Tiap orang memiliki asumsi. Terdapat kemungkinan berbeda satu sama lain. Lalu bagaimana dengan kebenarannya? Apakah sudah pasti sesuai dengan kenyataan sementara bentuknya saja beragam? Padahal yang serba tahu cuma Tuhan.

Manusia hanya mampu berpendapat berdasarkan apa yang ditangkap. Jika begitu, bukankah sangat kurang seandainya pendapat pribadi tidak diuji terlebih dahulu kebenarannya. Setidaknya berusahalah, walau pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan nilainya. Bukan langsung yakin begitu saja.

Aku sendiri memiliki pendapat. Tentang banyak hal. Sering kali berbenturan dengan milik orang. Yang nantinya membuatku bermasalah. Dimusuhi yang merasa tidak terima.

Kejadian sialan itu terjadi kurang lebih 4 bulan yang lalu. Aku mempermalukan diriku sendiri. Juga orang lain.

Aku kesulitan mengendalikan emosiku. Melawan begitu saja orang yang menuduhku. Kusanggah dengan ucapan yang sepenuhnya tidak mau mengalah. Hingga akhirnya masalah membesar karena disaksikan banyak orang. Bagaimana tidak, karena perdebatan yang kulakukan dengan seorang aktris kala itu disiarkan langsung melalui saluran TV.

Aku membuatnya terlihat buruk karena meminta dia memakai akalnya. Seolah dia yang berdiri di hadapanku otaknya sedang tergadai. Itu karena aku sungguh tidak terima dengan tuduhan yang dia berikan padaku. Demi Tuhan aku tidak melakukannya. Tapi dia luar biasa keras kepala. Ketegasanku pun dianggapnya sebagai amarah. Hingga aku menjadi benar-benar marah. Padanya. Juga pada yang berada di pihaknya.

Ucapanku serupa amukan setan, hari itu. Berlanjut ke hari-hari berikutnya karena aku tetap saja marah. Semakin banyak yang bermunculan mengutarakan kebenciannya padaku, yang tidak kumengerti kenapa baru menampakkannya setelah sekian lama.

Manusia. Secantik apapun, jika dibedah tubuhnya tetap ada bagian yang menyimpan kotoran di dalamnya. Beraroma busuk. Dan berakhir di tempat pembuangan.

"Ayolah, kau sudah terlalu lama mengurung diri." keluh Wonshik padaku.

Dia adikku. Sesama lelaki dengan kepribadian berbeda dariku. Tapi bukan berarti dia tidak bisa mengerti diriku. Seperti aku yang bisa menerima keberadaannya, dia pun menerimaku. Kami akur sebagai saudara. Karena itulah dia berani bicara padaku. Memaksa agar aku keluar dari dalam kamar setelah berbulan-bulan tidak melakukannya.

"Sanghyuk dan Hongbin kehilangan pekerjaan gara-gara ulahmu." tambahnya.

Dia menyebut nama manajer dan penata riasku. Biasanya selalu bekerja untukku. Tapi sejak kejadian hari itu, sejak aku memutuskan tidak lagi keluar dari dalam kamarku, entah bagaimana nasib mereka. Ponselku tidak aktif. Jadi tidak ada seorang pun yang bisa menghubungiku. Aku pun tidak mengetahui kelanjutan di luar sana kecuali dari ocehan Wonshik setiap hari.

"Mereka bisa bekerja untuk orang lain." ucapku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku, tapi Wonshik malah mengambil paksa dari tanganku.

"Bertanggung jawablah pada hidupmu!"

"Apa maksudmu dengan memintaku bertanggung jawab pada diriku sendiri!?"

Seolah aku bergantung pada orang lain untuk tetap bernapas. Seburuk apapun kelakuanku, aku masih membiayai diriku dengan penghasilanku. Bukan meminta pada ayah atau ibu.

"Umurmu 29 tahun, jadi kau harus bekerja!" tegasnya, "Bukan malah tidur berjam-jam tiap hari! Masih ada film yang diundur perilisannya karena belum selesai dibuat gara-gara dirimu!

Kau juga harus memainkan film lain setelah menyelesaikan yang satu itu. Bekerja! Produktiflah sebagai manusia! Kau bukan rongsokan yang cuma perlu dianggurkan di tempat tak terlihat!"

Omongannya hebat sekali. Aku baru tahu jika Wonhsik bisa sekasar itu padaku. Tentu saja dia tidak terbiasa menahan diri. Tapi bukan sampai secara tak langsung menyebutku sebagai rongsokan.

"Dan lagi... aku sungguh ingin melihatmu bermain dengan aktor Cha dalam film yang sama."

Ternyata itu tujuan sebenarnya. Dia hanya ingin melihatku terseret kehomoan si aktor aneh bernama Cha Hakyeon. Cowok itu entah bagaimana tertarik pada karakterku yang disebutnya menyerupai banteng. Setelah melihatku berdebat tidak karuan dia justru semakin menyukaiku. Memaksa ingin bermain dalam film yang sama denganku. Sebagai pasangan. Padahal aku tidak pernah berpikir akan terlibat dengannya. Meski setenar apapun dirinya.

"Ayolah!" Wonshik menarik kuat-kuat tangan kananku, memaksaku menjauhi bantalku, "Sisa tabunganmu tidak akan cukup menghidupimu seumur hidup!"

"Biarkan aku diam dulu!" pintaku, "Aku butuh waktu."

"Ha? Berapa lama lagi? Kau hanya akan terus diam jika tidak sekarang juga keluar dari kamar sialanmu ini."

Kamarku tidak sialan!

"Cepatlah bangun, kak Taekwoon!"

"Aku capek, Wonshik!" tegasku, "Apapun yang kulakukan tetap salah! Kujelaskan seperti apapun tetap tidak jelas! Mereka terlanjur tidak mengerti dan tidak mau mengerti!"

Aku tidak ingin menyia-nyiakan lagi tenagaku. Tidak ada gunanya. Percuma. Lebih baik aku diam saja. Meski tidak semua orang menganggap salah diriku, tapi kebisingan dari mereka yang memusuhiku terus memancing kemarahanku.

"Aku tahu kau butuh waktu untuk menata perasaanmu, kak Taekwoon." ucap Wonshik, "Dan kurasa kau sudah mendapatkan waktumu. Sudah menggunakannya untuk mengumbar kelemahanmu.

Sekarang saatnya menguarkan rasa tidak terimamu. Bela kembali dirimu. Tunjukkan kebenaran pada orang-orang buta itu."

"Apa maksudmu?"

"Kau terus menolak film bertema BL yang ditawarkan padamu atas permintaan aktor Cha. Tapi dia tidak mau menyerah. Sekarang bukan film semacam itu lagi yang ingin dimainkannya denganmu. Tapi sebuah film yang seluruhnya sudah diatur sesuai kepribadianmu."

Tunggu. Apa maksud semua penjelasan itu? Aku bisa memahami kalimatnya tapi rasanya ada yang sulit kuterima.

"Ingat Lee Jaehwan?" tanya Wonshik padaku.

"Sutradara muda yang terkenal itu?"

"Ya. Aktor Cha memiliki koneksi kuat dengannya. Kau akan bermain dalam film yang digarapnya. Sanghyuk sudah menyetujui kontraknya sejak semalam."

"Apa!?"

Sanghyuk menandatangani kontrak sebuah film tanpa persetujuanku!? Lagi!? Sudah bukan sekali dua kali tapi berulang kali! Manajer kurang ajar itu...!

"Sampaikan semua keyakinanmu lewat karya, kak Taekwoon. Tunjukkan kebenaran melalui keahlianmu. Kau seorang aktor. Pemain film dengan idealisme kuat.

Dapatkan kepuasanmu. Egoislah demi harga dirimu."

Harga diri. Ya, harga diriku. Aku tidak pernah melupakannya, jadi kenapa aku mengesampingkannya? Harga diri harus dijunjung setinggi mungkin. Bukan berarti tanpa batas. Masih ada Tuhan yang kuyakini berada di atas segalanya. Tapi sebagai manusia, selama yang kuyakini adalah fakta tidak ada alasan untuk menyerah.

Akan kudapatkan kepuasanku. Akan kutunjukkan harga diriku. Meski itu berarti aku menjadi si luar biasa keras kepala dan serupa setan, memangnya kenapa? Sampai kapanpun aku tetaplah aku. Tidak akan kuakui tuduhan mengada-ada padaku. Semua orang harus melihat kebenaran itu. Dan sebaiknya mereka menggunakan akalnya, bukan cuma perasaan yang terbawa suasana.

end

13:40

6 Desember 2018