Ketika langit biru di atas kepalanya perlahan-lahan menjadi warna jingga, Arthur menarik napasnya dalam-dalam. Anak berambut pirang itu kemudian berbaring di atas ladang rumput, menengadah ke langit dengan tangan menopang kepala, dan memandangi langit kemerahan di balik daun-daun hijau kering yang berguguran.
Angin kencang menyapu wajahnya ketika langit menjadi gelap. Bunyi katak dari pinggir danau berteriak-teriak memanggilnya, jangkrik-jangkrik bersorak kegirangan, dan suitan burung-burung kecil di dahan pohon bernyanyi menyambutnya.
Perlahan-lahan sebuah cahaya kerlap-kerlip menghampiri hidung mungilnya. Kerlap-kerlip itu semakin banyak, menari-nari di atas danau dan mengurungnya seperti lilitan lampu natal. Mereka bukan kunang-kunang, namun jauh lebih indah daripada sihir.
Arthur tersenyum, kemudian ia menegakkan badan. Harinya baru saja dimulai.
.
Falling Star by Raputopu
Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz
.
Arthur membuka tangan dan sebuah bintik cahaya mendarat di sana. Cahaya itu mengeluarkan sayap kecil yang transparan dan mengepak pelan seperti kupu-kupu. Dari sana, perlahan-lahan muncul seorang peri mungil yang berdiri dengan tubuh bercahaya emas. Tingginya hanya sebesar jari kelingking, sehingga Arthur harus mengatur posisi tangannya dengan hati-hati agar ia tidak jatuh.
Beberapa peri mungil mendarat di kedua bahu dan puncak kepalanya. Sekarang tubuh Arthur nampak bercahaya bila dilihat dari seberang danau.
Semak-semak berbunyi dan dari dalam sana seekor kelinci merah muda nampak melompat ke luar. Tubuhnya bulat dengan bulu-bulu lembut yang menggemaskan. Kelinci itu melompat-lompat seperti bola yang memantul. Tak berapa lama kelinci-kelinci lain dengan warna berbeda juga muncul dari semak-semak dan melompat-lompat menghampirinya, lalu beristirahat manja di dekat paha Arthur.
Arthur tertawa melihat teman-temannya yang menggemaskan.
"Arthur, mengapa kau kembali?" Suara peri di dekat telinganya berbisik. Tak lama peri-peri lain juga berbisik, memberi pertanyaan yang sama.
Arthur yang semula tersenyum lebar, perlahan-lahan murung.
Ia tertunduk. Kelinci-kelinci di sekelilingnya memeluk pahanya erat-erat, seakan-akan tidak ingin membiarkan Arthur pergi.
"Aku tidak ingin pulang. Aku ingin di sini… bersama kalian. Selamanya."
"Kami tidak ingin kau sedih."
"Bermainlah bersama kami."
"Jangan pulang lagi."
"Kami merindukanmu."
Suara-suara bisikan itu terdengar.
Arthur tersenyum lemah. Ia memeluk erat teman-teman mungilnya. Cahaya warna-warni yang membungkus tubuhnya perlahan-lahan memudar.
"Aku memang ingin selamanya berada di sini." Arthur menitikkan airmata. "Tapi… ayahku terus memanggil. Dan aku… harus pergi."
.
Somewhere over the rainbow, way up high
And the dreams that you dreamed of
Once in a lullaby
.
"Demamnya mulai turun."
Arthur menggeliat di dalam selimutnya.
"Sebentar lagi dia akan sadar."
Anak itu perlahan-lahan membuka matanya, lalu ia melihat wajah ayahnya yang khawatir dan wajah-wajah lain yang berdiri di sekitarnya.
Pelukan ayahnya langsung mendarat di atas tubuh ringkihnya. Pelukan itu hangat. Arthur merasa seperti berada di rumah kembali. Arthur sangat merindukan suasana ini. Sudah lama sekali rasanya ia tak merasakan kehangatan.
Lalu, ia mendengar ayahnya menangis.
"Jangan pergi lagi…"
Arthur memeluk ayahnya lebih erat. Matanya berkaca-kaca.
Ia berjanji tidak akan kembali ke sana lagi. Ia berjanji tidak akan meninggalkan ayahnya lagi. Ia berjanji.
Inil adalah rumahnya.
Kehangatan sesungguhnya.
.
.
fin
