CANVAS

Title:

CANVAS

Author:

Elixir Edlar

Cast :

Jester Kim

Park Jimin or Jamie Park

Kim Taehyung or Trevor Kim

Jeon Jungkook or Jecavio Jeon

Genre:

Drama, Family

Rate:

Teenager (T)

Length:

Oneshoot

Disclaimer:

All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.

This story is ORIGINALLY from my OWN mind.

Warning :

Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed.

Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)

Read on Your Own Consent! Thank You~

.

Elixir Edlar Presents

.

.

.

This is a story about Jester Kim—anaknya Park Jimin.

.

Namaku Jester Kim, usiaku dua puluh tahun. Saat ini aku berstatus sebagai mahasiswa sophomore di Universitas Bologna, Italia. Jurusan yang kuambil adalah seni rupa yang mendalami perihal lukis-melukis dan sejenisnya.

Kata orang-orang aku sudah memiliki bakat sejak balita. Sejak bayi aku memang sangat menggemari pensil warna, spidol warna-warni, krayon, dan berbagai macam alat menggambar lainnya. Ayahku bahkan membelikanku buku gambar beserta satu set krayon lengkap begitu tahu bahwa aku memiliki minat yang sangat tinggi terhadap lukis-melukis.

Bakat melukisku ini entah menurun dari siapa aku pun tak tahu. Setahuku ibuku memang pecinta seni namun untuk urusan lukis-melukis beliau hanya penikmatnya saja dan bukan penciptanya. Sedangkan ayahku yang notabene seorang CEO sebuah perusahaan otomotif mana tahu soal yang begitu itu? Meski begitu ayahkulah yang selalu mendukung dan menyemangatiku untuk menggeluti apa pun yang menjadi impianku. Ayahku benar-benar ayah yang terbaik di dunia, menurutku.

Kecintaanku terhadap seni lukis inilah yang kemudian membawaku jauh-jauh dari Korea ke Italia, ke Universitas Bologna untuk belajar melukis di negerinya para pelukis legendaris macam Leonardo da Vinci dan Michelangelo ini.

Keinginanku ini bukanlah tanpa hambatan. Ada satu orang yang begitu kontra dan menentang impianku untuk berkuliah di Italia. Orang itu tidak lain adalah ibuku sendiri. Ya, ibukulah yang paling menentang impianku pergi jauh ke Italia untuk belajar melukis. Sebagai gantinya beliau bahkan menawariku berkuliah ke negerinya Salvador Dali dan Pablo Picasso di Spanyol, Vincent van Gogh dan Rembrandt Van Rijn di Belanda, Paul Cezanne dan Claude Monet di Perancis, dan bahkan negerinya Francis Bacon di Inggris.

Kata ibuku, "Ke Eropa mana saja boleh. Asal jangan Italia..."

Dan aku selalu berucap hal yang sama, "Memangnya kenapa dengan Italia?"

Kemudian kami akan beradu mulut satu sama lain setelahnya.

Kami berdua bahkan sempat berargumen sengit dan aku sempat tidak mau berbicara dengan ibuku selama tiga hari karena masalah itu. Merajuk. Kekanak-kanakan memang, tapi mau bagaimana lagi? Ibuku tak pernah memiliki alasan logis yang bisa membuatku 'sukarela' menuruti kata-kata beliau untuk tidak pergi ke Italia.

"Di sana itu banyak mafia! Kau tahu? M-A-F-I-A? Gangster paling kejam di dunia!"

"Come on, Mom. Kau terlalu banyak nonton film Hollywood."

"Di sana banyak preman! Mommy bahkan pernah hampir diculik oleh mereka dulu!"

"Ayolah Mom, itu kan hampir dua puluh tahun yang lalu. Aku bisa bela diri kok."

"Mommy juga kehilangan sesuatu yang sangat berharga di sana!"

"Itu sih salah Mommy sendiri. Kenapa juga membawa arloji lapis berlian—yang diwariskan turun temurun untuk anak pertama lelaki di keluarga Park—yang dipesan langsung dari perancang Perancis pada masa Renaisains dan hanya ada satu-satunya di dunia—ketika sedang liburan? Mommy ceroboh sekali bukan?"

"Mommy bahkan hampir ketinggalan pesawat!"

"Itu paling karena Mommy keasyikan belanja sampai lupa waktu, makanya hampir ketinggalan pesawat. Yang penting akhirnya tidak jadi ketinggalan pesawat kan Mom?"

Syukurlah ada ayahku yang mau membujuk dengan kelembutan sikap dan cintanya yang begitu besar kepada ibuku sehingga akhirnya taraaaa—aku bisa menghirup atmosfer dan memijak tanah gladiator dimana Colosseum berdiri dengan angkuhnya. Omong-omong ayahku itu Kim Taehyung atau Trevor Kim. Sedangkan ibuku yang cantik namun cerewet itu namanya Park Jimin atau Jamie Park.

Aku sejatinya penasaran adakah alasan lain yang membuat ibuku begitu khawatir mengapa aku tidak diizinkan melanjutkan studi ke Italia? Kenapa hanya beliau yang kontra? Toh ayahku juga baik-baik saja dan mendukungku setiap waktu. Aku jadi curiga kepada ibuku. Apakah beliau memiliki rahasia yang tersimpan di negeri bangsa Romawi tersebut?

.

.

.

Aku, Jester Kim adalah putra dari ayah tampan Kim Taehyung, my Dad, dan ibu cantik Park Jimin, my Mom. Kalian pasti penasaran dengan wajahku bukan? Baiklah akan kuberitahu. Wajahku itu lebih mirip ayahku daripada ibuku dengan tubuh tinggi menjulang, garis rahang maskulin, hidung mancung, mata lebar persis ayah. Sedangkan kulit pucat dan bentuk alisku persis ibuku. Hanya satu yang berbeda dari keduanya—bentuk bibirku.

Ya bentuk bibirku ini lain dari yang lain, entah mirip siapa karena bibirku kecil dan begitu tipis bagian atasnya. Kalau bibir bawah sih, standar-standar saja.

Penampilanku sehari-hari sebagai mahasiswa seni bisa dibilang cukup nyentrik. Aku memiliki rambut keriting yang seperti rambut Valentino Rossi ketika masih berambut panjang dan sering kali mengenakan headband di kepalaku. Sejujurnya penampilanku itu hanya untuk mengecoh dan menutupi wajahku yang terlalu tampan sih hahaha. Apa aku terdengar narsis?

Aku memang sengaja mengubah penampilan rapiku menjadi sedikit berantakan karena para seniman terlihat jauh lebih keren demikian, menurutku sih begitu. Lagi pula dengan sentuhan nyeleneh pada penampilan seorang seniman akan membuatnya semakin tampak artistik. Bukankah kita harus menjiwai peran kita sampai ke inti-intinya? Benar kan?

Saat ini aku merasa sangat bahagia sebab telah berhasil menjalani hidup selama dua tahun sebagai salah satu mahasiswa seni di Universitas Bologna karena—selain teman-temanku menyenangkan, aku juga memiliki seorang dosen favorit yang menjadi panutanku. Prof. Jecavio namanya.

Profesor Jecavio belum mengajar di tahun pertamaku sebagai mahasiswa. Barulah tahun kedua di semester dua beliau masuk ke kelasku dan memberikan mata kuliah filsafat seni untuk kelasku. Beliau mungkin bukanlah orang yang pandai melucu seperti ayahku, tapi kharisma dan cara beliau mengajar benar-benar membuat para mahasiswanya terkagum-kagum hingga ternganga ketika beliau menjelaskan filosofi dari beberapa karya seni.

Kata beliau, "Semua benda memiliki filosofinya sendiri tanpa terkecuali.."

Profesor Jecavio berusia sekitar empat puluhan awal. Entah empat puluh satu, empat puluh dua, atau empat puluh tiga, yang jelas belum mencapai empat puluh lima. Beliau memiliki perawakan tinggi dan tegap, bahunya juga lebar, dan wajahnya begitu tampan—seperti aku hahaha. Beliau memiliki warna rambut dark brown mengkilat yang selalu disisir rapi, manik hazel gelap, dan sedikit kumis tipis di wajahnya. Selain itu beliau juga memakai kacamata ber-frame tebal yang menghias wajah maskulinnya sehingga menambah kesan 'rapi'.

Penampilan beliau yang kelewat rapi untuk ukuran seorang seniman malah membuatnya tampak seperti seorang aristokrat yang hendak menghadiri jamuan makan malam dibandingkan dengan seseorang yang bergelut di bidang seni. Maklumlah, mungkin akibat faktor usia. Karena aku yakin di masa muda penampilannya pasti tidak jauh berbeda dari mahasiswa seni pada umumnya. Awut-awutan, nyentrik, dan nyeleneh. Sepertiku inilah.

.

.

.

Semester lima baru saja dimulai dua bulan yang lalu. Dan hari ini adalah penghujung bulan Oktober yang artinya malam ini akan diadakan perayaan Halloween di kampus kami. Semua mahasiswa tampak antusias menyambut perayaan Halloween tahun ini karena para dosen pun ikut berpartisipasi dalam acara ini, not to mention Profesor Jecavio juga pastinya. Aku jadi penasaran kostum apa yang kira-kira akan dikenakan oleh Prof. Jecavio nanti malam.

Aku tengah sibuk melihat pilihan jas dan celana bahan beserta dasi yang akan kukenakan di pesta Halloween sebentar lagi. Siang tadi aku bahkan repot-repot ke salon untuk mengubah tatanan rambutku dan juga ke toko aksesoris untuk membeli perlengkapan kostum yang paling esensial—kacamata dan selarik kumis palsu. Ya, kau pasti sudah bisa menebaknya. Aku akan melakukan cosplay sebagai Profesor Jecavio! Karena namaku Jester maka seharusnya berubah menjadi Profesor Jestervio hahaha. Bukankah kedengarannya mirip?

Akhirnya setelah beberapa saat menimbang-nimbang, kujatuhkan pilihan pada setelah jas dan celana hitam dengan dasi merah mengkilat—karena kemejaku warnanya hitam—dan sepatu kulit hitam kinclong guna membalut kedua kakiku. Style ini adalah style yang paling sering digunakan oleh Profesor Jecavio ketika datang ke kampus. Bukankah itu kelewat rapi?

Ow. Kupasang baik-baik selarik kumis palsu tipis di atas bibirku dan membuatnya terlihat senatural mungkin. Sebuah jam tangan berwarna emas telah melingkar apik di pergelangan tangan kiriku dan terakhir—kacamata! Dan ketika melihat cermin...

Wow, aku terlihat begitu mirip dengan Profesor Jecavio sekarang!

.

.

Aku berjalan menyusuri halaman kampusku yang begitu padat dan ramai oleh hingar-bingar orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mengenakan kostum hantu anak-anak dan senantiasa berteriak,

"TRICK OR TREAT!?" kepada siapa saja yang lewat di hadapan mereka. Meminta permen katanya. Ada-ada saja ya anak kuliahan jaman sekarang.

Lampu-lampu utama di universitas sengaja dimatikan sehingga aula dan lorong-lorong kampus menjadi gelap sepenuhnya. Sebagai gantinya banyak labu-labu yang diletakkan di sudut-sudut jalan agar orang-orang setidaknya bisa berjalan tanpa harus meraba-raba apa lagi kesandung kakinya sendiri. Buah labu yang digunakan kebanyakan adalah artifisial yang terbuat dari bahan plastik atau kertas—jadi itu hanya semacam lentera berbentuk labu saja. Meskipun masih ada labu asli yang digunakan tetapi jumlahnya sangat terbatas dan bisa dihitung dengan jari.

Sekarang mari kita fokus kepada cosplay-ku lagi. Setiap mahasiswa yang 'mengenal' atau setidaknya mengetahui Profesor Jecavio akan menyapaku setiap kali kuberjalan melewati mereka.

Hahaha kena tipu kalian semua!

Penyamaranku berhasil yes, yes, yes. Aku bersorak girang dalam hati. Aku pun menirukan semua gestur dan cara tersenyum Profesor Jecavio yang selalu ditunjukan kepada orang-orang. Misalnya seulas senyum tipis dan pandangan berwibawa lurus ke depan. Bukankah aku sangat piawai dalam bermain peran kekeke?

Tap

Sebuah tepukan di pundakku dari belakang, aku menoleh dan melihat Prof. Hovano—dosen terkonyol di kampusku—menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat ini beliau mengenakan kostum vampire lengkap dengan jubah yang tersampir dan taring palsu di giginya. Sungguh menggelikan. Sayangnya aku tidak bisa dan tidak boleh tertawa karena sedang dalam mode penyamaran sebagai Profesor Jecavio.

"Prof. Jecavio! Mengapa kau tidak mengenakan kostum apa pun?" tanyanya sambil meneliti penampilanku dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Serius, aku benar-benar ingin tertawa melihat ekspresi bingung Prof. Hovano saat ini.

"Ehm.." aku berdehem untuk mengubah suaraku agar lebih berat. Supaya menyerupai suara Prof. Jecavio yang asli tentu saja. "Begitukah? Seharusnya aku mengenakan kostum apa memangnya?" aku malah balik bertanya.

Pertanyaan bodoh sejujurnya. Mana dia tahu Prof. Jecavio mau mengenakan kostum apa? Kalau ditanya pun sepertinya Prof. Jecavio juga tidak akan menjawab. Rahasia, begitu katanya.

"Mana kutahu? Kau kan tidak bilang padaku," Prof. Hovano membuat gestur 'mana kutahu' dengan kedua tangannya di samping badan.

Nah, apa kubilang. Prof. Hovano tidak tahu kan? Benar-benar sesuai prediksi.

"Walau bagaimanapun seharusnya kau tetap memakai kostum Prof, ini sudah peraturan wajib," selorohnya lagi.

Aku hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Mau kujawab apa orang ini? Buntu.

Memangnya cosplay-ku sebagus itu ya?

"Apa kau mau bilang kalau kau sedang cosplay menjadi dirimu sendiri? Yang benar saja!" Prof. Hovano mulai heboh sendiri. Serius, aku ingin segera kabur dari orang ini.

"Siapa yang cosplay diri sendiri?" protes sebuah suara. Ya, sebuah suara dari sesosok—apa itu ya? Sinister? Shinigami? Pokoknya sosok itu berjubah hitam lebar dengan tudung di lancip di kepalanya. Dia juga membawa sabit panjang yang terlihat tajam, meskipun aku tahu itu palsu sih. Selain itu wajahnya dipoles dengan make-up putih pucat dengan lingkaran gelap di kedua matanya dan bibirnya juga disapu oleh lipstik hitam. GHOUL!

Profesor Hovano menoleh ke sumber suara dan seketika terlonjak kaget seraya berteriak kemudian memelukku erat. Baiklah selain konyol, profesor satu ini memang aslinya sangat penakut terhadap semua makhluk yang terlihat menyeramkan. Apa pun itu, entah hantu, monster, binatang, maupun wahana-wahana di taman bermain.

"Wow! Unbelievable! Apa kau doppelganger-ku?" sosok sinister itu mengamatiku lekat-lekat dengan ekspresi takjubnya—yang malah terlihat semakin menyeramkan karena mata bulatnya semakin membesar.

Baiklah, pertanyaan 'Apa kau doppelganger-ku' itu sudah menjelaskan semuanya bahwa orang ini adalah Prof. Jecavio yang asli.

"What?!" Prof. Hovano melepas pelukannya dari tubuhku dan mengamati wajahku dari dekat. "Jadi orang ini bukan Prof. Jecavio?" katanya lagi.

Aku tersenyum lebar, menampilkan gigi seriku yang besar-besar. "Bukan Prof, aku hanya mahasiswa tingkat tiga yang berkostum sebagai Prof. Jecavio hehehe," kekehku seraya memandang kedua orang di depanku bergantian.

"Astaga! Kau benar-benar mirip dengannya! Siapa namamu anak manis?"

Sial, bagaimana bisa Prof. Hovano menyebutku 'anak manis' dengan begitu entengnya.

"Namaku Jester Kim, aku mahasiswa asal Korea Selatan," sahutku sambil tersenyum semanis mungkin.

"Tapi wajahmu sedikit kebarat-baratan. Apa kau blasteran?" ini pertanyaan dari Prof. Jecavio.

"Iya Prof, ayahku blasteran Korea-Perancis," kataku sambil mengingat wajah Trevor Kim atau Kim Taehyung yang notabene adalah ayahku sendiri.

"Pantas saja.." Prof. Jecavio mengangguk maklum.

Dan sejak saat itu, aku terkenal ke seantero penjuru kampus sebagai Prof. Jecavio junior. Semua orang memanggilku begitu. Hahaha konyol sekali memang. Kuakui wajah kami memang mirip, mungkin karena efek terlalu 'nge-fans' sehingga akhirnya wajahku jadi mirip dengannya. Apa itu masuk akal?

Sejak peristiwa Halloween itu pula Prof. Jecavio menjadi semakin memerhatikanku. Ia menaruh perhatian lebih kepadaku setelah aku melakukan cosplay sebagai dirinya. Kami pun menjadi semakin dekat. Bahkan teman-teman kampusku sering mengatakan kami terlihat seperti ayah dan anak. Beliau juga sering mengajakku berkunjung ke rumahnya untuk melukis bersama. Katanya beliau tertarik kepada semangat dan minatku dalam melukis.

"Kita memiliki aliran yang sama.." katanya setelah aku mengutarakan beberapa pendapatku perihal lukis-melukis. Tentu aku jadi sangat senang mendengarnya.

"Ketika melihatmu aku seperti melihat perwujudan diriku di masa lalu..."

Berarti kita memang sejalan dan sepemikiran bukan? Ini pertanda bagus, aku mendapatkan seorang guru yang bahkan bersedia meluangkan waktunya khusus untukku. Bagaimana lagi aku harus bersyukur kalau semua hal berjalan dengan begitu mulus seperti ini? Ibu, lihatlah aku di sini. Bukankah pilihanku untuk pergi ke Italia merupakan suatu keputusan yang tepat? Ibu sudah tidak perlu khawatir lagi padaku.

.

.

Dua tahun kemudian..

Seminggu lagi adalah hari kelulusanku dan aku akan segera diwisuda menjadi seorang Bachelor of Arts. Tidak terasa empat tahun sudah aku menjalani studiku di Universitas Bologna ini. Waktu ternyata berjalan begitu cepat beserta semua kenangan manis yang menyertainya. Begitu juga dengan teman-teman yang menyenangkan, dosen-dosen yang hebat, dan momen-momen yang benar-benar begitu berharga untuk sekadar dilewatkan begitu saja olehku.

Selama itu pula aku baru mengetahui kalau Prof. Jecavio memiliki sejumlah galeri seni untuk memamerkan karya-karyanya yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Eropa. Benar-benar keren! Selain itu aku juga menemukan sebuah fakta yang kuyakini jarang diketahui oleh kebanyakan warga universitas Bologna termasuk dosen-dosennya—ini tentang kehidupan pribadi Prof. Jecavio.

Tahun ini Prof. Jecavio berusia empat puluh tiga tahun, sedangkan aku berusia dua puluh dua tahun. Selisih usia kami adalah dua puluh satu tahun. Nah, ketika aku berusia dua puluh satu tahun, yang artinya setahun lalu, Prof. Jecavio menceritakan tentang kisah cintanya padaku yang—err, cukup tragis menurutku.

Sekadar informasi bahwa di balik wajahnya yang tenang dan berwibawa itu ternyata tersimpan kelembutan perasaan dan hati yang begitu rapuh dalam menanggapi sesuatu yang bernama 'cinta'.

Baiklah, akan kuceritakan sejak awal.

Prof. Jecavio bercerita padaku bahwa beliau adalah tipe lelaki yang sekali jatuh cinta kepada sosok yang tepat, maka beliau akan menyimpan cintanya kepada yang bersangkutan di hati, jiwa, dan pikirannya—selamanya.

Nah, di sinilah permasalahannya. Kata 'selamanya' adalah masalah utama yang membuat Prof. Jecavio tidak bisa berpindah ke lain hati untuk mencintai orang lain. Katakanlah beliau terlalu melankolis, namun kenyataannya memang demikian adanya. Sungguh hal itu tidak sesuai dengan wajah tenangnya.

"Cinta sejati..." begitu kata Prof. Jecavio.

"Cinta sejati itu tidak harus memiliki..." tambahnya lagi.

Lelaki empat puluh tiga tahun itu berkata bahwa ia bertemu dengan cinta sejatinya ketika usianya dua puluh tahun. Saat itu ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa sophomore di Universitas tempatnya mengajar saat ini, Universitas Bologna. Orang yang disebutnya sebagai cinta sejatinya itu adalah orang Asia. Tetapi beliau tidak menyebutkan persisnya di mana. Padahal Asia itu kan tanah terluas di dunia. Lalu bagaimana aku bisa mendapat gambaran?

Baiklah, mari fokus ke kisah cintanya lagi.

Cinta keduanya berawal dari pertemuan singkat katanya. Hanya sepuluh hari saja namun mampu membuat pahatan cinta permanen di hatinya. Sungguh miris. Prof. Jecavio memang tidak menceritakan bagaimana detail pertemuannya dengan sosok itu. Namun aku yakin dalam masa yang singkat itu pasti terjadi sesuatu di antara mereka. Suatu hal besar yang begitu krusial. Tidak perlu ditutup-tutupi lagi atau berpura-pura tidak tahu karena aku juga malas menerka-nerka. Tapi aku yakin kalau mereka berdua—telah bercinta! Hahaha.

Prof. Jecavio juga bercerita bahwa setelah beliau lulus dan mendapatkan perkerjaan yang bagus, beliau pergi ke negara dimana cinta sejatinya tersebut berada. Berniat untuk melamar dan menikahinya lalu membawanya ke Italia untuk hidup bersama. Namun ketika beliau sampai di negara itu, yang didapatinya hanyalah kenyataan pahit. Pahit karena ternyata cinta sejatinya itu telah menikah dengan orang lain dan tampaknya telah melupakan Prof. Jecavio sama sekali. Akhirnya Prof. Jecavio pun kembali pulang ke negaranya dengan harapan sirna dan tangan hampa yang sia-sia.

Setelah peristiwa itu, untuk mengalihkan semua kesedihannya, Prof. Jecavio fokus di pendidikan dan melanjutkan studinya hingga mendapatkan gelar doktor. Kemudian beliau mengikuti ujian untuk menjadi profesor dan akhirnya di sinilah dia, mengajar mahasiswa di universitas yang juga merupakan almamaternya sendiri. Dan ya, Prof. Jecavio memutuskan untuk tidak menikah sampai saat ini dan tidak mau jatuh cinta lagi karena rasa traumatik yang terlalu mendalam di hatinya.

"Cinta itu menyakitkan..." katanya.

"Cinta itu membunuhmu perlahan-lahan..." tambahnya.

Sungguh betapa malangnya nasib profesor favoritku satu ini. Aku jadi membayangkan bagaimana kalau aku berada di posisinya. Aku pasti sudah stress berat mungkin. Tidak mau makan dan tidak mau sekolah. Lebay memang. Tapi sifatku memang begitu sih, mau bagaimana lagi? Untungnya sampai saat ini aku belum pernah menemukan yang namanya 'cinta sejati'. Kalau hanya sekadar naksir sih, sudah ribuan kali sepertinya ohoho.

Ya begitulah kisah cinta Prof. Jecavio yang beliau ceritakan padaku. Tidak perlu diucapkan dengan gamblang pun aku sudah tahu kalau Prof. Jecavio masih menyimpan sosok cinta sejatinya itu di hati dan pikirannya hingga saat ini.

Katanya, beliau bahkan memiliki sebuah ruangan khusus yang digunakannya untuk mengenang memori-memori kebersamaan mereka yang terlalu singkat itu. Dan kabar gembiranya—Prof. Jecavio akan menunjukkannya padaku seminggu sebelum aku diwisuda yang artinya adalah hari ini! Ya, nanti malam aku akan mengunjunginya dan menyingkap rahasia besar profesorku itu. Aku sudah tidak sabar lagi.

.

.

Sebuah pintu yang merupakan akses untuk menuju ke ruang bawah tanah terbuka lebar di hadapanku. Setelah kami berdua makan malam yang menunya dimasakkan sendiri oleh Prof. Jecavio kami pun segera menuju ke ruang 'keramat' yang aku ceritakan tadi. Kami perlu menuruni anak tangga yang lumayan panjang dengan lorong bercahayakan lampu kecil redup yang tersemat setiap satu meter di sepanjang dinding. Setelahnya kami menemukan sebuah pintu berwarna hitam dengan sebuah tinta perak bertuliskan 'Masterpiece'.

Ceklek..

Dan pintu pun terbuka. Dibuka oleh Prof. Jecavio tentu saja—menampilkan sebuah ruangan. Ya sebuah ruang ruangan yang benar-benar di luar dugaanku!

Pada awalnya kukira ruangan itu adalah ruangan bernuansa klasik dengan sentuhan artistik di sana-sini, memiliki ornamen khas renaisains dengan warna cokelat atau emas, memiliki tirai beludru, dengan lantai kayu berplitur atau mungkin kandiler yang menggantung apik di langit-langit. Salah semuanya!

Sebuah ruangan yang benar-benar terang dengan cahaya di sana-sini tersingkap begitu pintu dibuka lebar. Lampu-lampunya tersebar di seluruh penjuru ruangan dan menyala dengan begitu terangnya.

Ruangan itu bercat putih terang, benar-benar polos dan bersih. Sedangkan tirai-tirainya berwarna putih gading, lantainya terbuat dari pualam yang juga bernuansa putih. Kemanapun kusapukan pandanganku yang kulihat adalah sebuah ruang lapang dengan berbagai pajangan lukisan di sepanjang dinding yang benar-benar diliputi oleh warna serba putih.

"Wow.. Ini seperti miniatur galeri lukisan Prof.." aku membuka suara.

"Bisa dibilang begitu. Hanya saja semua lukisan di sini temanya sama," jelasnya.

Aku manggut-manggut, kutelusuri dinding demi dinding dimana lukisan-lukisan Prof. Jecavio terpajang di sana. Lukisan-lukisan ini—temanya arsitektur bangunankah?

Colosseum, Roman Forum, Pantheon, Piazza Navona...

Castel Saint' Angelo, Trevi Fountain, Menara Pisa—

dan sejumlah bangunan lainnya.

Maafkan aku tapi aku sedikit kecewa dengan lukisan-lukisan ini karena kupikir sudah terlalu banyak orang yang melukis gambar realis dari bangunan-bangunan bersejarah di kota-kota Italia ini. Dan jujur itu kurang impresif, menurutku. Sudah terlalu mainstream.

"Kau perlu melihat detail terkecil untuk menemukan tema lukisan ini. Dan itu jelas bukan terletak pada arsitektur bangunannya," Prof. Jecavio menepuk pundakku tiba-tiba, membuatku blank sesaat dan mengerjapkan mata saking kagetnya. Dia seolah bisa membaca pikiran!

Aku mengangguk, kuamati lagi lukisan-lukisan itu. Saat ini aku berada di antara tiga lukisan lalu kubandingkan satu demi satu di antara ketiga lukisan tersebut. Hm, kurasa sama saja. Tidak ada bedanya.

Hanya lukisan bangunan dengan segerombolan orang yang berada di sekelilingnya dan juga seseorang yang agak terpisah tampak sedang mengambil gambar menggunakan sebuah kamera. Eh, kamera?

Aku langsung berlari menyusuri seluruh lukisan bangunan yang terpajang di sepanjang dinding ruangan itu satu demi satu sampai pada lukisan yang terakhir. Dari lukisan-lukisan itu aku menemukan satu kesamaan yaitu adanya seseorang yang berdiri menyendiri dengan pose tengah memotret bagunan di depannya. Sosoknya memang tidak begitu jelas karena dilukis dalam ukuran kecil.

"Prof, orang ini..." aku menunjuk ke arah sosok yang ada di lukisan itu.

"Benar, orang itu cinta sejatiku..." katanya sambil tersenyum sekilas.

Prof. Jecavio mengajakku menuju ruang selanjutnya untuk melihat lukisan-lukisan lainnya. Ruangan yang kedua ini nuansanya masih sama dengan ruang yang pertama, hanya saja pencahayaannya lebih redup karena pendar lampunya berwarna kuning. Di ruangan ini aku melihat beberapa lukisan close-up tampak belakang seseorang yang kadang juga ditemani oleh seseorang lainnya.

Lukisan pertama—Lukisan tampak belakang seseorang yang sedang merentangkan tangannya lebar-lebar dengan tiga buah air mancur di depannya. Sepertinya itu di Trevi Fountain atau Piazza Navona. Oh itu ternyata di Piazza Navona—begitu kulihat tulisan di sudut bawah lukisan itu.

Lukisan selanjutnya—Lukisan tampak belakang seseorang yang tengah memeriksa hasil jepretan kameranya di antara puing-puing Roman Forum.

Lukisan selanjutya—Lukisan tampak belakang seseorang yang tengah mendongak menyaksikan sekawanan burung merpati yang berterbangan di alun-alun St. Mark's Square.

Lukisan selanjutnya—Lukisan seseorang yang sedang bersandar di dinding jembatan Ponte Vecchio yang di bawahnya mengalir sungai Arno dengan bangunan warna-warni di sekitarnya.

Serta lukisan-lukisan lain yang senada di berbagai tempat wisata yang terkenal di Italia. Tunggu dulu, aku bilang tempat wisata? Dan sosok itu membawa kamera?

Jadi—dia turis?

"Profesor, jadi—kau jatuh cinta pada seorang turis?" tanyaku sambil menunjuk lukisan yang terpampang pada dinding terdekat.

Prof. Jecavio tidak menjawab. Ia hanya memberiku isyarat untuk mengikutinya ke ruangan selanjutnya di belokan sebelah kanan depan sana. Ternyata itu adalah sebuah lorong kecil yang terhubung dengan pintu bercat putih dihiasi ornamen bebungaan di pinggirannya.

Ceklek

Profesor Jecavio membuka pintu dengan sebuah kunci di tangannya. Ruangan itu gelap gulita tanpa pencahayaan apa pun—maksudku sumber cahaya di ruangan itu belum dinyalakan. Setelahnya, Prof. Jecavio masuk lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang. Ketika kami telah berjalan cukup jauh ke tengah ruangan, tiba-tiba Prof. Jecavio menepuk tangannya dua kali dan—

"ASTAGA! ASTAGA! ASTAGA!" aku berteriak begitu lampu dinyalakan. Salah satu telapak tanganku kugunakan untuk menutupi keduaku mataku sambil sesekali mengintip dari celah-celah jariku. Tadi aku berteriak karena apa ya omong-omong?

"Hahaha, kau ini ada-ada saja. Itu semua kan hanya lukisan," jelas Prof. Jecavio di antara kekehannya.

"Tapi Prof, kenapa mukanya rata semua?" kataku sambil mengintip lukisan-lukisan di sekelilingku melalui jemari tanganku.

"Karena ada filosofinya tersendiri, Mr. Kim," sahut Prof. Jecavio singkat. Ah, aku lupa kalau beliau itu dosen filsafat seni.

Perlahan kuturunkan tanganku dari wajahku dan kuamati lukisan-lukisan yang terpajang di sana dengan saksama. Lukisan itu hanyalah sebuah potret besar dari seseorang. Tidak ada yang menyeramkan selain muka ratanya saja sebenarnya.

"Hiy..." aku kembali bergidik ngeri. Sungguh memalukan. Sifatku yang sedikit penakut ini pasti diturunkan dari Ibuku. Ah, malangnya diriku. Walau begitu aku tidak takut dengan objek seram tiga dimensi. Kalau yang dua dimensi? Jangan ditanya, entah kenapa semuanya terlihat begitu menyeramkan untukku. Entahlah, aku memang aneh.

Objek lukisan yang ada di sini sebenarnya sama saja dengan objek seseorang di lukisan-lukisan sebelumnya. Hanya saja lukisan-lukisan di ruangan ini objeknya lebih besar, lebih jelas, dan juga lebih detail.

Dan potongan rambut orang di lukisan ini—sepertinya tidak asing.

Tapi siapa ya?

"Ayo kita lihat lukisan yang terakhir, kau pasti suka," Prof. Jecavio membuyarkan lamunanku. Dan kami pun menuju ke sebuah pintu (lagi) yang letaknya sedikit tersembunyi di ruangan tempatku berada saat ini karena diselubungi oleh tirai hitam. Benar-benar rumit seperti labirin.

Pip pip pip pip pip pip

Klik

Wuzzz

"Astaga! Prof, kau menggunakan pintu baja otomatis yang dikunci dengan sandi?" aku melongo saking tidak percayanya dengan apa yang kulihat barusan. Memangnya karya masterpiece-nya itu sebagus apa sih? Aku jadi penasaran.

"Kau perlu mengamankan sesuatu yang paling berharga di dalam hidupmu, nak!" begitu katanya.

Kontras sekali dengan ibuku yang begitu saja menghilangkan sesuatu yang paling berharga di dalam hidupnya—ingat arloji lapis berlian yang diwariskan turun-temurun buatan Perancis yang hanya satu-satunya di dunia itu—yang hilang di Italia?

Ruangan itu berbentuk bulat telur. Benar-benar oval seperti telur dengan dinding berwarna putih, lantai pualam putih, langit-langit putih, dan tirainya pun berwarna putih. Satu-satunya hal yang tidak berwarna putih hanyalah objek di tengah ruangan—yang kuyakini adalah sebuah lukisan berukuran besar—yang terselubung kain satin berwarna merah mengkilat.

Srettt

Disingkaplah kain satin merah yang menutupi objek di dalamnya. Dan tampaklah sebuah lukisan berukuran kurang lebih 2,5 x 1,5 meter yang langsung membuat rahangku jatuh ke bawah. Lagi-lagi menganga.

"Lukisan ini adalah masterpiece-ku karena objek di dalam lukisannya juga masterpiece bagiku. Judul lukisan ini adalah 'Canvas'. Tanpa kuberitahu, kurasa kau telah paham mengapa lukisan ini kuberi nama begitu," jelas Prof. Jecavio panjang lebar.

Ya, dilihat dari sudut mana pun aku tahu kalau lukisan ini judulnya 'Canvas'.

Tunggu dulu, aku sedang tidak nge-troll ya!

Ini bukanlah lukisan sebuah kanvas yang terpajang begitu saja di dalam lukisannya. Ini sedikit-banyak di luar dugaan dan bahkan sedikit gila!

Tentu saja gila. Bagaimana tidak—Oh, tunggu dulu. Aku membaca sebuah nama di bawah lukisan ini yang ditulis menggunakan huruf Korea beserta tanda tangannya.

"Prof, siapa itu Jeon Jungkook?" tanyaku sambil masih menatap horor lukisan di hadapanku itu.

"Mm, itu—nama asliku, nama Koreaku. Aku blasteran Korea-Italia sebenarnya."

Aku ingat-ingat lagi, Jecavio John—Jungkook Jeon. Astaga! Benar juga ya?

"Prof, apa menurutmu wajah kita terlihat mirip?" tanyaku takut-takut.

Prof. Jecavio terlihat bingung dengan pertanyaanku namun beliau tetap menjawab.

"Mm, kurasa iya. Aku seperti melihat diriku di masa lalu setiap kali melihatmu."

Aku hanya tersenyum kecut sebagai responnya dan kembali bertanya.

"Profesor, boleh aku tahu siapa nama orang ini?" please, please, please, semoga dugaanku salah.

Profesor Jecavio tidak langsung menjawab, beliau hanya menatap wajahku yang menunjukkan ekspresi memelas yang amat sangat. Mungkin beliau bingung.

Profesor Jecavio terdiam sejenak lalu mengembuskan napasnya pelan. Sambil memejamkan mata dia menjawab—

"Namanya—Park Jimin.." lirihnya.

Oh My God!

Aku menunjukkan wajahku yang tampak seperti orang siap menangis tetapi ditahan mati-matian agar air matanya tidak tumpah.

"Profesor Jeon Jungkook," panggilku dengan nama aslinya.

Profesor Jecavio terlihat heran mengapa aku memanggilnya dengan nama aslinya.

"Ya?" jawabnya sambil mengamati ekspresi wajahku yang tampak begitu malang ini.

"Profesor, orang di dalam lukisanmu itu—Park Jimin?" tanyaku lagi, sekadar memastikan saja.

"Iya, bukankah sudah kukatakan tadi?" Prof. Jecavio terlihat semakin bingung.

"Prof, ibuku juga namanya Park Jimin. Dan wajahnya—persis seperti ini..."

Profesor Jecavio mendadak blank.

"A-astaga..."

End

.

.

CANVAS

Diberi nama demikian karena model lukisannya merupakan kanvas dari sang pelukis.

A Living Canvas

adalah nama lukisan masterpiece milik seorang seniman lukis berbakat bernama Jecavio Jeon atau Jeon Jungkook.

Lukisan ini dibuat ketika pelukis masih berusia dua puluh tahun dan model lukisannya adalah seorang turis cantik asal Asia yang namanya disamarkan.

Lukisan ini menggunakan tubuh telanjang turis tersebut sebagai kanvas atau media untuk melukis. Sebagai pewarnanya digunakan bahan-bahan makanan di antaranya: berbagai macam selai—selai cokelat/Nutella, selai strawberry, selai kacang, selai jeruk, selai melon, selai nanas, selai blueberry, selai blackberry, selai sirsak, dan juga yoghurt.

Model lukisan terlihat berbaring ke samping menghadap sang pelukis dengan satu tangan yang menyangga kepalanya di sebuah sofa panjang berselubung kain satin merah mengkilat. Bagian paling privasi milik model diselubungi oleh sesisir pisang berwarna hijau mulus.

.

REVIEW DONK~

.

Jadi—Jester itu anak siapa hayoo?

.

Kamis, 1 September 2016

02:25 PM

Special tribute to:

Birthday Boy Jeon Jungkook!

.

.

.

NOTE:

Sebenernya ini side-story dan bukan cerita utama.

Cerita utamanya nyeritain kenapa Jimin ke Italia dan ketemu Jungkook di sana.

Eh, tapi malah yang selesai duluan yang ini, ya udah deh. Aku bisa apa?

Jadi yang cerita utama itu—aku jadiin prekuelnya ini kali ya? (Kalau aku mau sih).