Tittle : Driving to You

Main Cast : Kim Jongin and Wu Yifan

Rate : T

.

.

.

.

Kim Jongin bukanlah seorang anak laki-laki yang sempurna dan juga dari kalangan berada. Kompleks tempat tinggalnya pun memiliki banyak tempat untuk bersembunyi makhluk untuk ditangkap dan misteri untuk dijelajahi. Udara luar yang bersih, cuaca yang dingin, lembab atau meyenangkan membuatnya gelisah dan tak bisa diam karena penasaran satu hal.

Jongin berjalan ke dapur dengan kening berkerut dan –walaupun ia tak suka mengakuinya- cemberut. Ibunya sedang menyiapkan piring berisi potongan buah semangka dan dua cangkir air dingin. Sebelum mencapai pintu, Jongin mendengar desah nafas berat ibunya.

"Umma.. Aku telah menemukan tempat tinggal di Seoul." Ia teringat tujuannya. "Berkemaslah, umma. Kita akan pergi malam ini."

"Jongin. Umma tak bisa meninggalkan appa-mu sendiri."

"Umma!" Jongin sedikit membentak ibunya, "Dia akan baik-baik saja dengan uang itu. Percayalah."

Ibunya mendesah sambil meletakan nampannya, lalu mengusap pipi Jonggin.

"Akan kupikirkan ulang permintaanmu, Jongin." Dengan memegang tangannya dan menatap mata Jongin ia berkata.

Jongin mengangguk, Ibunya menghambur memeluk anak tunggal itu kemudian menangis dipelukan Jongin. Jongin mengelus naik turun punggung ibunya dengan pelan.

.

.

Perjalanan ke Seoul dari Busan memerlukan 4 jam perjalanan menggunakan bus, ia tak punya cukup uang untuk membeli tiket KTX seharga 60.000 won satu kursi itu. Jongin mendekap erat pundak ibunya yang sedang terlelap di kursi penumpang sampingnya. Setelah beradu argument selama sepuluh menit sebelum meninggalkan rumah, akhirnya ibunya mau tak mau harus mengikuti kemauan Jongin.

Sekarang, Jongin tahu satu hal baru tentang kehidupan, bahwa hidup itu memang tak pernah adil. Hanya manusia saja yang mau tak mau harus menganggap hidup itu adil. Beberapa hari lalu, mereka telah terbebas dari tuntutan karena membayar uang jaminan ke pengadilan. Ayah Jongin memperkarakan tindakan Jongin yang menancapkan pisau di perut ayahnya di meja pengadilan. Ia hendak membela diri, namun ia mengurungkan niatnya dan menanggapi kasus itu. Namun, sepertinya keberuntungan tak berpihak kepada Jongin. Walau Jongin adalah darah daging ayahnya, lelaki tua berumur 53 tahun itu tetap saja dibutakan oleh nafsu dan harta.

Dengan meminta bantuan Luhan yang berada di Seoul, ia meminjam uang sejumlah 2000.000 won untuk menebus kasusnya. Beruntunglah kasus tersebut tak bertambah level di pengadilan, jika itu terjadi, mungkin ia sekarang akan mendekam di penjara selama 7 tahun. Ibunya tak bisa melakukan apa-apa. Cintanya yang cukup besar pada ayah Jongin, dan juga ia tak tahu harus membantu Jongin untuk membebaskan dari kasus itu. Ibunya tau, Jongin menusukkan pisau dapur itu karena hendak menyelamatkan dirinya dari amukan ayah Jongin yang akan memukulkan kursi kayu ke arahnya.

Pertengkaran yang hebat malam itu benar-benar menjadi satu perubahan yang signifikan dari kehidupan mereka.

Walaupun sebelumnya mereka bertengkar, namun, mereka tak pernah sampai di meja pengadilan.

Ayah Jongin adalah pengangguran yang selalu pulang untuk meminta uang pada istri atau anaknya, tentu saja untuk bermain wanita, mabuk-mabukan dan judi. Ayahnya juga sering memukul istri dan anaknya, tak jarang ia menorehkan luka di sekujur badan Jongin karena sedikit memberontak dan menolak untuk memberikan uang penghasilannya. Ia juga pernah hampir membuat istrinya itu buta, untung saja Jongin dapat melindungi hujaman pisan lipat dari sang ayahnya dengan tangan kirinya. Tangan kiri Jongin saat itu terluka parah akibat tindakan nekat ayahnya. Sedangkan ibunya hanyalah pekerja paruh waktu di salah satu minimarket di dekat kompleks kumuh mereka. Selama ini, Jongin lah yang bekerja keras untuk mencukupi kehidupan mereka. Ia bekerja full time sebagai waiters di sebuah restoran cepat saji, juga paruh waktu di beberapa kedai kecil di pinggiran pada malam hari, loper koran pada pagi harinya, juga melakukan pekerjaan harian menyebar brosur di daerah pertokoan di Busan pada hari minggu. Di umurnya yang menginjak 21 tahun, ia hanya mampu mengenyam pendidikan sebatas SMA. Biaya kuliah sangatlah mahal, walau otak Jongin dapat diandalkan jika harus meraih peringkat 100 besar.

'Aku hanya tinggal di tempat ibu tinggal,' adalah pemikiran yang paling menguatkan hatinya.

Bukan berarti ia menganggap permasalahan orangtuanya sebagai sesuatu yang sulit dan kompleks. Bukan seperti itu. Baginya, hal tersebut sudah wajar dan ia tak iri pada keluarga lain. Ia hanya ingin permasalahan itu dibiarkan apa adanya. Neneknya sudah lepas tangan akan ayah Jongin yang tak pernah sekalipun mendengarkan perkataan keluarga atau istrinya. Jongin tak pernah merasa ayah sebagai keluarganya. Sejak kecil, mereka tak tinggal bersama, namun ia tak pernah menolak status ayahnya, meskipun ia tak pernah menjadi ayah bagi Jongin. Ia hanya pulang untuk meminta uang, selebihnya ia akan tidur di penginapan kumuh tempat ia bermain wanita, judi atau tak jarang bar murahan.

.

.

Jongin dan ibunya telah tiba di Seoul.

Waktu telah menunjukkan angka 12 lebih 48 menit ketika mereka sampai di depan pintu apartemen kecil. Apartemen sewa Jongin terletak di dekat perumahan pekerja di dekat Seoul Station. Uang sewanya terbilang paling murah dengan fasilitas yang kurang memadai. Ia tak berpikir dua kali harus menyewa apartemen tersebut. Walau ia harus mencium bau kencing anjing atau tikus di sudut sudut lorong apartemen, atau beberapa bagian apartemen yang tak berdiri dengan kokoh. Uang bayaran terakhirnya hanya mampu menyewa apartemen murahan ini. Jongin membuka pintu yang sudah sedikit lapuk dengan kunci yang sudah diberikan oleh pemilik apartemen sesaat setelah melunasi uang sewa beberapa hari lalu.

Sebelumnya, Jongin pergi ke Seoul seorang diri untuk bertemu dengan Luhan, menandatangani surat kesepakatan utang piutang juga mencari apartemen untuk sementara tinggal. Ibunya masih berada di belakangnya menenteng tas besar berisi pakaian milikinya. Setelah melepas sepatu, lantai kayu dingin menyerap suhu tubuh kaki mereka dari balik kaos kaki yang mereka kenakan. Mereka tak mempunyai penghangat ruangan, tak mempunyai pendingin ruangan, atau elektronik lainnya. Untung saja pemilik apartemen memberikan secara cuma-cuma tiga kantong tidur bekas penyewa apartemen sebelum dirinya. Tidak buruk. Ia akan membeli kantong tidur esok hari setelah mendapat pekerjaan.

"Umma, disini tak ada shower air hangat juga kompor untuk memasak air." Ujar Jongin sembari mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingnya. Ibunya hanya mengangguk dan bergumam jika dirinya tidak apa-apa dengan persoalan kecil itu.

Jongin mengeluarkan handuk kecil dan memberikan pada ibunya yang sedang meneliti beberapa bagian apartemen tersebut. Tidak luas. Hanya ada sebuah kamar mandi, juga tiga tumpuk kantong tidur di pojok ruangan dekat jendela. Tak ada perabotan lainnya.

"Sebaiknya umma mencuci wajah dan tangan umma dahulu. Aku akan mencari makanan diluar." Sembari menyerahkan sebuah handuk pada ibunya, dan bergegas keluar apartemen, tak lupa ia menguncinya dari luar.

Jongin pada dasarnya memang tak bisa tertidur sampai pulas. Apalagi di tengah lingkungan yang asing dan tidak senyaman tempat tinggalnya di Busan. Setelah berjalan selama lima belas menit, ia menemukan sebuah kedai yang masih buka.

"Ahjumma. Aku memesan seporsi Samgyetang, kimchi dan nasi." Ujar Jongin pada seorang ahjumma yang sedang melayani beberapa pengunjung kedai disana.

"Makan ditempat atau di bungkus?" Tanya Ahjumma sebelum kembali ke balik dapurnya,

"Bungkus saja."

'Maaf umma, lain kali aku akan membelikan samgyupal setelah aku mendapat pekerjaan baru', batinnya. Samgyupal adalah makanan kesukaan ibunya. Namun, untuk saat ini dirinya tak bisa membelikan makanan kesukaan ibunya itu. Uangnya tak cukup untuk membeli daging babi itu.

.

.

Jongin membeli dua kaleng soda juga sebotol besar air putih di minimarket yang buka dua puluh empat jam sebelum ia kembali ke rumah sewanya.

"Apakah ada lowongan pekerjaan disini?" tanyanya pada seorang perempuan berumur sekitar 23 tahunan yang menjadi kasir di minimarket itu.

Perempuan itu menggeleng, "Tidak ada. Dua hari lalu, boss sudah mempekerjakan seorang pekerja paruh waktu."

"Oh.. Baiklah." Jongin mengangguk kemudian membayar belanjaannya dengan sisa uang di dompetnya.

"Kau sedang mencari pekerjaan?"

Jongin menganguk, "Ye. Aku baru saja pindah ke Seoul dan ingin mencari pekerjaan paruh waktu."

"Oh kalau begitu pergilah ke coffee shop depan Seoul Station. Kemarin aku tak sengaja membaca lowongan pekerjaan disana."

Jongin membungkukkan badan berulang kali. "Terimakasih."

.

.

Keesokan harinya, Jongin bersiap untuk mencari pekerjaan. Ia berpesan pada ibunya agar ibunya tetap di rumah sewa, tak membolehkan ibunya untuk mencari pekerjaan. Seoul bukanlah Busan yang kepedulian orang sekitar masih ada. Jongin memakai kemeja kotak-kotak kecil berwarna putih dan biru laut, kemudian membawa CV yang sudah ia siapkan dari Busan untuk melamar pekerjaan.

Iklan singkat di koran yang ia beli tadi pagi dari loper koran yang berkeliling di dekat area apartemennya menari perhatian Jongin. Jongin menatap lembaran koran sambil menaikkan alisnya. Ia melingkari beberapa lowongan pekerjaan dengan pulpen birunya. Hari ini, ia akan pergi ke coffee shop depan Seoul Station, juga ke Myeongdong atau Namdaemun, wilayah yang hanya ditempuh satu kali naik bus dari apartemen sewanya atau berjalan kaki, pilihan terakhir itu menghabiskan waktu yang banyak daripada naik bus atau metro train.

Mencari pekerjaan memang tak mudah, apalagi hanya mengandalkan CV tanpa pengalaman kerja di perusahaan besar dan juga ijazah SMA nya. Jika di Busan, ia akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan karena rekomendasi beberapa teman sekolahnya. Lain halnya di Seoul, ia tak mempunyai teman seperti sebelumnya. Luhan lah teman satu satu nya yang berada di Seoul. Dan Jongin harus berpikir ratusan kali jika ingin bertanya tentang lowongan pekerjaan pada mahasiswa semester 4 itu. Ia tak ingin merepotkan Luhan lagi. Bahkan uang pinjaman dari Luhan belum ia bayar lunas. Apa masih punya muka meminta bantuan laki-laki mungil pewaris perusahaan ayahnya di China dan Korea itu?

Setelah ia memberikan CV di coffee shop depan Seoul Station sebelumnya, ia kini berjalan menyusuri pertokoan di Myeongdong. Setiap ada lembar tertempel lowongan pekerjaan, ia akan segera masuk dan bertanya pada pekerja di toko tersebut. Tapi sayang, mereka lebih mempercayai mahasiswa undergraduated yang mencari pekerjaan paruh waktu daripada orang bermodalkan ijazah SMA dan ingin melamar sebagai pekerja full time.

Intelektual, mungkin itu salah satu penyebabnya.

Jika dibandingkan mahasiswa undergraduated, ia juga tak kalah kepandaiannya. Jongin selalu menyempatkan pergi ke perpustakaan kota dan meminjam beberapa buku untuk ia baca di rumah atau di sela pekerjaannya. Mereka hanya berlindung di balik nama universitas. Korea memang sangat mengedepankan tentang latar belakang dan pendidikan dibanding dengan keahlian.

.

.

Jongin sedikit melongo ketika ia baru saja diterima bekerja di sebuah pet shop di ujung jalan distrik Myeongdong. Beberapa menit lalu, ia tertarik untuk melamar pekerjaan sebagai penjaga toko, namun di tolak oleh ahjussi pemilik pet shop dan memberi pekerjaan sebagai pengantar jemput hewan peliharaan di rumah-rumah pelangganan. Padahal, ahjussi itu mengetahui jika Jongin belum pernah tinggal di Seoul sebelumnya. Entah apa yang dipikirkan ahjussi pemilik pet shop itu.

"Sekarang, antarkan anjing ini, ke alamat ini." Lee ahjussi memberikan sebuah kandang anjing peranakan juga selembar kertas yang tertulis nama pemilik, alamat dan nomor ponsel pemilik anjing tersebut.

"Ahjussi.. Apa kau serius?" Jongin sedikit terkejut.

Ahjussi itu hanya berdecak jengkel, "Jika aku tak serius, aku tak mungkin menerimamu bekerja disini."

"Tapi.. Aku tak mengetahui alamat ini.."

"Kau bilang kau punya lisensi mengemudi. Pakailah motor dan nyalakan GPS." Ahjussi itu menyerahkan sebuah kunci motor pada Jongin. "Sudah. Aku akan memandikan anjing dulu. Kau membuang waktuku."

Jongin keluar pet shop itu sembali menenteng sebuah kandang melamin seekor Yorkshire Terriers.Tak ada salahnya untuk mencoba menemukan alamat ini dengan GPS yang tertanam di atas spedometernya.

Terik matahari membuat keringat Jongin mengalir deras di balik kemeja juga celana kainnya. Setelah beberapa kali salah jalan dan bertanya pada satpam yang berada di lobby apartemen, ia kini tengah berdiri di depan pintu apartemen yang mewah tiga menit sebelumnya. Jongin terus memencet bel intercom, namun belum ada jawaban dari sang pemilik apartemen. Beberapa kali ia memastikan bahwa alamatnya tak salah. Sejurus kemudian, ia mengambil ponsel lama yang masih menggunakan LCD jenis CSTN dan memencet nomor ponsel yang tertera. Sambungan telpon masih terdengar, dan tak ada jawaban di seberang sana. Terus mengulangi untuk menelpon sang pemilik anjing tersebut, namun tak satupun panggilan diterima. Jongin memutuskan untuk menunggu didepan pintu apartemen tersebut dengan sesekali memencet tombol intercom.

Lima belas menit kemudian, suara langkah menggema di sepanjang lorong apartemen itu. Jongin masih duduk memeluk kandang transparan itu dengan erat, sesekali mengajak bermain Yorkies berbulu abu abu dan putih di dalamnya. Langkah kaki itu berhenti dua meter didepan Jongin duduk dengan menenggelamkan wajahnya di kandang transparan itu.

"Nugu-ya?" suara maskulin dan berat dari pemilik suara langkah yang menggema itu membuat Jongin mengangkat kepalanya keatas. Seorang laki-laki dengan mengenakan kemeja abu-abu dibalut dengan jas Double Breasted dengan ujung kemeja terlihat menekuk di ujung lengannya sebesar dua centi. Jongin segera berdiri dengan menggenggam erat kandang Yorkies di depan dadanya.

"Kau siapa?" Tanya Jongin menyelidik. Ia melihat laki-laki didepannya yang berambut coklat itu. Tampak seperti pekerja kantoran. Laki-laki didepannya terheran,

"Aku pemilik apartemen ini." Laki-laki itu menunjuk pintu apartemen yang sedari tadi diketuk oleh Jongin.

"Aku Kim Jongin, dari Dorothy Pet Shop," Jongin melanjutkan, "Apa kau yang bernama Huang Zitao?"

Laki-laki di depannya menggeleng sebagai jawabannya, kemudian membuka pintu apartemen dengan passwordnya.

"Tunggu. Bagaimana dengan anjing ini? Ini benar kan alamat pemilik Yorkies ini?" Jongin memegang lengan laki-laki itu dengan tangan kanannya.

"Itu milik Zitao. Jadi bukan urusanku." Suara dingin dari laki-laki itu membuat Jongin sedikit begidik ngeri. Namun, ia teringat akan tujuannya.

Jongin menggeram. "Kau harus membawa anjing ini masuk. Aku tak bisa melanjutkan pekerjaanku lainnya jika terus berada disini."

"Kalau begitu masuklah."

Dengan mengikuti langkah angkuh laki-laki didepannya, Jongin masuk apartemen dengan sedikit ragu. Bagaimana jika laki-laki didepannya ini berniat jahat padanya? Bagaimana jika Jongin dibunuh atau dimutilasi di hari pertamanya hidup di Seoul?, pikiran sempit Jongin.

Apartemen dihadapannya itu sungguh tak pernah ia lihat secara langsung, sebelumnya. Memiliki peralatan dan perabotan yang sangat canggih dengan susunan property yang apik. Jongin masih berada di ambang ruang tamu dan berdecak kagum mengagumi pemandangan didepannya. Lampu di dekat pintu masuk pun menyala secara otomatis ketika langkah kaki melewatinya.

"Duduklah. Dan tunggu Zitao pulang." Laki-laki yang memiliki tinggi badan lima centi meter diatas Jongin itu masih melangkahkan kakinya menuju dapur tak jauh dari ruang duduk yang memiliki sofa yang panjang. Jongin segera meletakkan kandang anjing dengan Yorkies dipangkuannya setelah duduk di sofa empuk itu.

"Berapa lama? Apakah aku tak bisa menaruh anjing ini dan pergi?" Tanya Jongin sembari menoleh ke arah laki-laki itu.

"Aku tak mau berurusan dengan anjing menjijikkan itu." ujar laki-laki itu dari balik meja bar kecil di dekat dapur yang sedang menuangkan air dari tempat minum dingin yang ia keluarkan sebelumnya dari kulkas, "Lepaslah helmmu. Disini tak ada polisi."

'Baiklah, sepertinya aku akan menunggu Zitao'

Jongin tersadar bahwa ia masih memakai helm kemudian terkekeh sendiri. Ia segera melepas helmnya dan meletakkan di sofa samping ia duduk.

Ponselnya bergetar. Ia segera mengambil ponselnya dari saku kemejanya kemudian menjawab panggilan dari sebuah nama yang tertera di ponselnya.

"Yoboseyo ahjussi?" dengan sedikit gemetar ia menjawab panggilan itu. Ia takut boss nya akan memarahinya karena sampai saat ini ia belum kembali ke pet shop

"Ne. Aku sedang berada di apartemen Huang Zitao-ssi, tapi belum bertemu dengannya."

"Aku akan segera kembali ke pet shop setelah menyerahkan anjing ini padanya."

"Ne. Arraseo."

Setelah memutus panggilan dari ponselnya, ia meletakkan kandang anjing itu diatas karpet yang menjadi alas sofa juga meja kaca didepannya

Jongin melangkahkan kaki mendekati jendela besar yang berada tak jauh didekatnya. Matanya tertuju pada pemandangan luar dibalik kaca jendela besar dihadapannya. Jika tak terhalang kaca, mungkin ia bisa meraih udara tinggi dari lantai 38 apartemen tersebut. Ia memejamkan matanya sejenak. Seakan merasakan embusan angin menerpa wajahnya, ia tersenyum. Belum pernah ia berada di lantai setinggi ini. Jongin memandangi pemandangan dibawah sana. Hiruk pikuk kota Seoul terlihat jelas dari tempatnya sekarang berdiri.

Laki-laki yang sedang berdiri menggenggam gelas panjang transparan yang masih terisi setengahnya itu menatap Jongin dihadapannya lekat-lekat, seperti sedang berusaha merekam tiap sudut dan sisi wajah Jongin. Laki-laki itu tidak tahu mengapa rasa ingin tahunya terhadap Jongin itu sangat besar, jelas-jelas ia tak mengenal laki-laki berkulit tan itu. Jongin hanyalah orang asing.

"Kim Jongin?" gumaman laki-laki itu tentu tak dapat didengar oleh Jongin, sembari ia mengangkat sebelah alisnya.

.

.

.

TO BE CONTINUED

A/N :

Mungkin ada yang bosan karena Cast nya Jongin dan Yifan melulu. Hehehe.

Entahlah, sikap mereka di layar kaca pun membuat saya tertarik walau bukan official pairing.

Review akan menambah semangat saya ketika menulis.