Tiga tahun aku memegang janjimu.

Tiga tahun aku mengharapkanmu.

Tiga tahun aku menunggumu.

Namun ada masanya di mana aku menjadi ragu pada janjimu.

Janji hanya sekedar janji.

Tidak ada yang bisa memastikannya.

Keyakinanku memudar.

.

.

.

Kazuma House Production

proudly present…

.

.

.

Me Prometa

® 2013

.

.

.

Ia memperhatikan sosok berkaos biru itu memindahkan pakaiannya satu per satu dari lemari ke dalam sebuah koper besar yang dibuka lebar. Ia sesekali membantu merapikan lipatan baju yang berantakkan karena tertumpuk baju yang lain. Bajunya memang tidak terlalu banyak, ia pun masih bisa memasukkan beberapa pasang sepatu ke dalam koper hitam itu.

Tanpa sadar, ia menghela napas. Hal itu disadari oleh sosok berkaos biru tersebut.

"Kenapa, Tao?" tanya si kaos biru.

Ia yang bernama Tao segera mendongak dan memasang senyum di wajahnya. "Tidak apa-apa, Ge." Ia memandang kamar berukuran tiga kali empat meter yang hampir kelihatan kosong karena sebentar lagi akan ditinggal pemiliknya. "Apa lagi yang kurang?"

Wufan meletakkan tangannya di dagu, berpikir. "Kurasa sudah semua."

"Kau yakin?" tanya Tao memastikan. Ia hanya tidak ingin Wufan mengalami kesulitan saat di Kanada nanti.

Bukannya menjawab, Wufan malah tersenyum sendiri sambil membaringkan badannya di kasur. Pandangannya menerawang pada plafon dari gypsum yang menjadi langit-langit kamarnya. Ia pasti akan merindukan kamarnya. Ia punya banyak kenangan bersama Tao di sini.

"Ge! Aku bicara padamu!" kata Tao sambil memukul kaki Wufan dengan bantal. "Kau yang mau pergi, kenapa aku yang terlihat paling sibuk? Meskipun tidak ingin, pedulilah sendikit dengan kepidahanmu ini!" Tao kembali memukuli kaki Wufan agar lelaki itu bangun. "Gege!"

"Santailah sedikit. Kau terlalu khawatir, Tao…" kata Wufan. Ia menggunakan lengannya sebagai bantal. "Badanku pegal, berdiri lalu jongkok berulang-ulang untuk memasukkan semua bajuku."

"Kau saja yang malas!" cibir Tao. Ia duduk di kursi belajar Wufan lalu memutarnya. Kebiasaan Tao dari jaman dulu belum berubah.

Mereka hening, tenggelam dalam pikiran masing-masing tentang masa depan mereka. Akan jadi apa mereka nanti? Kadang timbul keegoisan dalam diri mereka untuk lebih memilih tetap menjadi anak kecil polos yang tahunya hanya main, makan, tidur, belajar. Tidak punya masalah kehidupan. Tidak terjebak dalam labirin kehidupan.

"Ge," panggil Tao.

"Mm?"

"Setelah di Kanada nanti, kau masih akan tetap ingat denganku, tidak?" tanya Tao polos sambil bertopang dagu. "Kan bisa saja kau melupakanku. Kulihat dari film banyak adegan seperti itu, sepetelah pergi, mereka melupakan orang-orang yang mereka tinggalkan. Ya… beberapa tetap ingat–tapi berhubung itu drama romantis, aku jadi tidak mempercayainya."

Wufan akhirnya mendudukkan dirinya dan menyilangkan kaki. "Ya sudah, kita buat saja cerita kita seperti drama romantis," kata Wufan.

Tao diam. "Gege bicara apa, sih? Tao tidak mengerti. Jelaskan padaku dengan bahasa yang simpel, tidak usah berbelit-belit," kata Tao sedikit merengut.

Wufan menarik kursi yang diduduki Tao agar mereka lebih dekat. Dalam jarak kurang dari tujuh senti, baik Wufan maupun Tao bisa merasakan kehangatan napas masing-masing. Iris gelap Tao bertemu dengan iris kecoklatan milik Wufan. Mereka merasakan jantung mereka berdekat sepuluh kali lebih cepat, namun mereka menyangkalnya. Menanggapnya sebagai efek kecapekan.

"Aku tidak akan melupakanmu, Tao-er. Aku janji," ucap Wufan sambil mengaitkan kelingking mereka seperti yang dulu mereka lakukan saat membuat janji.

Air mata Tao hampir tumpah. Ia menggelengkan kepalanya. Tidak. Ia sudah SMP, dia tidak boleh menangis. Namun satu isakan berhasil lolos, diikuti isakan lain. Menyadari Tao yang mulai terisak, Wufan mendekat dan menariknya dalam satu rengkuhan. Menyandarkan kepala Tao pada dadanya.

Perpisahan semacam ini bukanlah hal yang mereka inginkan. Namun keegoisan orang tua Wufan untuk berpisah, membuatnya harus memilih antara Kanada dan Korea Selatan. Kedua pilihannya sama sekali tidak bisa membuatnya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya, China.

"Jangan menangis, Panda. Kau malah membuatku tidak bisa meninggalkanmu," kata Wufan mencoba melawak, tapi dia bukan tipe pelawak yang baik. Ia sama sekali tidak berhasil. Ia mengelus surai hitam Tao, mencium wanginya yang khas. "Beri aku waktu tiga tahun. Aku akan bekerja, cari uang, dan kembali lagi ke sini."

Tao mendongak. Matanya sembab, pipinya masih basah karena air mata. Wufan menggerakkan jemarinya untuk menyeka air matanya. "Tiga tahun lagi. Kau akan kembali, kan?"

Wufan mengangguk mantap. Dalam hati sudah berjanji tidak akan mengingkarinya.

Wufan memperhatikan wajah oval Tao. Mulai dari kulit kuningnya, matanya yang berkantung, irisnya yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang bisa melengkungkan senyum manis dan mengerucut lucu ketika memohon sesuatu. Warnanya peach.

"Tao… bolehkan?" tanyanya ambigu.

Perlahan mereka saling mendekatkan diri. Menginvansi jarak masing-masing. Lamat-lamat memejamkan mata, merasakan kedua belah bibir mereka saling bersentuhan. Menikmati sensasi aneh, hangat, dan basah yang baru pertama kali mereka rasakan.

.

.

.

.

.

Waktu terus belalu. Wufan sudah berada di Kanada. Awalnya mereka masih saling mengirimi surat (karena biaya telfon mahal), namun kegiatan itu tidak berlangsung lama. Selain karena lama sekali sampai, kadang mereka lupa apa yang mereka bicarakan di surat sebelumnya. Mereka tidak bisa menggunakan Facebook, pemerintah China memblokirnya.

Tiga tahun lebih terasa cepat sekali berlalu. Tao sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi ia akan lulus. Selama itu ia berusaha keras untuk belajar dan meningkatkan nilai-nilai yang selama ini minim, sesuai apa yang Wufan pesankan padanya. Meskipun belum pernah meraih peringkat pertama, setidaknya nama Tao pasti akan menghiasi deretan lima besar. Mereka sama-sama berjuang di daratan yang berbeda.

Diam-diam Tao bekerja di salah satu café di bandara GuangZhou, dengan harapan ia bisa bertemu Wufan suatu saat nanti. Ia masih percaya pada janji mereka, tiga tahun setelah hari itu mereka pasti bertemu lagi.

"Tao! Antarkan ke meja tujuh!" seru seorang dari jendela kecil yang menghubungkan front dengan dapur. "Satu tiramisu dan Americano," ulang sang chef.

Tao mengambil nampan dan meletakkan dua pesanan itu di sana. Ia berjalan menuju meja nomot tujuh yang ditempati oleh seorang laki-laki berambut hitam cepak. Tao meletakkan pesanan orang itu di mejanya. Sekilas ia melihat banyak kantong kertas dan boneka di dua kursi sebelahnya.

"Silahkan dinikmati," kata Tao sebelum berlalu.

Di luar, banyak gadis-gadis remaja menggangkat banner bertuliskan Kris bersama kamera-kamera mahal berlensa panjang di tangan satunya. Mereka mondar-mandir di luar café dan memotret lelaki yang tadi Tao antarkan pesanannya.

"Kenapa ramai sekali, sih?" tanya Tao pada rekan kerjanya yang sedang menyerahkan list pesanan meja lain. "Dia siapa?"

"Yang mana?" tanya Chen. Tao menunjuk lelaki berpakaian hitam itu. "Kris."

"Ha? Darimana kau tahu, Ge?" tanya Tao. Ia saja tidak mengenalnya. Memangnya orang itu siapa?

"Dari banner itu," jawab Chen sambil tertawa.

Tao manyun. "Aku salah bertanya padamu, Ge," katanya sambil duduk. "Seriuslah sedikit! Kau menyebalkan!" Chen tidak menjawab dan malah terus tertawa.

Tao memperhatikan sosok berapakaian serba hitam yang seperti ingin ke pemakaman. Tampan, kesan pertama yang ia dapati. Ia tidak bisa melihat wajahnya secara jelas karena orang itu menggunakan kacamata hitam besar. Dahi Tao berkerut ketika melihat bibirnya yang aneh. Ia merasa mengenalnya.

Itu… seperti bibir Wufan Ge, batin Tao. Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya sendiri, mengingat ciuman pertamanya tiga tahun lalu dengan Wufan. Ia jadi merona mengingatnya.

Seorang lain datang dan duduk di meja yang sama dengan lelaki berambut cepak itu. Mereka berbincang singkat. Tao semakin penasaran dengan orang itu karena dia sama sekali tidak melepas kacamatanya.

Orang itu bersiap untuk pergi. Ia meraih ponsel, koper, dan sebuah boneka lumba-lumba biru ke tangannya. Sementara paper bag miliknya dipegang oleh temannya yang baru sampai. Mereka meninggalkan café, namun mata Tao mengikutinya hingga si pria berambut cepak itu melepaskan kacamatanya.

Mata Tao membulat seketika. Ia berlari meninggalkan café, menghiraukan panggilan Chen. Berdesak-desakkan dengan gadis-gadis lain, Tao berusaha mengejar sosok jangkung itu. Ia yakin sekali, itu Wufan-nya. Wufan yang dulu berjanji akan kembali ke tanah kelahirannya. Wufan yang ia yakin akan kembali lagi.

"Wufan Ge!" teriaknya sekencang mungkin di antara gadis-gadis yang juga meneriakkan nama Kris.

Tao tidak kenal Kris. Yang ia kenal adalah Wufan-nya. Yang di depan itu Wufan, bukan Kris!

"Wufan Ge!" teriak Tao lagi untuk yang kesekian kalinya. Namun kerumunan orang semakin mendesaknya ke belakang hingga Tao hanya mampu melihat kepalanya saja.

Ia menunduk, menyerah pada lelaki itu. Seketika keyakinannya terhadap Wufan sirna. Mungkin saja Wufan tidak mengingatnya lagi. Mungkin saja Wufan merasa lebih nyaman dengan kehidupannya yang sekarang. Mungkin saja apa yang ciuman mereka waktu itu hanya lelucon.

Dari dulu Wufan tidak pernah mengatakan cinta pada Tao. Ia saja yang selalu menganggap Wufan mencintainya karena lelaki itu selalu menuruti semua keinginannya. Mungkin saja selama itu Wufan hanya menganggapnya sebagai adik. Ya, adik kecil yang harus dilindungi.

Tao merasa bodoh sekarang. Ia jatuh terduduk. Setelah tiga tahun lebih berusaha ceria meski ia ingin mengangis, akhinya ia menangis lagi karena orang yang sama.

"Tao, kenapa kau duduk di sini?" tanya Chen setelah berhasil mengejar Tao. "Kenapa kau malah menangis? Tao! Tao!"

Buru-buru Tao menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Tidak apa-apa, Ge."

"Kau mengenalnya?" tanya Chen sambl menoleh pada segerombol orang yang memenuhi eskalator.

Tao menggeleng. "Tidak. Aku tidak mengenalnya."

.

.

.

.

.

"Kau menghilang, berita-berita bodoh itu langsung menyebar," kata lelaki yang memegangi paper bag di samping lelaki jangkung tersebut.

"Aku tahu," jawab si Jangkung.

"Kalau kau tahu, kenapa malah baru kembali sekarang? Kau membuat semua orang khawatir, Kris!" kata manager yang menjemputnya di China. "Bagaimana liburanmu? Kulihat kau semakin gemuk."

Lelaki yang dipanggil Kris itu tertawa samar. "Aku disuruh makan oleh Mamaku. Dia bilang badanku kurus kering."

"Dan kau akan kembali diratakan oleh perusahaan," canda managernya. "Ayo pergi."

Sekumpulan gadis-gadis mengikuti kemana Kris melangkah. Kilatan cahaya lampu blitz menghujani Kris dari segala arah. Kehadiran Kris, leader EXO, membuat kegiatan di bandara GuangZhou menjadi kacau. Kris berusaha seramah mungkin pada fans yang meminta tanda tangannya meskipun mereka menyebalkan.

"Wufan Ge!" teriak seseorang dari belakang. Kris mendengarnya, namun ia tidak bisa berbalik karena desakan dari sana-sini.

Dahinya sedikit menyerngit bingung. Selama ini fansnya memanggil ia dengan sebutan Kris Ge atau Duizhang, bukan Wu Fan. Darimana fans-nya tahu nama kecilnya? Setahuannya hanya Sang Ibu yang sampai hari ini masih memanggilnya Wufan meski selama di Kanada namanya Kevin Wu.

"Wufan Ge!" teriak gadis itu lagi.

"Neon geureul aneunka?" tanya managernya.

Kris sedikit menoleh ke belakang. Tinggi abnormalnya sangat memberi keuntungan untuknya. Ia melihat seorang jatuh terduduk di sana. Rambut hitamnya membuat Kris tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Ani…" jawab Kris sedikit ragu. Ia masih penasaran dengan sosok itu.

"Perhatikan langkahmu. Kita akan naik eskalator," pesan si manager.

Kris mulai menapaki anak tangga eskalator. Ia kembali melihat sosok yang kini bersama seorang lelaki.

"Hei, kudengar katanya kau mengalami kecelakaan saat di Kanada?" tanya managernya lalu memperhatikan ia dari ujung kepala sampai kaki. "Kau tidak kenapa-napa, kan? Tidak cedera? Tidak luka?"

"Sedikit benturan di kepala. Kata dokter aku mengalami gegar otak ringan. Tapi aku masih ingat denganmu, Hyung," kata Kris setengah bercanda sambil merangkul managernya.

.

.

.

TBC / DONE?

.

.

.

1.701 words

*neon geureul aneunka = kau mengenalnya?

Another fic dari saya. Agak nge-galau ea? Hahahaa… saya masih bingung mau dilanjutin atau nggak. Hahahaa…

Makasi ya yang udah review MILK :9

Sign,

Uchiha Kazuma Big Tomat.

Finished at:

May 13, 2013

10.30 A.M.

Published at:

May 13, 2013

11.09 A.M.

Me Prometa © Kazuma House Production ® 2013