LETS NOT GET MARRIED

CHAPTER 1

Disclamair : Masashi Kishimoto

By : Karayukii

Pair: NaruSasu

Rat: M

WARNING: OOC TINGKAT DEWA, BL (YAOI)

.

.


Terlahir menjadi anak tunggal sama sekali tidak mudah, lihat saja Namikaze Naruto, satu-satunya penerus keluarga Namikaze. Bukan hanya ia tidak punya pilihan mengenai masa depannya sendiri, yang merupakan pewaris tahta dari perusahaan besar Otomotif Namikaze corporation, ia juga harus menanggung beban untuk membuat orang tuanya merasa puas dan bangga untuk segala hal yang ia kerjakan. Jika ia sampai melakukan kesalahan maka habislah dia.

Untungnya selama Naruto hidup ia melakukan sebisanya untuk menjadi putra yang membanggakan. Lulus S2 dengan nilai memuaskan di universitas ternama Inggris, tidak heran jika Naruto dengan mudahnya langsung menjabat sebagai direktur operasional di perusahaan induk otomotif yang didirikan buyutnya.

Kaya, tampan, berpengalaman, dan memiliki masa depan yang menjanjikan, kehidupan yang megah itu masih terasa kurang, jika dilihat dari kosongnya posisi seorang wanita pendamping disisi Naruto. Ya, Naruto sendirian diusianya yang sudah berkepala tiga. Tapi percaya atau tidak, Naruto sebenarnya seorang duda. Ia menikah saat usianya dua puluh tiga tahun, memiliki istri rupawan yang lembut dan cekatan dalam memenuhi semua kebutuhannya. Namun kurang lebih tiga tahun berselang setelah ia menikah, wanita itu meninggal dalam sebuah kecelakaan yang sama sekali tidak disangka-sangka Naruto.

Terlalu mendadak dan tiba-tiba, rasanya Naruto masih sulit untuk mempercayai hal tersebut. Alhasil, diusianya yang kini menginjak tiga puluh dua tahun Naruto masih sendirian, hanya ditemani oleh berkas-berkas yang ditumpuk menggunung di ruang kerjanya.

Bukan karena tidak mau menikah lagi, sesungguhnya impian Naruto adalah meminang seorang gadis dan hidup bahagia bersamanya. Tetapi ternyata hal itu sangat sulit untuk diwujudkan. Aturan ketat yang diterapkan Ibunya kepada calon menantunya membuat Naruto ingin mengamuk sekeras-kerasnya.

Namikaze Khusina adalah ibu Naruto yang memiliki kriteria yang terlalu tinggi. Latar belakang, penampilan, ketrampilan memasak, dan perilaku calon pendamping, segalanya harus sesuai dengan seleranya. Inilah yang membuat Naruto masih kesulitan menemukan pengganti mendiang istrinya, karena semua wanita yang dicintainya tidak pernah sekalipun memenuhi kriteria ibunya. Bahkan wanita yang diyakini Naruto sebagai jodohnya, Haruno Sakura, harus dilepaskan dengan berat hati karena ibunya.

.

"Tuan sudah saatnya makan siang." Seorang wanita berambut hitam panjang mengintip dari pintu ruang kerja Naruto. Wanita yang merupakan sekretarisnya itu tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya ke jam dinding dengan sopan.

Naruto mengangguk padanya, tetapi masih tidak bergerak dari tempatnya. Ia bermaksud untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu, yang memang sudah agak tanggung.

"Uhm, maaf tuan." Sang sekretaris menyahut lagi, membuat Naruto kembali mendongak menatapnya. "Nyonya besar menyuruh saya untuk mengingatkan anda mengenai janji makan siang pada pukul dua belas siang ini."

Naruto langsung mendesah sambil melemparkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia lupa mengenai janjinya itu. "Ya aku tahu. Aku akan kesana sekarang." Sahutnya sambil menutup laptopnya.

Sang sekretaris mengangguk lalu menghilang dari balik pintu. Naruto memijat keningnya yang terasa agak kaku. Ia melirik jam tangannya. Sudah pukul 12 lewat, tapi kaki Naruto rasanya berat sekali untuk diangkat. Jika saja ia bisa tidak menghadiri janji makan siang itu.

Naruto sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan ibunya saat makan siang nanti. Kemungkinan besar ia akan mulai mengomeli Naruto atas ketidakbecusannya dalam memilih wanita. Karena Wanita yang sudah berumur lewat lima puluh tahun itu rupanya sangat kecewa kepada Naruto akibat pertemuan makan siang mereka yang terakhir kali. Naruto dengan mantapnya membawa Sakura, kekasihnya yang telah dipacarinya diam-diam selama dua tahun untuk dipertemukan kepada Ibunya.

Awalnya ibunya menunjukkan ketertarikan yang cukup besar pada Sakura saat pertama kali melihatnya. Tetapi kemudian ketika Sakura mulai menjatuhkan garpunya karena terlalu gugup, ekspresi ibunya langsung berubah menjadi kaku. Dan saat mereka memberitahukan pekerjaan Sakura, ibunya langsung memasang tampang seakan-akan ada bau busuk disekitarnya. Sakura adalah pelayan di restoran kaki lima, yang didirikan oleh orang tuanya.

Akhirnya pertemuan itu tidak berjalan dengan baik. Akibat kata-kata menohok ibunya, Sakura pergi di saat pertengahan acara. Membuat Naruto berada di posisi yang semakin sulit, antara mengejar Sakura atau menenangkan sang ibu yang mengamuk karena ketidaksopanan itu. Karena hal itu pula, hubungan yang dijalanai Naruto selama dua tahun bersama Sakura akhirnya kandas begitu saja. Semenjak itu, Naruto memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup. Sakura sebenarnya adalah gadis yang kesekian yang di tolak ibunya.

Naruto mendesah ketika melihat ponselnya bergetar. Nama ibunya terpampang di layar ponsel android itu. Dengan enggan Naruto mengangkatnya.

"Halo?"

"Lima menit lagi ibu sudah sampai." Balas Kushina langsung.

"Tidak bisakah kita bicara di rumah saja?" Pertanyaan basa basi, Naruto sudah tahu apa jawabannya.

"Tidak. Ibu lebih suka kita bicara di luar dan jangan coba-coba cari alasan. Aku sudah pesan tempat."

Naruto mengernyit, ibunya memang selalu berhasil membaca pikirannya. "Baiklah, tapi aku tidak bisa lama-lama." Ia menghela napas, menunggu sampai ibunya mengucapkan, "ini tidak akan lama." lalu menutupnya, ia menyambar tas kantornya dan berjalan menuju pintu. Jika sudah begini dia memang tidak bisa kabur. Ia melambai pada sekretarisnya lalu turun menggunakan lift.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke restoran tempat pertemuannya dengan sang ibu. ia masuk dengan langkah lebar sambil merapikan dasinya yang sedikit longgar. Pelayan restoran langsung mengantarkannya ke ruangan VIP yang terpisah dari pelanggan umum, dimana wanita berambut panjang berwarna merah dengan pakaian berwarna putih polos sedang duduk.

Saat Naruto sampai, semua makanan sudah terhidangkan diatas meja. Masih tak tersentuh.

Naruto duduk ditatami, lalu tanpa mengatakan apapun langsung menyambar sumpit dan mulai mengambil makanan yang diinginkannya. Ia bersikap seolah-olah tidak ada orang yang sedang duduk di hadapannya. Ia hanya melahap makanannya secepat mungkin dengan buru-buru. Sang wanita juga hanya duduk di depannya sambil menatap gerak-geriknya. Tatapan wanita itu terlihat ingin menangis seolah-olah ada sesuatu di wajah Naruto yang membuatnya sangat terpukul.

"Aku kasihan melihatmu." Komentar ibunya ketika melihat Naruto menghabiskan makanannya dengan begitu lahap dan berantakan. Ada sisa kecap di sudut bibirnya.

"Apanya?" Balas Naruto dengan mulut penuh nasi dan tangan yang sibuk menuangkan mie ke dalam mangkuknya.

Kushina menghela napas. Ia mengambil tasnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Naruto hanya meliriknya sekilas, tidak begitu perduli. Dia bahkan sudah tahu apa itu.

Ada tiga buah foto yang dijejerkan ibunya di atas meja. Semuanya adalah foto wanita-wanita cantik. Ibunya menggesernya sedikit ke depan Naruto, tetapi putra satu-satunya itu hanya menusuk-nusuk daging sapinya untuk membuatnya lebih mudah dikunya.

"Hari senin pada jam makan siang."

"Tidak bisa aku ada pertemuan dengan para pemegang saham."

"Kalau begitu kamis pada jam-"

"Aku harus ke Okinawa, ada persentasi produk baru."

"Kalau begitu hari minggu-"

"Tidak bisa bu, aku ingin istirahat total."

Kushina meletakkan alat makannya dengan keras ke atas meja. Ia menatap Naruto tajam. "Lalu kapan kau bisa bertemu dengan mereka?"

"Entahlah, untuk apa juga aku bertemu dengan mereka?"

"Naruto, Apa kau berniat untuk sendirian seumur hidup!"

"Memang iya."

Prang- sendok Kushina melayang ke kepala Naruto. Hampir saja sumpah serapah keluar dari mulut Naruto, jika saja mulutnya tidak penuh dengan ramen.

"Berhenti bersikap egois! Hidupmu bukan hanya milikmu sendiri, pikirkan juga kepentingan anak—"

"Ibuku yang cantik," Potong Naruto dengan penuh kesabaran, "jika aku akan menikah, aku akan memberitahukannya pada ibu, ok?"

"Kapan? Terakhir kali kau hanya membawa wanita tidak jelas ke hadapanku. Kau itu tidak becus dalam memilih perempuan!"

"Setidaknya dia lebih cantik dari ketiga wanita itu," Balas Naruto asal. Ia melirik foto itu dengan dingin. "Mereka jelek."

"Jelek!" Suara Kushina naik beberapa oktaf. Ia telah susah payah memilah-milah wanita yang paling cantik untuk putranya dan putranya mengatakan bahwa mereka jelek.

"Ya, jelek sekali." Tambah Naruto, "yang ini bahkan terlalu kurus, mungkin dia akan langsung patah jika ku sentuh."

"Naruto!" tegur Kushina, "dia putri dari-"

"Ibu," Sergah Naruto keras. "Kita sudah kaya raya, untuk apa menikahkanku dengan seorang princess?" ia beranjak dari kursinya dan memandang ibunya dengan letih, ia sudah merasa kenyang. "aku tidak akan menikahi salah satu diantara mereka."

"Tunggu, ibu masih belum selesai bicara!"

"Ibu aku sibuk. Kita lanjutkan nanti saja ok?" Dia mengedikkan satu matanya kepada ibunya dengan bercanda. Lalu menyambar jasnya dan berjalan keluar secepat mungkin. Saat sampai di mobil ia langsung menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Ekspresinya menjadi kaku dan tidak ada raut kesenangan sedikitpun.

Entah sudah berapa kali Naruto mengikuti permainan perjodohan sinting sang ibu. Apa ibunya tidak sadar bahwa sikapnya inilah yang membuat Naruto tidak ingin menikah? Ia takut memiliki istri seperti ibunya. Lagipula ia sama sekali tidak mengerti dengan kegundahan Ibunya. Ia terus mengenalkannya kepada wanita-wanita pilihannya, dan menolak menerima wanita pilihan Naruto. Seperti yang dikatakannya barusan, Naruto dianggap tidak becus dalam memilih wanita, karena memang semua wanita yang Naruto kencani tidak pernah memenuhi seluruh kriteria sang ibu. Walau begitu ia tetap memaksanya untuk menikah secepat mungkin.

Sikap ibunya itu membuat Naruto ingin meledak dan menghilang dari dunia ini. Ia selalu saja memutuskan segala hal yang harus atau tidak dia lakukan. bahkan setelah umurnya menginjak 32 tahun ia masih di atur seperti bocah sd. Terkadang ia mengharapkan untuk bisa hidup dengan privasi, dengan begitu ia bisa melakukan apapun yang diinginkannya tanpa diganggu oleh orang lain. Tapi rasanya itu mustahil.

Naruto merogoh ponselnya, terdiam sambil menatap layar wallpapernya. Disana terdapat gambarnya dengan seorang bocah perempuan kecil. Ibu jari Naruto bergerak mengelus foto itu sebentar, perasaannya sungguh tidak karuan.


Beberapa menit setelah kepergian Naruto, mobil lain berwarna hitam masuk ke area parkir. Mobil itu berhenti lalu mengisi tempat yang sebelumnya diisi oleh mobil Naruto. Seorang pemuda keluar dari sana, mengenakan setelan kemeja hitam yang lengannya di gulung sampai siku dan celana kain berwarna biru gelap. Ia mengunci mobilnya dan berjalan masuk ke dalam restoran, mengacuhkan seorang pelayan yang mendatanginya dan bergegas ke lantai dua menuju ke tempat VIP.

Ia berbelok ke koridor berlantai kayu, berpapasan dengan seorang wanita berambut merah dan berwajah jutek, lalu mengetuk sebuah pintu kayu geser dengan corak bunga sakura sekali sebelum masuk ke dalamnya.

Disana seorang wanita berambut hitam yang disanggul dengan rapi sedang duduk di atas tatami sambil meneguk sebuah minuman yang terlihat seperti teh hijau. Sang pria menunduk memberi hormat, sebelum duduk bersila di atas tatami.

"Kenapa ibu datang tiba-tiba?" Lelaki itu bertanya dengan sopan.

Wanita cantik itu meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menatap sang pria, yang merupakan putra bungsunya dengan tatapan tidak begitu senang. "sudah menerima pesanku?"

Sang pria mengangguk.

"Lalu kenapa aku mendengar laporan tidak mengenakkan tentang pertemuanmu kemarin?"

"Wanita itu sepertinya tidak terlalu menyukaiku." Balas sang pria, yang ekspresinya sedatar suaranya.

Uchiha Mikoto menatap putranya cukup lama, seakan-akan baru mengenalinya. Lalu kemudian ia berkata dengan suara yang begitu halus, "ayahmu sebenarnya sudah habis kesabaran dalam menghadapimu. Ia ingin membawamu kembali dengan paksa. Tetapi selama aku masih menjadi ibumu, aku akan berusaha keras untuk tetap membelamu, mencari cara agar ayahmu…"

"Ibu tidak perlu khawatir." Sasuke memotong dengan sopan, "aku baik-baik saja. Aku bisa mengurus semuanya. Tidak perlu merasa terbebani."

"Ini bukan masalah terbebani," Mikoto membalas. "Kau adalah bagian dari Uchiha, kau adalah anakku. Apa kau tidak kasihan dengan Itachi yang sangat mengkhawatirkanmu?"

Sasuke tidak membalas.

"Sasuke, aku telah melakukan sebisanya untukmu. Kesabaran ayahmu ada batasnya."

"Maaf." Hanya itu yang bisa dikatakan Sasuke. Wajah tampan yang tadinya tanpa ekspresi kini dialiri raut kemuraman. Sang pria tau betapa ibunya sangat menyayanginya, ia tahu bahwa ibunya ingin yang terbaik untuknya. Ia ingin menjodohkan Sasuke ke wanita pilihannya, agar kelak wanita itu bisa membimbing Sasuke kembali ke keluarganya.

Rasa sayang itu membuat perasaan Sasuke hangat dan sesak disaat yang sama.

Sang wanita kemudian menggelengkan kepalanya dengan letih. Ia menatap putranya dalam-dalam. "Aku akan menghubungimu nanti."

Sang pria mengangguk seraya menuangkan teh ke gelas sang ibu, ia tersenyum, "aku senang kau kelihatan sehat." Katanya tulus.

Tetapi sang ibu tidak terlalu mendengarkannya, ia merasakan ponselnya bergetar dan segera meraihnya. Sasuke menunggu ibunya selesai berbicara. Mata hitamnya fokus pada permukaan teh hijau di gelas ibunya yang baru di tuangkan.

"Ibu akan ikut penerbangan jam dua ini." Kata wanita itu akhirnya setelah mengembalikan ponselnya ke tas kecil. Ia berdiri dan Sasuke juga ikut berdiri. "Mau kuantar ke bandara?" Ia menawarkan.

Sang wanita menggeleng, "tidak perlu, Itachi sudah menyiapkan mobil untukku." Jelasnya. "Ibu pergi." Ia pamit lalu berjalan keluar tanpa berbalik lagi.

Sasuke hanya menatap punggung sang ibu yang begitu cepatnya menghilang dari pandangannya. Saat ia telah sendirian, ia kembali terduduk di atas tatami sambil menghela napas kecewa. Teh hijau yang tadi dituangkannya masih penuh. Tak tersentuh sama sekali.

"Ini bahkan tidak cukup lima menit." Gumamnya sambil tersenyum muram.


Sudah berjam-jam Naruto duduk di bar, menuangkan sebotol wine mahal ke gelasnya. Seteguk demi seteguk cairan itu masuk ke dalam tenggorokannya, tapi Naruto masih belum mabuk juga. Ada apa ini, padahal ia sedang ingin mabuk.

"Berikan aku minuman yang paling keras." Seseorang disisi Naruto berkata kepada sang bartender.

Naruto menoleh padanya, seorang pria berambut raven tengah duduk tepat disampingnya, sambil menopang dagu menunggu minumannya diantarkan. Naruto memiringkan kepalanya, rasanya ia tahu pria ini. Wajahnya tidak asing, dan gaya bicaranya yang terkesan angkuh benar-benar akrab di telinga Naruto.

"Apa kau…" Ia berkata, masih berusaha mengingat siapa tepatnya pria itu. Saat pemuda raven itu menoleh padanya, memperlihatkan wajahnya seutuhnya, ia langsung mengenalinya.

"Uchiha Sasuke!" Sahutnya terkejut.

Sasuke mengernyitkan dahi mendengar seruan Naruto yang terlampau keras. Tapi ekspresinya kaget juga melihat Naruto.

"Kau… Namikaze Naruto?" Ia juga mengingatnya.

Naruto, siapa sih yang tidak ingat dengannya. Rival Sasuke saat masih bersekolah dulu. Ia sering sekali mengganggu Sasuke, terus menantangnya bertarung, baik dibidang pelajaran maupun olahraga. Inilah yang terjadi jika kau menempatkan dua pemuda popular di sekolah yang sama. Apalagi tipe yang tidak mau kalah seperti Naruto. Dia akan langsung menjadi orang yang sangat merepotkan.

"Apa yang kau lakukan disini Sasuke?" Sebuah seringai tertarik muncul di wajah Naruto.

"Apa lagi? Minum."

"Dilihat dari ekspresimu, sepertinya hidupmu juga tidak terlalu baik."

Sasuke hanya menghela napas keras-keras sambil bergumam pelan. "Hn."

"Bicaramu juga masih irit."

"Hn."

"Kau juga masih tetap menyebalkan."

"Hn."

Sang bartender meletakkan botol wine ke dekat Sasuke. Pemuda raven itu mengambilnya lalu menuangnya ke gelas. Sedangkan Naruto menyeret kursinya untuk duduk lebih dekat dengan pemuda raven itu.

"Baiklah, karena ini kebetulan yang aneh, maka kau harus mentraktirku." Kata Naruto, menjulurkan tangan untuk mengambil botol wine Sasuke. Tapi pemuda raven itu langsung menepis tangannya.

"Jangan memutuskan seenaknya." Tukasnya ketus.

Naruto mengernyit. Pemuda raven ini sama sekali tidak berubah, ia masih kasar dan anti sosial seperti dulu. Sikapnya inilah yang terkadang membuat Naruto ingin terus mengganggunya. Ia tidak tahan melihat perangai sang Uchiha yang menyebalkan. Selalu berjalan dengan dagu terangkat tinggi-tinggi, dan mengacuhkan semua orang. Siapa yang tidak akan kesal melihat orang dengan tingkah seperti itu?

Yah tapi itu ketika Naruto masih duduk dibangku SMA, sekarang ia tidak akan cari masalah dengan sang uchiha dengan cara mengganggunya lagi.

"Kalau begitu, biar aku yang traktir." Tawar Naruto. Ia berdecih ketika melihat respon Sasuke yang hanya meneguk minumannya dalam diam dan tidak memprotes.

"Jadi apa kau sudah menikah?" Naruto bertanya lagi.

Sasuke menggeleng. "Tidak."

"Kenapa?"

"Apa itu penting?"

Brak— Naruto tiba-tiba menggebrak meja dengan keras, membuat sang pemuda raven berjengit ditempatnya. Ia menatap pemuda blonde itu, yang ternyata sedang memasang ekspresi penuh kepuasan. "Ya, benar! Memangnya itu penting!" Seru si pemuda blonde berapi-api. "Ibuku terus memaksaku untuk menikah. Tapi memangnya menikah itu penting? Apa salahnya jika kita menjadi single seumur hidup?"

Naruto begitu antusias, wajahnya disinari dengan cahaya kebahagiaan mengetahui ada seseorang yang berpikiran sama dengannya. Bukan hanya ibunya yang begitu ngotot memaksanya untuk menikah, di kalangan teman-temannyapun, Naruto selalu dipandang aneh karena tidak kunjung menikah. Dulu mungkin ia beranggapan, menikah adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan, makanya ia meminang mendiang istrinya tapi sekarang Naruto tidak perduli lagi.

Sasuke hanya memutar bola matanya, seraya menenangkan kembali detak jantungnya yang sempat melompat cepat karena ulah hiperaktif si pemuda blonde itu.

"Tapi tetap saja, kita tidak bisa hidup sesuka hati kita. "Kata Naruto tiba-tiba murung kembali. Ia sudah tahu suatu hari ia akan melepaskan masa dudanya dan menikah dengan wanita pilihan ibunya. Naruto akan menerima kekalahannya suatu hari nanti, ia tidak mungkin menang dari ibunya.

Lagipula Naruto telah melakukan hal yang benar-benar berani sepanjang hidupnya. Sampai saat ini hanya dia yang pernah menantang ibunya seperti sekarang. Ayahnya saja tidak berani membuat ibunya marah-marah.

"Menjadi orang dewasa memang tidak menyenangkan." Keluh Naruto. "Berbeda dengan masa-masa muda dulu. Ketika kita bisa melakukan apapun yang kita mau dengan sesuka hati tanpa harus menjalani tuntutan hidup yang menyebalkan."

"Hidup sesuka hati sebenarnya bukan kalimat yang tepat, itu sama sekali tidak ada. Karena pada masa mudapun, kita dituntut untuk belajar dan mendapatkan nilai setinggi mungkin." Komentar Sasuke. Pemuda raven itu memutar bibir gelas winenya dengan telunjuk, sambil mengawasi cairan bening itu dengan pikiran menerawang ke masa lalunya.

Jika bisa memilih hal yang paling berat dalam hidupnya, Sasuke akan memilih masa sekolahnya dulu. Ia selalu berusaha keras dalam setiap hal. Mendapatkan nilai tertinggi, menjadi juara dalam setiap perlombaan, berlagak seperti murid yang teladan. Semua itu Sasuke lakukan demi mendapatkan pengakuan dari orang tuanya. Bahkan ketika ia berada pada titik jenuhnya sekalipun, Sasuke tetap berusaha untuk tidak mengecewakan orang tuanya.

Tapi sekarang itu hanyalah omong kosong belaka, Sasuke letih menjadi anak baik yang bahkan setelah mengorbankan segalanya, tetap tidak pernah diakui.

Berbeda dengan Sasuke, Naruto masih keukeuh pada pendapatnya. "Bukankah kita memang hidup sesuka hati kita pada masa itu? Kau tidak ingat? Kau dan aku…"

Ia menggantung kalimatnya. Dan Sasuke langsung mengerti apa yang dimaksudkannya.

"Itu karena pengaruh alcohol." Terang Sasuke tanpa tertarik.

Naruto tersenyum sinis. Salahkan wajah Sasuke yang datar –jika Naruto tidak punya ingatan yang kuat, mungkin ia sudah mengira bahwa itu memang pengaruh alcohol. Tapi tidak, Naruto cukup yakin –bahkan sangat yakin—bahwa sang Uchiha memiliki kesadaran penuh saat melakukan 'itu' dengannya.

"Agak aneh menyebutnya sebagai pengaruh alcohol jika mengingat bagaimana kau mendesah dibawahku." Sahut Naruto dengan penuh percaya diri. "Melakukannya bersamaku bahkan membuatmu lupa dengan jati dirimu. Kau bertransformasi menjadi pria nakal yang sangat menggairahkan."

Naruto makin frontal, dan Sasuke memberikan tatapan peringatannya dengan mengancam. Jika si blonde itu tidak lupa, mereka sedang berada di tempat umum sekarang.

"Apa bagusnya membahas masa lalu." Sasuke memilih untuk menutup topik ini.

"Ya, apa bagusnya mengungkit hal yang telah lalu." Naruto menyetujui. Ia kemudian menuang gelasnya hingga penuh dan mengambil satu tegukan. "Tapi kau tahu, aku merasa pertemuan kita saat ini seperti de javu. Pertemuan tak disengaja dan dalam situasi yang sama, kau dengan masalahmu dan aku dengan masalahku."

Sasuke mendengus mendengar perkataan Naruto. De javu, ya dia benar. Sasuke ingat pada saat itu, walau umurnya belum cukup untuk meminum alcohol, tapi ia malah mampir di bar malam dan menghabiskan dua botol whiski sekaligus. Dan secara mengejutkan ia bertemu dengan Naruto di sana. Mengobrol sebentar dan berakhir keesokan paginya di ranjang hotel tanpa busana.

Entah bagaimana Sasuke bisa berada di ranjang bersama Naruto, tapi ingatannya saat diranjang bersama Naruto begitu jelas dikepalanya hingga sekarang. Sasuke menggeleng, berusaha mensucikan lagi isi kepalanya.

"Jadi kau mau berbagi masalahmu denganku?" Lanjut Naruto.

"Tidak." Jawab Sasuke pendek. Apa untungnya membeberkan masalah pribadinya kepada pemuda blonde itu.

Naruto tertawa, sama sekali tidak merasa kaget dengan sikap Sasuke yang tertutup. Sasuke memang selalu seperti itu. "Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kau mendengarkan masalahku saja?" Berbeda dengannya, Naruto adalah sosok yang lebih terbuka. "Jadi ini tentang ibuku. Ya, kau bisa bilang kalau dia tipe ibu yang menyebalkan mirip seperti di drama-drama Jepang yang tayang pada sore hari. Tipe pengatur dengan segudang permintaan yang membuat kepalaku pusing."

Sasuke meneguk minumannya, tidak mengatakan satu katapun. Tapi dia pendengar yang sangat baik, ia mendengarkan semua keluh kesah Naruto.

"Dia ingin aku menikah lagi, tapi selalu menolak semua gadis yang kubawakan untuknya. Dia punya kriteria yang terlalu tinggi dan hampir membuatku gila!"

Gelas Sasuke terangkat di udara, berhenti saat ia baru akan membawanya lagi ke bibirnya. Pemuda raven itu menoleh pada Naruto, kedua alisnya berkerut. "Menikah lagi?" gumamnya "kau sudah menikah?"

Naruto mengangguk. "Ya, tapi istriku sudah meninggal sekitar," ia menghitung, " sembilan tahun yang lalu, dan selama itu pula ibuku mengusik hidupku. Ia ingin aku menikah tapi tak ada satupun gadis pilihanku yang sesuai dengan kriterianya."

"Kalau begitu temukan wanita yang sesuai dengan kriteria ibumu, apa susahnya?" Komentar Sasuke sedikit ketus. Naruto mengatakan ini adalah masalahnya? Ini bukan apa-apa dibanding masalahnya.

"Nah…" Naruto menggeleng. "Aku sudah memutuskan untuk menjadi single seumur hidupku."

Sasuke mendengus. Pemecahan masalah yang terlalu simpel. "Kau memilih untuk sendiri seumur hidupmu?" Sasuke tidak yakin pemuda blonde itu bisa menjalaninya. Ia bukan tipe orang yang suka kesendirian. Lagipula waktu sekolah dulu Naruto terkenal sebagai playboy kelas atas.

Tapi Naruto mengangguk begitu yakinnya. "Lebih baik sendiri daripada menghabiskan seluruh waktuku untuk meladeni wanita pilihan ibuku." Ia meneguk minumannya dan mendecakkan lidah. "Wanita pilihan ibuku pasti mirip seperti ibuku. Aku tidak mau menikah dengan wanita seperti ibuku."

Sasuke terdiam, dia menatap pemuda blonde itu sejenak. Sepertinya masalah Naruto tidak sesimpel yang Sasuke pikirkan. Pemuda raven itu kemudian mengalihkan pandangannya lalu menatap botol wine yang sudah kosong. Ia termenung selama beberapa saat.

"Apa kau mau ku tenangkan?"Penawaran ambigu dari Sasuke.

Naruto langsung menoleh padanya dengan terkejut. "Kau bilang apa?" Naruto sebenarnya mendengar dengan baik perkataan Sasuke, tapi ia hanya ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Kalimat itu seharusnya tidak meluncur keluar dari bibir pemuda raven itu.

"Lagipula pembicaraan ini akan berakhir di ranjang kan?" Kata Sasuke sambil mengangkat bahu.

Naruto kini melotot padanya dengan tidak percaya. Dia salah duga, Sasuke ternyata sudah berubah. Tapi ini undangan yang menggiurkan bagi Naruto. Hampir tidak mungkin undangan ini datang dari pemuda raven itu.

"Yah, kau benar. Kalau bukan kau, pasti akulah yang akan menawarimu." Kata Naruto sambil menyeringai. Tidak ingin membuang-buang waktu, ia beranjak dan menyambar jasnya yang di letakkan di sandaran kursi. "Mau di rumahmu atau di rumahku?"

"Rumahmu." Putus Sasuke yang mengikuti gerakannya, meletakkan gelasnya dan beranjak.

Naruto tersenyum tipis, mata safirnya menatap pemuda raven itu lekat-lekat.

Ingat baik-baik, Sasuke tidak mabuk. Batinnya dalam hati.

"Kalau begitu di apartemenku." Sahut Naruto seraya meletakkan uang di meja.


Sasuke terbangun keesokan paginya dengan tangan Naruto meliliti pinggangnya. Ia mengerang, tubuhnya sakit semua dan dia merasa kedinginan. Seluruh bagian selimut di monopoli oleh pemuda blonde itu, Sasuke hanya kebagian secuil ujungnya dengan dadanya menempel di tubuh kekar sang blonde.

Sasuke mendorong Naruto menjauh, mendudukkan tubuhnya dan memijat lehernya yang kaku. Saat itu Sasuke baru menyadari bahwa ia sedang bertelanjang bulat. Bekas kemerahan menutupi hampir setiap bagian kulitnya, dari paha hingga ke kentara dan begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih.

Aktivitas malam mereka kini telah membuahkan hasil. Ini benar-benar menjengkelkan padahal Sasuke telah memperingati pemuda blonde itu untuk tidak meninggalkan bekas. Tapi kemudian Sasuke menyeringai puas saat melihat bekas kemerahan panjang di punggung Naruto yang tampak dalam, itu hasil cakarannya tadi malam. Mereka impas.

Dengan sedikit meraba-raba Sasuke turun dari ranjang, berusaha mencari pakaiannya yang sayangnya tidak kelihatan keberadaannya. Ia menyapu kamar Naruto yang luas, dan akhirnya menyerah saat ia tidak bisa menemukan memilih menuju ke lemari pakaian Naruto dan langsung menyambar kemeja putih yang cukup pas di tubuhnya.

Setelah mengancingkan seluruh kancing kemejanya –menyisakan dua kancing pada bagian kerah dan atasnya—Sasuke berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, tepat di samping sofa, Sasuke menemukan kemeja hitamnya teronggok seperti sampah, dan tepat di depan pintu kamar, ia menemukan celana beserta boxernya. Sasuke mendesah, kenapa ia begitu berantakan seperti ini. Melakukan sex pun harus sesuai aturan dan tata krama. Sayangnya pemuda blonde itu begitu kalapnya, hingga menyobek-nyobek pakaiannya seperti hewan dimasa kawin.

Lihat saja, kemeja Sasuke bahkan kehilangan tiga kancingnya sekaligus. Sasuke mendesah lagi. Ia harus meminjam kemeja Naruto untuk pulang. Tapi sebelum ia memakai celana dan boxer nya ia ingin memastikan pakaiannya bersih.

Sasuke kembali mengitari seluruh ruangan di apartemen Naruto. Ia menemukan mesin cuci di dekat lemari perkakas lalu memasukkan pakaiannya ke dalam sana. Sedikit terhenti ketika melihat luasnya ruang di dalam mesin cuci yang masih tersisa. Sasuke kembali ke dalam kamar dan mengambil pakaian Naruto yang teronggok di dekat ranjang. Ia masukkan pakaian itu ke mesin cuci lalu menutupnya dan mulai menyalakan mesin penggilingnya.

Sasuke menguap di depan mesin cuci. Tangannya memjijat-mijat pundaknya yang pegal selagi ia menunggu pakaiannya. Sasuke mengedarkan lagi pandangannya ke apartemen Naruto. Tadi malam ia tidak begitu memperhatikannya, tapi sekarang, Sasuke merasa Naruto memiliki selera yang cukup bagus. Apartemen itu lumayan besar, dan terbuka. Ruang tamu berada di ruangan yang sama dengan meja makan dan dapur, ada tangga berputar yang mengarah langsung ke satu-satunya ruangan di lantai dua tanpa tembok. Dari bawah, ruangan itu terlihat penuh dengan lemari berisi buku-buku. Mungkin itu ruang kerja Naruto atau perpustakaannya.

Yah, Naruto adalah pemimpin di perusahaan otomotif terbesar di Jepang, mau tidak mau dia harus bergelut dengan buku-buku. Pasti canggung sekali melihat pemuda blonde itu duduk di kursi besarnya, sambil memimpin rapat. Sasuke tidak bisa membayangkannya.

Perut Sasuke mulai keroncongan, ia menatap jam dinding dan mulai mengasumsi bahwa ia tidak akan sampai ke tempat kerjanya tepat waktu jika mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Sasuke beranjak menuju dapur. Dia harus makan lalu dia bisa langsung menuju tempat kerjanya. Ia membuka kulkas Naruto dan dikejutkan dengan betapa lengkapnya isi kulkas itu. Ada banyak sayuran, buah, susu, keju, segala bahan bergizi ada disana. Sasuke mengambil satu kotak susu, berniat meminumnya ketika menyadari bahwa tanggal kadarluarsanya sudah lewat. Sasuke langsung membuangnya ke tempat sampah. Untuk apa Naruto menyimpan susu busuk?

Sasuke berdiri di depan kulkas yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya sendiri, kali ini berhati-hati memilih sesuatu dari dalam sana. Saat Sasuke masuk lebih dekat agar bisa menjangkau satu bungkus apel di bagian laci kedua kulkas, suhu kulkas yang dingin menyentuh kulit pahanya yang telanjang, rasanya menyejukkan.

Sasuke sudah memutuskan. Ia akan membuat jus apel dan–ia melirik ke roti tawar di dalam lemari kaca—sandwich untuk sarapan paginya.


Kushina sudah berniat untuk turun tangan dalam kencan buta putranya kali ini. Dengan membawa sebungkus setelan jas hasil desainer tekenal langganannya, Kushina tiba di depan gedung apartemen Naruto pagi-pagi sekali. Ia tidak akan membiarkan pertemuan kali ini gagal seperti yang kemarin-kemarin. Biasanya Naruto selalu menemukan alasan untuk tidak hadir dalam kencan buta. Tapi kali ini, ia akan menyeretnya langsung ke restoran bahkan sampai di depan wajah sang gadis jika perlu. Ia tidak akan membiarkan Naruto mengacaukannya lagi. Ia sudah tidak tahan melihat anaknya menduda.

Kushina berjalan memasuki gedung apartemen Naruto, tidak mengindahkan tawaran seorang security penjaga pintu, yang dengan baik hatinya bermaksud membawakan bungkusan besar setelan jas Naruto yang kelihatannya cukup merepotkan untuk dibawa sendiri. Kushina langsung melenggang ke lift menekan tombol lantai nomor 12 dan menunggu sambil melipat tangan dengan wajah super sangar. Ia tidak akan melepaskan Naruto hari ini.

Wanita berusia lima puluh tahun lebih itu kembali berjalan ketika pintu lift terbuka dan langsung menuju ke pintu paling Naruto dilindungi dengan password, tapi menebak nomor password pintu apartemen Naruto sangatlah mudah. Kushina meringis pedih ketika jemarinya menekan tombol nomor 1 empat kali dan dengan bunyi klik pelan pintu terbuka. Benar-benar! Betapa serampangannya putranya ini. Semua pencuri akan masuk ke rumahnya dengan mudah jika ia tidak mengganti passwordnya. Kushina sudah menegurnya berkali-kali, tapi Naruto tetaplah Naruto. Dia tipe pria yang tidak suka mendengarkan apalagi diatur.

Kushina masuk ke dalam apartemen Naruto. Ia memastikan bungkusannya baik-baik saja, dan bermaksud melongos ke kamar Naruto –karena ia tahu pada jam segini putranya pasti belum bangun—sampai ia mendengar suara yang langsung membuatnya terhenti seketika.

Ia mengerutkan alisnya. Suara ini…? Tidak salah lagi! Mesin cuci!

Kushina menoleh ke sudut ruangan dengan hebohnya. Dan ya, lampu mesin cuci tengah berkelip hijau tanda telah di nyalakan.

Impossible! Tidak pernah seumur hidupnya Naruto menggunakan mesin cuci. Cara menggunakannya saja, Kushina yakin ia tidak tahu. Mesin cuci itu sebenarnya hanya pajangan saja, jaga-jaga jika ia punya waktu dan mampir untuk mencucikan pakaian Naruto. Tapi benar mesin cuci tengah menyala sekarang, bahkan ada pakaian di dalam mesin cuci yang sedang digiling. Hidung Kushina menempel di kaca mesin cuci saking sulitnya mempercayai hal itu.

Mungkin besok akan kiamat, pikir Kushina dalam hati. Ia kemudian berjalan ke ruang tamu bermaksud menuju kamar Naruto, sampai suara lain kembali menghentikan langkahnya.

Suara ini? Suara… blender!

Kushina kembali menoleh dengan hebohnya. Kali ini ia menatap dapur, dan bola matanya hampir keluar dari tempatnya saking besarnya ia membelalakkan mata.

Ada seseorang yang tengah berdiri di dapur Naruto. Seorang pria mengenakan kemeja putih dengan—mataKushina turun ke paha putih mulus Sasuke yang telanjang—hanyakemeja putih!Dan jika diperhatikan baik-baik kemeja itu adalah milik Naruto! Kushina menaikkan sudut bibirnya dengan curiga, dia mencium bau amis –Tidak, sebenarnya bau yang menggiurkan.

Ia baru sadar bahwa ada lima potong sandwich yang masih hangat di meja makan. Kushina mengambil satu dan mencicipinya. Ia mengangguk ketika lidahnya menyukai rasa sandwich itu. Semua bahannya pas, bahkan mayonesnya.

Kushina menegakkan badannya kembali, bungkusannya sudah terlupakan di atas sofa, sementara ia menatap pemuda raven yang tengah sibuk memblender apel. Dia akan membuat jus apel, dengan susu dan gula, tempat-tempat berisi es batu juga berada disisi kirinya. Kushina menatap punggung pria itu dengan tidak percaya. Pemuda itu memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan putranya, bahkan mungkin umur mereka juga sama. Tapi perilaku mereka sungguh berbeda. Pemuda yang satu ini begitu… mandiri.

Ada decak kekaguman yang tanpa sengaja keluar dari bibir Kushina.

Sasuke mendengar suara decakan Kushina dan salah mengira sebagai suara Naruto. Ia mengira Naruto telah bangun.

"Kau sudah bangun?" Pemuda raven itu tiba-tiba berkata. Masih sibuk memblender apel dan tidak membalikkan badan. "Aku membuat sandwich dan jus apel untuk sarapan, duduklah."

Kushina menggelengkan kepalanya tanpa bisa berkedip. Pemuda ini juga tahu bagaimana melayani pasangannya.

Kushina sudah terlalu terpikat oleh pemuda raven itu. Sasuke yang masih belum menyadari keberadaan Kushina, mulai sibuk memeriksa semua lemari Naruto untuk menemukan tempat jusnya.

"Kedua dari kanan." Kushina berkata, memberi instruksi pada pemuda raven itu.

Sasuke yang mendengarkannya baru akan menjulurkan tangannya ke lemari yang dimaksud Kushina sampai akhirnya ia tersadar. Sedetik kemudian Sasuke berputar dan terkesiap dengan mata melebar kaget.

Ia akhirnya melihat Kushina, berdiri di dekat meja makan, sambil memiringkan kepalanya memandangi Sasuke tanpa berkedip.

Sudah berapa lama wanita ini disini? Sasuke sama sekali tidak menyadarinya.

Tapi wajah wanita ini tidak asing. ia sering melihatnya di TV.

Sasuke berdeham, ia tahu siapa wanita ini.

"Anda mengagetkan saya." Katanya sopan. "Maaf, saya menggunakan dapur tanpa izin."

"Ah, tidak perlu, lanjutkan saja. Anggap aku tidak ada." Kushina melambai-lambaikan tangannya di depan wajah. Ia sama sekali tidak keberatan Sasuke memakai dapur putranya. "Tapi ngomong-ngomong, apa kau pacar putraku?"

Pertanyaan gamblang, yang membuat Sasuke termangu seketika. Mata Kushina turun ke paha Sasuke, dan pemuda raven itu langsung mengambil satu langkah ke balik meja counter dapur untuk menutupi pahanya yang telanjang.

Ck, ini memalukan. Tapi sebenarnya sudah terlambat baginya untuk bersembunyi, karena Kushina tertawa sambil kembali melambai-lambaikan tangannya.

"Jangan khawatir aku tahu bagaimana kelakuan anak jaman sekarang. Apalagi untuk Naruto yang sudah tidak muda lagi." Ia terkekeh.

Sasuke hanya tersenyum canggung dengan wajah memerah. Rasanya ia ingin lari, belum pernah dia berada dalam situasi sememalukan ini.

"Jadi berapa lama kau pacaran dengan putraku?" Kushina bertanya lagi.

Sasuke agak gugup ditanya seperti itu. Dia jelas bukan kekasih Naruto dia hanya teman satu malamnya saja. Tapi bagaimana caranya dia menjelaskannya. Akan sangat tidak sopan mengatakan hal itu kepada seorang wanita berumur lima puluh menunggu dengan sabar jawaban Sasuke, mau tidak mau Sasuke harus memberikan penjelasan juga. "Sebenarnya aku—"

"Ngapain ibu di apartemenku pagi-pagi begini?"

Naruto muncul menyelamatkan Sasuke. Pemuda blonde itu berdiri dimuka pintu kamarnya dengan bertelanjang dada dan rambut berantakan. Mata safirnya yang cemerlang memicing menatap tamunya yang tidak diundang.

"Kenapa? Memangnya ibu tidak boleh datang ke rumahmu?" Kushina balik bertanya. Melihat cara putranya menegurnya dengan kasar, mood Kushina langsung anjlok. Lihat bagaimana putranya itu berulah, sama sekali tidak punya sopan santun pada orang tua.

"Bukannya begitu," Naruto berjalan ke sisi ibunya. "Aku ada meeting jam sepuluh nanti. Jadi tidak punya waktu untuk menemanimu."

"Ya, ibu tahu. Ibu hanya mengantarkan itu untukmu." Kushina mengedikkan jemarinya ke bungkusan hitam di sofa. Mendadak ia merubah rencananya untuk menyeret Naruto mengikuti kencan dia merasa enggan mengatakan tujuan yang sebenarnya datang kemari didepan Sasuke.

"Ibu juga sudah mau pergi." katanya sambil melirik Sasuke dan tersenyum. Dia tidak ingin jadi pengganggu.

Sasuke hanya menganggukkan kepalanya, sedikit heran campur bingung.

"Yah, kalau begitu pergilah." Kata Naruto acuh, ia baru akan menyambar sandwich di meja makan sampai ibunya tiba-tiba menepis tangannya.

"Kau antar ibu keluar." Perintah Kushina. Ia menyambar lengan Naruto lalu menyeretnya keluar–Setelah melemparkan pandangan ramah pada Sasuke tentunya.

Oh melihat pemuda itu benar-benar menyejukkan. Benar-benar tampan, Kushina mendadak ingin muda lagi.

"Ibu aku belum pakai baju." Tegur Naruto saat ibunya telah menyeretnya sampai di depan pintu lift.

Pemuda blonde itu memang hanya mengenakan celana panjang kainnya dan sedang bertelanjang dada. Otot sixpacknya yang kencang, menarik perhatian beberapa gadis yang juga sedang menunggu lift tidak jauh dari mereka.

"Siapa dia Naruto?" Kushina bertanya tanpa basa-basi.

"Dia Sasuke." Jelas Naruto.

"Pacarmu?"

Naruto tertawa kering mendengar perkataan ibunya. "Mana mungkin," tampiknya. "Sasuke itu laki-laki."

"Jangan bohong, dia pasti pacarmu kan? Kalau tidak, kenapa kau tidur dengannya?" Serang Kushina.

"Aku tidak tidur dengannya." Kelit Naruto.

"Oh ya lalu kenapa dia memakai kemejamu?"

"Apa salahnya jika dia memakai—"

"Tanpa celana." Sambung Kushina.

"Dia pakai celana."

"Tidak, dia tidak pakai Naruto."

"Dia memakai boksernya."

"Dia tidak memakai apapun." Kata Kushina mantap. "ibu sudah memastikannya."

Bibir Naruto terbuka tutup mirip ikan lohan. Ibunya berhasil mematahkan semua argumentnya, tapi tunggu dulu.

"Ibu sudah memastikannya?" Ia mengulangi ucapan ibunya. Matanya melirik Kushina dengan masam.

"Hanya sedikit bagian bokongnya." Jawab Kushina ringan.

Pintu lift terbuka dan Kushina berjalan masuk. Ia tersenyum menatap putranya yang hanya memberikan tatapan letih padanya. "Kau tidak perlu mengikuti kencanmu saat makan siang nanti." Katanya yang mengejutkan Naruto.

"Ibu serius?"

Ia mengangguk pasti. "Sebagai gantinya jangan putus dari Sasuke." Ia menambahkan dan membuat Naruto cengok seketika.

"Ibu, Sasuke bukan…" tapi pintu lift telah tertutup dan bergerak turun,meninggalkan Naruto di tempatnya dengan kalimat masih menggantung.

Ia menggaruk rambut blondenya, sedikit mengernyit. Sepertinya ibunya sudah salah paham dan anehnya, ia kelihatan sama sekali tidak keberatan Sasuke menjadi pacarnya walau dia laki-laki. Ini sebenarnya keajaiban. Untuk pertama kalinya, ibunya menyukai seseorang selain putranya. Naruto merasakan firasat yang amat buruk.

Ia mendesah lalu kembali ke apartemennya. Disana Sasuke masih berdiri di meja makan, menuang jus apel ke gelas.

"Bagaimana ibumu?" Tanya Sasuke ketika Naruto menarik kursi dan duduk di sampingnya.

"Seperti biasa, tetap menyebalkan." Jawab Naruto sambil mengambil satu sandwhich dan memasukkan potongan besar ke mulutnya.

Sasuke mendengus mendengar perkataan Naruto. Ia sebenarnya masih ingat dengan jelas bagaimana wanita itu. Dia adalah salah satu anggota dewan sekolahnya dulu, yang selalu muncul seminggu tiga kali di sekolah hanya untuk memastikan putranya tidak pernah bolos.

Naruto menghabiskan sandwichnya lalu melirik ke paha telanjang Sasuke. "Apa kau tidak pakai bawahan?" Tanyanya memastikan seraya bermaksud mengangkat ujung kemeja Sasuke. Tapi pemuda raven itu dengan gesit menepis tangannya sebelum Naruto sempat mencapainya.

"Jangan sentuh." Tegurnya ketus.

Naruto menopang kepalanya dengan tangan sambil masih menatap bagian bawah Sasuke. "Kenapa kau tidak pakai celana dalam, Sasuke?" Tanyanya, dia sebenarnya tidak keberatan, lagipula disini dia hanya tinggal sendirian, tapi gawat juga jika ibunya sampai lihat. Wanita itu selalu muncul mendadak.

"Aku mencucinya dan menunggunya kering." Jelas Sasuke. Ia berpaling dan berjalan ke mesin cuci, menghilang selama beberapa saat kemudian muncul lagi setelah mengenakan celana panjangnya.

"Ku pinjam kemejamu. Nanti akan ku kirim kemari." Katanya, sambil memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana.

"Ya, terserah." Balas Naruto, ia masih menopang kepalanya sambil tak pernah sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Sasuke. Ia teringat lagi tentang ibunya. Ibunya menyukai Sasuke, dia bahkan tidak keberatan dengan gender Sasuke yang merupakan laki-laki. Tapi dilain pihak Naruto tidak mengerti, apa yang dilihat ibunya dari pria menyebalkan yang suka seenaknya itu, yah kecuali saat di ranjang, dia seperti orang yang berbeda.

"Terima kasih karena telah menjadi teman satu malamku." Kata Naruto lagi.

Sasuke hanya meliriknya sekilas sambil bergumam pelan, "hn."

"Boleh kuminta nomor ponselmu? Siapa tau aku mendapatkan masalah lagi dan butuh sentuhanmu."

"Carilah pacar, Naruto." Kata Sasuke, tapi tangannya bergerak juga mengeluarkan kartu namanya dari dalam dompet. Ia meletakkannya di atas meja dan Naruto mengambilnya. Ia menyeringai.

"Kurasa ibuku menyukaimu." Katanya tiba-tiba ingin mengatakan itu.

"Dan apa maksudnya jika ibumu menyukaiku?"

"Itu berarti dia tidak keberatan aku pacaran denganmu."

Sasuke mendengus. Ia menghabiskan jus apelnya lalu berjalan untuk memakai sepatunya di depan pintu. Naruto mengantarnya keluar.

"Apa aku memenuhi standarnya?" Tanya Sasuke, merasa tertarik.

Naruto mengangkat bahu. "Bisa dibilang kau lulus tes pertamanya." Katanya, sejujurnya ibunya juga pernah meluluskan beberapa mantan pacarnya tapi dalam beberapa hari ia tiba-tiba berubah dan menyuruh Naruto putus. "Jangan dipikirkan."

"Aku tahu." Sahut Sasuke, ia telah berdiri di luar pintu dan melihat pemuda blonde itu untuk terakhir kalinya.

"Selamat tinggal, Usuratonkachi."

Naruto menyeringai, "Ne, teme." Balasnya. Dan pemuda raven itu berbalik untuk berjalan ke lift.

Naruto menutup pintu apartemennya. Ia sedikit terdiam selama beberapa saat, kemudian ia menatap kartu nama Sasuke di tangannya. Entah kenapa ia punya firasat akan bertemu dengan pemuda raven itu tidak lama lagi.


-tbc-

Err multichap hahaha *nambah utang*

Sebenarnya ini mau dijadikan one-shot, cuman setelah saya ngetik sampai 11 ribu words, saya ngerasa ceritanya masih jauh dari kata tamat, makanya saya jadikan multichap. Doain ya semoga bisa terselesaikan tepat waktu. Kemungkinan besar ada 3 chapter.

.

BTW HAPPY BIRTHDAY MY LOVELY SASUKE.

Sebenarnya FF khusus untuk ultahnya belum selesai hiks hiks hiks…