Naruto Masashi Kishimoto

Happy Reading

Twin's Sister Present

" Kembalikan Tawa Hinata "

Prolog

Hinata, wanita itu hanya duduk termenung melihat keluar jendela kaca di kamarnya. Hujan sedang mengguyur seluruh kota tempat ia tinggal, memberikan kesejukan tersendiri. Tapi tidak dengan hati Hinata, ia tidak perlu sesuatu untuk menyejukan hatinya karena hatinya telah membeku.

Pandangannya menerawang jauh membelah tirai hujan di luar sana. Seolah mencari kepingan masa lalunya lewat tetesan hujan. Ya dari tetesan-tetesan itu ia mampu mengingatnya.

"Ayah, Hinata mau naik kincir-kincir itu." Hinata kecil menarik tangan ayahnya menuju wahana bianglala di sebuah karnaval dekat rumahnya. Raut wajah gadih berumur 5 tahun itu tampak bergembira, pipi bulatnya tertarik keatas tak kala ia tersenyum lebar memperlihatkan gigi ompongnya.

"Memang Hinata tidak takut itu kan tinggi ?" tanya wanita yang berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Hinata kecil.

"Tidak. Hinata tidak takut. Hinata kan pemberani." Jawabnya girang sambil menepuk dadanya sendiri.

"Hahahahah..." Terdengar gelak tawa di sana.

"Baiklah tapi sama Kak Neji ya." Sang ayah memberikan izin Hinata kecil naik bianglala bersama kakak laki-lakinya.

"Yeeee..." teriaknya girang.

"Jaga adikmu Neji." Kata ayah pada Neji.

"Siap yah." Neji memberi hormat layaknya prajurit pada kaptennya.

"Ayah sama ibu tunggu di bawah ya, hati-hati." Ucap ibu sambil melambaikan tangannya saat bianglala mulai berputar.

Hinata tersenyum kecil. Mengingat kejadian itu, betapa bahagiannya hidupnya saat itu-

Senyum Hinata kecil tak pernah luntur dari wajah imutnya tak kala ia melihat karnaval dari atas bianglala. Banyak lampu-lampu berwarna-warni dari atas bianglala ia bisa melihat semua yang ada di karnaval itu. Wahana ini, wahana itu ia tak berhenti berceloteh sambil menunjuk wahana yang ada, ia ingin menaiki semuanya. Pikirnya.

Tiga kali putaran, kurungan yang Hinata kecil naiki tepat berada di puncak, bianglala berhenti menurunkan penumpang yang habis waktunya dan di ganti dengan penumpang yang lain.

"Kak Neji, kenapa berhenti.?" Tanya Hinata kecil. Wajah polosnya ketara sekali bahwa ia sedang takut. Melihat itu Neji berniat mengerjai adiknya. Remaja umur 12 tahun itu menggoyang-goyangkan kurungan yang ia naiki bersama adiknya.

"Huaaa...Kak Neji... jangan di goyang-goyang." Teriak Hinata kecil ketakutan.

" Hahahahaha katanya pemberani." Kata Neji mengejek.

Hinata kembali tersenyum kali ini lebih lebar sampai memperlihatkan giginya. Matanya ikut menyipit namun tatapannya tetap tajam melihat rinai hujan yang semakin deras di luar sana. Masih ada jutaan tetes hujan yang menyimpan semua kenangan Hinata. Kali ini Hinata memilih tetesan hujan yang semakin besar yang diturunkan dari langit. Tetesannya semakin besar jatuhnya pun semakin cepat, memberikan riak yang semakin besar pada genangan di halaman rumahnya. Ia kembali teringat masa itu, masa yang tidak akan pernah ia lupakan meski ia menginginkannya.

"Apa yang kau lakukan ?" teriak sang ayah pada ibunya.

"Aku mau pergi dari sini. Aku mau pulang." jawab ibu tak kalah kencang dengan teriakan ayah. Ibunya masih sibuk memasukan pakaian dalam koper, tidak mempedulikan teriakan-teriakan ayah. Bahkan dia juga tidak menghiraukan tangisan Hinata kecil yang baru berusia 6 tahun itu.

Prakk...prakk

Brukkk...

Bunyi benda-benda menghantam lantai. Di sudut kamar Hinata meringkuk menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya menutup telinganya berharap tidak ada suara yang masuk indra pendengarannya. Wajahnya sudah basah dengan air mata tubuhnya menggigil ketakutan.

"Hiks..hiks ibu kita mau kemana ?" dengan isakan Hinata kecil bertanya pada ibunya yang menarik tangannya.

"Hinata ikut ibu ya." Hanya itu yang di ucapkan ibunya. Air matanya terus mengalir bagai anak sungai.

" Jangan bawa anak ku." Teriak ayahnya dari ruang tengah. Tak dihiraukan ibunya semakin mempercepat langkahnya keluar dari rumah itu dengan Hinata kecil yang ia gandeng.

Hinata tidak tau apa yang terjadi pada kedua orang tuannya, Hinata tidak pernah tau sampai sekarang pun ia tetap tidak tau. Hinata kecil terus betanya kemana ia akan pergi bersama ibunya. Mengapa ia harus pergi. Bagaimana kalau kak Neji mencarinya sepulang sekolah. Bagaimana dengan ayahnya. Kemana, kemana ia akan pergi.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul namun tak ada jawaban dari ibunya. Hinata melihat ibunya masih menangis sesekali ibunya menghapus air matanya namun tetap saja air mata itu mengalir lagi dari mata sembabnya. Hinata kecil memang tidak tau apa-apa tapi yang pasti ia tidak mau semua ini terjadi. Ia tidak mau.

"Hemppt..." Hinata kecil dibekap dari belakang dan di paksa menjauh dari ibunya. Ayahnya menggendong Hinata kecil dan menjauh dari ibunya. Ibunya tidak berusaha merbutnya, ia tetap melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Kini ia berjalan seorang diri dengan air mata yang semakin deras keluar dari mata sayunya.

"Aaaaaa ibu...ibu...ibu jangan pergi." teriak Hinata kecil dari gendongan ayahnya, berharap ibunya berhenti dan kembali membawanya.

"Hiks ayah turunkan Hinata. Hinata ingin ikut ibu hiks hiks." Tangisnya pilu.

Sang ayah membawa Hinata kecil kembali ke rumah. Hinata masih menagis, tangisannya semakin menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Hinata terus memanggil ibunya dalam tangisannya.

"Hiks hiks ibu..ibu hiks ibu hiks ibu ibu..." tangisannya semakin pilu.

Saat ia sampai di rumah Neji sudah ada di sana. Tatapannya tajam penuh dengan kebencian melihat ayahnya hanya membawa Hinata kecil kembali tanpa ibunya.

"Hiks...kak Neji. Ibu... ibu bawa pulang ibu Kak." Pintanya pada sang kakak. Sang kakak langsung pergi mengejar ibunya. Hinata hanya bisa berharap kakaknya bisa membawa kembali ibunya dalam pelukannya. Ya pelukan, Hinata amat sangat membutuhkannya saat itu. Jiwanya begitu rapuh, ia amat terpukul di usianya yang masih belia harus menghadapi pemandangan seperti ini.

Hinata tidak tau apa yang terjadi dulu sampai sekarang pun ia tidak tau. Tapi dia bisa bernafas lega karna saat itu kakaknya berhasil membawa ibunya kembali. Entah apa yang membuat kakaknya mampu membujuk ibunya untuk kembali, Hinata tidak mempedulikannya yang penting ibunya kembali. Kembali memberikan pelukan hangat pada tubuh kecil Hinata yang menggigil.

Hinata tersenyum kecut. Matanya masih menatap hujan dari balik jendela. Kenangan itu membuat hatinya serasa diremas kuat menyebabkan nyeri yang begitu hebat di dadanya. Karna ia tau setelah kejadian itu semuanya berubah. Hinata kecil tak lagi menunjukan senyumannya. Kehidupanna telah berubah. Ayahnya pergi dengan alasan bekerja di luar kota. Ayahnya hampir tidak pernah pulang, tapi Hinata tidak mengharapkannya karena ia tau saat ayahnya pulang pasti akan ada pertengkaran. Dan Hinata benci itu.

Hinata sudah kehilangan sosok ayahnya dulu. Ayah yang selalu melindunginya, menjaganya, menyayanginya sudah tidak ada lagi. Ayah yang sangat ia banggakan sudah hilang, hilang bersama kenangan. Hidupnya kini hanya ada kakak dan ibunya. Yang entah kenapa pula sosok kakaknya pun telah berubah. Dia bukan kakaknya yang dulu.

Hinata kembali mengingat masa lalunya lewat tetesan hujan. Masa di mana ia kehilangan sosok kakaknya.

"Dasar adik sialan, masuk sana aku tidak mau teman-temanku melihatmu." Kata-kata kasar, menghina bahkan pukulan sekarang menjadi hal biasa buat Hinata. Ia tidak pernah melawan tapi hatinya menyimpan kebencian.

"Minggir, kau merusak pandanganku." Neji dengan tega mendorong tubuh Hinata hingga terjatuh.

"Neji..." teriak ibunya saat melihat apa yang di lakukan Neji pada Hinata.

"Kenapa denganmu ? Dia adikmu ?" Lanjutnya sambil memeluk Hinata yang masih terduduk di lantai.

"Persetan dengan adik. Persetan dengan keluarga." Teriak Neji sambil berlalu pergi.

"Hinata...Hinata yang sabar ya nak." Kata ibunya sambil membelai rambut Hinata.

Hinata tak bersuara, dia hanya diam bahkan dia tidak menangis meski tubuhnya merasakan sakit akibat hantaman keras saat ia terjatuh tadi. Dia hanya diam tapi matanya memancarkan kebencian. Tak ada lagi cahaya di sana, hanya gelap. Hinata tau kenapa sosok kakaknya berubah seperti itu, dia amat tau. Tapi apa semua ini salah Hinata ? Apa pertengkaran orang tuanya itu salahnya ?Apa kepergian ayahnya juga salahnya ? Bukan. Ini bukan salah Hinata. Hinata juga tidak menginginkan semua ini terjadi. Lalu kenapa Neji amat membencinya ? Entahlah. Hinata pun tidak tau jawabannya.

Raut wajah Hianta berubah, kini ia tidak menangis lagi. Tatapannya tajam seolah bisa membunuh siapa saja yang melihatnya. Mengingat kenangan itu kebenciannya muncul kembali hingga tak sadar ia mengepalkan tangannya erat. Pertanyaan mengapa kakaknya membencinya tak pernah ia dapatkan jawabannya. Masih melihat hujan di luar sana yang masih belum menunjukan akan reda, Hinata kembali mencari kepingan-kepingan yang lain.

"Lihat gadis itu apa kau berani mendekatinya ?"

"Yang benar saja."

"Hahahha kau bayar pun aku tidak sudi berteman dengannya."

"Benar, lihat saja matanya penuh dengan intimidasi."

"Hahahah dasar gadis aneh."

Hinata hanya duduk di kursi barisan paling belakang tepat di samping jendela. Pandangannya tertuju pada barisan pohon yang ada di taman belakang sekolahnya. Dia mendengar semua bisik-bisik itu tapi ia memilih untuk diam meski ia tau semua bisik-bisik itu tertuju untuknya.

Manusia Es, gadis aneh, menakutkan, dan masih banyak lagi julukan untuknya tapi Hinata tetap tidak peduli. Ia memang memilih seperti ini. Menjauh dari semuanya, memilih menyendiri dan ia tidak butuh siapa-siapa. Pikirnya. Karna Hinata tidak mau percaya dan berharap pada orang lain lagi. Hinata pernah berharap dan percaya pada ayah dan kakaknya tapi harapan dan kepercayaannya telah hancur tak bersisa. Kini tinggal Hinata sendiri, ia sendiri di dunia ini.

Hinata kembali mematung, tatapannya menjadi kosong. Hinata berfikir bahwa selama ini ia tidak bisa menikmati masa remajanya dulu. Tapi tidak juga, ia pernah sangat-sangat bahagia. Rasanya Hinata ingin tertawa mengingat itu. Sampai sebuah teriakan membangunkan lamunannya. Hujan juga sudah reda entah sejak kapan.

"Mama..." suara dengan nada sedikit cempreng memanggilnya.

To be continue