"Jangan kau lepas."
Suara bisikan dari seorang anak perempuan membuyarkan pemikiranku. Dalam sekali tengok, aku dapat menemukannya. Gadis bersurai hitam kelam dengan mata berwarna magenta. Menatapku dengan segenap keseriusan dalam dirinya.
Sekali lagi, bibir mungil itu bergerak menyuarakan pikirannya.
"Akashi-kun. Ingat ya, kau tidak boleh melepasnya—
Sebuah senyum tergambar di wajahnya.
—Karena kau tidak sendirian."
Disclaimer : All carakter in Kuroko no Basuke is belong to Tadatoshi Fujimaki. But this story and the OC is mine. Cover story have it's own creator
Note : 20th December it's Akashi birthday. You can assume that the OC is you, or just leave it like that. Maybe can become spoiler for manga. Beware of typo and the other error. Pardon my english.
… past tense
… present tense
… inner
"…" other self inner
MAGENTA
by Aoiyuki-Bluesnow
Lagi-lagi gadis itu duduk menopang dagu menatap setiap pergerakanku saat mendribel bola. Ini kali ketiga aku mendapatinya mengamatiku. Sepertinya keluarganya memang punya urusan bisnis dengan keluargaku.
"Apa kau ingin bermain bersamaku?"
Akhirnya aku memutuskan untuk memulai komunikasi padanya terlebih dahulu.
Mendengar ucapanku gadis itu membelalakan matanya, lalu berujar, "Apa boleh?"
Aku mengangkat alis mempertanyakan pertanyaannya. "Bukankah aku sudah mengajakmu?"
Sebagai balasan, gadis itu meloncat berdiri dari posisi jongkok lalu tersenyum lebar. Dengan sedikit berlari kecil gadis itu menghampiriku. Senyum tadi masih terpasang di wajahnya saat akhirnya dia sampai di hadapanku.
"Apa kau kemari karena orang tuamu ada urusan dengan ayahku?"
Tak disangka jawaban cepat keluar dari mulutnya, "Ya. Ayah bilang Akashi-san adalah orang yang berjasa untuk usaha keramiknya. Aku tak tahu, apa maksudnya itu Akashi-san menyukai cangkir-cangkir buatan ayahku ya?" Bahkan dia juga bertanya hal yang aku sendiri tak tahu jawabannya.
"Entahlah. Ngomong-ngomong, namaku Akashi Seijuuro.", kataku sambil mengulurkan tangan kananku yang bebas dari bola basket.
Gadis itu kembali tersenyum saat menyambut uluran tanganku dan mengucapkan namanya. Dan aku baru menyadari warna matanya yang sedikit berbeda. Magenta.
|MAGENTA|
Suara decak kagum dan juga geraman kesal dari arah penonton masih dapat terdengar hingga tengah lapangan. Seluruh pemain dari kedua sekolah, mulai meninggalkan panggung penentu nasib mereka dalam pertandingan bernama Winter Cup.
"Aku kalah. Tapi lain kali aku akan… Shutoku akan menang."
Aku menatap tangan yang disodorkan padaku, lalu pada mata penuh tekad yang terarah padaku. Untuk apa dia melakukan ini? Perbuatan yang sia-sia.
"Ijinkan aku untuk membalas rasa terima kasihku, Shintarou. Sudah cukup lama sejak aku bermain game yang cukup mendebarkan. Tetapi, maaf. Aku tidak dapat menerima jabatan tangan darimu. Jika kau menginginkan kemenangan, jangan terlalu iba pada lawanmu.—
Aku memandang datar tetapi dengan keseriusan yang dapat dirasakan oleh lawan bicaraku.
—Kemenangan adalah segalanya. Aku ingin menjadi musuhmu."
Tatapan mata itu sedikit berubah. Masih penuh tekad tetapi ada rasa tak suka dan menyelidik dalam tatapannya kali ini. Apa sekarang kau mengerti Shintarou? Sebagai pemenang, bersikaplah seperti seorang pemenang.
"Begitu, kau belum berubah Akashi… dari waktu itu.", ada jeda sejenak ketika hanya sepasang mata yang saling bicara. "Tapi tetap. Kami akan menang di kesempatan selanjutnya."
Sebuah pemikiran yang sempit. Kemenangan adalah mutlak. Dan tak akan semudah itu kuserahkan pada orang lain.
|MAGENTA|
"Akashi-kun, apa menyenangkannya bermain shogi seorang diri seperti itu?"
Sepasang mata bulat memperhatikan tiap gerakan tanganku memindahkan bidak. Meski nada suaranya terdengar tak tertarik, wajahnya menunjukan sesuatu yang bertolak belakang. Mata itu, terlihat sangat hidup dengan rasa penasaran memancar tiap detiknya. Wajahnya masih terlihat seperti topeng, kaku, tetapi tidak bisa menyembunyikan ketertarikan dibaliknya.
"Kau ingin menemaniku bermain?", aku bertanya bukan hanya untuk sekedar kesopanan. Tetapi sepertinya aku belum cukup memaksa untuk membuatnya mengikuti perkataanku.
"Ah, tidak usah. Aku sama sekali tidak bisa bermain shogi. Lagipula, aku tak mau bermain sesuatu yang sudah jelas akhirnya seperti ini."
Tanpa disadari olehnya, bibir itu sudah mengerucut dan maju beberapa centi. Terlalu mudah ditebak.
"Kalau begitu kau tak punya hak untuk menceramahiku.", bersamaan dengan selesainya kalimat yang kuucapkan, permainan berakhir.
"Tsumi. Selamat, kau memenangkan pertandingan ini Akashi-kun.", ucapnya tanpa sedikitpun rasa gembira dalam kalimatnya, "Dan, sayang sekali. Kau juga kalah di saat yang bersamaan."
Aku menatap penuh selidik pada gadis yang masih bertepuk tangan tanpa semangat di depanku.
Menyadari tatapanku, ada rasa terkejut yang sedikit ditampakan. Lalu cengiran canggung tampak di wajahnya. Kebiasaannya yang lain saat tertangkap basah melakukan hal yang dianggapnya memalukan di depanku.
Cengiran itu hilang bersamaan dengan tarikan lembut pada kedua pipiku.
"Seijuuro.", ucap pelaku penarikan pipi tadi.
Sebagai penerus keluarga Akashi, dengan fakta sebanyak itu saja dapat ditarik sebuah kesimpulan.
"Ibu, tolong hentikan."
Benar saja. Pelaku, atau harus kusebut—ibuku berhenti menarik kedua pipiku dengan gemas. Lalu melakukan serangan terakhirnya dengan mengacak-acak rambutku pelan. Setelah puas dengan sedikit aksi menjahiliku, akhirnya ibuku sadar dengan keberadaan orang lain di dekat kami.
"Ara, ternyata ada tamu yang manis sekali di sini. Pantas kau tidak menjawab panggilanku, Sei sayang."
Pipiku sedikit memanas saat mendengar panggilan dari ibu kandungku sendiri. Entah mengapa rasanya tetap saja sedikit memalukan mendengar panggilan dari ibumu diucapkan di depan orang lain. Meski sekarang, gadis ini bisa disebut temanku sendiri.
Aku mengalihkan perhatianku dari pelukan ibuku dan menemukan sebuah senyuman dengan tatapan campuran kagum, iri dan juga rasa ingin memiliki. Senyum dan warna itu, aku tak bisa melupakannya.
|MAGENTA|
[Bagaimana dengan pertandingannya?], suara datar dan tegas terdengar mengalun dari handphone yang sekarang menempel pada telinga kananku.
"Sampai saat ini masih sesuai perkiraan. Tidak ada yang istimewa, kemenangan sudah dapat dipastikan.", jawabku tak kalah datar.
[Bagus kalau begitu. Jangan mengecewakan nama Akashi, Sei. Kau mengerti tanggung jawabmu kan?], kembali terdengar suara seperti membaca sebuah pesan dalam sebuah memo. Seperti itulah dirinya.
"Ya. Sangat mengerti ayah."
[Kalau begitu lanjutkan apa yang kau lakukan. Dan datang ke kantorku begitu kau pulang lusa.]
"Baik. Sampai jumpa."
[Ya.]
Sambungan terputus. Aku menatap telepon genggam yang sekarang masih belum bergeming dari tangan kananku. Sungguh laporan harian yang membosankan. Lalu dengan sekali dorongan, aku sudah berdiri dari posisi dudukku tadi. Mengantongkan handphone ke dalam saku, dan bergerak menuju pintu kamar hotel yang terkunci rapat.
Begitu pintu terbuka, jeritan kejut dari orang yang kukenal terdengar.
"Oh ya ampun. Astaga, ternyata itu kau Sei-chan. Bikin kaget saja.", cerocos Mibuchi Reo sambil mengelus dadanya berkali-kali.
Aku tak menanggapi ocehannya, dan memilih memperhatikan sekeliling. Mataku berhasil menangkap sebotol kaleng bir yang berada dalam genggaman tangannya. Jadi karena itu dia bertingkah seperti maling yang tertangkap basah.
Menyadari arah tatapanku pemuda bersurai hitam itu tersenyum canggung. "Hanya sekaleng.", ucapnya dengan nada yang sedikit mirip perempuan.
"Aku hanya ingin mengingatkan, lawan kita besok tidak bisa dipandang sebelah mata.", ya, setelah melihat pertandingan Seirin Vs Kaijou seharusnya mereka sadar dengan kenyataan ini. "Dan sebenarnya itu urusanmu sendiri jika kau ingin minum atau tidak."
Senyum canggung di wajah Reo berubah menjadi senyum mengejek. Tindakan yang sungguh kurang ajar, sayang sekali pertandingan besok lebih penting dan dia termasuk dalam rencana.
"Tenang saja Sei-chan. Tidak ada yang lebih tahu tentang Junpei-chan dibandingkan diriku. Jadi, semua sudah beres kan?"
Melihatku yang tak membalas apapun, dia menepuk bahuku sebelum akhirnya pergi menjauh dengan senyum yang kali ini sepertinya bertujuan untuk menggodaku.
"Senpai."
Mendengar panggilanku, pemuda yang rambutnya termasuk panjang itu berbalik melihat ke arahku dengan tatapan bingung.
Dengan senyum yang kuharap terlihat meyakinkan kulanjutkan perkataanku, "Tolong jaga sikapmu lain kali."
Aku bisa merasakannya membeku di tempat saat pandangan menusuk dari mataku menghujam ke arahnya. Sepertinya sudah saatnya aku pergi meninggalkannya.
Rasanya aku haus sekali.
|MAGENTA|
"Akashi-kun itu orang sibuk ya?"
Aku menghentikan gerakan tanganku. Nada terputus begitu saja saat jemariku berhenti memainkan tuts piano.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?", tanyaku sambil mengubah posisi dudukku menjadi lebih santai.
"Habisnya, setiap kali aku kemari pasti ada saja yang sedang kau kerjakan. Entah itu kaligrafi, anggar, piano," saat dia menunjuk piano di hadapannya aku sedikit tersenyum, "bahkan terakhir kali aku ke sini aku tak bisa melihatmu karena sedang berkuda. Apa itu namanya bukan sibuk?"
Selesai mendengar keluhannya, aku kembali menghadap pada piano dengan posisi lebih tegak. Lalu kembali memainkannya sambil berkata, "Sebenarnya kurasa kau saja yang datangnya di saat yang tidak tepat. Jujur saja, sekarang ini kau sedang mengganggu les pianoku."
Seperti dapat mendengar obrolan kami, Yamada-san—guru lesku—memberikan tatapan tajam ke arah kami.
Menyadari tatapan tajam Yamada-san, gadis itu merapatkan duduknya padaku lalu mendekatkan wajanya padaku hingga pipi kami hampir bersentuhan dan berbisik sepelan mungkin, "Aku rasa gurumu punya telinga super."
Aku hanya menanggapinya dengan senyum dan terus melanjutkan lagu yang sudah kupelajari sejak minggu lalu.
Merasa bosan, gadis itu kembali bertanya dengan suara pelan, "Lagu apa yang kau mainkan?"
"Ludwig Van Beethoven. Bagatelle in A minor."
"Ya?"
"Fur Elise, Beethoven."
"Ooh. Hm…"
Setelah gumaman itu tak ada lagi dari kami yang buka suara, membuat alunan nada menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Hingga akhirnya bagian terakhir dari fur elis berhasil kuselesaikan, dia kembali bersuara.
"Lain kali maukah kau mainkan lagu yang seperti dalam kotak musikku untukku?"
Mata bulatnya memandangku lurus, terlihat sangat berharap.
Itu adalah permintaan pertamanya, dan aku tak sempat menyanggupi karena tepat saat kalimat itu selesi diucapkan, orang tuanya datang untuk mengajaknya pulang.
|MAGENTA|
Sekaranglah saatnya.
Saat untuk menegaskan eksistensiku. Saat untuk membuktikan keabsolutanku. Saat untuk mengenyahkan dia, dan gadis itu dari pikiranku, lalu menjadi individu yang utuh. Seorang Akashi Seijuuro yang asli.
Pemuda dengan surai biru muda berdiri di seberangku. Jadi, sekarang ini giliranmu yah, Kuroko? Dengan ini jika aku mengalahkanmu kemenangan milikku. Tidak, aku pasti mengalahkanmu dan aku yang akan menang darinya.
"Tetsuya. Jujur saja, aku sedikit terkejut. Kukira kemampuanmu terlalu rendah untuk mencapai tahap ini. Apa kau sudah dapat jawabanmu?"
"Ya."
"Kalau begitu tunjukan padaku. Permainan basketmu."
"Tidak. Apa yang akan kutunjukan adalah permainan basket Seirin."
Tanpa sadar sebuah seringai muncul begitu saja. Masih tidak berubah ternyata. Tekad kuat dan kesungguhan pada tatapan dan perkataannya. Menarik. "I see. Aku terima tantanganmu."
|MAGENTA|
Aku mengerti. Sangat mengerti. Bahwa hidup manusia itu ada batasnya.
Aku masih memandang kosong peti mati di depan sana.
Aku sangat mengerti. Tetapi tetap saja, ada yang mengganjal dan terasa aneh. Seperti sesuatu hilang. Ada yang kurang. Seperti lubang besar yang ditinggalkan dalam diriku saat dia pergi.
Dia yang terlelap dan tak akan pernah bangun lagi. Dia yang diam dan tak akan menyapaku lagi. Dia, ibu yang kusayangi.
Tanganku mengepal kuat ketika perasaan tak menyenangkan menghinggapi hatiku. Sebuah rasa yang kubenci. Dan aku makin mengeratkan kepalan tanganku.
Saat itulah kurasakan hangat yang membungkus tangan kananku.
"Jangan kau lepas."
Suara bisikan dari seorang anak perempuan membuyarkan pemikiranku. Dalam sekali tengok, aku dapat menemukannya. Gadis bersurai hitam kelam dengan mata berwarna magenta. Menatapku dengan segenap keseriusan dalam dirinya.
Sekali lagi, bibir mungil itu bergerak menyuarakan pikirannya.
"Akashi-kun. Ingat ya, kau tidak boleh melepasnya.", dia melirikku sebentar lalu tersenyum seperti biasanya. Tangannya menggenggam tanganku dengan lebih erat saat dikatakannya, "Karena kau tidak sendirian."
Saat itu, aku benar-benar tidak melepasnya. Saat itu, aku bergantung padanya. Dan karenanya, tak ada setetespun tangis yang keluar dari mataku.
|MAGENTA|
"17 poin! Seirin! Berjuang!"
Seruan-seruan dari luar begitu berisik. Semangat itu, pasti akan kupadamkan.
"Sial!"
Reo berhasil menghadang Hyuuga Junpei. Bagus, sekarang tinggal center mereka, Kiyoshi Teppei. Aku melihat sekilas Eikichi berhasil menscreen dengan baik. Kedua kaki mereka sudah mati. Itu artinya, bola akan di pass pada orang yang memarkku ya. Izuki Shun.
"Guh."
Meski matanya masih memperlihatkan konsentrasi yang tinggi, aku dapat melihat harapan yang semakin hilang dari sana. Sekarang kepala mereka juga akan mati.
"Fukuda!"
Bola memantul meninggalkan lapangan.
"Out of bounds! Rakuzan's ball!"
Seorang pemain kelas 1 dari Seirin kembali berdiri di samping lapangan, siap digantikan.
"Seirin, member change."
Rencana yang sama. Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Itu artinya tinggal satu hal lagi.
Aku melirik pada Mayuzumi. Memberi kode untuk alleyoop. Aku akan menghancurkan harapan terakhir yang tersisa. Semangat juang yang bodoh.
Seirin sudah berakhir.
|MAGENTA|
Mungkin ini akan terdengar sedikit gila, tetapi aku belum siap untuk ditinggalkan lagi.
[Ya. Secepatnya cari pengganti pemasok barang keramik dari Tokyo.]
Dan aku tahu, mencuri dengar bukanlah hal yang terpuji dalam keluarga Akashi. Aku tahu, apa yang kulakukan ini salah. Namun ini semua diluar kemauanku. Saat mendengar nama keluarga gadis itu disebut, tubuhku rasanya membeku.
[Benar. Kita tidak akan melakukan kerjasama lagi dengan mereka.]
Segala pikiran buruk merasuki otakku. Apa ini artinya aku akan tinggal sendiri? Dalam dunia tanpa warna yang selalu menuntut ini?
[Mereka sudah tidak ada harganya.]
Saat itulah untuk pertama kalinya, aku menyadari adanya sosok lain dalam diriku.
"Kalau begitu mudah saja. Sebelum ditinggalkan, lebih baik tinggalkan saja orang yang sudah tak berguna."
Dan untuk pertama kalinya, aku mengandalkan sosok itu.
|MAGENTA|
"Masih belum cukup… Seirin. Aku hanya akan melepaskan genggamanku saat kalian semua benar-benar mati."
|MAGENTA|
"Aku tak memerlukan sampah sepertimu."
Gadis itu menatap bingung dengan mata bulat yang dipicingkan. Sosok yang begitu menyedihkan untuk dijadikan penopang hidup. Kau sungguh tak tertolong. Aku harus segera mengenyahkan pilarmu ini.
"Apa yang kau bicarakan Akashi-kun?"
Hm, masih terlalu lembek ya? Jangan salahkan aku, kalau lukamu akan lebih besar, gadis bodoh.
"Seperti yang kau dengar. Aku tak memerlukan sampah yang hanya membawa penyakit sepertimu.", melihat tatapannya yang masih sama, sepertinya aku mengerti bagaimana rasanya menghadapi orang bodoh. "Dengan keadaan keluargamu yang sudah bangkrut, kau hanya akan menjadi serangga pengganggu yang memanfaatkan uangku."
Akhirnya mata itu memancarkan hal lain selain keluguan yang terkesan bodoh. Tatapan tak suka, dan luka.
"Aku tidak…"
"Semua orang pasti akan menyangkal sepertimu.", potongku sebelum kalimat utuh meluncur keluar dari bibirnya. "Apapun yang kau katakan dan perbuat sudah tak ada artinya lagi. Benda tak berguna yang harus dibuang, itu apa yang namanya sampah."
Tatapan terluka tadi berevolusi menjadi tatapan marah. Bagus, tindakan yang tepat.
"Jadi. Itukah alasanmu menyebutku sampah?", kalimat itu ditanyakan dengan suara yang bergetar.
Aku memandang sekilas wajah menunduk yang mengalirkan air mata.
"Ya, karena itu menghilanglah."
Dengan begitu kau hanya akan punya basket dan aku sebagai tumpuan hidupmu. 'Kakak'.
|MAGENTA|
Karena itu, inilah saat penentuan.
"Untuk kalian semua yang berkumpul di sini. Akan kutunjukan perbedaan posisi kita."
Tak ada yang bisa menjatuhkan sang raja.
|MAGENTA|
"Kaptain? Apa kau bisa melakukannya?"
Diam.
"Yah, kita lihat saja bagaimana caramu melakukannya."
Sial. Ini sudah poin ke empat. Dan aku bisa melihat dengan jelas perbedaan kekuatan kami. Sial. Apa aku akan kalah? Apa seorang Akashi akan kalah? Akashi... kalah?
"Aku tak akan membiarkannya."
.
.
.
"Kau itu siapa?"
Kau tanya aku siapa?
Aku tersenyum puas, "Tentu saja, Akashi Seijuuro. Tetsuya."
|MAGENTA|
Apa yang salah? Apa yang salah dari tindakanku? Kenapa tidak ada yang berjalan dengan benar. Aku Akashi. Akulah Akashi.
"Dan seorang Akashi... kalah? Itu tidak mungkin."
"Jadi, kau itu siapa?"
Suara ini… tak kusangka. Yang akan menjadi pemicu adalah suaramu, Mayuzumi-senpai. Tapi lebih dari itu, senang rasanya lawanku kali ini adalah kau Kuroko. Sekarang ini, aku bukan dalam posisi untuk menyerah semudah itu.
"Tentu saja aku Akashi Seijuuro."
Sebentar lagi aku akan menemuimu kembali. Lalu aku akan melihatnya lagi. Warna itu. Magenta.
O-WA-RI
A/N : Saya ingin mengucapkan Marry Christmas untuk yang merayakannya dan Happy Birthday untuk Akashi Seijuuro yang sudah kelewat juga terima kasih untuk reader yang mau membaca fic ini sampai akhir. Maaf ya, kalau fic ini terasa membosankan. Sedang dalam usaha untuk membangkitkan mood menulis yang hilang dan jadinya seperti ini. Sekedar informasi, fic ini terinspirasi dari lagu nano yang judulnya Magenta. Tapi sepertinya isinya rada beda jauh sama lagunya sih, hehehe.
Akhir kata, Happy Reading. Hope you enjoy it. Happy Holiday. Dan maafkan penggunaan bahasa inggrisku yang masih kacau.
