Cheese in the Trap belongs to Soonkki. Cover art belongs to me. I used The Corrs' Summer Sunshine lyrics for the title. I take nothing except pleasure (and huge fangirling feelings) from making this fic.
Note: JungSeol (absolutely), headcanon, drabble, set after last chapter. Saya putuskan Seol memanggil 'Jung' alih-alih 'Sunbae', supaya lebih nyambung dengan translasi webtoon Indonesia. Terima kasih dan selamat membaca.
Borrowed Heaven
Akhir pekan.
Setelah menjelajahi pameran bisnis, perpustakaan, dan jalan-jalan, Seol mengajak Jung mampir untuk makan siang di restoran seperti biasa. Pelayan dengan senyum ramah baru saja meletakkan pesanan ke meja, saat tiba-tiba Seol mengangkat wajahnya dari buku menu dan berkata dengan takzim,
"Jung, bagaimana kalau kita putus?"
Pilihan waktu yang buruk. Sebab Jung hampir memuntahkan air minumnya lagi. Hampir. Dan dia terbatuk sebagai efek sampingnya.
"A-apa? S-Seol? Kenapa?" Jung mengerutkan alis, tampak betul-betul kecewa.
Seol menjulurkan badan ke depan untuk menjangkau punggung Jung, menepuk-nepuk pelan. Wajahnya adalah campuran antara senyum tertahan, dan rasa kasihan. "Maaf. Anu, aku hanya berpikir apa kira-kira reaksimu kalau misal seseorang minta putus. Mm … bagaimana perasaanmu?"
"Setelah kau membuatku kehilangan nafsu makan?" lelaki itu menatap Seol serius. "Aku bahkan tidak bisa berpikir apa-apa sekarang."
Seol meringis, "Maaf. Aku cuma penasaran."
Jung menghela napas. Syok masih membuatnya lamban. Tapi dia berhasil menemukan suara. "Jadi kau tidak sungguh-sungguh ingin putus, hm?"
Seol menggeleng. "Sampai sekarang aku belum dapat alasan untuk itu."
"Kau sedang mencari alasan untuk putus?!"
Seol terbahak kali ini. "Tidak, tidak! Duh, bukan begitu, Jung. Maksudku, buat apa? Toh kita selalu berhasil melewatinya hingga sekarang."
Mereka bertatapan beberapa saat. Jung masih mengerutkan dahi dan menghembuskan napas keras. Cemberut. "Kau yakin? Karena, sebenarnya, aku memang ingin putus, Seol."
"Apa?!"
Gadis berambut coklat kemerahan itu menganga lebar, lalu kaget setengah mati. Pertama karena omongan Jung, kedua karena sekarang lelaki itu yang tertawa-tawa.
"Lihat!" Jung menunjuknya sambil menyeringai, "Kau yang sekarang tertipu."
Seol menyilangkan tangannya di depan dada, berkata sebal, "Serius, dong."
"Kau yang mulai."
"Uh, dasar pendendam."
Jung mencubit pipi Seol. "Kesal, ya? Aku juga penasaran bagaimana reaksimu kalau aku berkata putus."
"Tidak terlalu berpengaruh, kok." Seol menyendokkan makanan ke mulutnya dengan kasar. "Aku sudah mempersiapkan hati kalau-kalau kau ingin berpisah."
"Lho, kenapa?"
"Soalnya, Jung, lihat aku," Seol merentangkan kedua tangannya. "Aku tidak cukup baik untukmu. Aku tidak cantik. Aku juga tidak punya segalanya. Apa yang kau bisa banggakan dariku?"
Jung mendenguskan tawa kecil. Seol selalu membuatnya hidup. "Kau cantik. Kau pintar. Kau memang tidak punya segalanya, tapi segala yang kau punya adalah yang aku butuhkan." Dan apa yang mau aku banggakan kalau kau memang sudah melakukannya sendiri?
Seol menatap Jung, mengesampingkan fakta bahwa berapa kali pun mencoba, Seol tidak akan pernah berhasil menyingkirkan orang ini dari kepalanya, dari hatinya. Sebut dia naif, bodoh, klise, apalah—tapi Seol tidak pernah merasakan hal ini selain untuk Jung.
Dan dia bersyukur untuk itu.
"Terima kasih."
"He-eh, tidak perlu," Jung menggeleng pelan. Tersenyum manis. "Jadi, kau tidak terkejut kalau aku meminta putus?"
Seol menyeruput jusnya. "Yep. Betul."
"Hm. Dan kau ingin aku serius, 'kan?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu ... Seol, ayo kita menikah."
Seol menyemburkan jusnya ke meja makan.
