Shingeki no Kyoujin/Attack on Titan
Hajime Isayama
The Beginning
Chapter 1: Arigatou
Ayah membuka pintu. Sedetik kemudian ia terjatuh. Darah mengalir dari perutnya.
Seorang pria dengan pisau penuh darah berdiri di depan pintu bersama komplotannya.
Ibu berdiri, berteriak, dan berlari menyerang mereka dengan bersenjatakan gunting. Sedetik kemudian leher ibu terpenggal.
Ada anak laki-laki, lehernya tercengkram erat sampai-sampai urat-uratnya keluar. Napasnya tersenggal-senggal. Namun, ia berteriak pada gadis itu.
"BERTARUNGLAH!"
ooo
Gadis berambut hitam legam sepunggung terbangun dari tidurnya dengan mata abu-abunya yang melebar. Keringat mengalir dari pelipisnya. Seluruh tubuhnya kaku, namun bergetar hebat pada waktu yang sama. Mata bulatnya itu memandang kosong ke arah langit-langit yang terbuah dari kayu. Walau itu hanya kayu-kayu biasa, namun di dalam pandangannya terlihat warna merah darah.
Tok-tok-tok
Suara ketukan pintu terdengar di telinga gadis kecil itu. Tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Tenggorokannya tercekat untuk melontarkan satu patah kalimat. Ia benar-benar tidak bisa bergerak satu mili pun dari posisinya kini.
Tok-tok-tok
Lagi-lagi orang di balik pintu itu kembali mengetuk karena tidak ada respon dari orang di dalamnya. Pikiran si Gadis kacau. Ia benar-benar takut. Ini seperti kejadian kemarin. Ada orang yang mengetuk pintu. Kemudian, ayah dan ibunya mati.
Dimana ia sekarang?
Apakah sekarang ia akan dibunuh?
Gadis itu semakin tegang. Napasnya semakin tidak teratur. Detak jantung dan denyut nadinya berpacu semakin cepat, mengalahkan kecepatan napasnya.
Krek
Orang itu membuka pintu tanpa jawaban. Kakinya melangkah mendekati si gadis yang terbaring di atas kasur yang agak keras. Gadis berambut hitam itu memejamkan mata rapat, siap menemui ajalnya. Sedetik setelah ini, ia akan menyusul ayah dan ibunya di surga. Atau ... hanya dia yang masuk neraka karena membiarkan kedua orangtuanya mati begitu saja.
"Mi-Mikasa?"
Suara lembut nan canggung membuka mata gadis bernama Mikasa Ackerman itu. Matanya langsung bertatapan dengan seorang anak laki-laki yang tadi mengetuk pintu. Anak laki-laki yang ada di mimpinya.
Lebih tepatnya, anak laki-laki yang menyelamatkan hidupnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Anak laki-laki itu menatap lekat wajah Mikasa yang berkeringat dan tegang. Wajahnya menyiratkan sedikit rasa khawatir yang disembunyikan dalam-dalam. Tapi, mata hijaunya tidak bisa menutupi kekhawatirannya.
Mikasa membuka bibirnya, tapi ia tidak bisa mengucapkan satu kata pun. Sebenarnya, ia juga tidak tahu ingin mengatakan apa. Bibirnya kembali terkatup rapat. Tapi, mata hijau anak laki-laki itu seakan-akan menunggu jawaban dari Mikasa. Mikasa memalingkan wajahnya, enggan bertatap-tatap.
Anak laki-laki itu bernama Eren Jaeger. Ekspresi wajahnya agak keras dengan mata tajam. Tapi kali ini, di depan Mikasa, ia menampilkan sedikit kelembutan dirinya.
Eren menempelkan telapak tangannya di dahi Mikasa. Mata Mikasa seketika melebar kaget. Pipinya agak merona merah. Entah karena malu atau karena pusing yang ia rasakan sejak bangun tidur tadi. Mata mereka kembali bertemu.
"Kau sakit? Keringatmu banyak sekali," Eren melepaskan tangannya dari dahi Mikasa. Lalu, ia mengambil anduk kecil yang ada di samping kepala Mikasa. Perlahan, Eren menyeka keringat yang ada di wajah Mikasa. "Ibu menyuruhku untuk mengajakmu sarapan," lanjut Eren seraya menyimpan kembali handuk kecil di samping kepala Mikasa.
Mikasa mengangguk lemah. Ia bangun dari tempat tidurnya dengan kepala yang terasa berat dan mata kosong. Ketika berdiri, Mikasa terhuyung menahan rasa pusingnya. Tiba-tiba, Eren memegang tangan Mikasa yang membuat Mikasa kembali tersadar.
"Kalau kau sakit, biar aku bawa makanannya ke sini."
Mikasa menggeleng. "Aku ingin makan bersama kau."
Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir Mikasa setelah bangun dari tidurnya yang penuh dengan mimpi buruk. Segaris senyum tipis terlukis di wajah Eren yang manis. Tangan Eren masih menggamit tangan Mikasa, menuntunnya menuju ruang makan.
"Ara ... Selamat pagi, Mikasa," sapa seorang wanita dengan rambut hitam yang diikat satu ke samping. Wajahnya begitu ramah dan berseri dengan senyuman hangat yang menenangkan hati Mikasa. Seingatnya, wanita itu ibu Eren.
"Selamat pagi," Mikasa membalas agak datar, tanpa senyum, tanpa nada.
Are?
Mata abu-abu Mikasa menatap sekeliling rumah Eren yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka. Meja makan panjang yang terdiri dari empat kursi dengan berbagai makanan di atas mejanya. Ada perapian untuk menghangatkan diri. Tempat cuci piring dan tempat memasak. Sepertinya, rumah ini juga bertingkat. Ada tangga kayu tidak jauh dari meja makan.
Eren duduk di depan meja makan. Tak lama, seorang pria berkacamata bulat dengan rambut cokelat sebahu dan janggut keluar dari sebuh pintu dan duduk di samping Eren.
"Selamat pagi, Sayang," sapa ibu Eren yang sedang sibuk menyusun makanan di atas meja makan—roti, kentang, dan sup hangat ditambah empat gelas air teh.
Pria yang tak lain adalah ayah Eren membalas. "Selamat pagi."
"Ya, sudah siap." Ibu Eren menatap puas makanan hasil masakannya yang tersaji di atas meja, tersusun rapi dan mengeluarkan aroma sedap yang membuat Eren semakin lapar.
Mata hijau Eren berbinar dengan senyum lebar di wajahnya. "Waaa ... Pasti lezat!"
"Mikasa?" ucap ibu Eren menyadarkan lamunan Mikasa.
"Ah?"
"Ayo, kita makan!"
Ibu Eren duduk berhadapan dengan ayah Eren, sedangkan Mikasa duduk berhadapan dengan Eren yang sudah siap melahap makanan di depannya.
"Selamat makan!"
Tanpa basa-basi, Eren menyambar roti dan menjejalkannya ke dalam mulutnya yang kecil. Tangannya mulai mengaduk sup dan memakannya setelah kunyahan rotinya selesai. Ayah Eren makan dengan tenang, sambil membaca secarik surat di tangan kirinya.
Aneh rasanya bagi Mikasa duduk dalam suasana ini. Ia memang terbiasa makan bersama keluarganya. Tapi ... ia tidak memiliki keluarga lagi. Paling tidak, sebelum Eren mengajaknya pulang ke "rumah". Mikasa memegang syal merah yang melilit di lehernya. Syal ini pemberian dari Eren, yang menganggapnya sebagai keluarga.
"Apa makanannya tidak enak, Mikasa?" tanya ibu Eren tiba-tiba.
Mikasa menggeleng. Segera ia mengambil sendok di samping mangkuk supnya dan perlahan memakannya sampai habis.
"Mikasa," panggil Eren dengan mulut penuh remah roti. Mikasa menengadah. "Kau harus makan yang banyak. Itu akan menghangatkan tubuhmu bukan? Jadi, kau takkan kedinginan lagi seperti kemarin."
Entah mengapa, setiap Eren mengatakan hal itu, air mata Mikasa selalu ingin keluar dan mengalir bebas dari matanya. Kali ini Mikasa menahannya. Kepalanya merunduk, namun matanya masih berkaca-kaca.
Ibu Eren menyimpul senyum. "Benar yang dikatakan Eren, Mikasa. Makanlah yang banyak. Makan yang banyak sampai kau tidak bisa makan lagi. Jika kau masih lapar, bilang saja! Kami selalu ada untukmu, Mikasa."
Mikasa mengangkat kepalanya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Eren beserta ayah ibunya secara bergantian. Mikasa mengepalkan tangannya. Wajahnya sudah merah menahan tangis.
"Terima kasih ..."
ooo
