Foto adalah suatu rekaman peristiwa. Momen-momen istimewa tidak jarang diabadikan melalui media foto. Foto mampu menceritakan apa yang tidak bisa dijabarkan manusia secara lisan. Foto pun bisa menjadi sebuah bukti. Foto, juga mampu menyuarakan kebenaran.

Tapi bagaimana, jika sebuah foto justru menjadi sebuah penunjang dari kebohongan?


Photo

I

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

Sorry for the OOC-ness and typos if there are any.

Enjoy!


"Ini adalah foto terakhir dari Thomas."

Beberapa pasang mata di sebuah ruangan rapat tertuju pada satu gambar diproyeksikan di layar. Gambar tersebut adalah suatu foto yang mereka dapatkan kira-kira seminggu yang lalu, tepat saat sang fotografer menghilang. Foto itu menunjukkan seorang berpakaian tentara tengah membungkuk pada seseorang yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang seperti yang ada di rumah sakit. Latar belakang yang sedikit terlihat memberitahu bahwa objek itu diambil di suatu tenda darurat.

"Yang mengirimkan gambar ini adalah seorang reporter kita, Mina Carolina yang bertugas bersamanya. Ia diberikan memory card kamera Thomas oleh orangnya sendiri tepat sebelum pria itu menghilang."

Satu orang mengangkat tangan, "Lalu, Mina sendiri ada di mana sekarang?"

"Setelah ia mengirimkan foto ini pada kita, dia pun menghilang. Sampai sekarang jejak mereka belum juga ditemukan maupun petunjuk yang mengarah ke situ." Jawab pria paruh baya yang memimpin rapat tersebut.

Dot Pixis tengah bersama para bawahannya untuk membicarakan masalah foto terakhir yang diambil fotografer dan dikirimkan oleh sang reporter sebelum keduanya menghilang secara misterius. Thomas dan Mina, sebelumnya dikirim ke luar negeri untuk meliput perang di negara Maria. Negara tersebut adalah negara republik, dimpimpin oleh seorang presiden yang otoriter, dan kini sedang dalam masa krisis politik. Kudeta terhadap pemerintahan meletus dan seketika menjadi fokus berita di berbagai media dunia.

Seisi ruangan menjadi hening. Mereka kehilangan dua orang anggota dalam tugas.

"Bagaimana dengan anggota kita yang lain yang juga sedang berada di Maria?" tanya seorang wanita berambut pendek berwarna abu-abu dan berkacamata tebal. Tampak kekhawatiran melanda wajahnya.

"Soal itu, Rico, aku sudah mengeluarkan perintah untuk pulang kembali ke sini demi keamanan." Ungkapnya serius. Sesungguhnya Pixis memang tidak suka jika keselamatan anak buahnya terancam. Kehilangan dua orang anggota sudah cukup jadi pelajaran.

"Kembali ke soal foto ini," Pixis berdehem untuk mendapat perhatiannya kembali, "bagaimana menurut kalian? Kejadian apa yang terekam di sini?"

Seorang anggota berambut pirang menjawab, "Tentang seorang prajurit yang merawat seorang korban perang, Sir?"

Pixis mengangguk, "Kurang lebih seperti itulah yang terlihat, Ian." Pria itu kembali melihat ke layar proyeksi, "Prajurit yang menjaga keamanan negara, merawat korban konflik. Pemandangan yang membuat dada lapang, bukan?"

Semua yang hadir mengangguk, atau diam tanda persetujuan. Memang seperti itulah yang terlihat oleh mereka, dan mungkin siapapun yang melihat foto tersebut.

"Tapi," suara Pixis kembali memenuhi ruangan, kali ini dengan suatu petunjuk dari rasa ketidakpuasan, "apakah memang itu yang terjadi?"

Orang-orang saling berpandangan. Tak terkecuali Ian dan Rico. Pixis hanya tersenyum kemudian.

"Ah, itu hanya prasangku saja."

~oOo~

Wings of Freedom News atau yang dikenal dengan singkatan WFN adalah sebuah kantor berita yang bergerak untuk menyuguhkan informasi dalam bentuk media koran elektronik di internet. Mereka juga memiliki stasiun televisi sendiri dan channel-nya sudah bisa ditangkap melalui TV kabel di seluruh dunia. Seperti halnya kantor berita lainnya, mereka menyajikan berbagai informasi terkini dan bersaing untuk mendapatkannya secepat dan setajam mungkin. WFN pun telah diakui reputasinya sebagai jaringan berita paling netral dan terpercaya.

Banyak orang-orang yang ingin sekedar magang atau bahkan melamar pekerjaan di WFN, namun sebagaimana kantor yang berkualitas, mereka menginginkan sumber daya yang juga tidak sembarangan. Mereka yang magang di sana dapat dijamin terlatih dengan baik dan mereka yang mendapat pekerjaan di sana dapat dijamin kemampuannya.

Salah satunya yang bekerja di WFN adalah seorang fotografer berambut coklat dan baru saja menapaki tahun ketiganya di sana. Iris mata emerald-nya menatap tajam di balik lensa kamera.

"Eren." Laki-laki muda itu menengok. Seorang gadis berumur sepantaran dengannya mendekat dengan rok span warna hitam dan kemeja seragam WFN yang sama dengannya. "Kau sedang apa di atas sini?"

"Hey, Mikasa. Ah tidak, aku hanya sedang mencoba kamera baruku." Ujarnya—Eren—sambil menurunkan kamera yang tengah dipegangnya dengan hati-hati. Rambutnya bergoyang diterpa angin di atas gedung, meski tidak seindah tarian rambut hitam kelam gadis di sisinya.

"Oh." Mikasa menatap Eren, "Kamu lusa akan pergi tugas lagi? Kemana?"

"Hanya tugas travel untuk meliput tempat-tempat wisata di Trost." Jawab Eren singkat.

"Trost? Ah, Rose…" ucap Mikasa dengan wajah yang tetap datar. "Negara itu, ya."

"Kau ingat Mikasa? Kita pernah ke taman bermain di sana dengan Ibu dan Ayah." Ujar Eren lagi pada saudara tirinya itu, "Sebelum Ibu meninggal dan Ayah menghilang."

Sekelebat Mikasa kembali akan pesan terakhir Nyonya Jaeger, ibu angkatnya. Agar ia dan Eren tetap hidup dan saling menjaga satu sama lain. Sepasang saudara angkat ini telah banyak melampaui kehidupan bersama, juga dengan satu lagi sahabat mereka. Mereka bertiga tidak pernah terpisah sampai sekarang.

"Mikasa! Eren!" Ah, baru saja kupikirkan, ujar Mikasa dalam hati. Ia dan Eren segera menoleh pada sosok pirang bertubuh ramping. Sahabat mereka yang satunya.

"Armin." Sapa Eren, "kenapa?"

"Kenapa, katamu?" ujar Armin merengut, "Kamu nggak datang rapat! Sir Pixis mencari-carimu, tahu! Aku sampai harus membuat alasan bahwa kau sedang tidak enak badan."

Pemuda blonde itu lalu beralih pada satu-satunya perempuan di situ, "Dan Mikasa! Mr. Ian mencarimu tadi untuk menagih artikelmu. Kau tidak lupa deadline, kan?"

"Aku tidak lupa. Semuanya sudah selesai." Jawab Mikasa sebelum ia beralih pada Eren, "Jadi kau tidak datang rapat, Eren?"

Eren menelan ludah. Aduh Armin, kamu datang di saat yang tidak tepat!

Dan bergulinglah seorang Jaeger muda di tanah karena perutnya ditinju oleh saudaranya.

Mikasa mengepalkan tangannya yang menjadi tersangka dari penderitaan Eren, "Apa boleh buat, aku harus meyakinkan alasan yang sudah dibuat Armin."

"Ja…jahat…" rintih Eren. Ia mau tidak mau dibopong kembali ke dalam gedung oleh kedua sahabatnya. Melihat keadaan Eren, Sir Pixis jadi yakin dengan kebohongan Armin. Trio itu pun mengantar Eren ke meja kerjanya. Armin lalu pergi membuatkan teh manis hangat sementara Mikasa mencari Ian untuk menyerahkan pekerjaannya.

Seperti itulah ketiganya saling mempercayakan punggung masing-masing pada satu sama lain sedari kecil. Mikasa dan Eren melindungi Armin dan para bully (meskipun kebanyakan Mikasa yang menghajar mereka dan Eren babak belur duluan). Armin yang cerdas mempu meloloskan Mikasa dan Eren dari masalah berkali-kali dengan kemampuan berbicaranya. Sementara Eren memiliki determinasi kuat yang selalu mampu membangkitkan kembali semangat Mikasa dan Armin di saat-saat terburuk dalam hidup.

Mereka selalu bersama sampai tahap mereka tidak akan melakukan sesuatu jika salah satu dari mereka tidak mau melakukannya. Awalnya mereka hanya mencoba-coba melamar ke WFN karena mereka memiliki minat yang sama dalam jurnalistik. Armin dulu selalu menunjukkan tempat-tempat indah yang diliput WFN dan membuat Eren ingin mengunjunginya suatu saat nanti. Eren sendiri menyukai bidang fotografi semenjak SMA, sedangkan Mikasa diam-diam senang menulis dan mengamati kejadian-kejadian di sekitarnya. Sampai akhirnya mereka bertiga diterima—yang tentunya diluar dugaan—dan atas kesepakatan bersama, mereka bergabung di kantor tersebut. Kini di WFN Eren bertugas sebagai fotografer, Mikasa sebagai penulis salah satu artikel di koran elektronik dan Armin di tim redaksi acara berita di televisi WFN dan sering mengusulkan ide-ide bagus.

Eren menopang dagunya sementara matanya terfokus pada layar laptop. Ia sedang memilah-milah hasi jepretannya untuk dipajang di website WFN. Eren adalah fotografer dan penulis di salah satu rubrik WFN yang berisi tentang tempat-tempat wisata. Karena itu tidak jarang Eren pergi travelling, berkeliling dunia untuk meliput. Dan Eren benar-benar menikmati pekerjaannya. Tidak lupa ia membawa oleh-oleh terutama untuk Sir Pixis, Mikasa, dan Armin.

Dan karena Eren juga tidak punya editor, ia kadang pusing karena harus bekerja tiga kali. Menulis, memilah foto, lalu mengedit tulisannya agar sesuai dengan tata bahasa dan layak untuk dikonsumsi. Jika sudah terpentok deadline ia selalu meminta saran pada Mikasa untuk penulisan dan Armin untuk memilihkan foto terbaik dari sekian banyak foto yang ia ambil untuk beritanya. Sebisa mungkin, tanpa mengganggu pekerjaan mereka.

Eren menarik nafas. Kali ini pun ia tidak bisa memutuskan sendiri. Tempat terakhir yang ia kunjungi benar-benar memiliki banyak tempat yang indah dan ia tidak bisa menentukan foto mana yang cocok untuk dipasang.

"Foto yang tadi, Eren, nomor 0167. Kurasa itu yang paling bagus."

Eren menoleh pada Armin yang tersenyum sambil membawa nampan berisi segelas teh manis hangat. Eren berterima kasih dan sedikit menyingkir untuk memberi Armin tempat di depan laptopnya.

"Yang nomor 0154 juga bagus, tapi kurasa angle-nya lebih unik yang 0167."

"Armin…sejak kapan kamu di sini?" tanya Eren penuh selidik. Ia sama sekali tidak menyadari hawa kehadiran Armin dari tadi. Apa karena terlalu serius menatap foto-fotonya?

"Kau kan kebiasaan, sekalinya konsentrasi, tidak sadar apa pun. Bahaya, lho." Kata Armin sambil bercanda. Keduanya lalu tertawa dan saling melempar senyum.

Suara hak sepatu yang tinggi terdengar membentur-bentur lantai, mendekat dengan agak terburu. "Eren. Sir Pixis memanggil."

Kedua pemuda di situ saling pandang. Dengan erangan Eren bangkit dari kursi kerjanya dan lalu pamit pada Armin dan Mikasa menuju ruangan sang Bos.

~oOo~

"Ini rincian tugasmu nanti di Trost, Rose besok lusa."

Eren mencermati print-out yang terkumpul di map berwarna kuning. Di situ tertulis tempat-tempat yang harus dikunjungi dan apa saja yang harus diliput. Juga tentang jadwal keberangkatan pesawat, biaya perjalanan (tanggungan perusahaan), dan lain-lainnya.

"Pesawatmu akan datang pukul sembilan pagi, jadi jangan sampai terlambat. Setelah di Trost kau boleh mencari penginapan untuk istirahat sejenak. Setelah itu, pergilah ke tempat-tempat yang sudah disebutkan disitu. Di map ada peta dan petunjuk transportasi yang bisa kau gunakan sebagai petunjuk." Jelas Pixis, "Badanmu sudah sehat?"

Eren sedikit terlonjak kaget, "Ah, iya, Sir…saya sudah mendingan, hanya masalah…um, maag?"

"Berhati-hatilah, Jaeger. Jika kambuh, maag bisa cukup mengganggu. Jangan sampai makin parah."

"Te, tentu, Sir. Saya akan hati-hati." dalam hati Eren menelan ludah. Haha, maag? Jauh lebih baik daripada harus dipukul dengan tinju mautnya Mikasa.

"Baiklah, jika sudah tidak ada pertanyaan, kau boleh pergi. Berhati-hati di sana, Jaeger."

"Ya, Sir. Saya permisi." Dan setelah itu pintu pun ditutup.

Pixis yang tertinggal sendiri di situ menatap pintu ruangannya lebih lama. Ia lalu kembali membuka satu tab di laptonya yang tadi sempat ditutup.

Foto terakhir yang diambil fotografer Thomas. Di Negara Maria.

"Thomas, Mina. Apa yang kalian berusaha katakan lewat ini?"

Bisikan Pixis tidak sampai di telinga siapa pun.

~oOo~

Hari keberangkatan tiba. Pukul setengah sembilan pagi Eren sudah berada di bandara dengan ransel, koper dan tiket yang sudah ditangan. Tidak lupa, tas kecil berisi kamera yang dikalungkan setia di lehernya yang jenjang. Ia memakai kaus berwarna gading dan jaket berwarna hijau. Kakinya dibalut oleh celana jeans warna putih. Ranselnya berwarna abu-abu dan memang khusus untuk travel, sementara koper merah maroon-nya ia seret dengan tangannya. Oh, tidak lupa sepatu converse warna cokelat tua dengan tali warna putih favoritnya.

Sambil menunggu Eren memutuskan untuk mengirim SMS pada Mikasa dan Armin bahwa ia sudah berada di bandara. Keduanya membalas nyaris bersamaan dengan isi yang hampir serupa; permintaan maaf karena tidak bisa mengantar. Eren tersenyum, ia kembali mengetik balasan bahwa ia mengerti dan tidak usah khawatirkan dirinya (terutama untuk Mikasa). Kedua sahabatnya lalu mengucapkan selamat jalan.

Eren memasukkan kembali handphone milknya ke saku celana. Ia mengecek jam, masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi. Pemuda itu mengambil uang dari dompet, lalu pergi membeli minum.

Memutuskan ingin minum jus, ia meraih satu kotak jus apel dari kulkas dan membayar. Di sana juga ada seorang pria berpakaian jas rapi. Ia pergi begitu Eren baru akan membayar minumannya, dan si mata hijau menangkap sesuatu.

Dompet. Tergeletak di lantai begitu saja.

Eren segera melayangkan pandangannya ke arah pria berjas tadi. Diraihnya dompet itu dan segera mengejar.

Tidak butuh waktu lama untuk menyusulnya. Agak ragu, namun Eren tetap memberanikan diri menepuk pundak pria yang ternyata lebih pendek darinya. Mata tajam sewarna besi berbalik, melihat langsung ke mata jamrud Eren, membuat kru WFN itu menelan ludah.

"Ada perlu apa, bocah?" katanya jutek. Dengan canggung Eren mengajukan dompet temuannya.

"Maaf, tapi…apa ini milik Anda?"

Pria berambut hitam dengan model undercut itu menatap benda di tangan Eren. Ia lalu langsung mengecek saku celana belakangnya, dan sepertinya memang tidak mendapati dompet miliknya bersarang di sana.

"Itu milikku." Katanya singkat sambil mengambil kembali miliknya. Eren mengangguk.

"Kalau begitu, saya permisi…" sahut Eren. Ia ingin segera pergi dari hadapan pria bermuka teflon itu. Sekilas ia merasa sedang berhadapan dengan Mikasa versi cowok, hanya saja lebih menyeramkan… dan lebih pendek. Tanpa sadar Eren langsung menyingkah dengan langkah setengah berlari. Aura orang itu benar-benar suram!

Tapi Eren tidak tahu, pria yang ia tinggalkan di belakangnya masih menatap punggungnya dengan tatapan yang tidak terbaca. Sedikit senyuman misterius terpampang samar di mulutnya.

~oOo~

Perjalanan di pesawat terhitung biasa saja, seperti yang biasa Eren lewati. Walaupun pemandangan di luar jendela tidak pernah membuatnya bosan. Eren sangat menyukai gulungan awan-awan putih yang terhampar di langit biru tanpa batas. Rasanya ia ingin melompat saja dan mendarat di awan yang seperti kapas itu meski ia, bahkan Eren pun mengerti bahwa itu mustahil dan awan bukanlah benda padat.

Puas dengan sajian indah itu, Eren memasang earphone dan memutar lagu favoritnya di iPod berwarna lime. Dengan satu tarikan nafas badannya langsung menuju mode rileks dan ia tertidur dalam waktu singkat, bermimpi dirinya bermain di awan bersama dua sahabat masa kecilnya.

Perjalanan menuju bandara Rose hanya butuh dua jam. Eren turun bersama bawaannya setelah mengecek jam. Masih pukul 11 pagi, mungkin ia akan mencari penginapan dulu sebelum berwisata kuliner. Ia tidak mau menenteng barang-barang berat ini ke mana-mana. Hotel yang berada dekat dengan tempat yang akan diliputnya berjarak satu jam dari bandara. Ia menyerahkan dokumen seperti paspor sesuai prosedur sebelum melangkah ke pintu keluar, dan mencari taksi.

Dari supir taksi itu Eren mendapat banyak informasi mengenai tempat wisata yang akan ia liput di Trost termasuk transportasi paling cepat menuju ke sana. Ia bahkan mendapat rekomendasi untuk berwisata kuliner yang pas. Begitu sampai di hotel Eren membayar dengan uang lebih dan berterima kasih. Ia menatap hotel di depan matanya ini. Cukup satu kata, sederhana. Namun bersih dan terawat. Ada lima tingkat dengan pintu depan yang cukup menarik. Hotel yang hanya berbintang dua, tapi Eren merasa ia akan betah di sini.

Eren memesan kamar untuk empat hari. Setelah mendapat kunci kamar Eren menuju lantai lima. Lantai paling atas, Eren nyengir senang seperti anak kecil. Ia suka tempat tinggi.

Pemuda polos itu membuka kamarnya, nomor 45. Pemandangan kamar berukuran sedang menyambut matanya. Kamar itu nyaman, dengan single bed, sebuah meja kecil dan kursi berbahan rotan, meja kaca yang terbuat dari kayu, sebuah pintu menuju kamar mandi, dan jendela lebar yang tertutup kain gorden warna putih bersih. Dengan penuh semangat Eren membuka tirai itu dan terpampanglah pemandangan kota Trost di balik jendela kaca.

"Indah sekali." gumamnya kagum. Ah, ujar Eren dalam hati, aku cinta pekerjaan ini.

~oOo~

Hari itu Eren mulai kembali menikmati liburan—ah, pekerjaannya. Ia mengunjungi wisata air di sebuah sungai yang sangat indah. Sungai itu dapat disusuri dengan perahu kecil model sekoci yang dikayuh oleh satu orang. Airnya bersih, memantulkan sinar matahari. Di sepanjang sungai itu adalah perkotaan dimana kita bisa melihat aktifitas orang-orang. Namun itu belum yang terbaik. Kita akan mulai memasuki area yang lebih damai, dikelilingi oleh pohon-pohon berbentuk eksotis dan rumah-rumah tradisional yang berjejer rapi. Pemandangan seperti di abad pertengahan menyita perhatian Eren. Ia tidak bisa tidak mengambil banyak gambar melalui lensanya. Ia juga sesekali mencatat poin-poin penting untuk tulisannya nanti.

Setelah menyusuri sungai ia mengunjungi kuil pemujaan kuno yang kini dirawat sebagai warisan budaya. Eren mempelajari sejarah Trost di situ. Tangannya mencatat cepat ala reporter menyalin jawaban dari narasumber. Tidak lupa, memfotonya dengan satu bidikan tepat.

Dan ketika sore, Eren berbaur bersama warga setempat mencicipi masakan-masakan khas Trost yang memiliki bermacam-macam cita rasa. Ia kembali mencatat dan memotret.

Bisa dibilang, kehidupannya sebagai jurnalis rubrik wisata benar-benar surga. Oh, dan semua biaya ditanggung WFN. Ditambah, ia digaji. Apa lagi yang Eren minta? Ia hanya berharap bisa bersama Mikasa dan Armin saat ini. Hanya itu.

Eren menyusuri jalanan malam dengan ransel dan kamera di leher. Pemandangan Trost di malam hari justru lebih mempesona. Ia melihat jam yang menunjukkan pukul 10. Eren mempercepat jalannya supaya tidak kemalaman pulang ke hotel untuk istirahat. Pekerjaan untuk esok hari menumpuk.

Tapi memang manusia tidak bisa memilih untuk sial apa tidak. Eren salah mengambil jalan dan kini tersesat di jalanan kecil yang gelap.

"Aduh…dari semua waktu, kenapa harus sekarang…" Eren merutuki sense of direction -nya yang ternyata belum juga membaik. Ketika ia mau berputar arah kembali ke jalan yang tadi, tiba-tiba telinganya mendengar sesuatu.

Tembakan pistol.

Eren tercekat. Pistol? Astaga.

Eren mematung di tempatnya. Setengah dirinya ingin segera kabur dari situ, tapi setengah dirinya terpanggil oleh jiwa jurnalisnya untuk segera mendatangi tempat perkara dan meliput. Ia menggigit bibirnya, bingung.

"Agh, sial!"

Eren berlari meninggalkan ranselnya di suatu tempat, dan berlari tanpa suara ke arah dimana ia mendengar tembakan itu.

Ia terus melangkah di tengah kegelapan malam. Jalanan yang ia injak tidak beraspal seperti di jalanan besar. Malah berlubang di sana sini. Terlihat sekali tidak terawat. Mungkin, ia sedang berada di tempat yang dalam…dan berbahaya. Terutama jika malam begini.

Tapi perasaan ingin meliput tetap mendesak benaknya. Jika ada yang menjadi korban, aku bisa segera menolongnya. Jika di sana ada yang bisa kujadikan berita, aku akan menangkapnya!

Sampai sekarang tidak ada lagi suara tembakan. Yang tadi itu hanya satu-satunya. Eren mempercepat langkah, mengambil belokan ke kiri, dan berhenti seketika. Nafasnya terhenti. Matanya membuka lebar.

Di bawah cahaya yang remang, jalanan kecil itu menjadi alas bagi lima mayat yang tersungkur tak bernyawa. Cipratan darah segar ada di mana-mana.

Mulut Eren terbuka menahan nafas. Bau besi seketika tercium, membuatnya ingin muntah.

"Apa…apa yang…" Eren tergagap seketika. Perlahan ia dekati tempat itu, lebih dekat, lebih, dekat.

Hingga akhirnya ia mampu melihat mayat-mayat itu lebih jelas. Beberapa ada yang mengeluarkan darah dari dada, dan ada juga yang dari kepala.

Dada, kepala…target yang biasanya dibidik oleh pistol. Ya, bunyi tembakan itu.

Tapi bagaimana hanya ada satu suara? Sementara disini ada lima badan yang tergeletak? Tidak masuk akal.

Atau jangan-jangan, saat Eren mendengarnya, itu sudah tembakan yang membunuh orang yang terakhir? Iya, pasti begitu… Empat orang sisanya dibunuh saat Eren belum sampai ke sini.

Selain mayat-mayat ini pun, tidak ada petunjuk apa-apa.

Tangan Eren bergemetar. Ia tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Tapi entah kenapa, bagai insting, tangannya meraih kamera yang tergantung di lehernya dan mengarahkan lensa itu untuk mengambil gambar.

Bagaimanapun, lensa kamera adalah mata ketigaku.

Namun begitu ia akan memencet tombol shoot, kedua matanya berubah gelap. Ada yang menutupi matanya, ia dapat merasakan kulit mendekap wajahnya. Panik, ia berusaha berontak, namun ia ditarik jatuh terduduk di tanah dengan mata tetap tertutup. Untuk tali kameranya tetap ia lingkarkan di leher. Setelah itu ia merasakan badan yang kokoh menekan punggungnya dan nafas yang menggelitik telinganya.

"Kau tidak akan memotretnya." Ujar penangkapnya. Eren menelan ludah mendengar suara yang entah kenapa, familiar.

"Si…siapa kau!?" gertak Eren, namun badannya tidak mampu bergerak. Ia gemetar.

"Ssh…tidak mau membuat orang lain menemukan kita, hm?" orang misterius itu menempatkan tangannya yang satu lagi di leher Eren. Lalu turun ke dada, mendekapnya dari belakang. Eren merasakan nafas itu pindah dari telinga, menuju lehernya. Pemuda itu bergidik geli. "Walau aku tidak bisa menyalahkanmu juga. Insting seorang wartawan, kurasa?"

"Lepaskan…" Kata Eren lirih, setengah berbisik.

"Tidak." Kata orang itu lagi. "Aku belum menyampaikan terima kasihku."

Hah? Jangan bercanda, jerit Eren dalam hati. Terima kasih apa? "Aku tidak tahu siapa kau!"

Hening sebentar di jalanan itu.

"Ah, jadi kau tidak ingat?"

"HUAA!" Eren akhirnya menjerit ketika tiba-tiba tubuhnya ditarik jatuh dengan punggung di bawah. Kamera yang masih bertengger di lehernya tanpa sengaja menghajar dada Eren ketika jatuh sampai terasa sakit. Ia merasakan orang itu berpindah tempat ke atasnya. Eren membuka mata.

Dan ingatan langsung bergegas kembali ke otaknya. Dia…orang yang kutemui di bandara!

"Ka…kau…" pria itu tersenyum sinis melihat wajah Eren di bawahnya yang begitu terkejut.

"Ya, aku." Ujarnya. Tangannya mengelus pipi lembut Eren, "Kita bertemu lagi. Kamu dari WFN, rupanya. Kebetulan sekali."

Eren kembali menahan nafas begitu pria di atasnya berbisik dengan suara berat yang…sangat seksi. "Aku tertarik padamu, Eren Jaeger."

Pria itu menjilat telinga Eren. Pemuda itu langsung merinding hebat. Apa ini? Eren tidak habis pikir. Ada orang misterius yang ia temui di bandara, kini ada di atas tubuhnya, menjilati telinga dan lehernya, di jalanan sepi dengan lima mayat. Oh Tuhan, apa ini mimpi? Eren merasakan kemarahan muncul ketika melihat mayat-mayat itu.

"Kau. Yang melakukannya?"

Lidah itu berhenti, namun Eren mampu merasakan senyuman di bibir itu. "Ya. Tugasku."

Tugas? Eren membeku begitu ia melihat jelas wajah penyerangnya sekali lagi. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Pria itu tersenyum, menjilat bibir Eren dengan cara yang memalingkan wajahnya. "Sebagai tanda terima kasih dan salam kenal, Eren."

Eren terkejut. Hidungnya ditutup dengan sapu tangan. Kain itu pasti sudah diberikan obat tidur, Eren yakin seiring dengan menurunnya kesadarannya. Hingga akhirnya Eren tertidur total. Tapi sebelum jatuh ke kegelapan, Eren kembali mendengar suara orang itu.

"Rivaille. Ingatlah namaku. Sina Recon Corps. Selamat tidur, Eren."


(A/N) : So, Rei, lu ngapain bikin story baru? Iyah, mungkin ada yang nanya begini...gue lagi WB dan malah ide baru yang nongol. TAMPAR SAJA AKU MAS! /digiles

Kali ini saya mau nyoba masukkin unsur crime. Eh, ini bisa dibilang crime gak ya? Yah, begitulah deh pokoknya. Pengen nulis Riren dengan nuansa baru, jadi nggak fluff melulu. Not really gomen~

Buat yang nungguin update-an Tiredness and Punishment sama Waiting You, saya minta maaf banget ya. Masih lanjut kok. But you know, WB...anggap aja ini cemilan dulu nyahahaha /diinjek

Nah kayak yang tadi saya bilang ini fic pertama saya yang ada bau-bau(?) crime, jadi saran dan kritikan sangat terbuka. Jangan ragu buat kasih masukan yaa :D

Thank you!

mystic rei