya.

"Haah, sudah kuduga … hei kau, berhenti memandanginya dan lakukan tugasmu dengan benar, dan … ah, ya ampun kenapa kau menjatuhkan buku-buku itu sih!" Keichiro, pemuda berambut panjang itu harus berulang kali mengomando anak buahnya supaya bekerja efisien, tapi jika ada Zakuro~semua disiplin itu mudah hancur.

"Zakuro, dia sebentar lagi pulang …," Keichiro membuka obrolan. Dia tahu topik itu sensitif bagi Zakuro, tapi dia juga ingin tahu reaksi gadis itu~yang sayangnya memilih menghindar. Zakuro bergegas membayar dan membawa buku baru itu keluar sebelum mood-nya rusak. Dia memang sudah keluar dari toko itu, tapi pikirannya terpaut oleh perbincangan dengan Keiichiro. Ya, orang itu akan kembali. Orang yang meremukkan hatinya menjadi kepingan hingga dia harus mengumpulkan tiap kepingan yang terserak satu-persatu agar dapat kuat.

Kau akan pulang … apa peduliku?

.

.

"Kenapa tidak menemuinya langsung?" pemuda bersurai hitam panjang itu bersedekap mengkonfrontasi temannya. Orang yang dikonfrontasi malah terlihat sangat santai sambil menggerakkan tangannya taik turun seolah hal itu bukan apa-apa.

"Haaah, Keicchi tahu kan aku sedikit takut padanya-ssu … sepertinya dia masih marah padaku soal kejadian itu."

Sembari mengelap buku Keiichiro tetap memasang senyum. Senyuman sinis pada Ryota. "Orang bodoh sepertimu ada banyak ya di dunia? Gadis itu menyatakan dia suka padamu setelah menerima perlakuan 'spesial' darimu lalu kau mengatakan hanya menganggapnya adik?! Pikir saja sendiri."

Ryota memasang tampang memelas. "Kenapa kau jadi marah padaku keiicchi? Bukan salahku jika sifat baikku disalahartikan," Kise membela diri.

"Saranku, kau menemuinya lalu meminta maaf. Tidak menjadi pacar bukan berarti perlu jadi musuh kan?" Ada binar di mata emas sang pemuda, seolah ide itu tak pernah terlintas di otaknya yang hanya memikirkan basket dan karir.

"Ya, mungkin saja kau benar-ssu. Apa dia akan suka setangkai mawar?" Kise menjentikkan jarinya.

"Dan memberikannya harapan kosong lagi? Seharusnya kau mati saja di sana." Keichiro melempar kemoceng pada Kise yang dengan refleks ditangkap pria dengan anting-anting itu.

"Jahat-ssu."

.

.

Lelaki itu akan pulang. Gadis dengan choker di lehernya kini mengingat-ingat rupa orang yang dulu menggoresnya oleh penolakkan. Rambut blonde, mata sewarna citrine, ceria, terlalu ramah juga mungkin. Yah, Zakuro tidak terlalu ingat seperti apa wajahnya, tapi Zakuro sangat ingat rasanya ditolak. Dia perlu berbulan-bulan untuk melupakan orang itu~bahkan belum sepenuhnya bisa. Kise terlalu baik, bahkan dirinya bisa terperosok dan mengabaikan harga diri hingga mengungkapkan suka. Dia benci mengingat-ingat hal itu. ada rasa pahit dan mual di tenggororkannya saat mengingatnya.

Sore itu terasa sepi dengan angin berhembus menerpa sela-sela kaki jenjangnya di lapangan basket pinggiran. Lagi-lagi kesukaan orang itu, Zakuro hanya mengikuti naluri dan disinilah dia~di pinggir lapangan basket yang kosong seperti hatinya. Zakuro membuka buku pertama, mulai asik dengan dunia dimana naga hidup dan peri nyata. Tanpa dia sadari perlahan lapangan sepi itu didatangi dua orang lelaki. Ah, mungkin pasangan dengan orientasi seksual pecinta sesama jenis. Seorang laki-laki bertubuh tinggi, bermahkota hijau dan atletis yang dirangkul pemuda bersurai hitam dengan mata tajam yang walaupun tangannya tidak sampai tetap memaksa merangkulnya.

Orang yang dirangkul memandang Zakuro tajam, Zakuro hanya melihatnya sekilas~tahu bahwa abai kadang lebih berhasil menghadapi orang-orang seperti itu.

"Shin-chan! Oi! Kenapa kau selalu menang dalam janken sih?" ucap lelaki yang lebih pendek pada orang yang dipanggil Shin-chan sambil terengah-engah.

"Baka, tentu saja karena aku selalu membawa lucky itemku, nanodayo!"

Dua orang homo aneh. Zakuro mendengarkan tetapi matanya menatap kertas~sulit berkonsentrasi saat keheningan rusak.

"Kau menyuruhku mengantarmu ke sini untuk main one-on-one Shin-chan?"

"Aku diminta seseorang datang, baka."

"Kau tidak perlu memanggilku baka. Dasar tsunderima."

Percakapan mereka membuat Zakuro sedikit terganggu karena tidak dapat menikmati acara membacanya. Dia mendelik kesal ke arah dua homo menyebalkan itu.

"Midorimacchi!"

Zakuro membeku. Lehernya kaku untuk tak bisa menoleh. Dia sangat mengenal suara itu! juga sisipan cchi yang ditambahkan bagi orang yang diakuinya. Kise Ryota telah kembali dan sekarang dia ada di sini! Angin berhembus kencang membawa kenangan lalu. Angin itu membuat surai ungu panjang Zakuro menari di udara. Saat itu, waktu terasa berhenti sejenak. Dia menunduk dalam-dalam, tanpa berniat melakukan kontak apapun Zakuro segera menyeret kaki yang sempat membeku keluar dari arena. Dadanya berdegup keras sekali, dia menggigit bibir kuat-kuat hingga bisa merasakan darah telah menggenangi mulutnya.

"Ahahaha, Zakucchi, santai saja, aku tidak semenakutkan itu. Tanganmu harus lebih rileks, seperti ini."

Dengan mata madu yang hangat Kise membimbing Zakuro sabar dalam pemotretan. Saat itu Zakuro masihlah junior dalam dunia model. Tentu saja dia sedikit gugup harus berfoto sebagai pasangan dengan Kise Ryota yang sangat digandrungi kaum wanita.

"Arigatou, Senpai."

"Ahaha, itu bukan masalah, sebenarnya kau manis juga kalau tersenyum. Nah, sekarang berpura-puralah kita memang pasangan."

"Ya! Cut! Kalian sempurna."

"Zakucchi, gomen, tadi kubilang kau manis jika tersenyum. Maksudku, bukan berarti kau tidak manis saat tidak senyum, tapi kau sangat cantik bahkan saat diam."

Awal pertemuan. Zakuro ingin tertawa, betapa mudah dia tertawan oleh Kise waktu itu. Tentu saja, dia masih anak lima belas saat ditawari menjadi model. Zakuro terhenti merasa ada tangan seseorang menahannya dari belakang.

"Lepaskan," perintahnya tanpa menoleh.

"Zakucchi?" tangannya terasa lebih besar dari seharusnya.

Zakuro berhenti melawan, dia menegakkan tubuh lalu berbalik. Tanpa memandang siapa yang tengah memegang tangannya, Zakuro Fujiwara menekuk lutut lalu menghantam perut seseorang. Seseorang yang ternyata bukan Kise Ryota! Seorang pemuda tinggi berkacamata dengan rambutnya yang hijau bagaikan padang rumput~lelaki yang tedah hadir lebih dulu bersama temannya.

"Akh!" pekik lelaki itu memegangi perut.

"Ya ampun … kau menghajar Shin-chan, lumayan kuat juga untuk ukuran seorang gadis," teman laki-laki orang itu berkomentar~yang tidak terlalu membantu lalu dia Lelaki memegang perutnya karena geli.

"Bakao!" Midorima melepas tangannya dari lengan Zakuro menjatuhkan diri. Zakuro tergagap, dia menghajar orang yang salah!

"Go-gomenasai!"

Semua berjalan begitu cepat, Zakuro berlari meninggalkan mereka dengan rasa bersalah. Rasa yang tidak pernah ada sebelumnya. Betapa bodohnya aku! pikir gadis dengan tinggi 172 cm itu. Dia menekuk lutut terengah-engah, sudah terlalu jauh untuk berbalik. Sial! Dompetnya tertinggal bersama buku-buku itu! Dia merogoh ponsel di saku celana pendek dan menghubungi kediamannya.

"Jemput aku sekarang, di minimarket dekat stasiun Fujioka," titah sang nona muda.

Iris biru sewarna lautan itu berkaca-kaca. Dia benci mengakui dia harus meminta maaf pada orang yang dipanggil Shin-chan oleh temannya, dan tidak dipungkiri itu hal memalukan ditambah dia menjatuhkan semua bukunya saat tangannya dicengkram orang itu. buku-buku yang baru dia beli … juga dompetnya. Sepertinya dia harus merelakan hal itu. Tapi, semua hal itu tidak terlalu buruk jika tidak ditambah adanya Kise Ryota.

Menunjukkan kebodohan di hadapan orang yang ingin dibuatnya menyesal merupakan kebodohan kuadrat. Alhasil Zakuro merasa dirinya sangat menyedihkan. Menyedihkan karena dia masih berharap Kise menyesal, juga menyedihkan ternyata bukan Kise yang memegang lengannya tadi.

.

.

Zakuro masih tidak bisa berkonsentrasi meski perpustakaan pribadinya sehening biasa. Dia melakukan kesalahan dan dia harusnya segera meminta maaf. Tapi dia tidak tahu kemana harus mencari orang yang bernama Shin-chan itu. Dilihat dari hubungannya dengan Kise, sepertinya mereka teman. Dan itu berarti Midorimaccchi Shin-chan … (Zakuro merasa konyol menyebut namanya sok akrab begitu) sudah kuliah sama seperti Kise.

Model ramping itu menutup bukunya. Dia berjalan keluar perpustakaan dengan niat menghubungi seseorang. Tentu saja itu tidak mungkin Kise, karena harga dirinya terlalu tinggi untuk melakukan hal rendah begitu.

"Keiichiro?"

"Ada apa Zakuro-chan?

"Apa kau tahu teman orang itu yang bernama Midorima Shin-chan? Ah … siapa namanya ya? Yang berambut hijau dan berkacamata?"

Keiichiro terkikik, "Orang itu?"

"Ya, yang baru kembali dari Amerika itu."

Zakuro yakin sekali mendengar Keiichiro menahan tawa, "Ryota?"

"Jangan mempersulit Keii, aku cuma ingin tahu siapa nama orang berambut hijau, berkacamata, dan jari diperban, sebaiknya jawab jika tidak ingin tokomu kehilangan pelanggan."

"Wah … wah, nona muda memang pandai mengancam, ~namanya Midorima Shintaro, memang kenapa?"

"Midorima ya? kau tahu aku bisa menemuinya dimana?" Zakuro tidak terdengar senang. Dia mengabaikan pertanyaan Keichiro.

"Yah … kalau Midorima sih sekarang dia pasti ada di Todai, dia tahun kedua kedokteran."

Astaga, ternyata jauh sekali dari sini! dalam hati, Zakuro mengutuk kembali tingkahnya yang merepotkan.

"Terimakasih, Keii."

"Habis itu kau harus berbelanja di sini."

.

.

Zakuro bergegas, dia tidak mungkin menggunakan transportasi umum, wajahnya bagi beberapa orang yang suka mambaca majalah dan menonton acara pencarian model pasti mudah mengenalinya dan akhirnya malah menghambat gerak. Sepanjang perjalanan dia bingung harus berkata apa pada oang itu. Midorima Shintaro, Keiichiro telah memberitahu nama orang yang dia hajar kemarin.

"Nona, kita sudah sampai …" Zakuro mengangguk. Zakuro menolakk dikawal dan menyuruh mereka parker sejauh mungkin darinya.

Sebenarnya Zakuro sendiri tanpa pengawal sudah sangat mencolok. Setiap mata yang menatapnya tidak berpaling karena kaki-kaki jenjang itu, juga sorot matanya yang indah dan percaya diri. Pengawal hanya akan menimbulkan kesan berlebihan baginya. Zakuro menunggu orang itu di halaman megah Todai sambil memandangi pohon momiji yang menguning, cukup sepi karena hampir semua orang sedang belajar sekarang dan Zakuro bisa duduk nyaman tanpa memakai kacamata hitam atau topi. Saat orang yang ditunggu datang, Zakuro mengerutkan dahi. Dia membawa … gunting? Wajah lelaki itu tampak kesal, tidak, sebenarnya wajah itu memang tidak pernah terlihat ramah.

"Kenapa kau kemari? Kau belum puas menghajarku?" Zakuro berdiri, kemudian membungkuk lama sekali.

"Summimasen, Midorima-san. aku … aku mengenai orang yang salah."

"Tidak baik seorang wanita berkelakuan seperti itu-nanodayo."

Zakuro merasa familiar, Kise hobi menambahkan ssu, sedangkan orang ini menambahkan nanodayo di akhir kalimatnya. Sekali lagi Zakuro tidak menyukai kesamaan yang ada pada mereka.

"Sebagai permintaan maaf, ini … aku buat sendiri."

Sebuah kotak bekal makan siang dan sebungkus kue manis. Midorima terlihat malas menerimanya. Terlebih penampilan lady look-like gadis itu membuatnya tidak percaya dia sendiri yang membuat bentou itu.

"Nama?"

"Eh, apa kau bilang?"

"Siapa namamu?"

Zakuro tidak percaya ada yang tidak mengenali wajahnya sebagai seorang model yang sedang jadi idola para remaja. Sebenarnya Midorima ini punya televisi tidak sih? Tapi yah … itu bagus. Karena sebagian orang akan bersikap penuh kepura-puraan jika mengetahu dirinya lebih awal.

"Zakuro, Fujiwara Zakuro."

"Maaf saja jika kau mau meminta buku-bukumu, semua sudah kubuang … karena aku tidak peduli."

"Hmff … (tersenyum menahan tawa) aku tidak bilang apa-apa soal itu. Aku hanya merasa bersalah dan perlu meminta maaf. Jadi, apa maafku diterima?"

"Yah … karena kau sudah datang jauh-jauh, tapi bukan berarti aku peduli. Ya, aku menerima maafmu."

Zakuro ingin tertawa mendengarnya tapi dia hanya tersenyum karena akan jadi tidak sopan, orang ini aneh!

"Apa bintangmu?" tanya Midorima sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Excuse me?" gadis tujuh belas tahun itu merasa salah dengar.

"Zodiakmu apa?" Midorima menaikkan kacamata yang tidak melorot, dia menatap Zakuro dalam balutan sweater putih dan rok mini.

"Ah, aku virgo. Kurasa aku mengganggumu, aku sudah selesai di sini. Kuharap tidak ada lagi yang tertinggal. Jaa, Midorima-san."

"Kotak bento ini?" Midorima memerah menatap senyuman indah si gadis ungu dengan rok mini.

"Kau bisa ambil jika mau, atau kau buang juga tak masalah."

Midorima kembali menekuri kontur kaki Zakuro. Kaki sehalus itu ternyata bisa menghasilkan rasa sakit yang parah juga ternyata. Zakuro tidak tahu sehari setelah perutnya dihajar dia jadi tidak berselera makan.

"Bukannya aku peduli, tapi kau ke sini naik apa? Dan kenapa anak sekolah sepertimu bisa keluar di jam pelajaran?" tidak lupa nanodayo dan menaikkan kacamata yang tak melorot.

"Hmftt, (Zakuro mengulum senyum) kau sudah bilang tidak peduli, tapi bertanya terus. Kau benar-benar seperti kata ehm … teman dekatmu? (Zakuro berhenti sebelum dia sempat menyebut 'pasanganmu') Jaa …"

.

.

Midorima berlalu ke kelas. Menatap bento dan kue yang dia dapat dari Fujiwara. Takao yang melihatnya segera menghampiri.

"Shin-chan! Sepertinya Oha Asa memang benar ya?" Shintaro mengangkat kacamata lalu dengan arogan seperti biasa dia berkata "Bakao! Tentu saja itu selalu benar. karena hari ini aku membawa lucky item-ku."

"Tidak ada boneka?"

"Hari ini gunting berwarna hijau."

.

.

.

tbc