Fanfic ini dibuat berdasarkan alasan, yakni Hunter x Hunter itu krisis kisah cinta. Setuju? Atau hanya aku? Nggak apa-apa deh. Sejujurnya penulis kurang puas akan hasil fanfic ini tapi silahkan saja dibaca dan dikomentari ya! Somehow aku merasa Kurapica dan Neon cocok banget, hehe. Dan di bayanganku, kalau Kurapica jatuh cinta, mungkin akan jadi cowok pendiam yang romantis :) So, enjoy the story...
Disclaimer: Hunter x Hunter beserta segala tokohnya bukan punya saya, melainkan Yoshihiro Togashi-sama. :D
Hunter x Hunter Love Story
Kurapika x Neon
Kurapika baru saja naik pangkat menjadi kepala bodyguard keluarga Nostrade. Tugasnya adalah mengawal putri keluarga Nostrade menuju York Shin City untuk mengikuti pelelangan dan kembali lagi ke rumah. Sebenarnya tugas ini tidak terlalu sulit bagi Kurapika. Hanya saja, ia betul-betul tidak mengerti akan alur pemikiran Nona-nya itu. Nona Neon. Begitulah ia menyebutnya. Baginya, Neon hanyalah seorang gadis manja. Tapi ia tidak peduli juga akan sifat Neon. Yang penting adalah menjalankan misi dari bos dengan sukses.
Dan astaga! Baru saja dibicarakan, Neon sudah menampakkan sifat manjanya yang terkenal itu. Sekarang ia sedang sibuk melemparkan semua benda yang ada di kamarnya ke dinding. Lipstick, bantal, handphone, lampu meja, gelas, dan masih banyak lagi. Para dayang serta bodyguard lainnya sedang sibuk menangani nona besar ini. Kurapika yang masuk ke ruangan itu hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu menghela napasnya. Pasti berat sekali menjadi Eliza, dayang gadis itu, pikirnya dalam hati.
"Aku mau semuanya keluar dari kamarku! Tinggalkan aku sendiri di sini!" Tangannya memegangi pot bunga antik di udara, seolah bersiap melayangkannya ke kepala siapa pun di ruangan itu.
Kurapika berdeham dan berkata,"Semua bodyguard akan meninggalkan ruangan ini. Kecuali saya, Nona Neon. Tetap harus ada satu orang yang menjaga Anda di sini." Selesai mengucapkan kalimat itu, ia mengarahkan pandangan kepada para bodyguard dan mengangguk, sebagai tanda untuk meminta mereka meninggalkan ruangan.
Namun sedetik kemudian, pot bunga yang tadinya ada di tangan Neon sudah melayang ke arah Kurapika. Dengan satu gerakan cepat, Kurapika menghindari serangan itu. Pot bunga tersebut mengenai dinding dan pecah berkeping-keping. Melihat hal itu, seluruh bodyguard dan dayang keluar ruangan secepat yang bisa dilakukan kaki-kaki mereka yang gemetar.
"Sudah kukatakan untuk tinggalkan aku sendiri di sini. Kau dengar tidak? Sendiri!" Neon bangkit dan menderap ke arah Kurapika. Ia berusaha melayangkan pukulan, tamparan, dan jambakan ke arah pemuda itu. Dengan tenang Kurapika menghindari semua serangan putri majikannya, tanpa berniat membalas satu pun.
Sadar bahwa pukulannya sia-sia, Neon gusar dan mulai menarik-narik seprai kasur dan membantingnya ke lantai. Ia menginjak-injak seprai itu sambil mengumpat dan memaki ayahnya yang tidak menepati janjinya lagi untuk datang menemaninya.
Kurapika mengambil tempat di dinding yang jauh dari kepingan beling dan bersandar di situ. Ia menunggu Neon hingga tenang. Setelah melakukan aktivitas itu selama tiga jam, Neon akhirnya lelah dan tertidur di atas seprai di lantai. Melihat bosnya sudah tenang, Kurapika memastikan keadaan bosnya, lalu menggendongnya ke atas kasur dan menyelimutinya.
Setelah itu ia memutuskan untuk menelepon ayah Neon.
"Moshi-moshi," terdengar suara berat laki-laki di seberang sana.
"Moshi-moshi, Bos," jawab Kurapika. "Saya hanya ingin menyampaikan bahwa Nona sekarang sudah tenang kembali."
"Benarkah? Baguslah kalau begitu. Pasti dia menghancurkan barang lagi ya."
Kurapika berdeham. Alih-alih menjawab, ia malah melontarkan pertanyaan, "Anda akan kembali ke sini malam ini?"
"Oh, aku minta maaf pada kalian. Aku tidak bisa. Aku masih ada acara di sini. Mungkin kira-kira besok sore pesawatku akan tiba di Yorkshin."
"Baiklah kalau begitu." Kurapika mematikan teleponnya. Tepat ketika ia menyimpan handphone-nya di saku, sebuah suara menyentakkannya seketika.
"Papa tidak akan datang malam ini kan?" Neon rupanya sudah bangun dan kini duduk di atas kasurnya dengan wajah murung.
Kurapika tidak tahu harus mengatakan apa. "Ya. Ayah Anda mengatakan bahwa ia akan tiba besok sore."
"Huh, pasti malam ini akan bertemu perempuan lagi." Mata gadis itu berkaca-kaca kini. Air mata sudah siap mendesak keluar. Kurapika bersiaga jika gadis itu akan mengamuk lagi. Ia melirik ke kanan dan kiri untuk melihat apakah ada benda yang berbahaya. Namun gadis itu tidak berniat melemparkan apa pun. Tenaganya sudah terkuras habis usai mengamuk.
Sedetik kemudian terdengar isak pelan gadis itu. Neon tidak menangis meraung-raung. Ia tidak pernah menangis. Jika mengamuk, ia akan memaki, mengumpat, membanting barang, tapi tidak menangis. Kini setelah seluruh tenaganya terkuras, ia cuma terisak. Namun Kurapika bisa melihat Neon mencoba menahan air matanya. Sesekali ia mengusap pipinya yang basah sambil terus membekap mulutnya agar tidak menangis keras-keras.
Di sela-sela tangisnya ia berbisik pelan. Nyaris tidak terdengar. "Padahal ini hari ulang tahunku. Ia bahkan tidak mengucapkan apa pun padaku."
Mata Kurapika melebar. Ia mulai mengerti alasan gadis ini bersikap manja dan selalu menarik perhatian. Ia ingin diperhatikan ayahnya! Ayahnya yang selalu memikirkan perempuan. Bukannya Kurapika tidak tahu. Light Nostrade begitu terkenal di dunia mafia akan kesenangannya bermain dengan banyak perempuan. Namun, ia tidak menyangka bahwa ayahnya bertindak sejauh ini. Sampai membiarkan putrinya hidup dalam ketidakbebasan dan kesendirian.
Kurapika sendiri mengerti artinya kesepian. Ia hampir selalu merasakannya. Jika tidak bertemu dengan Gon dan yang lainnya, pasti ia tetaplah anak laki-laki yang dingin dan kesepian. Tidak. Entah kenapa sebagian besar dari dirinya tidak menginginkan putri bosnya mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Ia mengepalkan tangannya dan menimbang sejenak. Sampai akhirnya ia memutuskan.
"Bos," Kurapika mengulurkan tangannya hendak menyentuh pundak Neon, tetapi keraguan mengusik hatinya, membuat tangannya terhenti di udara. Namun Neon mendengar suara itu. Ia mendongak. Dengan mata bengkaknya, ditatapnya kedua mata hitam Kurapika yang mengenakan lensa kontak.
"Maukah, ehm, Bos mau pergi jalan-jalan denganku?" Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kurapika jadi merasa pipinya memanas tanpa alasan yang ia ketahui. Kalau dipikir-pikir, ia jadi seperti mengajak gadis ini kencan dengannya. Namun ia segera menguasai dirinya. Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Gadis ini adalah bosnya.
"Jalan-jalan?" Neon menghapus air matanya. "Ke mana?"
"Ke mana saja. Anda mau ke mana saja hari ini akan kuizinkan. Karena hari ini ulang tahun Anda."
Wajah Neon mendadak sumringah. "Benarkah?" Tapi mendadak menjadi murung kembali. "Tapi aku harus bawa bodyguard kan? Ah, tidak usah. Itu sih sama saja dengan jalan-jalan biasa."
"Tidak, tidak perlu membawa bodyguard ataupun dayang. Sebagai gantinya, biar aku saja yang menemani. Ini karena aku yang mengusulkan ide ini. Anda juga pasti akan lebih senang jika punya teman untuk jalan-jalan kan? Jadi, uhm, bagaimana kalau hari ini Bos pergi denganku saja?"
"Oke! Aku setuju! Waaah aku senang sekali." Mendadak tenaga Neon kembali dan ia lompat dari kasur dan berputar di ruangan, lalu dengan cepat memeluk Kurapika.
"Arigatou, Kurapika," Neon tersenyum lebar.
Kurapika terbelalak selama beberapa saat, kemudian ikut tersenyum. Ia tidak membalas pelukan Neon. Ia hanya menepuk pundak gadis itu dua kali. Menyadari posisinya yang tidak pantas, ia melepaskan dirinya dan berkata,"Sebaiknya kita segera bersiap, Nona."
"Ah, benar juga." Sambil melepaskan dirinya Neon berkata,"Karena hari ini kau adalah teman kencanku, dan bukannya bodyguard, hari ini kau memanggilku Neon saja. Aneh sekali kan kalau kita berjalan-jalan tetapi tidak seperti teman?"
Apa ini? Tidak bisa. Ini bosnya. Mana bisa ia memanggilnya dengan nama saja? "Untuk yang itu aku minta maaf, Nona, tapi aku tidak bisa mengabulkannya. Posisiku tetaplah bawahan. Aku tidak bisa semena-mena."
"Uh, tidak seru sekali! Sudahlah!" Neon kesal karena permintaan kecilnya tidak dituruti, tetapi ia mengerti juga kenapa Kurapika tidak mau mengabulkannya. Eh, tidak bisa katanya, bukan tidak mau. Jadi kalau bisa, apakah ia akan memanggilnya dengan namanya saja?
