Disclaimer: This story is based on characters and situations created and owned by JK Rowling. And Cecily von Zigesar and George R R Martin for some character's name
Pairings: Draco Malfoy/Serena Van Der Woodsen (OC)
Setting: Harry Potter and Chamber of Secrets (Book & Movie)
Notes:
Hallo, hallo, hallo... Welcome to The Two-Tale Heart at 2nd Class!
Pertama-tama aku mau ngucapin trima kasih buat semua yg udh pada baca, like, follow, n review The Two-Tale Heart 1. Trima kasih banget yah apalagi yg udh sabar nungguin update-an, hehehe. Nah, ini aku buat lagi bagian yang kedua.
Oiya, bagi mantemans yang belum kenal sama Fic-ku yang lain, boleh banget loh langsung nikmati cerita The Black Queen 1 dan 2 yang saat ini juga dalam pembuatan bagian yang ketiga. Dukung terus yah!
We love Harry Potter and it's real for us! Enjoy!
The Two-Tale Heart 2
I
SERENA
Kira-kira sepuluh penari berkulit coklat mengelilingi api unggun setinggi hampir tiga meter. Seruan-seruan membangkitkan bulu roma keluar berirama dari mulut mereka. Rok mereka yang berupa jalinan sabut kelapa berpadu riang dengan lincahnya gerakan. Jilatan api naik dan turun beriringan dengan lengkingan yang dinyanyikan si dukun, perempuan tua yang ada diluar lingkaran penari. Sebagai tambahan lagunya, si dukun juga menari tak kalah heboh. Wajahnya yang dicat putih itu serupa dengan para pemain topeng Noh di negara Jepang.
Puncaknya adalah ketika para lelaki yang tampaknya tidak pernah kehabisan tenaga itu memukul drum-kulit mereka dengan nada patah-patah. Lalu tempo drum jadi cepat kembali tanpa peringatan. Para penari menyesuaikan gerakan. Si dukun lebih ganas lagi berteriak dan menari.
Tarian, nyanyian, dan usaha untuk membuat drum-kulit bolong akhirnya terhenti begitu saja, memberikan kesempatan bagi penonton untuk menahan nafas, menunggu kejadian berikutnya. Angin berhembus kencang membuat mereka berseru-seru khawatir. Ombak terdengar bergemuruh sampai menggetarkan pantai. Detik berikutnya api menjadi putih dan meninggi, seolah berusaha memanggang tebaran bintang di langit.
Penonton bertepuk heboh sekali. Para pemukul drum kini memukul alat musik mereka dengan nada yang lebih santai, tanda pertunjukan telah sampai di anti-klimaks.
Serena Van Der Woodsen, seorang anak perempuan, sengaja berdiri di tempat yang paling dekat dengan api unggun. Dia memicingkan mata, seolah mencari sesuatu, sambil terus-terusan menghalau hawa api unggun yang bisa saja mengasapi wajahnya. Mengabaikan ketakutannya pada si dukun yang berwajah putih, Serena menolak untuk beranjak. Gadis itu bertepuk dengan setengah hati. Tenaganya malam itu seolah menguap, sama dengan rambut panjang coklatnya yang sudah layu sepanjang bulan.
"Jadi, mana naganya?" bisiknya pada seorang pria muda disebelah.
Si manajer resor itu menghentikan tepukan antusiasnya dan berusaha mendengar Serena lebih jelas, "Apa tadi, Miss?"
"Naga-naga. Anda bilang akan muncul empat ekor?"
"Anda tahu naga tidak nyata kan, Miss?" balas si manajer, agak terlalu sinis.
Para penonton, yang kebanyakan adalah turis pulau, sudah mulai berceloteh kembali dan menuju jamuan makan malam. Semua orang melakukan aktivitasnya masing-masing. Beberapa orang dari televisi menyorot para penari yang kini menari heboh untuk kamera. Dan si dukun terduduk kelelahan, minum air kelapa langsung dari buahnya. Tetesan air membuat cat putih didagunya meluntur.
Si manajer resor meluruskan kerah kemeja bunga-bunganya dengan enggan.
"Hmm, Miss... Mari saya antarkan ke tempat ayah Anda..."
Serena menunduk dan mulai berjalan mengikuti si manajer. Sandalnya dipenuhi pasir putih nan lembut. Kakinya, serta seluruh bagian tubuh yang lain, sudah diolesi losion anti-nyamuk banyak-banyak. Walau begitu, cuaca amat panas sehingga dia tetap setia mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan.
"Ini adalah tanah yang ajaib, Miss..." si manajer berusaha mencairkan suasana.
"Aku tahu. Hanya beberapa meter dari pulau utama tempat hotel ayahku berada, ada beberapa pulau sekecil ini yang indah sekali, pulau tersembunyi, dengan para suku terasingnya yang ramah..."
Serena mengernyit memandangi para pemain drum yang kini sedang berpose gila-gilaan untuk juru foto. Tiba-tiba dia meragukan kata 'terasing' yang digunakannya sendiri.
"Betul! Ayah anda sangat hebat dan pintar sekali, karena saat ini industri pariwisata..."
Serena memotong, "Lalu ada empat Raja Naga yang melindungi pulau ini dan mereka bilang disini tempat persembunyian para naga. Di tempat ini persisnya, kan? Anda juga bilang begitu?"
Si manajer tampaknya canggung dengan pertanyaan Serena. Serena maklum, dia sudah beberapa hari ini terus merongrong si manajer dengan pertanyaan yang tidak biasa. Tapi Serena sudah tak tahan lagi. Sialnya, mereka sudah sampai ke tempat ayah Serena dan para tamu berada.
Nathaniel Van Der Woodsen adalah ayah impian bagi gadis manapun. Saat ini, walau hanya dengan kemeja safari dan celana pendek, Nathaniel sepertinya dapat dikenali dalam kerumunan. Ada beberapa sheik dari negara di timur tengah yang tampaknya menolak membuka turban mereka di malam sepanas ini. Angin melambaikan jubah longgar mereka, membuat Serena rindu akan sesuatu. Sebagian adalah tamu dari Amerika dan Inggris yang berpakaian sama dengan Serena dan ayahnya. Sebagian lagi dari Asia. Mereka mengelilingi ayah Serena, berterimakasih atas undangan ke resor dan sajian pemandangan indah. Padahal mereka sendiri yang harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menginap semalam saja di tempat eksklusif ini.
Beberapa wartawan, ketua-ketua komunitas pariwisata, dan anak-anak muda yang suka bersenang-senang, berkumpul juga di tempat tersebut. Ayahnya memang pebisnis teramah kepada media dan anak-anak muda. Serena mengingat apa yang selalu ayahnya katakan bahwa media akan menghasilkan cerita yang bagus bagi pembukaan resor baru ini. Dan para anak muda, yang kebanyakan punya orang tua kaya raya, bisa menikmati fasilitas petualangan yang hebat di pulau. Mereka memuji-muji Nathaniel Van Der Woodsen sangat bergaya. Petualangan menginap di pondokan terbuka yang langsung menuju tepi laut, menyelam dengan instruktur terbaik dengan pemandangan bawah laut yang spektakuler, naik kapal pribadi setiap hari, dan makan makanan enak berlimpah di pantai yang bersih terjaga. Resor ini terasa nyaman dan hangat dibandingkan pulau pribadi biasa.
Serena menggelengkan kepala, sesaat cerita tentang Raja Naga menghilang dari kepalanya saat memikirkan bisnis yang dijalankan ayahnya ini. Kalau dia terlalu lama seperti ini...
"Ser!"
Ayahnya menyadari kehadiran Serena dan melambai heboh, menyuruhnya mendekat. Rambut hitamnya layu juga seperti rambut Serena akibat berada di pulau tropis ini. Walaupun gelap, Serena tahu mata kiri ayahnya yang berwarna biru gelap dan kanannya yang hijau botol itu memancarkan kebahagiaan.
"Tariannya bagus, kan?" seru ayahnya.
Semua tamu mengalihkan pandangan pada Serena dan si manajer, begitu pula dengan kamera. Serena memasang senyum lebar terbaiknya, lalu mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi. Para wartawan memotret mereka sekarang, membuat wajah si manajer yang tadi memerah karena hawa api menjadi semakin merah.
Serena menarik nafas panjang, menyerah menanyai si manajer dan mulai menghampiri ayahnya. Mungkin malam berikutnya dia akan beruntung...
.
.
.
Kira-kira beberapa minggu yang lalu ketika Serena memutuskan untuk menemani ayahnya bekerja daripada mati bosan. Dan si manajer baru itu datang.
"Jadi pulau itu sangat ajaib, Mr Van Der Woodsen, anda sangat hebat bisa membaca peluang bisnis ini, kalau saya boleh bilang lagi. Jadi dahulu kala sekali, ada empat Raja Naga yang amat hebat, mereka melindungi seluruh pulau. Tapi karena keberadaan manusia semakin banyak, mereka memutuskan untuk bersembunyi di satu pulau. Ya! Itu adalah pulau yang anda beli itu, Sir! Anda hebat sekali, pembangunan resornya pun seminimal mungkin merubah kealamian pulau. Jadi para suku asing yang mendiaminya setuju untuk bekerja sama. Mereka jago menari dan menyanyi! Juga pemandangan bawah lautnya masih alami! Anda pasti akan mengundang banyak turis untuk..."
"Lalu? Naganya?"
Serena dengan kesal memotong perkataan si manajer menyebalkan tersebut. Disebelah Serena, ayahnya tampak berdehem untuk menahan tawa.
"Ada apa dengan naganya, Miss?" tanya si manajer dengan sopan.
"Kau tadi bilang ada naga? Empat? Lalu?"
"Oh, itu..." Dia melambai tak sabar. "Legenda bilang mereka akan bangkit saat penyatuan elemen. Yang hanya bisa dilakukan oleh dukun disana..."
Serena memasang telinga lekat-lekat pada kata 'dukun' tersebut.
"Raja Naga yang menguasai tanah vulkanik pulau. Hitam warna sisik-sisiknya. Besar setinggi raksasa. Panjangnya bisa mengelilingi bahkan pulau utama ini! Lalu ada Raja Naga Biru, tentu, menguasai lautan. Dan Putih untuk Raja Naga Penguasa Angin. Lalu merah untuk yang paling panas, Raja Naga Penguasa Api!"
Serena teringat sesuatu, lalu berpikir-pikir. Dia tahu angin tidak berwarna dan laut yang biru itu adalah pantulan langit. Tapi dia segera menyanggah hal itu. Mungkin...
"Lalu mereka akan bangkit kalau si... dukun itu..."
Ayahnya kini berdehem untuk memperingatkan. "Kita akan kesana besok siang, Ser... Dan aku masih banyak pekerjaan dengan manajer kita ini... Maka kalau kau mau bersiap-siap untuk besok atau mendengarkan kami di sini?" tawar ayahnya.
Serena bimbang. Tapi lalu berpikir bahwa dia tidak perlu bersiap-siap karena dia punya pelayan yang akan melakukan segala hal untuknya. Cerita ini, pulau ini, ada sesuatu yang dia cari disana... Padahal dia baru saja kembali. Tapi rasa rindunya sulit untuk ditahan...
Maka sesiangan itu Serena duduk tegak disebelah ayahnya, mendengarkan dengan seksama pembicaraan mereka, berharap ada sesuatu yang lain dalam pembicaraan tersebut.
Sambil mendengarkan, Serena berharap tadi dia tidak bertindak terlalu kentara. Akan sangat menyakitkan hati ayahnya kalau dia tahu Serena bahkan tidak kerasan disini.
Nathaniel Van Der Woodsen adalah seorang pengusaha dan tampaknya sekarang dia sedang asyik mendalami bisnis pengembangan. Menemukan pulau yang indah untuk tujuan wisata, membangun hotel, resor, atau villa pribadi, adalah bisnis utamanya selama beberapa tahun kebelakang. Hal itu menuntutnya untuk sering bepergian. Koran-koran menyebut ayah Serena itu sedang berinvestasi di bisnis properti dan pariwisata. Serena mencatatnya dalam hati dan belajar banyak. Siapa tahu ada seseorang yang bertanya-tanya.
Masalahnya mungkin mereka tidak akan mengerti walaupun Serena menerangkan sampai berbusa-busa. Karena Serena bukanlah anak perempuan biasa, walaupun dia pewaris tunggal ayahnya yang kaya-raya. Tapi dia adalah seorang penyihir.
Serena kaget bukan main, malah sempat sampai pingsan. Saat itu dia hampir berumur sebelas tahun dan sedang dalam proses penerimaan diri bahwa dia anak aneh dengan kejadian misterius yang selalu terjadi disekitarnya. Serena baru menyelesaikan pendidikan dasarnya di New York dan berusaha untuk memulai hidup baru di SMP ketika dia menerima surat dari sekolah yang bernama Sekolah Sihir Hogwarts. Surat itu kurang lebih menyatakan bahwa dia adalah penyihir.
Rahasia yang terjaga selama sebelas tahun akhirnya terkuak. Almarhum ibu Serena, Celia Van Der Woodsen, adalah penyihir. Serena sendiri dibesarkan oleh ayahnya yang non-penyihir (Muggle, begitu para penyihir menyebut orang tanpa kemampuan sihir) yang tidak berani langsung mengatakan bahwa Serena adalah penyihir, sampai muncul bukti menguatkan lainnya. Adik ibunya, Bibi Charlotte dan suaminya, Paman Edward Blotts, juga yang meyakinkan hal ini. Mereka adalah penyihir tulen yang memiliki toko buku sihir.
Para penyihir hidup tersembunyi dari Muggle, karena menganggap Muggle akan mengganggu mereka (atau memburu dan membunuh, kalau kau membaca sejarah pembantaian penyihir di Salem). Tapi Serena menganggap, dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, para Muggle tidak akan peduli lagi dengan sihir ataupun penyihir. Hal itu terbukti sekarang di pulau ini.
Serena sudah mengalami tahun yang menakjubkan di sekolahnya. Megah dan tinggi dengan berbagai mata pelajarannya yang ajaib, serta danau dan hutan yang penuh satwa gaib, Sekolah Sihir Hogwarts adalah impian bagi anak manapun. Dan Serena si aneh Yankee (sebutan bagi warga New York yang agak serampangan) masuk ke tempat hebat tersebut. Dan bertemu dengan banyak teman...
Walaupun beberapa pengalamannya setahun kemarin tidak semuanya bahagia (beberapa bahkan sangat membuat trauma), Serena sudah gelisah lagi ketika dia sampai di rumahnya di pinggiran kota London yang normal untuk liburan musim panas.
Ayahnya menyempatkan diri menjemput Serena. Lalu membiarkan Serena bercerita tentang semesternya kemarin, mengecek nilainya, dan menanyakan apakah ada teman yang akan diajak liburan musim panas. Kemudian tanpa mengepak ulang, ayahnya sudah mengajak Serena berlibur musim panas di suatu kepulauan pasifik.
Jadi disinilah Serena. Di tengah samudra maha luas. Berusaha menikmati liburan ala Muggle-nya. Serena tahu bahwa dia sama sekali tidak berhak mengeluh. Berada disamping ayahnya setiap saat adalah anugerah dan dia berkesempatan untuk belajar banyak hal dari sang ayah, selain berlibur di pulau impian.
Tapi dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri dan terus-menerus gelisah. Serena ingin sekali menyelam dikedalaman laut, tapi yang ada ikan duyungnya. Serena ingin terbang di langit lagi, tapi dengan sapu terbangnya. Dan terutama, dia mulai khawatir orang-orang disekitarnya akan menganggapnya anak aneh lagi. Karena untuk pertama kalinya semenjak mengetahui dia penyihir, Serena kembali lagi ke dunia Muggle sendirian.
Demi reputasi sang ayah, Serena selalu bilang bahwa dia bersekolah asrama di Swiss yang jauh demi mendalami ilmu sains. Untunglah teman-teman ayahnya lebih banyak yang bergelut dalam bidang ekonomi, sehingga hanya mengangguk-angguk kagum. Sialnya, ada beberapa dari mereka dan terutama anak-anak mereka, yang tidak lupa pada Serena yang dulu. Beberapa majalah yang meminta waktunya untuk melakukan wawancara telah menulis bagaimana beruntungnya Serena seperti seorang putri. Sementara itu lebih banyak dari mereka yang bergosip bahwa Serena dimasukkan ayahnya ke tempat rehabilitasi karena dia memang cewek aneh dengan banyak kejadian lebih aneh disekitarnya.
Sebelum masuk Hogwarts, beberapa anak penyihir, terutama yang kelahiran Muggle atau yang dibesarkan oleh Muggle seperti dirinya, memang tidak dapat menjelaskan keadaan tak-terjelaskan yang disebabkan oleh hasil sihiran mereka yang belum terkontrol. Yang terbesar bagi Serena adalah ketika dia mengubah suara seorang temannya yang menyebalkan menjadi suara kodok dan menimbulkan tulisan 'PENJILAT' besar di dahi mantan Kepala Sekolahnya.
Ini juga yang terpatri pada benak banyak orang sehingga sebagus apapun kemesraan ayah dan anak Van Der Woodsen, secemerlang apapun kebohongan tentang sekolahnya, seramah apapun Serena pada media, dia tidak dapat menghilangkan perasaan dijauhi oleh para Muggle ini. Dia bertanya-tanya, apakah semua teman sekolahnya yang kelahiran Muggle, yang menghabiskan waktu liburan bersama keluarganya, juga mengalami hal ini?
Saat-saat seperti inilah Serena juga banyak memikirkan tentang almarhum ibunya. Beliau pastilah akan bisa memberikan saran dan melegakan perasaan Serena. Apa yang akan ibunya lakukan di saat seperti ini?
Salah satu sahabatnya di Hogwarts, Catelyn Tully, dulu pernah ikut berlibur dengan Serena. Catelyn sangat penasaran pada dunia Muggle dan dia bisa menemani Serena mengatasi kesepiannya. Tapi Cat berencana pergi berlibur bersama orang tuanya maka Serena tidak berani mengganggu.
Sahabatnya yang satu lagi, Neville Longbottom, adalah penyihir tulen juga. Serena ragu dia akan bertahan diajak liburan Muggle-full-mode begini. Paman dan Bibinya sibuk di toko dengan penjualan besar-besaran salah seorang penulis bestseller. Robert, sang pengawalnya yang Muggle, sedang mengambil pelatihan khusus. Anna, juga pelayannya yang Muggle, sedang sibuk mendekorasi ulang rumah Serena di London. Jadilah Serena hanya bersama ayahnya disini.
Tapi surat dari Cat beberapa minggu kemarin telah membuatnya semangat lagi. Cat, sebagai salah satu penghuni asrama yang terkenal kecerdasannya di Hogwarts, tahu banyak tentang penyihir-penyihir yang berada di luar negeri. Dia belum pernah mendengar penyihir dari pulau tempat Serena berada, tapi akan mencari tahu. Serena ikut mencari tahu. Tapi karena pertanyaan, "Apakah kau kenal satu atau dua penyihir yang hidup disini?" bukanlah jenis pertanyaan yang bisa diajukan kepada sembarang orang, jadilah Serena mencari dengan diam-diam. Salah satunya adalah mendekati sumber legenda.
Beberapa kastil di Inggris dianggap bersejarah dan penuh mitos. Lihatlah Hogwarts berada. Stasiun King's Cross tidak bisa dianggap sebagai tempat yang penuh mitos, tapi tempat itu adalah legenda di London dan itu adalah tempat peron sembilan tiga-perempat, tempat masuknya para penyihir menuju kereta Hogwarts Express, berada.
Sialnya, legenda disini kebanyakan sudah dibumbu-bumbui. Dan Serena amat sangat yakin, hal itu tidak ada hubungannya dengan penyihir sungguhan. Beberapa 'dukun' yang Serena kira adalah penyihir yang sedang menyamar, tidak diragukan lagi, adalah penipu. Mereka Muggle biasa yang berpura-pura kerasukan, atau apalah, saat kamera televisi menyala dan turis menonton. Lumba-lumba yang diceritakan bisa berbicara pun sampai saat ini tidak bisa Serena temui. Batu vulkanik legendaris yang kabarnya bisa menyembuhkan berbagai kutukan pun ternyata hanya batu biasa.
Sampai Serena mendengar tentang naga ini dan menontonnya sendiri malam tadi… Tidak ada lagi jejak-jejak sihir pada kehidupan Muggle saat ini yang bisa dicarinya.
.
.
.
Suara deburan ombak membuat mata Serena terbuka. Dia berbaring di tempat tidurnya. Dia tidak dapat mengingat mimpinya, tapi ada sesuatu yang berat mengganjal. Apakah dia sedang merasa ketakutan pada sesuatu?
Ada yang memasuki kamarnya dengan terburu-buru membuat Serena terduduk dengan kaget. Ternyata itu ayahnya. Bahkan tidak memberi Serena kesempatan untuk bernafas, ayahnya sudah langsung menyambar Serena dan setengah menggendongnya.
Hal berikutnya yang diketahui Serena adalah dia sudah berada di laut, hampir tenggelam. Air yang asin memasuki mulutnya.
Serena muncul ke permukaan sambil batuk-batuk dan memaki.
"Selamat ulang tahun, Ser!" seru ayahnya sambil memegangi Serena, mereka mengambang di laut.
Serena masih memaki sementara mulutnya sangat asin. Ayahnya tertawa riang. Ternyata ayahnya menceburkan Serena dan dirinya sendiri ke laut tadi, sebagai kejutan ulang tahun.
"Jantungku bisa copot, Dad!" seru Serena marah sambil berteriak-teriak, kini air yang hangat terasa dingin di kulitnya.
"Ekspresi yang bagus sekali, Miss!" seru seseorang.
Serena dengan susah payah berenang dan berusaha melihat ke teras pondokannya. Ternyata Robert sedang merekam mereka. Dia pastilah datang tengah malam tadi.
"Tidak lucu kalian berdua!" seru Serena lagi.
"Semoga tahun ini banyak keberuntungan untukmu!" seru Robert.
Tapi akhirnya Serena tertawa juga. Dan mereka heboh sendiri selama beberapa saat demi mengganggu dan membuat Serena tertawa.
Beberapa bebannya tersembunyikan oleh tawa dan ombak. Hari ini dia berusia dua belas tahun...
.
.
.
Untuk pesta ulang tahun Serena malam itu, mereka kembali ke pulau utama. Resor tempat mereka tinggal kemarin adalah resor yang mengutamakan kedamaian sehingga akan sangat mengganggu kalau ada pesta besar-besaran yang berisik.
Walaupun sudah menyerah tentang si naga, Serena tak ayal terus-menerus menatap pulau indah itu dalam perjalanan pulang. Pulau itu kelihatannya ideal untuk tempat naga tinggal. Tapi Serena tahu, naga di dunianya senyata sihir. Kementerian Sihirnya tidak membiarkan naga berkeliaran bebas begitu saja. Mereka punya penangkarannya sendiri karena akan sangat heboh bila tiba-tiba naga itu muncul dihadapan Muggle. Jadi Serena hanya bermimpi kosong mengharapkan adanya naga atau dia hanya rindu-akut.
Sahabatnya, Rubeus Hagrid, pemelihara satwa di Hogwarts, tahun lalu pernah mencoba menetaskan naga. Bahkan semenjak lahir pun Norbert, nama naga itu, sudah menyebabkan banyak masalah. Di pulau sepi itu, kemungkinan tinggalnya naga mungkin memang mitos belaka.
Tapi kejutan lain menunggu Serena di kamar hotelnya di pulau utama. Kartu ucapan dan berbagai kado ditumpuk rapi di meja. Pastilah orang dari resepsionis hotel yang mengaturnya demikian. Serena tersenyum sekaligus merasa rindu kepada Jasper. Jasper adalah burung hantunya hadiah dari Paman-Bibinya tahun kemarin. Dalam dunia sihir, burung hantu adalah hewan yang digunakan sebagai pengantar surat dan paket. Burung hantu Serena sudah pernah bekerja di toko buku Paman dan Bibinya, sehingga bisa mengantar surat walaupun tanpa alamat jelas sekalipun. Dan melihat surat dan paket yang rapi ini, pelayannya Anna di Inggris, pastilah sedang dipatuki oleh Jasper.
Jasper biasanya mengantar surat Serena. Tapi sekarang dia sedang dikurung di London. Serena takut Jasper akan terbang mencarinya lalu tersesat di pulau sejauh ini. Lalu apa yang akan dikatakan para Muggle saat melihat banyak burung hantu datang ke kamarnya? Bagaimana kalau mereka memeriksa paketnya di lobby? Maka Jasper ditinggal di Inggris, dan surat-surat Serena akan diteruskan oleh Anna lewat pos Muggle biasa.
Surat yang menyertai kartu ucapan dari Cat membawa kabar buruk. Hampir seluruh isi surat bernada histeris. Ternyata Cat terjangkit suatu penyakit bernama gejala-cacar-naga, yang walaupun tidak separah cacar naga betulan, tetap menyebabkan demam berkepanjangan, bisul-bisul kecil, dan bisa menular. Hadiah dari Cat adalah buku berjudul Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit-Penyakit Sihir yang amat tebal. Serena langsung cemas dan memutuskan untuk menjenguk Cat (sekaligus sebagai alasan untuk kabur sebentar dari dunia Muggle-nya ini) sebelum dia membaca catatan tambahan Cat yang menyatakan Serena lebih baik tidak datang menjenguk karena kalau tertular, malah Serena yang tidak bisa masuk sekolah September nanti.
Hadiah kedua dari Neville. Neville punya ingatan yang parah dan Serena yakin nenek Neville-lah yang mengingatkannya hari ulang tahun Serena. Pada kartu ucapan terdapat tanda tangan mereka berdua. Hadiah dari Neville juga berupa topi jerami dengan pita-pita panjang. Topi adalah aksesoris kesukaan neneknya.
Serena nyaris tidak bisa membaca tulisan tangan Hagrid tentang apa yang dia berikan, tapi itu pastilah jalinan dari surai unicorn. Warnanya perak dan ada yang emas. Serena bukanlah anak yang terlalu anggun tapi tahu bahwa untaian surai unicorn itu akan sangat bagus sekali apabila dijalin pada kepangnya.
Hadiah aneh lainnya datang dari Paman Ed dan Bibi Char-nya. Yaitu sebuah cermin berbentuk setengah lingkaran. Di kartu mereka hanya meminta agar Serena menjaganya baik-baik dan jangan sampai memecahkannya. Mereka akan menjelaskannya nanti saat Serena kembali ke Inggris dan berharap Serena bisa menghabiskan waktu di toko buku mereka sebelum masuk sekolah tanggal satu September. Serena sudah girang duluan sehingga dia tidak lagi bertanya-tanya tentang si cermin.
Serena mendekap kartunya sambil memandang pulau yang tadi dia tinggalkan. Sekarang pulau itu tampak kecil tak berarti dikejauhan. Matanya tiba-tiba panas dan dia merasa tersekat pada tenggorokan.
Dulu sekali ayahnya selalu merayakan hari ulang tahun Serena. Semua anak diundang. Begitu pula orang tua mereka yang merupakan rekanan bisnis. Setelah pesta berakhir, bahkan ratusan kartu dan hadiah tetap tidak bisa membuat satupun kenangan indah yang melekat dibenaknya. Dia tetap sendirian, dia tetap kesepian...
Serena memejamkan mata sambil tersenyum, mencoba melupakan masa itu, mensyukuri hari indah ini...
.
.
.
Tidak ada kue ulang tahun yang penuh dengan krim malam itu. Cake tampaknya tidak cocok dengan pantai. Tapi ada air mancur jus dengan buah-buahan tropis yang mengambang. Seafood barbeque berbagai jenis berjajar dipinggir pantai. Ada api unggun besar lagi yang kini memanggang kambing bakar disekelilingnya. Para suku yang tinggal di pulau utama ini diundang untuk menari-nari juga. Hadiah-hadiah serba mahal tersimpan rapi di tenda yang dijaga ketat pengawal ayahnya. Itu adalah hadiah untuk Serena dari tamu-tamu.
"Semoga kau menikmati game-nya, Nak!" seru seorang tamu berperut tambun sambil menepuk-nepuk bahunya. "Itu televisi layar lebar dan perangkat game terbaru yang belum ada di pasaran!"
"Dan tentu saja, berlian yang menghiasi bando-mu itu bukan berlian hasil dari memperbudak anak-anak kecil di Afrika…" kata seorang nyonya dengan lagak santai yang lebih memperlihatkan kesombongan, menandakan dia menghadiahi Serena perhiasan.
"Aku tidak bisa memberimu apa-apa selain ini…" kata seorang bapak-bapak, menyerahkan kepada Serena satu buah kartu plastik.
"Hmm… terima kasih, Sir…" gumam Serena bingung.
"Itu voucher khusus! Kau bisa belanja sepuasnya di tokoku selama kau di London!" serunya menggelegar.
Serena tersenyum dan berterimakasih berkali-kali, sampai wajahnya pegal kebanyakan tertawa.
Sebelum acara utama pemotongan kambing bakar (sebagai pengganti kue), ayahnya meminta perhatian semua tamu.
"Tidak setiap tahun kita berumur dua belas. Dan putriku merayakannya hari ini. Aku tidak bisa berkata apapun lagi saking cemasnya…"
Semua hadirin tertawa sopan.
"Sebagian dari kita tidak bisa memantau pertumbuhan anak kita. Bahkan mungkin bertemu setiap hari pun sulit..."
Sunyi sepi kini merambati pantai, hanya ada suara debur ombak dan angin, serta retihan api. Ayahnya mungkin sedang berbicara tentang kenyataan banyak keluarga modern saat ini.
"Dan apapun yang kita lakukan untuk menebusnya tidak akan dapat memuaskan mereka. Tapi kita bangun setiap pagi hanya dengan ingatan tentang mereka, hanya demi impian mereka, hanya untuk mereka dan berharap mereka mengetahui bahwa kita mencintai anak-anak kita, harta kita yang paling berharga..."
Terdengar isakan dari beberapa wanita, mungkin mengingat anak mereka di rumah.
"Lalu aku pulang dan melihat Serena disini..." lanjut ayahnya sambil mengangsurkan tangan. Serena menyambut tangan ayahnya dan menggenggamnya, semua mata kini terarah padanya.
"Sesungguhnya aku melihat diriku yang dulu berumur dua belas tahun pada dirinya. Keras kepala, mudah bosan, terlalu bersemangat, intinya, masih sangat manja…"
Para tamu maupun Serena sekarang tertawa lagi.
"… tapi Ser sudah jadi putri sejati bahkan sejak kami hanya tinggal berdua…"
Para hadirin sekarang hening, ketiadaan almarhum ibu Serena serasa menggayuti kata-kata terakhir ini. Serena pun hampir menangis lagi mengingat ibunya...
"Maka aku mempersembahkan seluruh hotel dan resor di pulau ini atas namanya…"
Serena sesungguhnya tidak kaget atas pengumuman ini, tapi tak ayal dia melongo juga. Beberapa nyonya sudah memekik girang dan akhirnya semua berseru mengucap selamat sambil bertepuk. Serena berusaha berkata-kata pada ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu apakah harus menari gembira atau terduduk menangis saat ini. Dia sudah menduga ini akan terjadi dan mungkin inilah alasan mengapa ada perasaan berat yang tadi pagi menerpanya.
"Nikmati dulu malam ini… Ini malammu…" bisik ayahnya merangkul dan mengajak Serena ke tempat makanan.
Menghormati para tamu, tekanan untuk tampil baik di depan kamera, dan terutama, menghargai ayahnya, Serena berusaha bersenang-senang. Ikut heboh saat menguliti si kambing bakar, minum es sampai kembung, main pukul balon yang berisi air, sampai ikut menari-nari.
Acara ditutup dengan perayaan kembang api yang spektakuler. Serena tidak berusaha membandingkan, tapi kembang apinya kalah jauh dengan yang biasa dipasang oleh salah seorang teman seasramanya di Hogwarts, Fred dan George Weasley. Perasaan gelisahnya bertambah lagi.
Sampai akhirnya pesta bubar dan ayahnya menyuruh Serena pamit dan kembali ke hotel bersama Robert.
Malam sudah larut sekali saat pesta bubar. Hanya beberapa remaja yang menolak tidur yang masih terdengar berkeliaran di pantai. Serena langsung naik ke tempat tidur, selimutnya ditarik sampai ke dahi.
Ayahnya menghadiahinya, bisa dibilang, seluruh bisnisnya di pulau ini. Walaupun kata-katanya diperhalus menjadi 'hadiah', tapi sesungguhnya itu adalah penyerahan tanggung jawab. Hal tersebut tidaklah aneh. Anak-anak pewaris seperti dirinya pasti sudah biasa diberi hadiah bahkan satu atau dua pulau, lalu diserahi tanggung jawab mengelola satu atau dua pekerjaan. Dan Serena sudah bisa menebak itu akan terjadi juga padanya... Tapi dengan dirinya sebagai penyihir? Bagaimana dia bisa mengelolanya? Bagaimana dia akan bisa bertahan lagi di dunia yang tanpa sihir? Dia bahkan belum memikirkan pekerjaan yang akan dilakukannya nanti.
Tapi ayahnya melakukan ini semua hanya untuk Serena... Dan rasa sayang apapun tidak dapat menipu bahwa dunia mereka berbeda. Jarak diantara mereka sudah semakin jauh saat Serena tahu dirinya penyihir... Ibunya, yang seharusnya menjadi jembatan, sudah tidak bersama mereka lagi...
Terdengar gedoran pintu dan Robert menghambur masuk ke kamar Serena saat dia sedang asyik-asyiknya merenung,
"Miss, kita harus segera keluar! Ayah anda belum kembali ke hotel dan masalahnya, ini, eh…"
Robert terlihat waspada sekaligus bingung, yang sama sekali tidak cocok baginya.
"A-Apa? Terjadi sesuatu dengan Dad?" Serena langsung turun dari tempat tidur, isi perutnya serasa terbalik dan dia hampir pingsan.
"Bukan ayah anda. Sesuatu terjadi di lobby… Ini… Aku tidak tahu… Pokoknya ikutlah!"
Serena menyambar jaket dan segera ikut Robert. Butuh waktu dari penthouse sampai ke lobby dan Serena langsung menyesal dia hanya memakai baju kutung dan jaket dengan masih bersandal-ria. Lobby dipenuhi butiran salju…
Salju di pulau tropis?
Serena langsung tahu mengapa Robert bingung dan memanggil Serena. Kemungkinan karena seekor burung hantu sedang mengamuk di meja resepsionis, dia sepertinya marah karena sesuatu, membuat butir salju berserakan dan para staf bingung.
"Ini ada burung, eng, hantu, Sir…" kata seorang wanita pada bosnya. "Dia membawa bungkusan…"
"Apa?" dentum si manajer. "Periksa! Isinya mungkin bom! Eh, panggil polisi! Tangkap burungnya! Eh, burung membawa paket?"
Lobby langsung heboh dengan kecemasan baru para staf. Serena langsung menghambur ke meja resepsionis tapi dihadang oleh beberapa orang yang ada disitu.
"Tunggu! Itu punyaku!" teriak Serena. "Itu…"
Serena dengan kalut mencari Robert, "Itu burung hantu pos…" desis Serena.
Robert mengangguk dan maju ke meja. Baik manajer maupun para staf tidak ada yang menghalangi. Saat ada kemungkinan paket berisi bom, sebaiknya kau segera menjauh.
Hujan salju, ternyata menyembur dari paket yang sedikit terkoyak. Serena mematung ketika melihat si burung hantu, matanya mendelik marah, bulunya mencuat semua, dia tampak lembap sekaligus membeku, kentara sekali bertaruh nyawa untuk sampai ke pulau di tengah laut ini.
Serena sering melihat si burung di Hogwarts, gagah dan angkuh, mengantarkan banyak permen untuk seseorang…
Secepat kilat, Serena menerobos kerumunan dan segera mengambil burung hantu serta paketnya.
"Miss!" teriak Robert saat Serena berlari.
"Ini kepunyaanku! Jangan khawatir!"
Serena sudah dekat dengan lift, meninggalkan lobby bersalju dibelakangnya, tangan dan perutnya kini gantian membeku dan si burung hantu sudah mulai mematukinya dengan ganas.
"Ada apa ini? Ser?"
Seseorang berseru dari pintu masuk. Ayahnya dan para tamu.
.
.
.
"Kupikir kita sudah berjanji?"
Ayahnya terlihat mengantuk dan Serena yakin dirinya sama lelahnya. Badai salju yang tiba-tiba datang itu membuat Serena pilek ditempat lembap begini.
"Dad, maafkan aku… Tapi nanti tamu Dad akan menganggapku aneh dan berbuat onar lagi. Maka aku langsung lari ke kamar…"
Ayahnya menghela nafas, "Bukan itu masalahnya... Aku tidak keberatan dianggap aneh. Tapi kau tahu betul, satu hal yang kuperhatikan saat kau mulai bersekolah di Hogwarts adalah peraturannya…"
"Aku, kan tidak menyihir…"
"…juga peraturan di duniamu. Hukum sihir," potong ayahnya. "Yang tadi itu hampir saja bisa dianggap penyalahgunaan benda sihir dihadapan Muggle, bukan?"
Serena mau tak mau kagum mengetahui ayahnya lebih paham tentang hukum sihir dibandingkan dia, "Ini bukan penyalahgunaan. Lihat! Ini pos burung hantu yang, yah… mungkin isinya rusak atau apa…"
Serena gugup sekali sampai-sampai dia tidak berani memandang ayahnya.
"Kupikir kita sudah sepakat kalau surat dan hadiahmu yang diantar burung hantu akan dikirim ke London dan dibungkus-ulang Anna untuk dikirim kemari lewat pos biasa?" tanya ayahnya.
"Yah, temanku itu lupa barangkali, Dad… Dan, hmm…" Serena memutar otaknya mencari alasan sementara tak habis pikir kalau hewan peliharaan bisa sangat mirip dengan pemiliknya. "Kurasa burung hantunya capek terbang sejauh ini, kemudian banyak jendela pada hotel sehingga dia sulit menebak yang mana kamarku, lalu tidak ada perapian di pulau tropis, dan... dia mungkin hanya ke lobby untuk menjatuhkan paketnya, dan mendapati bukan penyihir yang memiliki tempat penginapan ini, melainkan Muggle, lalu dia mengamuk dan paketnya jadi sedikit terbuka..."
"Itu hadiah dari siapa?" tanya ayahnya menuntut, melirik paket yang kini tersumpal.
"Neville Longbottom!" seru Serena sambil menengadahkan tangannya seolah dia sedang memberikan fakta tak-terbantahkan. "Dia memang pelupa sekali, aku sudah menceritakannya padamu."
"Kenapa Neville mengirim hadiah yang bisa menyebabkan badai salju? Apa isinya?"
"Aku tidak berani membukanya, Dad, kemungkinan ini rusak. Nanti bisa-bisa kita jadi es batu semua. Yah, mungkin Neville tahu aku akan kepanasan, maksudku, dia bahkan tidak pernah ke negara tropis dan menganggap disini tidak punya pendingin atau apa, haha, dia perhatian sekali…"
Serena tertawa lagi dengan gugup kemudian menutup mulutnya. Dia menyadari bahwa ayahnya bisa menjadi sangat jeli.
"Hmm… Baiklah kalau begitu. Tapi kita tetap harus hati-hati, ya? Walaupun tak terlalu masalah bagiku, tapi sebisa mungkin kita tidak menarik perhatian, kan?"
"Betul, itu betul… Bagaimana kalau kau bilang saja pada staf hotel bahwa tadi itu aku, hmm, memesan alat penghasil salju buatan dengan burung hantu..." Serena kehabisan ide sampai disini.
"Akan kupikirkan sesuatu..." Ayahnya mencium kening Serena yang kini sedang tersenyum aneh, "Bagaimana dengan burung hantunya sendiri?"
"Apa? Oh! Aku akan merawatnya saja…"
Serena bernafas lega setelah ayahnya menutup pintu kamar. Lalu tatapannya beralih menjadi memelototi si burung hantu yang kini sedang minum di wastafelnya. Dia tampaknya menolak terbang kembali sebelum diberi makan. Maka Serena menelepon layanan kamar untuk minta dibawakan daging asap dan kacang serta jagung pipil.
Serena mengawasi hadiahnya yang masih tersumpal. Paman Ed mungkin bisa membetulkannya kalau Serena kembali. Kartu ucapannya basah karena si salju sehingga melunturkan tulisan didalamnya. Serena merasakan dirinya tersenyum yang kemudian merasa malu sekali.
Ini sama sekali tidak diduganya, walaupun bukan berarti Serena tidak pernah memikirkannya, bersama dengan seluruh yang dia rindukan di dunia sihir.
"Tapi bukan berarti aku merindukan si anak menyebalkan itu!" gerutu Serena pada dirinya sendiri, sambil terus mengecek kartu, berharap bisa membaca isinya.
Ada anak yang menyapanya dengan ramah saat dia terlalu tegang untuk memasuki sekolah barunya kemarin. Draco Malfoy berbagi Coklat Kodoknya yang banyak sambil menceritakan apa yang belum pernah Serena dengar dari Bibi Char. Untuk anak kuper dan aneh seperti Serena, ada anak laki-laki asing yang mengajaknya bicara adalah hal yang baru. Dan ternyata menyenangkan...
Draco Malfoy tidak bisa dibilang sahabatnya seperti Cat atau Neville, apalagi Hagrid. Dia tidak sekelas dengan Serena dan dipilih di asrama yang paling jahat di Hogwarts. Yah, setidaknya beberapa alumninya ada yang menjadi jahat dan rata-rata teman sekelas Draco itu sama menyebalkan dan tukang gencetnya.
Serena sama sekali tidak tahu bagaimana Draco bisa mengetahui Serena ada disini. Serena bisa membayangkan Draco, dengan rambut pirang perak dan wajah angkuh, saat melihat Serena sekarang. Kartunya mungkin berkata seperti ini;
Selamat ulang tahun. Rasakan kau... Liburan bersama Muggle-muggle bodoh. atau,
Musim panasmu tidak berhubungan dengan sihir sama sekali? Kasihan sekali, sih... Pasti ini ulang tahun terburukmu... Selamat ulang tahun, by the way... atau,
Kau punya penginapan di pulau terpencil? Yah, semoga kalian semua langsung tersapu badai. Selamat ulang tahun! atau,
Ayahmu sudah mewariskan bisnisnya padamu? Well, patahkan saja tongkatmu lalu gabung lagi bersama Muggle, ini hadiah ulang tahun dariku yang terakhir...
Semuanya tentu saja hanya bayangan Serena sehingga dia aneh sekali mengapa dia membayangkan Draco harus mengetahui semua perasaannya saat ini. Tapi kenyataannya adalah, Draco memang mengetahui beberapa masalahnya lebih dari Cat, atau Neville... Bahkan ada beberapa pengalaman mereka...
Serena menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha menyingkirkan kenangan yang masih mengganggu malam-malamnya. Kemudian dia berjalan membuka suatu bungkusan yang sejak awal dibelinya.
Dia sama sekali tidak tahu kapan Draco berulang tahun. Dan itu parah sekali karena pada saat Natal tahun kemarin pun Serena tidak memberi Draco hadiah apapun. Padahal mereka sudah saling kenal sejak menjejakkan kaki pertama kali di Hogwarts Express.
Serena sering ragu apakah dia harus memberi Draco hadiah...
Serena dan Draco Malfoy tidak seharusnya bahkan saling bicara. Kelas satu tahun kemarin, Serena ditetapkan masuk ke asrama Gryffindor, tempat dimana mereka yang loyal dan berani ditempatkan. Serena tidak merasa dirinya loyal dan berani, tapi Draco masuk Slytherin, tempat dimana segala yang berkebalikan dengan Gryffindor ditempatkan. Masalahnya Draco-lah orang pertama yang mengobrol dengannya di Hogwarts Express. Serena sudah berharap mereka akan jadi teman. Tapi kejadian demi kejadian membuat mereka bertengkar terus-menerus. Dan itu mungkin sudah jadi hal yang biasa bagi penghuni Gryffindor dan Slytherin.
Tapi kejadian demi kejadian jugalah yang membuat mereka dekat kembali. Serena mengakui, bahwa dia mungkin memikirkan Draco agak terlalu sering...
Serena membuka isi bungkusan untuk menghindari wajahnya menjadi panas. Isinya adalah suvenir khas pulau yang berupa empat Raja Naga. Serena membelinya saat si manajer mengantarnya berkeliling mencari kemungkinan-adanya-sihir-di-pulau-ini-nya.
Naga paling mengingatkannya pada Draco. Itu mungkin karena asal namanya 'Draco'. Dan Draco akan pongah setengah mati kalau tahu bahkan Muggle juga menganggapNya dewa pelindung. Tapi patung-patung mini empat naga ini mungkin bisa menambah semangatnya. Draco kelihatan tidak terlalu bersemangat saat mereka pulang dari Hogwarts kemarin...
Ini mungkin hadiah paling bodoh. Tapi Draco adalah anak yang mempunyai segalanya sehingga Serena berpikir untuk memberinya hadiah yang sedikit berbeda. Selama beberapa saat, Serena menuliskan pada kartu ucapan semua tentang legenda naga-naga tersebut. Kemudian dia terhenti melihat baris akhir tulisannya sendiri.
…padahal tempatnya begitu menakjubkan tetapi kelihatannya tidak ada penduduk di sana yang mempercayainya lagi. Bisakah kau percaya? Mereka tidak percaya lagi pada sihir. Kau pasti membaca ini dengan senyum sinis dan berkata, "Muggle-muggle bodoh, tenggelam saja sana dengan pulau-pulaunya..."
Yah, semoga sisa musim panasmu menyenangkan… Kalau kau mau kabur dari pelajaran tambahan kau bisa ke pulauku. Ya, aku yang punya hotelnya sekarang. Haa haa haa...
Salam,
Serena
Pada akhirnya Serena hanya bisa bercerita pada anak laki-laki yang manja dan sombong itu...
Kemudian pintu kamarnya diketuk dan Serena memasukkan lagi hadiahnya.
.
.
.
Agustus datang membawa kelegaan bagi Serena. Setelah sebulan di pulau, ayahnya mengajak pulang ke London. Anna mengabarkan bahwa surat Hogwarts untuk Serena sudah datang.
Sebelum mengetahui bahwa dia adalah penyihir, Serena pernah tinggal di New York dan menganggap kepindahannya ke Inggris sebagai siksaan. Tapi setelah begitu lama berkutat dengan pantai, panas, kegelisahan tiada henti, panas, berusaha untuk belajar cara mengelola hotel, panas, dan makanan laut, serta panas, Serena tidak membantah untuk mengepak segala perlengkapannya.
Pesawatnya terbang melewati pulau kecil tempat resornya. Serena menempelkan dahi ke jendela, berusaha melihat pulau itu sampai menghilang dari pandangan. Kelihatannya seperti kecil tidak berarti di tengah lautan maha luas dan Serena merasa khawatir. Ini karena ayahnya yang memberikan propertinya pada Serena. Rasanya seperti dia harus bertanggung jawab.
Setelah beberapa jam penerbangan, pemandangan awan segera tersibak dan digantikan oleh dataran Inggris yang berwarna abu-abu dan kecoklatan. Dari segala yang terasing di pulau pasifik, rasanya seperti kembali ke peradaban. Udara di London tidak terlalu sejuk hari itu. Hanya saja, mungkin karena burung hantunya Draco sudah sangat merindukan rumah, dia menjadi sehat kembali. Setelah beberapa hari mengamuk dalam kandang di balkon kamar hotel Serena di pulau, Serena memutuskan untuk ikut mengamuk dengan cara tidak memberinya makan sama sekali. Kelaparanlah yang menang. Burung hantu Draco itu tampaknya menyerah daripada tidak diberi daging asap dan kacang-kacangan lagi. Dia juga amat menurut bahkan ketika Serena menyimpannya di kargo khusus binatang di pesawat.
"Nah, terbanglah sampai ke Tuan-mu, oke? Kuharap kau sudah kuat," Serena mengelus kepala bulat si burung lalu memastikan ikatan paketnya sudah kencang. "Juga... Kalau bisa, jangan sampai siapapun melihatmu membawa hadiah ini, ya?"
Orang tua Draco adalah penyihir darah murni. Dan tipe yang arogan. Serena mengenal beberapa keluarga Muggle kenalan ayahnya yang bersikap demikian juga. Menganggap orang yang tidak sama dan sederajat dengan mereka adalah rendahan. Serena mendengar bahwa orang tua Draco menganggap penyihir kelahiran Muggle dan Muggle itu sendiri adalah sampah. Ini yang menjadi pikirannya sebelum mengirim hadiah untuk Draco. Apa yang akan terjadi kalau suratnya dibaca ayah Draco?
"Siapa Serena? Aku belum pernah mendengarnya. Coba kulihat di almanak 'Penyihir Darah-Murni dari Masa ke Masa'... Tunggu! Kenapa di suratnya dia bilang dia berada bersama Muggle?"
Kurang lebih itulah bayangan Serena akan ayah Draco. Tapi hal itu tidak menghentikannya. Dia sudah merasa bersalah karena bahkan tidak tahu hari ulang tahun Draco.
Si burung mendekut lembut seolah menenangkan Serena, paruhnya mengelus jarinya, kemudian dengan satu sentakkan, akhirnya burung hantu-elang itu mengepakkan sayapnya berulang kali, melewati danau buatan di belakang rumah keluarga Van Der Woodsen dan terbang lurus.
Serena membayangkan Draco dan apa yang dilakukannya musim panas ini. Dia mungkin belajar tambahan atau mungkin berfoya-foya selagi berada di rumah. Serena tidak bisa membayangkan keluarga Draco berlibur santai di pantai. Draco selalu menyombongkan kekayaan keluarganya dan bagaimana mereka tidak pernah bekerja seperti penyihir payah lainnya karena emas mereka sangat banyak. Cat pernah bercerita sambil lalu bahwa banyak keluarga tua yang memiliki bisnis turun-temurun, rata-rata berhubungan dengan penambangan logam mulia, barang antik atau sebagai tuan tanah. Mereka memperkerjakan banyak penyihir dan juga budak sehingga tidak perlu bekerja lagi. Serena maklum, saat melihat sekilas ayah Draco di peron kemarin, sulit membayangkannya sebagai pebisnis seperti Nathaniel Van Der Woodsen.
Senyum Serena merekah. Mungkin Draco juga mengalami hal yang sama dengannya, siapa tahu? Serena membayangkan dia tidak akan sulit menagih pajak tanah atau memaksa orang membeli barang antiknya. Yah, banyak yang bisa dibicarakan…
Terdengar suara kuakkan mencela dari arah danau. Jasper, burung hantunya, sedang bertenger di titian papan, mengawasi para bebek. Sekarang dia menatap Serena dengan mencemooh.
"Aku juga rindu padamu, Jasper..." kata Serena menghampirinya.
Akhirnya Serena kembali ke keadaan yang dikenalnya dengan baik.
.
.
.
Ada satu tempat belanja favorit Serena di dunia, tempat itu bernama Diagon Alley. Letaknya di jalan Charing Cross dan pintu masuknya berupa tempok bata di bagian belakang rumah minum terkenal, Three Broomstick. Datang kesana menjelang siang adalah waktu yang tepat. Karena sedang ramai-ramainya.
Serena mengelus tongkat sihirnya dengan sayang, merasakan sejuknya batang kayu tersebut. Tahun lalu saat membeli tongkat sihir itu, Ollivander, si pemilik tokonya, menyatakan bahwa inti tongkat sihir yang 'memilih' Serena adalah baju zirah baja yang dipakai hewan sihir yang telah lama punah, beruang kutub sihir. Itu mungkin menjelaskan rasa dinginnya, atau kebiasaannya mengeluarkan salju kalau Serena sedang cemas. Dan sekarang Serena berkesempatan menggunakannya kembali, walau hanya untuk mengetuk bata tertentu. Batu bata mulai melengkung dan membulat, menampakkan jalan lain di depannya. Jalan Diagon Alley.
Ekspresi wajah Robert tak ternilai. Serena buru-buru sadar diri sebelum tertawa terbahak karena dia pastilah berekspresi seperti itu juga tahun kemarin.
"Luar biasa! Ini seperti pintu otomatis tapi dari batu?" gumam Robert terbata. Mereka lalu melangkahi gerbang bata bulat tersebut.
"Ups!"
Terdengar Robert terkaget-kaget di belakangnya. Ternyata seorang nenek sihir tua keluar juga dari Three Broomstick dan menabrak Robert.
"Maaf, hmm, Madam…"
Si nenek jalan terus sambil memelototi Robert yang salah tingkah, membuat Serena terkikik. Semenit kemudian Serena langsung memulai tur-nya.
"Itu adalah toko kuali…" terang Serena memperkenalkan. "Yang itu toko bahan Ramuan…"
"Apa itu yang menjijikkan di gentong itu, Miss?" tanya Robert.
"Itu hati naga."
"Hmm, apakah enak?"
"Yang kutahu, mereka tidak memasaknya untuk makanan… Entahlah, nanti kutanya Bibi… Dan itu toko alat-alat astronomi, yah, untuk memperhatikan jagat raya…"
Robert, seperti Serena dulu waktu pertama kali mengunjungi Diagon Alley, kesulitan menutup mulutnya dan dia berhenti paling tidak dua menit untuk melihat-lihat etalase. Robert kentara sekali seorang Muggle. Serena jadi sebal karena beberapa orang melihat mereka dengan pandangan merendahkan, walaupun tidak semua. Si pegawai toko es krim Florean Fortescue membagikan selebaran promo untuk mereka dengan kelewat ramah. Tak lama kemudian Serena sudah minum soda dengan es krim Raspberry yang sedap. Robert memilih es krim sebelas rasa yang ditumpuk tinggi.
"SER!"
Dari kerumunan, ada seorang pria setengah baya yang melambai-lambai. Ternyata Paman Ed yang menjemputnya. Dengan gembira mereka saling menyapa dan merangkul di pinggir jalan, serabutan menanyakan kabar dan liburan sebelum akhirnya memutuskan untuk istirahat di toko bukunya dulu. Paman Ed tampak bergairah. Kacamatanya turun terus karena hidungnya keringatan dan dia memakai topi fez untuk menghalau panas. Membandingkan diri dengan kulit Serena yang kecoklatan karena terpanggang matahari, Paman Ed tampak sama seperti saat dia menjemput Serena di stasiun, kurus dan kulitnya agak pucat. Maklumlah, Paman dan Bibinya adalah kutu-buku sejati.
"Sayang Nate tidak bisa ikut menginap. Tapi untunglah Anda mau ikut, Mr Robert! Anggap saja rumah sendiri! Tapi sebetulnya di rumah kami juga tidak bisa dibilang istirahat! Pelanggan terus berdatangan! Nanti sore kita ke Gringotts dulu," celoteh pamannya.
Gringotts adalah bank penyihir dan dikelola oleh makhluk sihir bernama Goblin. Serena belum pernah melihat goblin lagi selain di Gringotts. Lalu dia teringat sesuatu. Yang diusirnya lagi jauh-jauh.
"Inilah toko kami, Mr Robert! Flourish and Blotts!"
Toko buku terbesar di jalan itu memang betul-betul ramai. Sebagai strategi, selain berjualan buku bestseller, paman-bibinya juga menjadwalkan acara bincang-bincang serta pembagian tanda tangan dengan si penulis buku itu, Gilderoy Lockhart, penyihir dengan rambut pirang bergelombang dan gigi luar biasa putih. Robert menatap sampul buku yang bergerak-gerak dengan takjub. Si Gilderoy Lockhart di sampulnya menatap Robert dengan mencemooh tapi terus menerus mengedip pada Serena, membuatnya jengah. Serena mengalihkan pandangan dengan menatap lambang pena-ungu toko tersebut.
"Bisnis memang sudah mengalir dalam darahmu ya, Miss..." bisik Robert sebelum mereka ikut Paman Ed memasuki toko.
.
.
.
"Buku ini satu buah harganya sebelas Galleon, tapi kalau pelanggan membeli kelima serinya ini, dia bisa menghematnya lima Galleon. Karena kita akan menurunkan harganya jadi lima puluh. Bagaimana? Kurasa itu akan membuat barang cepat habis juga... Jangan lupa dus-nya yang bagus, dengan huruf timbul yang bergerak mungkin? Begitu pula bonusnya... Orang selalu suka pembatas buku yang indah, walaupun mereka tetap saja melipat buku untuk menandai..."
Pagi itu Serena membantu bibinya sambil sarapan telur dan bacon. Bibi Char tampaknya lupa makan selama musim panas karena dia bertambah kurus. Tampaknya kesibukan membebaninya.
"Kurasa itu ide bagus. Aku juga suka ide celemek seragam untuk para pekerja dan dua peri-rumah kami. Supaya kompak..." mata Bibi Char membulat dibalik kacamata tebalnya.
"Betul, kan? Warnanya mungkin ungu seperti lambang kita..."
Mereka berdiskusi lagi dan Serena merasa senang sekaligus merasa bersalah. Beberapa hari di tempat paman-bibinya ini betul-betul menyenangkan. Serena semangat bangun di pagi hari dan rapat to-do-list dulu dengan bibinya seperti pagi ini. Kemudian membantu paman menyiapkan toko, dibantu Killi dan Filli, dua peri-rumah mereka. Kemudian tiga orang pegawai datang dan mulai bekerja. Serena membantu melayani pembeli. Lalu sorenya mereka belajar mengurus pembukuan dan penyetoran. Robert bahkan ikut membantu sebagai pengawas pengutilan, perusakan buku, bahkan tega mengusir orang mencurigakan. Dia lebih efektif dibanding sekuriti bank Gringotts sekalipun.
Serena ingat betul dia sering ketiduran saat ikut ayahnya rapat dengan para manajer. Dan beberapa pegawai wanita ayahnya terlalu sombong untuk melibatkan Serena dalam pembicaraan. Lagipula apa yang diketahui Serena tentang desainer sepatu dan warna eyeshadow? Bagian pemasaran perusahaan ayahnya berbicara dengan kecepatan cahaya. Dan bagian keuangannya bekerja dengan kecepatan kilat. Serena akhirnya lebih memilih mengangguk-angguk mendengarkan padahal segala properti itu kini miliknya.
Serena juga tidak menulis surat pada ayahnya. Dia khawatir Jasper mengamuk karena kesulitan mengikuti ayahnya yang selalu bepergian ke luar negeri. Dalam hatinya dia berharap agar ayahnya juga bisa bergabung dengannya dan Robert di sini. Tapi itu tidak mungkin.
Serena membantu setiap hari di Flourish and Blotts, tapi sesekali menghabiskan hari yang cerah berjalan-jalan di Diagon Alley dengan Robert. Dia sudah bertemu dengan kedua orang tua Cat yang membeli buku-buku. Mereka bercerita kondisi Cat sudah sangat bagus. Hanya saja dia terlalu malu keluar dengan bintik-bintik di wajahnya. Serena masih belum boleh menengok karena sekolah hampir mulai dan mereka masih tetap khawatir penyakit itu akan menularinya.
Serena juga bertemu dengan Neville dan neneknya. Neville adalah anak lelaki gemuk pendek berwajah cemas dimanapun dia berada. Walaupun saat bertemu Serena dia tampak lega. Sepanjang tahun kemarin Serena adalah sahabat/pembela Neville saat dia digencet semua anak nakal, termasuk Draco Malfoy. Mereka bersama-sama mencari bahan ramuan baru dan ke toko reparasi alat-alat sihir karena Serena belum memperbaiki hadiah dari Draco.
"Musim panasmu jadi menyenangkan? Tak bisa kubayangkan kau sebulan itu hidup tanpa sihir! Yah, mungkin memang lebih baik..." kata Neville ketika mereka menunggu giliran. Tangannya mengenggam kataknya, Trevor, erat-erat.
Serena tercenung memikirkan apakah dia harus menceritakan pada Neville tentang kegelisahannya. Tanpa bisa ditahan, semua keluar begitu saja. Tahu-tahu mereka sudah paling depan antrian.
"... aku memang sudah menduga ini sebelumnya. Kau tahu, ayahku hanya punya satu anak dan aku adalah satu-satunya pewarisnya. Aku jadi takut. Lalu bagaimana kalau dia tahu bahwa aku lebih senang ada di toko buku sihir? Dia pasti tersinggung nanti..." keluh Serena sambil menyerahkan bungkusannya untuk diperiksa.
"Itu wajar saja. Tempat ayahmu bekerja kan besar sekali. Mungkin kau hanya belum terbiasa dan harus mulai dari hal-hal kecil. Lagipula tidak terlalu buruk, kan? Kau bisa tetap berkarir di dunia sihir dan melakukan tugas-tugasmu untuk ayahmu..."
"Kalau kau punya dua Trevor lalu dua-duanya lari, kau tidak akan bisa menangkapnya, kan?" tanya Serena mengingat-ingat apa yang pernah ayahnya nasihatkan dulu sekali, kalau kita terlalu mengejar banyak hal, maka kita tidak akan mendapatkan apapun.
"Tentu saja akan sulit... Dan apa hubungannya dengan katak?" tanya Neville bingung sambil memegang Trevor lebih erat.
"Maksudku kita tidak akan bisa jadi hebat kalau mengerjakan dua hal sekaligus... Mungkin... Yah, intinya begitu! Aku sudah tahu, ini akan terjadi, hanya saja... Kurasa aku lebih suka jadi penyihir..."
Serena diam mengingat ayahnya yang saat ini pasti sedang bekerja membanting tulang. Hanya demi Serena.
"Tentu saja kau harus suka! Kau kan memang penyihir," kata Neville ada benarnya. "Kau tidak perlu khawatir begitu, Ser. Kau kan hebat. Begitu pula ayahmu. Aku yakin semua akan baik-baik saja. Lagipula kau baru dua belas tahun, sebaiknya jangan terlalu dipikirkan tentang hal-hal berat begitu..."
Serena memandang Neville lama sambil menggigit bibir, "Kau tahu? Pastilah ayah-ibumu yang mengajarimu kata-kata keren itu..."
Anehnya, Neville tergagap mendengar pujian Serena ini, "N-Nah... Tadi kan aku bilang ada baiknya kau liburan tanpa sihir sama sekali, kau pasti belum tahu kabar terbaru..."
"Apa?"
"Harry! Harry Potter... Dia mendapat surat peringatan resmi dari Kementerian. Katanya dia menyihir di depan Muggle... Menjatuhkan puding ke kepala tamu pamannya, pakai Mantra Pengangkat."
"Masa, sih?"
"Betul! Kakek Algie yang mengabarkan. Katanya dia tahu dari anak temannya. Mafalda-apa gitu... Anak temannya itu bekerja di Kementerian."
Serena tahu bahwa Harry dibesarkan di rumah paman-bibinya yang Muggle. Harry juga pernah beberapa kali cerita tentang sepupunya yang dia sebut: Dudley, si babi-pakai-wig. Hubungan mereka sebagai paman-bibi dan keponakan pada khususnya, juga sebagai Muggle dan penyihir pada umumnya, sama-sama buruk. Tidak seperti Serena dan ayahnya serta para pelayannya. Ditambah lagi daerah suburbia Inggris tempat Harry tinggal pasti lebih menyiksa dibandingkan resor pulau tropis. Serena berpendapat pantaslah Harry sampai nekad begitu.
Neville menceritakan Harry belum dikeluarkan, tapi dia hanya mendapat satu kali kesempatan. Serena tercenung memikirkan ini. Jadi bukan hanya dia yang merasa tertekan...
Setelah selesai belanja, Neville dan neneknya pamit. Mereka akan kembali ke Three Broomstick untuk kembali ke rumah lewat perapian Floo. Jaringan Floo adalah transportasi sihir dengan api hijau yang akan membawamu ke perapian manapun.
"Aku akan senang sekali menyambutmu musim panas tahun depan, Nak... Datang dan menginaplah..." kata nenek Neville menawarkan.
"Terima kasih, Nenek Augusta. Akan aku rencanakan..."
"Matamu indah sekali, Nak... Satunya hijau dan yang lain biru. Satu diantara seribu... Dan terima kasih selalu menjaga Neville..."
Setelah melepas mereka, Robert, yang seharian itu mengangkat Neville pada jubahnya tiap kali Neville tersandung, menangkap Trevor tiap kali katak itu mencoba kabur, dan ketumpahan darah naga karena Neville menyenggol sesuatu di toko bahan ramuan, mengernyit memandang Serena.
"Ehm, saya tidak bermaksud ikut campur... Tapi saya selalu membayangkan bahwa Anda akan berteman dengan anak laki-laki yang gagah layaknya pangeran..."
Serena memandang hadiahnya yang ternyata adalah miniatur beruang-es yang bisa menyemburkan salju untuk mempersejuk ruangan setiap setengah jam sekali. Bingung apakah itu hanya kebetulan ataukah Draco tahu inti tongkat sihirnya? Dia jadi membayangkan Draco, yang mungkin adalah salah satu teman Serena yang lain selain Neville. Draco bisa dibilang lebih mirip penyihir cilik yang culas.
"Ini dunia sihir, Robert. Bukan dongeng..."
.
.
.
Kesibukan karena penjualan buku di Flourish & Blotts menjelang kedatangan Gilderoy Lockhart menguras energi para pegawai. Maka malam itu, Paman Ed memutuskan untuk berpiknik di tengah podium tempat Lockhart akan menandatangani bukunya besok. Bibi Char bahkan langsung turun ke dapur untuk memasak. Serena memakan pai ayam dan kentang tumbuk-kejunya dengan perasaan bahagia. Saladnya pun manis bagai kembang gula. Kemudian hal yang membahagiakan datang pada saat makanan pencuci mulut dikeluarkan.
"Ser, mana cermin yang kuberikan padamu saat ulang tahun kemarin? Maaf aku lupa sama sekali..."
Bibi Char membantu Serena dengan melambaikan tongkatnya dan si cermin pun menghampiri mereka sedetik kemudian dari kamar Serena.
"Nate! Kau sibuk?" seru Bibi Char, membuat Serena mengernyit heran karena dia memanggil ayahnya lewat si cermin.
"Ini pukul tujuh pagi di tempatku saat ini. Tapi aku akan sarapan dulu saja..." terdengar suara ayahnya, yang anehnya, berasal dari dalam cermin.
"Dad!"
Serena memekik kaget saat melihat ayahnya ada di dalam cermin tersebut. Tampaknya seperti menonton televisi yang sangat mini.
"Hai! Kaukah itu, Ser? Sekarang kita bisa berkomunikasi dimana saja. Asal aku sedang sendirian, tentu. Aneh rasanya bisa bicara seperti ini. Tapi bagus sekali alat ini!"
Ayahnya seperti mengetuk-ngetuk cermin yang ada didepannya.
"Ini namanya cermin dua-arah," terang Bibi Char. "Agar kalian bisa berkomunikasi... Jadi gampang, bukan?"
"Ya, ya, ya..." kata ayahnya tercenung. "Ini ide bagus untuk suatu alat komunikasi, yah... coba nanti kupikirkan..."
Rasanya seperti ayahnya berada di toko itu langsung, ikut makan malam bersama, mengobrol bersama. Serena tersipu saat ayahnya memuji dengan hangat sewaktu bibinya mengatakan bahwa Serena banyak membantu. Ibunya pun tersenyum ramah di lukisannya yang didekat meja kasir. Serena menikmati es krimnya dengan perasaan luar biasa nyaman. Beberapa bebannya selama musim panas ini seolah ikut turun ke tenggorokannya, dibasuh es krim dingin.
Neville benar, Serena tidak perlu mengkhawatirkan apapun.
.
.
.
