Mari Lompati Tulip Bersamaku
====PROLOG====
KETIKA tubuh itu bangun, sudah berabad-abad berlalu. Pangeran berduri dengan jiwa yang tidur. Namun untuk pertama kalinya jantung dalam tubuh kosong itu berdetak kembali sejak tidur di lautan bunga tulip yang berwarna putih pucat. Detak jantung pemburu nektar pemetikan. Sayangnya rasa itu baru datang sekarang—di saat dirinya sudah tidak menyandang gelar "hidup" di mata manusia. Padahal usaha untuk belajar membersihkan sayap sudah dilakukan di dalam kempompong sutra yang penuh makna. Langit berbintang kristal itu terlalu jauh.
Sayangnya semua itu pecah saat sedang mekar-mekarnya. "Cinta" itu seperti rantai. Rantai yang tidak bisa dipatahkan siapapun. Jantung yang membeku itu sudah melekat erat pada jantung yang hidup.
"Aku hidup! Karena gadis itu aku menjadi hidup kembali!"
"Dia hanyalah makanan! Kau akan mati jika tidak memakannya!"
"Tidak! Aku justru akan mati kembali bila tidak bersamanya."
.
.
.
HarMione
T
Harry Potter by J. K. Rowlings
Mari Lompati Tulip Bersamaku by Mizuki Rae Sichi
"Hermione si gadis sombong yang penyendiri bertemu dengan belahan jiwanya yang adalah seorang zombie. Jantung yang berdetak kembali seperti irama harpa kematian. Akankah ini akan berlanjut? Mari RnR!"
Supernatural—Hurt
Multichapters
.
.
.
====CHAPTER 1=====
Luka
Tiada yang mampu memutuskan rantai cinta…
Walau itu takdir sekalipun.
Air mataku berlinang melihat api bersalju menari di langit.
Denyut menyakitkan ini—rasa rinduku padamu.
Hanya kau yang bisa untuk memaafkanku. Jadi tangkaplah aku yang berdosa ini.
MANIK kecokelatannya perlahan terbuka saat merasa bahwa mentari pagi sudah menyapanya dengan ramah dari sela jendela kamar. Diangkatnya kepala yang tidur di meja belajar dengan tumpukan buku itu. Pening, berat, dan kaku adalah hal yang dirasakan gadis yang rambut ikalnya kini tambah ikal karena baru saja pulang dari bunga tidur. Ada hasrat untuk pindah ke tempat tidur dan menggelungkan diri seperti kucingnya yang kini masih asik mendengkur. Sayangnya waktu melarang untuk itu. Ada kegiatan yang lebih penting ketimbang pergi tidur—yaitu sekolah.
"Hermione, bangunlah! Sarapanmu sudah siap!" suara wanita lain memanggil gadis yang kini masih mengumpulkan nyawa di meja belajar itu.
Dengan suara parau, gadis bernama lengkap Hermione Granger itu menyahut, "Aku sudah bangun, Ma." Dibuangnya segala macam malas yang kini menetap dalam dirinya. Berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar.
Sekolah di Hogwarts Senior High School mungkin adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Bagaimana tidak? Sekolah bertaraf internasional ini memang menetapkan IQ yang tinggi. Sekolah favorit ini banyak peminatnya namun yang bisa lolos hanya sedikit. Mungkin kalau diibaratkan dari seribu orang hanya satu yang terpilih untuk menikmati bangku Hogwarts. Dan jangan meremehkan gadis berambut ikal tersebut karena IQnya sudah melebihi 200. Walau sudah dikenal bahwa dirinya adalah murid tercerdas, ia masih saja berpacaran dengan buku. Pacarnya sendiri yaitu Ronald Weasley sering diabaikannya karena ia merasa itu tidak penting. Mungkin terlihat jahat, tapi begitula nyatanya.
"Hey Hermione!"
Dengan malas gadis yang kini membawa sebuah buku tebal di tangannya itu menoleh ke sumber suara yang sangat dikenalinya itu, "Ada apa, Ron?" sebuah nada malas meluncur dari bibir merah tanpa lipsticknya.
"M-maukah kau dan aku kencan nanti malam?" pemuda berambut merah terang itu nampak sangat gugup untuk berbicara dengan gadisnya sendiri yang bahkan sudah menjalin selama dua tahun—tentu saja dengan keegoisan gadis itu ia harus terus mengalah.
Hermione menghela napas lelah. Dipindahkannya buku tersebut ke tangan yang lain sambil memutar kedua bola matanya ke atas, "Ron! Aku tidak ada waktu! Kau tahu sendiri 'kan sebentar lagi ujian semester?" ia pun berlalu meninggalkan pacarnya yang masih berdiri. Namun ternyata sang kekasih malah mengejarnya—berusaha merayunya dengan lembut.
"Oke kalau begitu bagaimana kalau nanti siang kita jalan-jalan?"
"Siang ini aku ada bimbingan belajar." Jawab Hermione terus berjalan.
Dengan emosi Ron pun menarik tangan Hermione untuk menatapnya, "Lihat aku, Hermione Granger!"
Gadis itu terbelalak kaget. Ia tidak pernah melihat pemuda itu semarah ini.
"Kalau kau masih ingin berpacaran dengan bukumu, baiklah aku takkan melarangnya lagi! Silahkan bercumbu semaumu! Dan aku akan pergi!" cukup sudah. Ia ingin mengakhiri hubungan yang tidak jelas ini. Selama dua tahun, rasanya seperti berpacaran dengan tembok—tiada respon. Ia tahu, dulu dirinyalah yang memang memaksa gadis itu. Namun tidak adakah rasa simpati dari gadis bermata cokelat itu?
Hermione menatap pacar atau lebih tepatnya calon mantannya dengan nanar. Butuh beberapa lama untuk memeroses itu dalam otak cerdasnya. Entah kenapa kali ini ia tidak mengerti. Kali ini dirinyalah yang mengejar Ron yang kini berjalan dengan langkah yang lebar, "Tunggu Ron! Apa maksudmu?"
"Sudah jelas, bukan? Apa perlu kuulangi? Aku Ronald Weasley kini sudah putus dari Hermione Granger yang lebih mencintai buku bodohnya!"
"Ap-hey! Apa katamu? Buku bodoh?! Kau yang bodoh!"
"Teruskan!" tantang Ron dengan kilat kemarahan dalam matanya.
"Baiklah kalau kau mau itu! Oke kita putus!"
.
.
.
Hermione meletakan kepalanya di meja begitu saja tanpa tumpukan tangan. Mata kecokelatannya sedang asyik menerawang langit biru yang kini sedikit dihiasi awan putih yang berarak. Kali ini ia menyimpan bukunya sejenak. Sejak putus dengan Ron, rasanya ada yang hilang dari dirinya. Sayangnya mungkin kini Ron tidak memikirkannya lagi karena pemuda itu sudah memiliki pacar baru. Well, memang begitu cepat—entahlah.
Biasanya disaat ia sedang bosan seperti ini Ron selalu menghiburnya—walau ia tahu persis bahwa ia jarang merespek lawakan pemuda bersurai merah menyala itu. Ah, karma menyerangnya sekarang. Ia yang kini merasa butuh. Helaan napas lelah meluncur dengan berat.
"Selamat pagi, nona! Perkenalkan aku Harry Potter."
Sebuah suara dipinggirnya persis membuat Hermione melompat kaget—hampir saja ia terjungkal dari bangkunya ini. Semua anak di kelas itu menatapnya dengan pandangan memicing. Ia hanya mampu berkedip-kedip tidak berdosa. Dan pemuda di sampingnya ini… ia tidak mengenalnya.
"Kau siapa?" Tanya Hermione dengan suara yang gugup dan tegang. Benar-benar bukan pertanyaan yang tepat untuk seseorang yang jenius macam gadis ini.
"Bukankah aku sudah bilang tadi? Aku Harry Potter. Siswa baru di sini." Pemuda tampan berkacamata bulat itu tersenyum lembut pada Hermione. Tangan putih pucatnya terulur untuk berkenalan.
Hermione terbelalak. Tubuhnya membeku dan jantungnya berdetak kencang saat melihat wajah pemuda yang seperti seorang malaikat itu. Rasanya darahnya berdesir panas menuju wajah, "A-aku… aku Hermione Granger." Gadis itu akhirnya membalas jabatan tangan sang pemuda, "K-kapan kau ada di sini?"
"Baru saja. Kau tidak menyadarinya?" gumam pemuda itu tetap lembut—menggetarkan jiwa Hermione.
"Mrs. Granger saya mohon jangan tidur di kelas." Interupsi sang guru kelas yang ternyata sudah berada di sana.
Sementara gadis yang kini sedang diintimidasi itu hanya terbengong bingung. Ia tidak tidur tadi. Hanya mungkin melamun. Namun kenapa ia sama sekali tidak menyadari bahwa bell sudah berdering?
.
.
.
Di hari pertama saja Harry sudah mendapat banyak penggemar. Tubuhnya yang atletis walau mungil, mata hijau kebiruan yang menghipnotis, dan wajah yang tampan membuatnya beruntung. Ia sangat senang bersekolah di sini. Belum lagi ada sosok wanita yang sudah berhasil menarik perhatiannya. Wanita yang berambut ikal dan bermata cokelat itu. Wanita yang mulai hari ini menjadi teman semejanya.
Sementara Hermione menghela napas lelah saat melihat pujaan barunya kini malah dikerubungi oleh teman-teman perempuannya. Rasanya tiada kesempatan untuk bisa mendapat pemuda tampan yang berkacamata bulat itu. Karena tidak mau menjadi norak dan OOC—Out Of Character dari sifat arogannya, ia memilih untuk tetap berada di bangkunya. Sendirian, tanpa seorang teman—selalu seperti ini dari dulu.
"Ah, malangnya diriku." Desahnya malas. Ia pun kembali meletakan kepalanya di meja sambil melihat lukisan alam yang indah berupa langit biru.
"Kau malang bila menolak tawaranku, Hermione. Mau ke kantin?" sebuah suara yang sangat Hermione dambakan malah muncul.
Dengan cepat Hermione mengangkat kepalanya lalu mencari sumber suara. Betapa terkejutnya saat ia melihat pemuda yang tadi ia harapkan sedang duduk di sampingnya dengan senyum di wajah tampannya. Jantung Hermione berdebar kencang saat melihat tangan pemuda itu terjulur ke arahnya—rasanya seperti seorang putri yang dijemput pangeran tampan di negeri dongeng. Perlahan wanita itu menerima uluran tangan itu. Mendadak wanita-wanita lainnya yang merupakan penggemar fanatik Harry itu menjadi menjerit marah. Ada yang menggebrak meja, menangis terisak dan menjerit, pingsan, dan lain-lain. Hermione dan Harry lalu berjalan bergandengan layaknya pangeran dan putri sungguhan—walau tujuan mereka kini adalah kantin, bukan istana. Oke, mungkin Hermione bisa berdelusi sedikit.
"Kau bisa duduk dulu di sini, My Princess. Dan aku akan membelikanmu sesuatu." Ucap Harry dengan lembutnya. Ia mencium punggung tangan Hermione dengan menawannya. Seketika wanita-wanita lain yang menonton mereka hanya bisa mendesah kecewa dan iri.
Hermione yang melihat itu hanya bisa terbelalak senang. Rasanya darahnya berdesir hangat dan ada sesuatu yang banyak terbang di dalam perutnya. Jika ini adalah syuting sebuah drama komedi romantis, mungkin akan ada gambar berbentuk hati merah yang berterbangan di udara di sekelilingnya dan tidak lupa ia akan memakai gaun mewah berwarna putih sementara Harry memakai setelan jas berwarna putih. Sungguh delusi yan terlalu tinggi.
Beberapa lama kemudian pemuda yang kini sudah terukir dalam di dalam hati Hermione pun datang dengan dua es krim cone. Pemuda itu memberinya salah satu es krim cone itu dan dengan senang hati ia menerimanya.
"Maaf aku hanya bisa membelikanmu ini. Di sana sangat berdesakan." Gumam Harry sambil membuka bungkus es krim itu. Lalu ia menggigit es krim cokelat itu.
"Tidak apa-apa sungguh!" ucap Hermione cepat. Dengan senyum yang terus melekat di wajah cantiknya, ia membuka bungkus es krim stoberi itu. Rasa asam segar, manis, dingin, renyah, dan lembut adalah yang ia rasakan saat menggigit es krim cone itu. Sama seperti hatinya yang kini dipenuhi oleh rasa-rasa yang sangat menakjubkan. Ia belum pernah merasakan rasa yang begitu hebat ini selama ia hidup.
Hermione tersentak kaget saat tangan pemuda pujaannya mendadak terjulur dan mencolek bibirnya yang penuh dengan es krim. Lalu yang membuat ia lebih kaget lagi, Harry menghisap jempol yang penuh dengan sisa es krim—yang tadi dipakai untuk mengelap bibirnya. Ini… ciuman secara tidak langsung. Hermione lalu tanpa sengaja melihat para gadis penggemar Harry langsung berteriak kecewa. Beberapa di antara mereka bahkan merencanakan pembalasan dendam untuknya. Rasa merinding akan nyawanya yang sepertinya akan terancam menghantuinya.
.
.
.
Hermione mengemasi buku-bukunya dengan segera. Semua siswa sudah pergi lima menit yang lalu. Alasan mengapa ia masih betah berada di sekolah adalah ia harus mengerjakan tugas dengan mencari artikelnya di perpustakaan. Setelah semua dirasa sudah beres, ia pun menggendong tasnya lalu keluar dari kelasnya yang kosong. Ternyata ia tidak sebetulnya sendiri. Masih banyak anak-anak yang mungkin sedang nongkrong atau bermain basket.
Firasatnya mendadak tidak enak saat melihat gerombolan siswi yang bertampang preman centil menghampirinya. Mereka membawa benda-benda berbahaya seperti tongkat baseball, rantai yang sedang diputar-putar, gunting, dan korek api yang sedang dinyalakan. Tatapan tajam mereka membuat Hermione melangkah mundur untuk mengambil langkah seribu. Saat merasa sudah dalam rambu bahaya, Hermione pun segera berlari dan gerombolan itupun ikut lari mengejarnya. Sialnya, saat melewati koridor lab. Biologi, mendadak ada yang membuat lantai itu licin. Sontak kakinya tergelincir dan ia pun tumbang dengan bokong terlebih dulu yang mendarat.
Wanita berambut ikal cokelat itu meringis kesakitan. Dunianya berputar membuatnya pusing. Saat pandangannya sudah kembali normal rasa getar ketakutan muncul. Gerombolan itu kini mengelilinginya dengan aura membunuh. O iya, ia baru ingat bahwa sekolah Hogwarts juga adalah salah satu sekolah yang pem-bully-annya adalah yang terkejam. Para guru sama sekali tidak berani untuk menghentikan kegiatan sadis itu karena uang adalah segalanya—mayoritas murid di sini adalah bangsawan yang jenius. Pernah dulu ada salah satu guru yang mencoba membela kebenaran di sini, namun guru tersebut malah yang menjadi terjerat masalah dan dipecat. Maka dari itu bagi murid yang bisa masuk ke sini hanya karena pintar namun tidak punya uang, harus pasrah menerima kesewenang-wenangan para murid yang derajatnya tinggi.
Ada sebuah kilat saat tongkat baseball itu menghantam wajah Hermione. Pukulan itu terjadi berulangkali. Kali ini Hermione merasa sangat pusing dan berkunang. Tubuhnya kini tergeletak di lantai dengan lemas. Perlahan cairan merah pekat amis mengalir dari hidungnya.
Salah satu dari gerombolan itu berjongkok di hadapannya dengan angkuhnya. Ia tertawa sinis melihat korbannya berdarah dan tidak berdaya, "Rasakan itu! Itulah akibatnya jika mendekati pangeran kami! Apalagi kau keturunan mud blood atau darah yang tidak beradab! Aku ingat bahwa Ayahmu hanya seorang dokter gigi rendahan yang penghasilannya tidak seberapa."
Mendengar cacian itu membuat amarah Hermione terkumpul dan meluap, "Kau! Kau boleh menyiksa dan mengejekku, tapi jangan mengejek orangtuaku, keparat!"
"Kasar sekali kau mud blood pada para keturunan pure blood macam kami!" celetuk salah satu wanita yang ada di gerombolan itu marah.
Wanita yang masih berjongkok di hadapan Hermione itu berdecak seolah dirinya yang paling bijak, "Ah, namanya juga mud blood. Pasti kau tidak diberi tata krama oleh kedua orangtuamu, bukan?" mendadak ia menjambak rambut Hermione, "Dengar! Kau itu tidak pantas untuk bersanding dengan Harry! Pangeran kami itu adalah pemuda yang paling tampan dan mengesankan! Sangat berbeda dengan dirimu yang hanya gadis desa yang tidak tahu malu!"
"Hentikan!" sebuah suara yang sangat mempesona muncul.
Hermione yang penglihatannya masih buruk karena pukulan berulang tadi—belum lagi jambakan di rambutnya kini, hanya bisa melihat silhuet seorang pemuda yang bagai pangerannya. Salah satu yang terbesit di pikirannya adalah Harry.
"Lepaskan pacarku!"
Seketika mata Hermione terbelalak kaget. Kini ia benar-benar melihat siapa yang menyelamatkannya itu. Yeah, pemuda itu adalah Harry Potter. Tapi… kenapa? Kenapa lelaki itu menyebut Hermione sebagai… pacar?
"Tapi Pangeran…"
"Lepaskan!" teriak Harry memotong ucapan gadis yang sedang menjambak rambut Hermione. Ia sangat marah karena para penggemarnya malah bersifat anarkis seperti itu.
Dengan sangat terpaksa gadis preman itu melepaskan jambakannya pada rambut ikal itu. Ia dan teman-temannya hanya bisa meratapi sang pangeran dengan kecewa karena sang pangeran malah memeluk wanita yang menurutnya menjijikan itu.
"Kau baik-baik saja, Mione?" Tanya Harry lembut. Mengetahui bahwa kondisi yang sebenarnya adalah tidak baik, ia pun segera menggotong wanita yang sangat dicintainya itu dengan gaya yang sangat mempesona layaknya menggotong pengantin.
Sementara Hermione mulai panik karena ketakutan akan dibully lagi. Namun pelukan Harry yang nyaman membuatnya tenang. Ia merasa sangat dilindungi oleh sosok yang bagai pangeran itu. Belum lagi senyuman pemuda itu yang membuatnya merasa hangat. Tanpa sadar ia mencengkram kemeja Harry dengan seolah, "aku-bergantung-padamu!". Dan Harry sendiri hanya tersenyum lembut.
Harry membawa Hermione menuju motor besarnya. Diturunkannya gadis itu di jok motornya bagian penumpang. Lalu dirinya segera memakai helm dan duduk di bagian depan untuk mengemudi. Sebuah senyuman senang tertoreh di wajah tampannya saat gadis itu perlahan melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya. Mereka melaju dengan kecepatan yang rendah. Angin bersemilir dengan lembutnya menabrak wajah mereka. Tubuhnya yang dingin perlahan menghangat saat gadis bersandar di punggungnya. Jantungnya yang selama ini tidak berdetak perlahan berdetak kembali. Kekuatan cinta membuatnya hidup kembali.
.
.
.
Sejak saat itu di antara Harry dan Hermione terdapat getar-getar halus yang nyaman. Mereka pikir perlahan mereka tersentuh cinta. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Januari 2014, mereka menjalin hubungan—tentu saja banyak yang kontra akan hal ini karena fans Harry yang begitu banyak. Walau Hermione menjadi siswi yang paling dibenci di Hogwarts, walau ia selalu mendapat bully bila Harry sedang tidak bersamanya—namun ia tetap tegar dan percaya. Ia tetap merasa aman jika Harry memeluknya atau menggenggam tangannya.
"Maafkan aku, Mione. Aku tidak bisa menjagamu dengan baik." Gumam Harry sambil menyeka luka yang ada di wajah cantik pacarnya. Mereka kini sedang berada di UKS.
Hermione menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, Harry. Seharusnya aku lebih ramah pada mereka. Aku sadar selama ini aku terlalu tertutup dan terlalu sombong akan kemampuanku."
"Tidak. Semua ini salahku. Kalau hubungan ini tidak terbentuk, pasti kau tidak akan mendapat bully setiap hari seperti ini!"
"Lalu apakah kau menyesal menjalin hubungan denganku?" Tanya Hermione menatap Harry lurus.
Mendadak Harry menangkap wajah Hermione lalu mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Kedua bibir itu bertemu dalam ciuman lembut. Hanya kecupan singkat penuh makna yang membuat wajah Hermione memanas.
"Itu ciuman pertamaku. Sayangnya aku baru bisa memberikannya saat aku menjadi mayat hidup seperti ini. Andai kau datang lebih cepat." Gumam Harry lembut.
Hermione menyiritkan alisnya heran. Tawa geli muncul darinya, "Kau ini bisa saja!"
"Aku ingin jujur padamu, Mione. Hanya padamu." Harry menggenggam tangan Hermione dengan erat menandakan bahwa ini masalah serius, "Aku ingin menunjukan padamu siapa diriku yang sebenarnya."
"Maksudmu apa, Harry?" kali ini Hermione mulai penasaran.
"Pulang sekolah nanti aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
.
.
.
Akhirnya saat-saat yang ditunggu Hermione tiba. Ia sangat penasaran dengan ucapan sang pacar tadi. Jantungnya berdebar kencang karena khawatir. Lalu ia hanya bisa menghela napas saat Harry datang di hadapannya dengan motor besarnya. Dengan penuh rasa berdebar ia memeluk pinggang pemuda itu dengan erat—seakan takut kehilangannya.
Mereka tiba di sebuah rumah yang sangat besar—bisa disebut sebagai istana. Namun rumah itu terlihat tiada kehangatan di dalamnya. Justru kesan angkerlah yang tercipta di rumah yang gelap dan di penuhi oleh pohon-pohon besar—di sekitar rumah itu tumbuh tulip berwarna putih. Harry lalu meminta Hermione untuk turun dari motornya sementara dirinya masih melepaskan helm. Hermione memandangi rumah itu dengan tatapan ngeri. Ada burung gagak yang terbang di sekitar rumah itu.
"Harry, ini di mana?" gumam Hermione bergetar takut.
Harry yang sudah turun dari motor perlahan menggenggam tangan Hermione seakan berusaha membuat gadis itu tidak takut, "Ini rumahku."
Hermione agak terkesiap. Ia lalu tertawa hambar, "Kau pasti bercanda."
"Aku serius." Harry lalu menarik tangan Hermione untuk memasuki rumah itu.
Hermione mengeratkan pelukannya pada lengan Harry saat pintu rumah itu terbuka sendiri. Saat pertama kali melangkahkan kaki ke rumah itu, hawa dingin perlahan menggigit tulang. Rumah itu sangat klasik dan mewah, namun sayangnya terlihat tidak bersahabat. Harry lalu menyuruhnya untuk duduk di sofa besar. Setelah itu Harry pergi sebentar untuk mengambil minum. Jika begini, rasanya ia menjadi dua kali lebih peka dari biasanya—ia bahkan mendengar gesekan halus gorden di dekatnya.
"Whoa! Ada manusia!"
Mendadak Hermione terlonjak kaget nyaris terjatuh dari sofa saat mendengar jeritan menyeramkan. Ternyata jeritan itu berasal dari gadis yang berada di dekatnya—ia tidak tahu kapan gadis menyeramkan itu datang.
"Kau siapa?" Tanya Hermione spontan.
"Aku siapa? Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu!" balas gadis itu sambil melotot.
"Baik, baik! Aku Hermione Granger… kekasih Harry Potter."
"Jadi kau pacar Kakakku? Aku Myrtle Potter, Adik kandung Harry Potter." Gadis berkacamata bulat sama seperti Harry itu lalu duduk di sebelah Hermione, "Kau lumayan cantik juga."
Hermione yang diperhatikan seperti itu menjadi sedikit risih. Untungnya akhirnya Harry datang dengan seorang maid yang tatapan wajahnya kosong. Maid aneh itu lalu menyajikan minuman untuk Hermione.
"Myrtle! Bersopan santunlah!" hardik Harry sedikit membentak Myrtle.
Melihat sang kakak datang, Myrtle pun segera menghampirinya lalu memeluk lengannya, "Oh Harry! Kau ke mana saja? Aku kesepian."Ia lalu bebisik sambil terkikik menyeramkan, "Gadis itu terlihat lezat! Boleh aku memakan otak atau jantungnya sedikit saja?"
"Dia bukan makanan, Myrtle! Pergilah!"
Mendengar ucapan kedua Potter itu, Hermione menjadi sedikit takut. Ia berdiri dengan kaki yang bergetar, "Tunggu… maksud kalian apa?"
"Itu bu…"
"Jadi kau belum mengenal kami sebenarnya? Ya ampun! Kau ini pacarnya atau bukan?" potong Myrtle dengan angkuh.
"Maafkan Adikku yang kurang ajar ini, ya Hermione." Ucap Harry berusaha tidak menyakiti Hermione.
"Tidak Harry! Jelaskan padaku, apa maksud kalian sebenarnya!" ucap Hermione dengan parau dan bergetar.
"Baik." Tatapan Harry menjadi sayu, "Kalau kau mau tahu siapa kami sebenarnya, kami akan menunjukannya padamu." Perlahan luka-luka di tubuh Harry muncul—bahkan dagingnya pun terlihat. Garis-garis seperti jahitan mulai jelas. Bahkan kedua iris mata Harry yang semula hijau kebiruan berubah menjadi putih. Ia menatap Hermione yang mundur selangkah, "Kami adalah zombie."
Hermione menggeleng sambil mundur selangkah, "Tidak. Kalian hanya bercanda 'kan? Ini hanya mimpi 'kan?" Ia terlonjak kaget saat perlahan tangan Myrtle menggerayangi wajahnya dari belakang—padahal tadi Myrtle masih di sebelah Harry.
"Mungkin ini mimpimu. Mimpi yang takkan bisa bangun." Gumam Myrtle dengan nada yang meninggi sehingga membuat Hermione menjerit ketakutan. Tangannya merayap halus di pipi gadis bersurai ikal itu.
Saat Myrtle hendak merobek kepala Hermione, Harry pun segera berlari dengan gesit mendorong sang pacar agar menjauh dari adiknya yang kelaparan. Ia menahan Myrtle yang mengamuk ingin memakan Hermione.
"AKU MAU OTAK GADIS ITU! LEPASKAN AKU!" teriak Myrtle menyeramkan.
"Dia bukan makanan, Myrtle!" teriak Harry masih berusaha menahan sang adik, "Hermione, lari! Larilah! Menjauh dari sini! Cepat!"
Mendengar perintah dari Harry, Hermione pun segera berlari dengan segenap rasa takutnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Orang yang paling ia cintai ternyata… adalah sesosok yang tidak mungkin ada di dunia ini. Air mata berderai seiring langkahnya berlari mencari jalan keluar. Ia segera menarik pintu yang mungkin adalah pintu keluar. Cahaya matahari menyambutnya begitu ia keluar dari rumah itu. Namun saat ia tidak memperhatikan langkahnya, ia mendadak tersandung dan terguling di sebuah tempat yang dipenuhi oleh batu nisan dan patung malaikat besar. Dan ia baru menyadari bahwa kini ia sedang terbaring di atas sebuah makam. Saat melihat nama di nisan itu, matanya langsung terbelalak sempurna.
"Harry James Potter meninggal tahun 1797." Gumam Hermione membaca tulisan itu. seketika tubuhnya bergetar hebat. Artinya… selama ini apa yang ia genggam? Apa yang ia peluk? Apa yang ia kecup?
Dengan ketakutan yang meluap, ia lalu berlari mencapai gerbang keluar. Sempat menoleh ke belakang sebentar, ia lalu pergi.
TBC (To Be Continued)
Yey! Fict straight pertama nih! :D tenang… saya masih fujo kok XD Cuma saya suka banget sama pair straight yang satu ini :D
Nah, mau lanjut atau gantung? :D tergantung readers kok XD /ketawa nista
Kalau mau tetep lanjut, cukup ketik sesuatu di kolom review :D lalu kirim :D simple kok nggak perlu ketik reg regan XD #plak
Oke sampai jumpa lagi~ :D
