Note : Hajimemashite^^ Saya baru debut disini. Fiksi ini merupakan karya tulis yang saya gunakan untuk debut di situs ini. Fanfiksi ini terinspirasi dari novel 'Winter In Tokyo' karya Ilana Tan dan saat ini sedang dalam proses pembuatan film yang mengambil latar tempat di Tokyo. Disini saya meminjam beberapa setting yang ada dalam novel 'Winter In Tokyo'. Dan disini juga ceritanya tingginya Levi 170 cm untuk mendukung alur cerita, terus marganya Mikasa juga kuganti karena dia ceritanya jadi anak angkatnya Grisha. Satu lagi, disini saya Author newbie, jadi Mohon Bantuannya^^ Onegaishimasu^^ Mohon RnR-nya yaa. Sekian, Sankyuu Gozaimasu and Happy Reading^^ *bow
Disclaimer :
- Shingeki No Kyojin © Hajime Isayama
- Winter In Tokyo © Ilana Tan
- When The Snow Flake Fly Away © xandraxu
Warning : AU, AR, AT, OC, OOC, Typo, No Bash, EYD kurang sempurna, Jika terdapat kesamaan alur cerita itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.
.
.
.
.
.
Prolog :
December 1st, 2015
Ia mengeluarkan belati dari dalam saku jasnya tepat pada radius tiga meter dari tempat sang korban. Korbannya tengah diikat terduduk diatas kursi. Lalu dengan perlahan ia mendekati korbannya dengan seringaian kejam. "Lalu apa maksud dari semua ini?" suaranya pelan namun tegas mengintrogasi orang yang menjadi korban tersebut. Tidak ada jawaban. "Apa aku harus mengulangi pertanyaanku kembali?" ia kembali berbicara. Hening. Tak ada jawaban. "Lelah sepertinya berbicara dengan orang bisu. Sia – sia saja suara yang kukeluarkan. Sepertinya aku harus melenyapkanmu jika kau terus – terusan diam. Secara cepat atau perlahan? Kau suka yang mana? Hm?" di ruangan itu hanya terdengar suara rintik hujan yang tidak begitu deras dan suara si penyiksa. Sedari tadi sang korban hanya menutup mulut enggan berbicara. Percuma saja jika berteriak meminta tolong karena ia berada di tempat terpencil. "Jika kau diam, maka akan kuanggap sebagai opsi kedua." ia mulai menyayat kulit sang korban menggunakan belati yang ia bawa. "Masih tetap diam?" katanya untuk kesekian kalinya. Penyiksaan berlanjut pada alat gerak atas sang korban. Ia mencabut kuku – kuku tangannya. "Aku lebih baik mati dengan harga diri, daripada mengkhianati golonganku." kali ini sang korban berbicara. "Baiklah, dengan senang hati permintaanmu akan kuturuti." Penyiksa tersebut kembali menjalankan aksinya. Ia menguliti sang korban. Memotong lidah dan telinganya. Mencongkel matanya. Menusuk jantung dan otaknya hingga beberapa kali. Mematahkan tulang hidung dan rusuknya. Merobek dan mengeluarkan isi perutnya. Memutuskan sambungan pembuluh darahnya. Darah memancar dari tubuhnya. Sepertinya si penyiksa mulai bergidik jijik karena sangking banyaknya darah di ruangan remang – remang tersebut hingga bisa disebut banjir darah. Jika saja vampire terdapat pada dunia nyata, maka tidak segan – segan si penyiksa memberikan darah korbannya untuk kawanan vampire berpesta, apalagi dengan darah manusia. Pada akhirnya ia mulai lelah dengan sepatu high heels yang ia kenakan sekarang. Sentuhan terakhir, ia memenggal kepala sang korban dengan menggunakan kapak yang terdapat pada ruangan tersebut namun tidak sampai lepas dari badannya. Lalu ia memasukkan jasad korbannya ke dalam box kayu dan dibuangnya ke dalam jurang guna menutupi jejaknya. Selesai sudah tugasnya. Ia pun segera pergi ke markas rahasia untuk menemui atasannya dan melaporkan hasil kerjanya.
"Kerja bagus, Arthuria." kata seorang wanita berambut blonde. Ia memberikan dua tumpuk lembaran uang kertas yang disimpannya kedalam amplop kertas berwarna coklat untuk diberikannya pada orang yang dikenali sebagai pemilik nama Arthuria. Dengan senang hati Arthuria menerima amplop tersebut serta tak lupa berterimakasih pada atasannya. Gadis surai hitam tersebut segera kembali ke apartemennya sebelum fajar tiba. Baru saja ia akan sampai ke apartemennya, tiba – tiba ia dikejutkan dengan suara tepukan tangan sebanyak tiga kali. Ia membalikkan badan dengan cepat. Iris onyxnya menangkap sebuah proyeksi seorang pria berbaju serba hitam dengan tatapan tajam. Pria itu berjalan ke arahnya. "Kau menghalangi jalanku." kata pria itu. "Jadi kau sudah tau?" tanya Arthuria. "Begitulah." jawabnya singkat.
Chapter 1 :
#Flashback
December 5th, 2014
Salju turun lagi. Kali ini tidak terlalu deras, namun angin malam ini sungguh menusuk tulang. Tetapi tetap saja jalanan selalu ramai akan orang – orang yang berlalu lalang. Maklum saja, pada saat itu merupakan jam pulang kerja. Gadis muda itu merapatkan mantel musim dinginnya sembari berjalan pulang menuju apartemennya.
"Mikasa, tunggu!" sebuah suara dari kejauhan membuat gadis bernama Mikasa membalikkan badannya ke sumber suara. Ia melihat seorang wanita berambut pirang berlari kecil ke arahnya. Itu Krista Lenz, gadis muda seumuran Mikasa. Ia cantik, pintar dan suka menolong. Lelaki mana yang tak mau bersanding dengannya. Walaupun ia masih muda, tetapi ia sudah memiliki pasangan hidup dan tinggal di satu gedung apartemen yang sama dengan Mikasa. Sungguh beruntung sekali orang yang menjadi suaminya.
"Kau baru pulang?" tanya Mikasa.
Krista menghela nafas. "Ya, sore tadi restoran sangat ramai. Hal itu memaksaku untuk pulang terlambat."
"Sepertinya kau membawa barang belanjaan banyak hari ini. Mari, biar kubantu." Mikasa menawarkan diri untuk membantu Krista. Ia mengambil bungkusan kertas coklat yang berada di tangan kiri Krista.
"Arigatou, hari ini Armin akan pulang dari Nagoya." Krista merapatkan syal di lehernya.
"Oh, pantas saja kau berbelanja banyak. Ayo, percepat langkahmu sebelum hawa dingin membekukan kita di jalan, salju semakin deras." Mikasa mempercepat langkahnya.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di depan gedung apartemen mereka.
"Mikasa, ikutlah makan malam dengan kami. Aku akan memasak menu spesial malam ini." Krista mengajaknya untuk makan malam di apartemennya.
"Gomenasai, pekerjaan rumahku sudah menunggu. Terima kasih sebelumnya." Kata Mikasa dengan nada menyesal.
"Baiklah, semoga keberuntungan selalu berpihak kepadamu. Konbawa." Krista melambaikan tangannya
"Hampir lupa, sampaikan salamku untuk Armin. Sampai jumpa." Kata terakhir Mikasa sebelum mereka berpisah menuju apartemen masing – masing.
Mikasa menaiki beberapa anak tangga untuk menuju apartemennya di lantai dua. Apartemennya tergolong luas dan elite. Di dalamnya terdapat sebuah ruang untuk tamu sekaligus ruang keluarga, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan sebuah dapur mini, serta balkon yang menghadap ke arah barat.
Ketika ia sudah melampaui semua anak tangga, ponselnya berbunyi,ia mengambil barang itu dari dalam tasnya lalu kembali berjalan dengan terburu – buru . "moshimoshi?... Okaasan?... Apa? Ada apa dengan Otousan?... Baiklah, lusa aku akan kesana..." Braakk.. Belum sempat Mikasa menutup panggilan dari ibunya, seseorang telah menabrak bahunya dari depan dan membuat ponsel mereka terjatuh. Kebetulan seseorang itu juga sedang menggunakan barang tersebut. Mikasa mengambil ponselnya dan segera berlalu dari orang itu. Tak sadar, ponsel mereka tertukar karena merk yang sama.
'Dasar orang sinting, apa dia tidak punya mata.' umpatnya dalam hati saat sampai di depan apartemennya. Mikasa mengeluarkan kunci apartemennya dari dalam tas lalu masuk ke dalam apartemennya. Tak lupa ia mengganti sepatu bootnya dengan sandal putih tipis. Ia meletakkan tasnya dan mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi.
Baru beberapa menit ia merendam diri di dalam bathtub, tiba – tiba saja ponselnya kembali berbunyi. Dengan malas, ia melilitkan handuk ke tubuhnya dan mengambil ponselnya. "moshimoshi?... Apa?... gomenasai, mungkin Anda salah orang." dengan kesal, Mikasa menutup flap ponselnya. Ia memandang sejenak barang itu. Lalu ia tersadar ada yang janggal dari benda tersebut. Astaga! Itu ponsel seseorang yang menabraknya beberapa menit lalu. Bodohnya, mengapa ia baru menyadari sekarang. Ia mendesah kesal. Ada niatan untuk mendatangi orang itu, tetapi sepertinya orang itu hendak pergi entah kemana, toh orang itu juga belum tentu merupakan penghuni apartemen di gedung ini. Sejenak ia berpikir, ia memutuskan untuk menghubungi nomor ponselnya, namun ia terlalu lelah untuk itu. Mungkin esok hari saja.
December 6th,2014
Sinar surya menelusup paksa pada kelopak matanya lalu diteruskan saraf sensorik menuju otak. Tak lama kemudian ia menggeliat diatas ranjangnya sebagai tanda peka terhadap rangsang cahaya. Kelopak matanya terbuka memperlihatkan iris obsidiannya yang tajam mengkilat. Lalu indra pendengarannya menangkap sumber suara yang berasal dari benda di atas meja nakas. Dengan mendesah kesal ia menyambar ponselnya dan menempelkan benda itu di telinga.
"moshimoshi?... Apa? Aku tidak mencuri, justru kau lah pencurinya!... Baiklah, kembalikan sekarang... Apartemen Shinjuku, 268... Cepat kembalikan atau kau akan kulaporkan pada pihak kepolisian!" katanya pada seseorang di seberang sana.
Pagi ini masalah kecil menimpanya. Sungguh, mungkin sedang tidak beruntung atau dirinya sendiri yang ceroboh. Ia membuka tirai putih yang menggantung di jendela kamarnya, merapikan ranjangnya, tak lupa ia memanaskan air untuk hari ini. Bel apartemennya berbunyi. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Tampak gadis berumur dua puluhan dengan mengenakan baju tidur putih berbahan sutra. Gadis itu memasang raut muka yang tidak bersahabat.
"Dasar pencuri! Kembalikan ponselku." Seru gadis yang bernama Mikasa itu sembari memberikan ponsel yang dibawanya.
Si penghuni kamar tak berbicara apapun. Ia masuk ke dalam apartemennya untuk mengambil barang yang dimaksud Mikasa dan menyerahkannya kepada si empunya. "Beruntunglah karena kau bukan laki – laki." katanya sebelum memasuki apartemen.
Mikasa tak menghiraukan perkataan orang itu. Ia segera kembali ke apartemennya yang berada di seberang apartemen nomor 268. Apa? Berseberangan? Ternyata orang sinting itu merupakan tetangga depan apartemennya. Mimpi apa dia semalam? Bukankah apartemen itu kosong? Lalu sejak kapan orang itu tinggal disini? Bukan urusannya. Ia berharap orang itu tak mengusik hidupnya lagi.
Angin pagi ini cukup dingin. Padahal sudah pukul 9 pagi. Namun hal itu tak menyurutkan niat Mikasa untuk berangkat seperti biasa. Ia bekerja sebagai bartender di sebuah bar kopi di Harajuku sekaligus pemilik bar tersebut. Ia mengenakan sepatu bootnya ketika usai mengunci apartemennya. Terdengar bunyi pintu yang dikunci dari seberang apartemennya. Ia melirik ke arahnya. 'Orang itu lagi' batinnya. Sepertinya orang itu juga melirik ke arahnya. Ia buru – buru mengalihkan pandangannya dan segera menuruni anak tangga .
Mikasa merapatkan mantel hitamnya dan syal marunnya. Ia menoleh ketika ada yang memanggilnya. Itu Krista, seperti biasa, selalu anggun dan menawan. Suatu kebetulan mereka akan berangkat bersama pagi ini.
"Bagaimana dengan subway? Halte pagi ini terlihat sangat ramai." tanya Krista menoleh ke arah Mikasa sembari berjalan dari gedung apartemen mereka.
"Baiklah, kurasa akan lebih cepat sampai." Mikasa melemparkan senyum. "Kau tahu? Ada penghuni baru di apartemen tempat kita tinggal."
"Benarkah?" Krista membelalakan mata, memperlihatkan iris sapphirenya yang indah ke arah Mikasa.
"Ya, tapi orang itu sudah memberikan kesan tidak enak kepadaku. Sungguh menyebalkan." Nada suara mikasa memperlihatkan bahwa ia sedang kesal dengan tetangga barunya.
"Bagaimana bisa?" Tanya Krista penasaran.
"Secara tidak sengaja kami bertabrakan dan ponsel kami tertukar. Lalu dengan seenaknya dia menuduhku sebagai pencuri."
"Begitukah? Lalu bagaimana dengan ponselmu?"
"Aku baru saja menukarnya tadi pagi."
Lelaki muda itu mendesah kasar lalu meletakkan berkas pentingnya ke sembarang tempat. Belum sempat ia menghempaskan badannya diatas sofa hitam yang berada di sebuah ruang kerja VVIP, seorang bawahannya telah mengetuk pintu ruang kerjanya terlebih dahulu. "Masuklah" katanya.
"Sir, ada panggilan dari Sir Erwin untuk segera menemuinya di ruangan kerjanya." kata seorang bawahannya.
"Ada apa lagi dengan orang itu?" gerutunya.
"Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan pada Anda, Sir."
"Baiklah, aku akan kesana, kau boleh pergi."
Setelah menyampaikan informasi, bawahannya pun pergi. Akhirnya ia bisa menghempaskan badannya di sofa hitam. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia pun menyambar berkas yang diletakkannya di sembarang tempat tadi. Semua keterangan tentang sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang belum lengkap, bahkan bisa dibilang sangat kurang. Setiap kata yang tercetak dengan tinta hitam ia baca secara teliti. Lalu ia meletakkannya lagi. Hampir saja lupa untuk menemui Sir Erwin atau lebih mudahnya ia akan memanggil orang tersebut dengan sebutan 'Ojisan'.
Ia melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerjanya. Berjalan menuju ruangan Sir Erwin. Tak lupa untuk mengetuk pintu terlebih dahulu. Terdengar kata mempersilakan untuknya. Ia pun masuk dan duduk berhadapan dengan sang pemilik ruangan.
"Aku yakin kau pasti akan datang ke ruanganku." kata pria paruh baya tersebut yang diduga bernama Sir Erwin.
"Ojisan, ada hal penting apa yang akan kau bicarakan?" tanya lelaki itu tanpa basa – basi, seperti biasa.
"Aku telah mengumpulkan sebagian keterangan dari kasus pembunuhan di dekat gereja katedral di ujung kota. Diduga pelakunya adalah Annie Leonhardt beserta anggota golongannya." kata Sir Erwin secara rinci sembari memberikan beberapa lembar data pada lawan bicaranya.
"Annie Leonhardt, Reiner Braun, Bertolt Hoover, Arthuria Brunhilde." ia membacakan satu persatu nama dari data tersebut, tetapi ia merasa ada yang janggal. "Mengapa disini tidak ditampilkan gambar sosok Arthuria Brunhilde?" tanyanya lagi.
"Sayang sekali, orang itu sangat misterius. Agen rahasiaku mengatakan bahwa mereka tidak menemukan orang itu, dikarenakan wajahnya yang tidak terlihat di kamera CCTV jalan saat mereka menjalankan aksinya." Jawab Sir Erwin dengan nada setengah menyesal. "Satu lagi yang akan ku sampaikan padamu, sebuah permohonan dan aku harap kau dapat menerimanya."
"Apa itu?"
"Menikahlah dengan putri dari Grisha Yeager, Mikasa Yeager. Demi misi ini."
Lelaki itu tercengang, ia bertanya "Apa alasanmu menjodohkanku dengan putri dari Jendral Besar, Ojisan?".
"Agar misi ini berjalan dengan lancar. Kumohon bantuanmu dengan sangat." Sir Erwin memohon.
Lelaki itu diam. Ia tak tau harus berbuat apa. Ia tidak ingin menikah di umurnya yang masih dua puluh lima tahun. Disamping itu, ia belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi teman hidupnya. Dan sekarang, tiba – tiba ia telah dijodohkan oleh pamannya. Pamannya yang mengasuhnya sejak kecil. Jadi, ia harus menuruti satu permohonan ini sebagai balas budinya. Ayahnya telah meninggal sejak ia dalam kandungan. Sepuluh tahun kemudian, ibunya menyusul.
"Tak usah khawatir. Acaranya akan kuurus. Kau akan menikah dua minggu lagi." Lanjut Sir Erwin.
"Ojisan, dua minggu adalah waktu yang sangat cepat. Aku tidak yakin untuk..."
"Misi ini akan berjalan lebih cepat jika kau segera menikah." belum sempat lelaki itu menyelesaikan kata – katanya, Sir Erwin sudah memotongnya.
"Baiklah, akan kupikirkan." kata lelaki itu sebelum meninggalkan ruangan Sir Erwin.
"Mina, kau sudah mengantar pesanan ke meja nomor sebelas?" tanya Mikasa yang tengah meracik kopi.
"Sudah Miss." kata seorang pegawai disana.
Lalu ponsel Mikasa berbunyi. Ia mengambil benda itu dari meja kasir. Tulisan 'Okaasan' tertera pada layarnya. "moshimoshi, Okasaan, ada apa?... Apa yang terjadi dengan Otousan?... Baiklah aku akan kesana sekarang." Mikasa terlihat pucat setelah menutup flap ponselnya. "Mina, aku butuh bantuanmu, tolong gantikan shiftku. Otousan sedang kritis. Aku harus kesana." katanya pada salah seorang waiter yang mengantarkan pesanan ke meja sebelas tadi.
"Baik, Miss."
Mikasa mengenakan mantelnya dan segera berjalan keluar barnya menuju stasiun subway terdekat. Sangking terburu – burunya ia menyenggol beberapa bahu orang yang lewat disekitarnya. Ia pun sampai di tempat tunggu, dalam beberapa menit, subway yang akan membawanya ke Shibuya pun datang. Ia segera menaikki subway itu.
Terlihat seorang pemuda tengah menunggu di luar ruangan khusus untuk penderita yang sedang kritis. "Oniichan, bagaimana keadaan Otousan?" Mikasa baru saja datang ke rumah sakit.
"Kritis..." jawab Eren yang merupakan saudara angkatnya.
"Lalu, dimana Okaasan?" tanyanya lagi.
"Sedang di dalam ruangan Otousan."
"Mikasa!" seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah ruangan dengan raut wajah muram. Wanita itu mendatangi Mikasa.
"Okaasan..." Mikasa memeluk ibunya.
"Mikasa, ada yang ingin dikatakan oleh Otousan, masuklah ke ruangan." kata wanita yang disebut – sebut sebagai ibunya.
"Baik, aku akan kesana." Mikasa berlalu dari ibunya menuju ruang rawat. Mikasa membuka pintu. Terlihat cat ruangan serba putih dan pria paruh baya yang tengah berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ia mendekati ayahnya, duduk di kursi di samping ranjang.
"Mikasa..." suara ayahnya terdengar lemah.
"Otousan..."
"Umurku sudah tidak panjang lagi. Penyakit ini semakin menjadi. Percuma saja jika aku hidup." kesah ayahnya. Mikasa diam dan menatapnya nanar.
"Hanya satu permintaan yang akan ingin kuajukan padamu." ayahnya melanjutkan.
"Katakanlah Otousan..." Mikasa mulai memucat. Keringat dingin mulai keluar dari kulitnya.
-To Be Continued-
Mohon reviewnya para readers. Karena review dari kalian akan menentukan chapter selanjutnya di fanfic ini, wkwks :v *digampar. Btw, nama Arthuria Brunhilde diambil dari nama jerman. Orang itu akan dibongkar identitasnya di akhir cerita nanti, tunggu saja para readers, ngehahahah *tawajahat *digampar(lagi)
Sekian, Terimakasih~ *bow
