PROLOG

Pusat Kota London, Inggris, 2002

JIANLUCA Hibiki Zala benci pada kenyataan dirinya mesti terjebak dalam keramaian pusat kota ketika siang hari. Ia benar-benar merasa jengkel, dan kejengkelannya semakin memuncak saat menyadari kulit putihnya tertimpa cahaya terik matahari, membuatnya terlihat seperti remaja berambut pirang sepundak dengan kulit pucat mencolok.

Jian berdiri di trotoar jalan di depan bangunan tinggi Departemen Store―yang ia duga adalah salah satu dari sekian aset yang dimiliki ayahnya―bersandar pada tiang lampu dengan Kisaka, pengawal pribadi adiknya, berada di sampingnya.

Ia mengenakan kaos polo putih, celana jeans panjang dan topi bisbol terbalik di kepalanya. Lensa merah di matanya memancarkan kilau saat ia mengalihkan pandangan dari jalanan kota London yang padat ke arah Kisaka yang sedang membuka sebuah payung hitam. Jian membuka mulut saat Kisaka mengarahkan payung hitam tersebut ke atas kepalanya. "Kurasa payung konyol itu terlalu berlebihan," komentarnya, nyaris memutar bola mata.

Kisaka merasa terusik dengan komentar bocah lelaki berusia duabelas tahun itu. Sembari memerhatikan keadaan sekitar, ia berkata acuh, "Tentu saja aku akan menyingkirkan payung konyol ini kalau saja ekspresi gelisah karena tersinari cahaya matahari tidak tampak dari wajahmu."

"Singkirkan payung itu segera, Kisaka," perintah Jian dengan cemberut. "Dan sebaiknya jangan membuatku mengulangi perkataanku, karena kawat gigi ini benar-benar membuatku risih."

Kisaka tak mengindahkan perkataan kakak dari majikannya barusan. Ia malah mengeluarkan saputangan dari saku mantel hitam panjang yang dikenakannya dan mengarahkan saputangan tersebut ke wajah Jian, mengusap sudut mata bocah itu.

"Kurasa lensa merah tidak cocok untukmu, Jian," kata pengawal itu, mengalihkan topik pembicaraan. "Itu membuat sudut matamu berair."

"Ya, ya," gumam Jian kesal. "Kau mengalihkan topiknya, dan kuharap kita bersandiwara hanya di depan Ayahku. Sebaiknya sekarang kau bersikap normal."

"Ada apa, Jian?" kata Kisaka dengan ekspresi wajah datar. "Bukankah kau menginginkan rencana penyamaran ini berjalan dengan sempurna?"

Jian mendesah. Ia tak berniat membalas perkataan Kisaka dan sebisa mungkin menghindari bertatapan langsung dengan pengawal itu. Baginya, wajah datar yang kini diperlihatkan Kisaka terhadapnya terkesan seakan meremehkan.

Melakukan penyamaran agar tidak terkenali siapapun memang rencana Jian. Tetapi berpura-pura menjadi bocah nakal pemberontak bukanlah idenya. Adiknya-lah yang mengatur segalanya sehingga ia kini dapat merasakan perih karena lensa merah di matanya dan ngilu di seluruh giginya karena kawat gigi yang dipasang di dalam mulutnya.

Suasana hati bocah itu akan bertambah muram, jika saja, matanya tak menangkap objek yang sedari tadi telah ditunggu-tunggu dan menjadi targetnya. Ia segera terkesiap ketika melihat sosok laki-laki tampan berambut biru gelap dan berpenampilan elegan tengah duduk di dalam sebuah mobil Limusin hitam yang melintas tak jauh dari tempatnya kini berdiri. Sembari memerhatikan Limusin hitam itu memasuki area parkir khusus Departemen Store, Jian memulai kembali pembicaraan, "Kisaka, kau melihatnya?"

Kisaka mengangguk, kemudian mengeluarkan sebuah minuman kaleng berkarbonasi cola―minuman yang terbuat dari biji pohon kola―dari saku mantelnya dan menyodorkannya pada Jian. "Ya, kurasa kita bisa memulainya sekarang."

Jian mengambil kaleng kola tersebut dari tangan Kisaka. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata ia berjalan pergi meninggalkan pengawal itu. Baginya berbasa-basi hanya akan membuang-buang waktu.

Jian berjalan dengan langkah cepat, menerobos kerumunan yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar, lalu memasuki area parkir khusus di ruang bawah tanah Departemen Store. Seketika ia langsung membuka penutup pada kaleng kola saat sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berambut biru gelap yang ia ketahuinya adalah Athrun Zala, ayahnya, tengah turun dari mobil Limusin hitam yang berada tak jauh di depannya.

Jian berniat menghampiri laki-laki itu, dan ketika Athrun mulai berjalan membelakangi dirinya, ia segera berlari dan menabrakkan diri dengan sengaja ke tubuh laki-laki itu, sehingga minuman kola di tangannya menyembur mengenai jas abu-abu Athrun.

Jian tak menampakkan gelagat bersalah, ia malah memasang ekspresi menantang tatkala Athrun menatapnya intens. "Kau harus mengganti minumanku, Sir," katanya pura-pura menuntut.

Athrun memerhatikan sejenak noda kola yang membasahi jasnya, lalu kembali memandang bocah lelaki berambut pirang sepundak di depannya. Dengan menaikkan salah satu alisnya, ia berkata, "Mengapa aku harus mengganti minumanmu?"

"Karena kehadiranmu di sini," jawab Jian sekenanya. "Aku tidak mungkin menabrakmu kalau saja kau tidak ada di tempat ini―"

"Itu artinya kau menabrakku dengan sengaja?" sela Athrun, memotong perkataan bocah itu dengan cepat.

Jian bergeming, menimbang-nimbang kalimat apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. Dengan tatapan menyelidik yang secara terang-terangan diperlihatkan Athrun terhadapnya, Jian menerka-nerka apakah sandiwara melodramatisnya ini akan terbongkar oleh laki-laki itu. Tetapi, sampai sejauh ini, ia sudah dapat menilai satu hal...

Ayahnya tidak mengenali suaranya. Siapa dirinya.

"Apa yang akan kaulakukan jika aku memang menabrakmu dengan sengaja?" tanya Jian akhirnya, kali ini dengan nada suara terdengar menantang.

Sebuah senyum tipis tiba-tiba mengembang di bibir Athrun. "Tidak ada. Tapi, bolehkah aku menanyakan alasan kenapa kau sengaja menabrakku? Nah?"

Jian seketika tersentak saat melihat senyum itu. Sebelum ini ia mengira ayahnya―yang merupakan orang penting di tiga benua―pasti akan tersulut emosinya bila mendapati bocah berusia duabelas tahun bersikap kurang ajar terhadapanya, bahkan berkata menantangnya secara terang-terangan. Jian yakin laki-laki itu pasti akan mengonfrontasinya dan membawanya ke pos keamanan setempat guna memberi pelajaran pada dirinya yang dianggap bersikap 'kurang ajar'―yang sekaligus merupakan keuntungan bagi Jian karena ia dapat memiliki alasan untuk berlama-lama berada di dekat sang ayah, untuk mengorek lebih dalam jawaban dari setiap pertanyaan; mengapa sang ayah bisa tidak mengenalinya dan apa penyebab sehingga sang ayah tidak mengetahui permasalahan yang tengah menimpa keluarganya.

Tetapi, respons yang diperlihatkan pria berambut gelap itu justru berbalik dari perkiraan Jian. Athrun malah tersenyum dan berkata dengan nada yang Jian terka sebagai 'keramahan'.

Rencanamu gagal total, Bian, akhirnya Jian membatin.

"Kenapa diam saja?" kata Athrun lagi, seketika membuyarkan lamunan Jian. "Baiklah, kalau kau tidak ingin memberitahukan alasannya." Athrun mengarahkan sebelah tangan ke puncak kepala Jian dan mengusapnya sekilas. "Lain kali kalau berjalan mesti berhati-hati, Nak." Laki-laki itu kemudian memutar tubuh dan berjalan pergi.

Tidak, teriak Jian dalam hati. Kau seharusnya menghukumku, Ayah. Seperti yang Ibu lakukan bila aku bersikap tidak sopan. Bukan malah pergi seperti ini!

"Sir―" Jian hendak berjalan guna kembali menghampiri ayahnya. Tetapi sebelum langkah itu dimulai, ia malah mengurungkan niatnya dan segera menghentikan ucapannya karena secara tiba-tiba ia melihat Athrun membuka pintu mobil Limusin dan menyambut keluar seorang remaja perempuan berambut pink panjang.

"Papa! Apa yang terjadi pada jas-mu?"

Jian bergeming di tempatnya berdiri, sejenak memerhatikan dua orang di depannya dengan sorot mata skeptis. Tetapi sorot skeptis yang terpancar dari matanya segera berubah menjadi pelototan geram tatkala dilihatnya si gadis berambut pink panjang dengan santainya menggandeng tangan Athrun.

Jian merasa murka. Cemburu. Ia mengepalkan sebelah tangannya dan kali ini dengan tanpa keraguan menggerakkan kakinya lagi, berjalan dengan langkah cepat berusaha menghampiri kedua orang itu.

Namun, lagi-lagi, langkah bocah itu kembali terhenti. Kali ini bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena sebuah tangan besar tiba-tiba saja mencengkeram pundak sebelah kanannya, memaksa tubuhnya agar berhenti.

"Jangan sekarang, Jian," kata laki-laki itu yang ternyata adalah Kisaka.

"Lepaskan tanganmu dari tubuhku, Kisaka," ucapan lirih Jian lebih terdengar seperti sebuah perintah ketimbang permintaan.

Tapi Kisaka tak mengindahkan perintah itu, ia malah semakin memperkuat cengkeramannya pada bahu Jian dan menarik tubuh bocah itu agar menjauhi dua orang di depannya. Se-ligat mungkin agar Athrun dan gadis berambut pink panjang yang tengah bercakap-cakap itu tidak menyadari tindakannya.

"Kisaka―" Jian hendak memprotes tetapi dengan sigap juga Kisaka membungkam mulut bocah itu dengan tangannya.

Kisaka menarik tubuh Jian ke sudut tergelap lahan parkir―tempat di mana bayangan tidak dapat dihasilkan. Ia menahan tubuh bocah itu di dinding dengan cengkeraman kuat kedua tangan pada bahunya. "Jian, tenangkan dirimu."

"Tidak!" pekik Jian. Ia semakin meronta tatkala melihat Athrun dan gadis berambut pink panjang itu mulai berjalan memasuki area dalam Departemen Store―bergandengan layaknya hubungan ayah dan anak sungguhan. "Aku harus menyadarkan Ayahku!" Ia melanjutkan. "Aku harus membongkar kedok gadis licik itu! Kau juga dengar sendiri, 'kan? Gadis itu memanggil Ayahku dengan sebutan Papa. Memuakkan! Padahal jelas sekali warna mata gadis itu bukan hijau, dia memakai lensa! Dan aku tak habis pikir kenapa Ayahku bisa setolol itu dimanipulasi, hingga tidak menyadari permainan licik gadis itu! Aku benar-benar―"

"Jian!" Kisaka menghentikan celotehan panjang bocah itu dengan bentakan keras dan satu kali goncangan kuat pada bahunya. "Apakah seperti ini sikap dari putra sulung Cagalli Hibiki dan Athrun Zala dalam menghadapi masalah? Apakah sekarang kau masih berpikir kau pantas mendapat gelar sebagai pewaris utama dari segala aset yang dimiliki Ayah dan Ibumu? Begitu?!"

Jian tampak tertegun mendengar perkataan Kisaka. Ia menutup kedua matanya, mengatur napasnya, mencoba mengontrol emosi yang menggelegak dan seakan ingin mengambil alih kesadarannya. Walau begitu ia tidak menyalahkan dirinya sepenuhnya. Karena, bagaimanapun juga, ia hanyalah bocah berusia duabelas tahun. Bukan orang dewasa yang bisa dengan mudah meredam emosi bila dihadapkan pada suatu masalah.

"Tidak," akhirnya Jian berkata datar. Ia kelihatan sedikit lebih tenang sekarang. "Aku tidak ingin gegabah dalam bertindak."

"Bagus. Kontrol emosimu. Itu jauh lebih baik," Kisaka melonggarkan cengkeraman tangannya pada bahu Jian, berharap bocah itu dapat sedikit lebih rileks. "Dengar, Jian," Kisaka melanjutkan. "Rencana Bian sudah gagal. Gagal artinya gagal, tetapi kita masih bisa memikirkan rencana cadangan. Kita berdua juga sudah tahu kalau gadis yang tadi bersama Ayahmu bukanlah gadis sembarangan. Dia telah membuat Ayahmu tidak mengenali kita, membuat Ibumu nyaris kehilangan seluruh kewarasannya, dan juga telah berhasil membuat mandek pembangunan hotel Ibumu di Las Vegas. Kau tidak mau masalah di keluargamu bertambah pelik, bukan?"

Jian tidak langsung menjawab pertanyaan Kisaka. Ia menepis pegangan tangan pengawal itu dari tubuhnya, kemudian berjalan ke tempat yang dinaungi cahaya―keluar dari kegelapan sudut lahan parkir ruang bawah tanah Departemen Store.

"Kisaka," Jian menghentikan laju jalannya beberapa meter dari tempat Kisaka berdiri, membelakangi pengawal itu. Ia berkata dengan tanpa memutar tubuh, hanya menolehkan kepalanya. "Aku mengerti maksudmu, aku tidak boleh sembarangan dalam bertindak. Tapi, sungguh,"

Kisaka cepat-cepat menghadap ke arah Jian ketika dirasakannya ada yang aneh pada nada suara tertahan bocah itu. Ia bahkan sempat refleks ingin kembali mengeluarkan saputangan dari mantelnya ketika melihat sudut mata bocah itu kembali berair―yang disadari Kisaka sepersekian detik setelahnya bahwa cairan itu berasal bukan dari efek pemakaian lensa di matanya, melainkan, karena bocah itu menangis.

Tangisan yang cepat-cepat disingkirkan Jian dengan satu kali usapan cepat oleh punggung tangannya.

"Sungguh," Jian kembali berkata. "Aku ingin segera membawa Ayah pada Ibu, aku ingin Ibu kembali seperti dulu. Aku benar-benar sudah muak menghadapi masalah ini."

"Kalau begitu sebaiknya sekarang kita menghubungi Bian," kata Kisaka. "Kita harus memberitahukan detail situasi terkini kepadanya."

Jian cepat-cepat menggeleng. "Sudah cukup! Aku tidak ingin bergantung lagi pada rencananya. Bukan dia yang menentukan seperti apa seharusnya aku bertindak."

"Tapi, Jian―"

Jian mengangkat sebelah tangannya, memberi instruksi agar pengawal itu diam sejenak. "Walaupun aku sangat tergiur ingin memberi selamat pada rencana payahnya yang gagal ini," katanya sembari membalikkan badan, lalu menatap Kisaka dengan sorot mata dingin. "Tapi, tetap saja, aku tidak akan menghubunginya dalam waktu dekat. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan caraku sendiri, bukan dengan caranya."

...

Mainz, Jerman, di waktu yang sama...

"Halo, Nak. Apa kau yang bernama Bianica?"

Bocah lelaki berambut navy blue sepundak itu tidak langsung menjawab. Ia bergeming selama beberapa saat, memandang pria jangkung berkulit tan di depannya dengan tatapan menilai. Selang sepersekian detik setelahnya ia menggeser tubuhnya dari ambang pintu ganda, berusaha memberi ruang supaya pria berkulit gelap itu dapat leluasa ketika memasuki mansion.

"Kau pasti Dearka dari Vegas," bocah itu berkata, yang langsung dibalas anggukan oleh lelaki berkulit tan itu. "Aku sudah menanti kehadiranmu. Silahkan masuk."

Dearka melangkahkan kakinya memasuki mansion, berjalan mengikuti bocah di depannya menuju sofa krem panjang. Ia memerhatikan sejenak penampilan bocah itu yang hanya mengenakan kemeja sutra biru laut, celana wol abu-abu dan sepatu Gucci melapisi kedua kakinya. Setelah beberapa lama terpaku pada bocah berambut navy yang kini duduk di sofa seberang di depannya, tiba-tiba Dearka tersentak karena menyadari bocah itu belum menjawab pertanyaannya.

"Baiklah," akhirnya bocah itu mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Dearka. Ia tersenyum ramah sejenak sebelum melanjutkan, "Perkenalkan, namaku Bianica Hibiki Zala, putra bungsu dari pasangan Cagalli Hibiki dan Athrun Zala. Dan juga saudara kembar Jianluca Hibiki Zala―Kakakku. Maaf aku tidak langsung menjawab pertanyaanmu diawal pertemuan tadi. Aku harus memastikan bahwa segalanya cukup untuk bisa dikatakan aman."

"Aku mengerti." Dearka menjabat uluran tangan bocah itu, sedikit kagum akan sikap ramah yang ditujukan kepadanya. Dan juga sikap kehati-hatian bocah itu. "Jadi, aku memanggilmu Bian?" lanjutnya.

Bocah itu mengangguk. "Tidak masalah," balasnya, sembari menarik kembali uluran tangannya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang empuk. "Bagaimana denganmu? Apakah tidak masalah bila aku panggil Dearka?"

Dearka juga mengangguk. "Ya."

"Sebelumnya, kau ingin minum sesuatu?" tawar Bian.

Baiklah, hal-hal formalitas seperti perkenalan sudah dilalui Dearka. Sekarang saat baginya untuk mengutarakan tujuannya datang ke mansion Hibiki. Ada permasalahan mendesak yang lebih penting untuk dicarikan pemecahannya ketimbang duduk-duduk santai menikmati secangkir minuman. Jadi Dearka cepat-cepat menolak tawaran Bian.

"Langsung saja ke inti kalau begitu―Bagaimana perkembangan hotel Ibuku di Vegas?" kata Bian to the point.

Dearka terkesan pada sikap cepat tanggap Bian. Ia nyaris tersenyum, dalam hati merasa bangga bosnya memiliki putra yang bisa dikatakan tidak biasa. Ya, Dearka memang sudah mendengar rumor sebelumnya; bahwa putra bungsu pasangan Hibiki Zala berbeda dari anak-anak lain kebanyakan.

"Begini, Bian," Dearka memulai. Ia menatap mata amber Bian dengan pandangan serius. "Sejak Ayahmu dikabarkan menghilang, dan Ibumu mengalami masalah pada kejiwaannya, para investor mulai ogah-ogahan menyetor dana untuk proyek perluasan Hibiki Hotel. Padahal para investor itu sudah berjanji pada Ibumu saat masih sehat dulu, bahwa mereka akan bekerjasama sampai perluasan hotel selesai dilakukan. Bian, pembangunan hotel harus tetap jalan, kalau tidak kita akan mengalami kerugian; kehilangan para pelanggan―terutama dari kalangan elit. Kita semua tahu hotel Ibumu satu-satunya yang paling berkelas di Las Vegas."

"Oke," Bian mengangguk memahami penjelasan Dearka. "Jadi masalahnya ada pada para investor yang tidak mau menepati janji, dan kau belum menemukan solusi untuk mengatasinya?"

"Jujur saja," Dearka berusaha terlihat realistis. "Aku sendiri tidak berani mengambil tindakan."

"Begitu," balas Bian datar.

Dearka diam sejenak, tertegun memerhatikan ekspresi wajah Bian. Ia menyadari bocah itu tidak kelihatan tegang atau pun merasa terbebani ketika tadi mendengarkan dirinya menjelaskan keadaan aset milik Cagalli yang nyaris diambang. Bocah itu terlihat tenang, seperti orang yang sudah terbiasa dihadapkan pada masalah―seolah-olah 'masalah' hanyalah PR mudah yang biasa ia dapatkan dari guru-gurunya di sekolah.

"Menurutmu sebagai orang yang dipercaya Ibuku untuk mengurusi hotel," Bian kembali membuka pembicaraan. "Apa yang akan dilakukan Ibuku dalam menghadapi situasi seperti ini?"

"Cagalli punya cara tersendiri."

Entah mengapa, selama sesaat, Bian merasa jawaban yang terucap dari mulut Dearka terdengar agak ambigu. "Cara tersendiri?" Ia mengernyit.

"Yah, dia..." Dearka seketika menyisir gugup rambutnya dengan jemari, kelihatan ragu untuk melanjutkan. "Bian, sepertinya Ibumu tidak akan senang bila mengetahui aku mengatakannya."

"Baiklah, aku mengerti," ucap Bian memaklumi. "Mungkin sebelum ini Ibuku sudah mengantisipasi suatu hal, sehingga sekarang kau tidak berani buka mulut."

"Maaf, sungguh," balas Dearka, sedikit merasa tidak enak pada Bian.

Sebenarnya, Bian bukanlah tipe orang yang suka memaksa orang lain untuk mengatakan suatu hal yang membuat orang tersebut merasa tidak nyaman. Ia tidak suka intimidasi dalam bentuk apa pun. Tetapi, kali ini sepertinya ia harus menyingkirkan jauh-jauh pemahamannya tersebut. Demi mendapatkan informasi berharga guna kelanjutan rencana memperbaiki keadaan keluarganya seperti sedia kala... ia tidak dapat bertoleransi lagi. Ia mesti membuat karyawan ibunya itu buka mulut.

"Dearka," Bian tiba-tiba beringsut dari sofa, berdiri bangkit lalu berjalan perlahan mendekati jendela kaca yang berada tak jauh dari sofa. Ia memerhatikan pemandangan luar mansion dengan sorot mata menerawang. Sembari membelakangi Dearka dan mengaitkan kedua tangan di belakang pinggang, ia melanjutkan, "Kau tahu? Saat ini Ibuku sedang dalam kondisi kurang sehat, Ayahku tidak ada di sini, dan Kakakku juga sedang berada di London. Itu artinya, bisa dibilang, untuk sementara pengambil keputusan yang menyangkut keberlangsungan keluarga ini ada padaku."

"Aku tahu," balas Dearka.

"Tetapi," lanjut Bian lagi. "Keputusan apa pun yang akan kubuat, rencana apa pun yang akan aku rancang, sebelumnya mesti kupertimbangkan dahulu dari sumber informasi yang kudapat. Dan untuk masalah ini, itu tergantung dari kesediaanmu memberikan informasi tersebut kepadaku atau tidak."

Dearka tampak terkesima mendengar pemaparan Bian, tetapi tak lama setelahnya ia malah menghela napas. Anak ini cerdas, pikir Dearka. Dan saking cerdasnya, secara tidak langsung perkataannya menyudutkanku, seakan bagaimana persoalan di keluarganya akan teratasi tergantung pada seberapa loyalnya diriku dalam memberikan informasi.

"Sepertinya hanya ada satu pilihan, yaitu aku harus mengatakannya." Dearka berkata pasrah. Dalam hati ia berdoa semoga pilhannya kali ini tepat, semoga bila suatu saat nanti Cagalli mengetahui ia membocorkan rahasianya... ibu dari sang bocah berambut navy itu tidak memecatnya. Semoga saja.

"Untuk menghadapi para investor itu," sambung Dearka akhirnya. "Ibumu meminta bantuan pada seseorang di Sisilia, Italia."

"Sisilia? Jadi Ibuku..."

Baru saja Bian memutar tubuh hendak menghadap ke arah Dearka... saat itu juga bocah itu langsung menghentikan ucapannya dan tersentak. Sesaat sebelum pandangan matanya tertuju pada Dearka, Bian lebih dulu melihat sesuatu yang ganjil; yaitu air secara perlahan mengalir dari lantai dua mansion menuruni tangga marmer.

"Oh, tidak!" pekik Bian seketika. Ia buru-buru berjalan ke arah tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua mansion, kemudian berlari ketika menaiki tangga marmer yang basah.

Dearka, yang melihat raut panik dari wajah Bian, segera berdiri bangkit dari duduknya. "Bian, ada masalah?" tanyanya.

"Nanti kuberitahukan padamu," jawab Bian dengan sekilas menoleh ke arah Dearka dan terus menaiki tangga.

Bian mempercepat laju larinya. Dan setelah sampai di puncak tangga, ia langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati keadaan lantai dua mansion nyaris seluruhnya tertutupi air.

Pandangan Bian akhirnya terhenti di satu tempat―yang ia duga dari dalam tempat itulah air yang membasahi lantai dua mansion berasal. Tempat dengan berpintukan kayu ek itu... adalah kamar ibunya. Mau tidak mau, Bian akhirnya berjalan menghampiri kamar sang ibu yang berada di ujung koridor lantai dua mansion.

Setelah sampai di depan pintu ganda melengkung, Bian tidak langsung membuka pintu. Ia mengetuk daun pintu terlebih dahulu, kemudian mengatakan; "Ibu, apa kau terjaga?"

Dan sayangnya tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Bian nyaris mendesah mendapati kenyataan Ibunya tidak merespons dirinya. Dengan sedikit ragu-ragu akhirnya ia mendorong pintu ganda yang tidak terkunci itu, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar.

Hal pertama yang disadari Bian ketika melangkahkan kaki ke dalam kamar adalah suara keran air yang bergema dari arah kamar mandi yang pintunya berada di tengah-tengah dinding dari sisi kiri tubuhnya. Cepat-cepat ia menuju ke ruangan tersebut dan mematikan keran yang hidup.

"Kid, apa itu kau?"

Bian terkesiap setelah keluar dari dalam kamar mandi. Bukan, bukan karena ia mendengar suara seseorang yang baginya tampak familier itu, tetapi karena kata 'kid' yang terucap dari suara itu yang membuatnya kini terkejut.

Kid. Bian tahu kata itu. Kid adalah sebutan yang biasa ibunya ucapkan saat masih sehat dulu ketika memanggil Bian. Tetapi Bian mengetahui ibunya kini sedang dalam kondisi kurang sehat―yang terkadang pikun untuk sekadar mengenali orang-orang di sekitarnya. Sekarang tanpa diduga-duga wanita itu memanggil Bian dengan sebutan kid. Apakah ini pertanda bagus? pikir Bian.

"Ya, Ibu. Ini aku. Bian."

Karena penasaran akan kondisi sang ibu akhirnya Bian memilih mendekati ranjang antik bertiang empat yang letaknya dekat sudut ruangan. Ekspresi wajah Bian terlihat datar ketika melintasi karpet mahal Tunisia yang basah di tengah ruangan kamar, tetapi setelah ia sampai di dekat ranjang... pandangan bocah itu langsung berubah muram.

Bian melihat ibunya, Cagalli Hibiki Zala, kini sedang duduk dengan punggung disandarkan pada kepala ranjang. Cagalli mengenakan gaun tidur terusan berwarna tosca, dengan selimut putih tebal menutupi bagian kaki hingga pinggangnya. Tubuh wanita itu terlihat kurus, kulit wajah dan tangannya yang tersorot cahaya matahari siang dari jendela kamar terlihat pucat. Dan mata amber wanita itu... tampak tak cerah saat menatap lurus ke arah mata duplikatnya―mata Bian.

"Oh, kid, dari mana saja kau?" tanya Cagalli tiba-tiba, seketika membuat napas bocah berambut navy di hadapannya nyaris tertahan.

Bian memberanikan diri duduk di pinggiran ranjang di samping ibunya. "Melihat pemandangan, Ibu. Berjalan-jalan di sekitar kebun anggur dekat mansion."

Bian sengaja berbohong. Setelah berada lebih dekat dengan Cagalli, Bian menyadari tatapan mata ibunya terhadapnya tampak kosong. Akan berdampak buruk bagi sang ibu bila mengetahui kenyataan sesungguhnya; bahwa sebenarnya Bian tengah mengadakan pertemuan dengan Dearka guna membahas masalah pembangunan hotel yang mangkrak. Walaupun Bian tahu ibunya bukan tipe orang yang paranoid, tetapi membuat khawatir Cagalli di tengah kondisinya yang tidak stabil bukanlah harapan Bian.

"Ah, menikmati pemandangan," kata Cagalli. "Aku jadi rindu mengelilingi Manhattan dengan kapal pesiar. Mungkin sekembalinya Ayahmu nanti dari mengurusi bisnis di Rusia."

Bian merasa tenggorokannya tercekat―tak lama setelah mendengar pernyataan Cagalli yang seolah-olah meyakini ketidakhadiran suaminya saat ini dikarenakan tengah sibuk mengurusi urusan bisnis di negara lain. Bian memaksakan mengangguk menanggapi ucapan Cagalli.

"Ada apa, kid?" lanjut Cagalli. "Kau kelihatan sedih."

Bian tersenyum lembut. "Hanya mengkhawatirkan Ibu."

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kid. Ibu baik-baik saja. Tapi, kau benar-benar anak yang baik." Cagalli mengangkat kedua tangan dan merentangkannya ke hadapan Bian. "Sekarang, peluk Ibu."

Bian ragu sejenak. Sebelum ini ia selalu berusaha menyingkirkan jauh-jauh sifat sentimentil dalam dirinya, karena hal itu hanya akan membuatnya terlihat lemah. Tapi, sekadar membalas pelukan Ibu apa salahnya? benaknya memberontak.

Bian beringsut dari duduknya, lalu masuk ke dalam dekapan Cagalli. Ia langsung bisa mencium aroma bunga mawar yang terpancar dari tubuh sang Ibu, dan juga, merasakan hangat dan lemahnya tubuh Cagalli―yang tentunya membuat Bian tak bisa terlalu erat melingkarkan kedua tangan di tubuh sang ibu, sekalipun ia ingin sekali mengeratkan dekapan itu dan tak ingin melepaskannya.

"Kid, Ibu rasa cuaca akhir-akhir ini tampak buruk." Cagalli berbisik. "Setiap hari rasanya selalu panas."

"Mungkin sebaiknya kita buka jendelanya, Ibu. Agar angin masuk," usul Bian, walaupun dalam hati tak sepenuhnya yakin itu adalah alternatif. Ia lebih tergiur untuk menghidupkan AC. Hanya saja dokter dari Helsinki pernah berpesan kepadanya kalau kulit pucat sang ibu sangat rentan dalam kondisinya yang sedang sakit dan tidak baik bila terus-menerus terpapar suhu AC.

"Tidak." Cagalli menggeleng. "Aku tahu bagaimana mengatasinya, kid. Dengan menghidupkan keran dan menutup lubang saluran air di kamar mandi. Air akan membuat sejuk seluruh ruangan."

"Ibu―"

"Kurasa tadi aku melihat seorang penyusup masuk ke dalam kamar mandi dan mematikan keran airnya," ucap Cagalli, seakan tak peduli pada sanggahan cepat putranya. Ia melepaskan dekapan dengan mendorong pelan bahu Bian, menatap lurus ke arah mata bocah itu. "Tapi itu tidak penting. Kisaka akan mengurus penyusup itu nanti. Sekarang, kid, maukah kau menghidupkan kembali kerannya?"

"Tapi, Ibu, air membuat basah seluruh lantai ruangan―"

Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Cagalli telah lebih dulu mendorong kasar dada Bian sehingga membuat bocah itu jatuh telentang ke lantai yang basah. Bian sedikit meringis kesakitan ketika memposisikan tubuhnya agar terduduk di lantai. Kemudian ia mendongak, memandang lurus ke arah depan tubuhnya; seketika ia melihat ibunya yang juga tengah memandang ke arah dirinya. Cagalli memerhatikan dirinya dengan sorot mata curiga.

"Panggil pelayan dan suruh dia hidupkan kerannya," suara Cagalli terdengar lirih dan dingin.

"Ibu―"

"Dan berhenti memanggilku Ibu!" Cagalli menatap tajam Bian. "Kid tidak pernah membantah apa pun yang kukatakan. Pastinya kau bukan kid putraku."

Bian hanya bisa bergeming mendengarkan ibunya berbicara dengan nada suara dingin. Ia menunduk, sejenak memicingkan kedua mata, berusaha menahan air mata yang ingin menetes.

Walaupun ini rutinitas harian di mana penyakit pikun ibunya kambuh, tetapi tetap saja menyakitkan bagi Bian ketika mendapati ibu yang paling disayanginya berubah menjadi tidak mengenalnya dan mengatakan ia bukan anaknya. Dokter memang pernah mengatakan; masalah kejiwaan yang dialami Cagalli Hibiki Zala disebabkan trauma masa lalu saat ia kehilangan suami dan kedua putrinya di saat yang bersamaan. "Dan juga syaraf yang terganggu," kata para dokter. Tidak ada obat untuk itu selain istirahat dan obat tidur. "Atau, terkecuali," tambah salah seorang dokter, "bila kalian bisa membawa kembali orang yang baginya hilang, mungkin ada harapan Nyonya Zala sembuh."

Itu sudah berlangsung sejak hampir setengah tahun yang lalu.

Ibu pernah melarangku menangis.

Hanya ingatan akan perintah sang ibu di masa lalu yang membuat Bian kini kembali mendongak dan memberanikan diri memandang ibunya. Ia tersenyum ramah. "Tentu, Ib―Nyonya Zala."

"Apakah kau penyusup yang kulihat tadi?"

Bian cepat-cepat menggeleng. "A-Anak pelayan." Ia pura-pura berkata gugup. "Aku hanya anak dari seorang pelayan. Aku benar-benar minta maaf telah lancang masuk ke dalam―"

"Bagus." Cagalli mengangguk, seolah-olah tidak peduli pada penjelasan apa pun dari bocah di depannya. "Jangan datang kemari lagi, atau aku akan memecat pelayan itu. Orangtuamu."

"Ya, Nyonya Zala." Bian mengangguk sopan. Ia langsung berdiri bangkit dan memutar tubuh, memulai langkah menuju pintu masuk kamar.

"Sebaiknya begitu. Kuharap ini terakhir kali aku melihatmu."

Sayup-sayup Bian mendengar ibunya kembali berkata. Itu ketika ia telah sampai di depan pintu dan memegang kenop―yang membuatnya tertunduk lesu ketika membuka pintu dan keluar dari dalam kamar. Ia mengingat-ingat perkataan terakhir sang ibu: "Kuharap ini terakhir kali aku melihatmu."

Tidak! Benak Bian seketika berkata tegas. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli sekalipun ini akan menjadi yang terakhir kali aku melihatnya... bagaimana pun caranya aku harus membuat Ibu pulih.

Bian mengangguk singkat penuh tekad ketika berjalan melintasi koridor. Ia menuruni tangga marmer dan berhenti di tengah-tengah undakannya.

"Dearka," Bian berkata. Ia melihat laki-laki berkulit tan itu tengah berdiri dengan tubuh menghadap ke jendela kaca dekat sofa.

Dearka memutar tubuh. Ia balas memandang Bian.

"Sebelum aku mengutarakan keputusanku, bolehkah aku bertanya satu hal lebih dulu kepadamu?" lanjut Bian.

"Ya," jawab Dearka sembari mengangguk.

"Siapa yang Ibuku temui di Sisilia?" tanya Bian.

"Don Nara Athha."

"Ah, seorang Don." Bian tampak mendesah skeptis. "Tapi tidak ada pilihan selain menemui―"

"Bian, jangan―"

"Tentu saja. Harus."

Percuma. Dearka tidak dapat membantah. Ia terlanjur melihat kilat kesungguhan dari mata bocah lelaki berambut navy yang kini masih setia berdiri di tengah-tengah tangga marmer itu.

"Sepertinya aku harus menemui Don Nara Athha. Dearka, maukah kau menemaniku ke Sisilia?"

Dearka tidak langsung menjawab. Ia memicingkan kedua matanya sejenak, berpikir-pikir setelah apa yang dilaluinya sejauh ini... mengapa dulu ia sangat mudah sekali mengabulkan ketika ibu dari si bocah lelaki berambut navy tersebut menginginkan suatu hal. Ya, tidak ada pilihan untuk Dearka menolaknya. Ia hanyalah Dearka sang eksekutif Hibiki Hotel. Dearka si karyawan nomor satu kepercayaan Cagalli Hibiki. Tentu saja, apa yang bisa ia katakan untuk membalas permintaan bocah berambut navy tersebut? Hanya...

"Ya, Sir."


A/N: Halo! Ini salah satu FF serius ane, maaf kalau ada typo hehe.

Krik. Krik. Krik. Fandom ini makin sepi aja, nggak jamin dah ada yg baca wkwk.

Yupsss lanjut ke Bab sesungguhnya...