"Dia pernah bertanya seperti ini kepadaku, 'Apa tipe aliranmu?' dan aku meletakkan kuasku sambil meregangkan badan. 'Tipe yang menjadi favoritmu' kujawab, dan ia tersenyum. Mungkin ia mengerti bahwa aku sedang tidak membicarakan lukisan,"

.

.

Foregone Portrait

EXO Fanfiction

Sehun and Luhan

.

.

"Lukisanmu indah,"

Sehun hanya melirik dari sudut matanya. Telunjuk dan ibu jari tangan kanannya masih menghimpit sebuah kuas. Ia tidak perlu mempedulikan orang yang berkomentar mengenai kanvas yang tengah ia hiasi dengan beragam macam warna. Tangan kirinya masih tetap kaku dalam memegang palet seperti biasanya.

Satu usapan, dua usapan, tiga usapan kuas.

"Aku ingin pandai melukis seperti dirimu,"

Sehun menggeserkan sedikit kursinya menjauhi sang sumber suara. Sosok itu hanya mengganggunya dalam melukis.

"Senang dapat melihatmu berkarya, mahasiswa seni rupa,"

Sehun mengalihkan pandangannya saat sosok tersebut telah menutup pintu ruang kelas dan berjalan menyusuri koridor sambil membawa beberapa buku tebal. Wajahnya selalu menyunggingkan senyum saat bertemu sapa dengan pelajar lainnya.

Sehun mengerjapkan kedua matanya. Mahasiswa dari jurusan seni musik baru saja mampir kepadanya.

.

Sehun tidak ingat pernah memiliki cat minyak dengan warna turquoise.

Cat itu terbalut dengan sebuah kertas putih di tubuhnya, tetapi Sehun tidak melepasnya. Ia menanyakan teman sebangkunya jikalau benda tersebut adalah miliknya. Jongin hanya mengangkat bahu dan kembali mendengarkan lagu lewat iPodnya.

"Tadi ada mahasiswa dari jurusan lain yang menaruh cat itu di mejamu, Sehun,"

Kedua alis Sehun bertaut. Ia tidak menangkap ucapan Tao seluruhnya.

"Nuguya?"

Sama halnya dengan Jongin, Tao hanya memberikan jawaban dengan sebuah gerakan bahu. Ia juga tidak tahu siapa.

Sehun memasukkannya ke dalam jaketnya. Dosen sudah datang untuk mengajar.

.

Hai, aku tahu kau mau pergi kemana.

Sehun berjengit. Ia baru saja hendak keluar dan membuka pintu ruang kelasnya namun langsung dikejutkan dengan sebuah kertas kecil berwarna biru di depan sepatunya. Ia tidak ingin memungutnya, tetapi juga tidak ingin kertas tersebut mengotori sekitar pintu ruang kelasnya.

Ia menduga bahwa Tao atau Jongin sedang mengerjainya. Tapi, mana mungkin. Tulisan mereka berdua tidak akan serapi ini.

Sehun menggumpal kertas tersebut dan membuangnya di tempat sampah. Ia berjalan menyusuri koridor kampus sambil bersenandung kecil. Suaranya tidak terlalu bagus, memang. Jika sudah hobi, mau bagaimana lagi?

Sehun mengarahkan kakinya menuju ruangan melukis. Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menemukan kertas dengan warna yang sama seperti sebelumnya di depannya.

Pungut lagi. Baca kembali.

Teruslah mengambil kertas yang ada di depanmu.

Penguntit. Sehun mulai menduga yang tidak-tidak.

Sehun tidak ingin sombong, tetapi mungkin saja ada penggemar rahasia yang sengaja mengikuti dirinya dan meninggalkan petunjuk-petunjuk bodoh kepadanya untuk diikuti. Sehun tidak merasa takut. Ia hanya merasa risih dan sangat terganggu, sangat penasaran dibuatnya.

Kertas-kertas kecil tersebut selalu menghalanginya untuk melangkah.

Kali ini ia tidak membuang kertas yang kedua. Ia menggenggamnya dan memasang mata pada sekelilingnya. Mungkin saja akan ada kertas lain yang terpampang di tempat lain, tidak hanya tergeletak di lantai. Jika si pengirim kertas menginginkannya untuk bermain, Sehun akan meladeninya.

Dan ia menjadi sedikit tertarik karenanya.

Sehun menaiki anak-anak tangga dan berpapasan dengan teman-temannya. Beberapa yeoja selalu bersikap manis dan imut di depannya. Sehun hanya tersenyum karena ia tahu bahwa itu semua hanyalah kepura-puraan saja. Sehun bukan mahasiswa jurusan akting ataupun psikologi, tapi ia dapat mengenali orang-orang yang memang baik di dalam atau hanya sekedar berhias topeng belaka.

Penting untuk diingat, Sehun tidak akan terpikat dengan gadis yang centil.

Ada sekitar delapan belas langkah lagi sampai ia tiba di depan ruang melukis. Sehun mengamati lantai, tidak melepaskan pandangannya sedikit pun. Berharap akan menemukan kertas dengan bentuk dan warna yang sama, sayangnya nihil. Hanya ubin-ubin polos dan dingin yang tampil di hadapannya.

Mungkin permainan telah berakhir, anggapan Sehun.

Oh, ternyata tidak. Kertas itu muncul lagi pada pintu ruang melukis. Tertempel dengan selotip bening, Sehun melepasnya dengan perlahan agar tidak robek. Ia membaca hangeul yang tertera disana. Sehun mulai mengagumi tulisan tangan yang cantik di kertas itu. Ada tiga kalimat yang tertulis untuk Sehun baca.

Selamat datang di tempat favoritmu. Maukah untuk masuk ke dalam sekarang?

Sehun baru membaca sampai kalimat kedua. Ia menarik gagang pintu dan masuk. Kedua matanya terbelalak. Ada sosok seorang namja di depannya.

Tidak ada yang saling menyapa, tidak ada yang berbicara. Hanya saling bertemu mata dan membiarkan jarum jam berdetak.

Sehun membuka kertas yang tidak sengaja terlipat olehnya. Ia belum membaca kalimat terakhir.

Lepaskanlah kertas yang terekat pada cat minyak turquoise di saku jaketmu. Itu pesan terakhirku.

Cat minyak?

Turquoise?

Bagaimana ia bisa tahu bahwa aku menyimpannya di saku jaketku?

Namja lainnya masih menatap Sehun. Pergelangan tangan Sehun sibuk mengacak saku jaket kirinya untuk mencari cat minyak tersebut. Pandangannya masih tertuju kepada sepasang mata indah bagaikan kristal milik namja di depannya.

Sehun melepaskan kertas tersebut dari cat minyaknya. Benar, ada sebuah tulisan disana.

Halo, namaku Xi Luhan. Senang dapat mengenalmu.

Saat kerjapan mata yang kedua, Sehun dapat melihat dengan jelas sesuatu yang lebih dari sekedar kata indah di dunia. Langit biru, bunga lili, bahkan kunang-kunang di malam hari pun tidak bisa menyaingi kesempurnaan yang ada.

"Hai,"

Suara familiar yang mengganggunya saat ia tengah melukis dalam aliran imperialisme tempo hari yang lalu. Ia tidak lagi menganggap suara tersebut sebagai pengganggu. Siapa yang dapat menentang suara semanis itu?

"Oh Sehun,"

Sebuah senyuman dan sambutan yang hangat terlontar dari diri Sehun. Senyum Luhan semakin mengembang. Mereka secara resmi telah saling mengenal hari ini, meskipun tanpa bungkukan badan, tanpa jabatan tangan.

"Aku ingin melihatmu melukis lagi,"

Sehun berjalan melewati sosok mungil Luhan dan duduk di kursi favoritnya. Kanvas putih dan bersih sudah terpampang di depan matanya. Ia mengambil palet, kotak cat minyak, kuas berbagai ukuran, dan sebuah pensil kecil.

"Aku ingin kau duduk disini,"

Luhan tertawa kecil. Ia melempar tasnya di sembarang tempat dan menarik sebuah kursi. Luhan duduk di samping Sehun. Tempo hari, dalam ruangan yang sama, momen yang sama, orang yang sama, kini terulang kembali. Yang membedakan adalah objek yang akan dilukis oleh Sehun.

Sehun tidak melukis Luhan. Ia hanya menggunakan cat minyak turquoise pemberian Luhan.

"Aku ingin melihat duniamu,"

Luhan mengamati garis-garis tipis yang digoreskan oleh Sehun melalui pensilnya. Sehun mengulas sebuah senyum.

"Akan kuperkenalkan kau pada duniaku,"

Sehun tidak pernah tersenyum sebanyak ini sebelumnya.

.

.

.


(part i - end)