HALLO, Readers... This is my first friendship-angst BTS FF. Agak nervous juga mau publish nih FF soalnya aku gak berbakat dalam bidang angst dan friendship kayak gini -_-. Tapi nyoba gak ada salahnya daripada enggak sama sekali, kan?

NOTE!: This chapter is just a prologue, okay ^^. Di bagian ini, aku sengaja gak nyebutin siapa yang siapa (nama tokohnya) dulu biar kesannya membingungkan hehehe….Tapi yang jelas, persahabatan ini menggunakan V dan Jimin, okeh….

ATTENTION!: Gaje, ide pasaran, no feel, Judul dan cerita gak nyambung!

Gak pake basa basi dan banyak cincong lagi, HAPPY READING!

.

.

PROLOGUE

I still remember what you've said to me….

Ketika kubuka netraku, cahaya lembut mentari seketika menyapa netraku, mungkin tepatnya menohok dengan cahayanya. Hal pertama yang menyapa indra pendengaranku adalah siulan merdu burung-burung yang bertengger tepat di pohon yang ada di halaman asramaku, hanya itu. Itu mungkin tergolong hening bagi beberapa orang tapi sudah cukup ramai bagiku.

Entah mengapa, pagi itu, aku tetap merasa silau akan cahaya itu walaupun aku tahu, tak sepantasnya aku mengatakan seperti itu. Ini seperti aku menyalahkan sebuah kebenaran dan membenarkan sebuah kesalahan. Itulah yang membuatku terlihat begitu mengenaskan dan mungkin patut untuk dikasihani.

Masih terngiang di telingaku hingga detik ini, bagaimana kau mengucapkan kumpulan kata itu dari mulutmu. Terdengar konyol pada awalnya namun ketika aku menyadari bahwa kau menyadari sesuatu yang sekarang telah terjadi, kalimat itu justru terdengar begitu indah dan berharga. Kau tahu betapa bodohnya aku, kan, sahabatku?

Kala itu, ratusan bintang telah membubuhi langit malam kota Seoul yang nyaris berwarna hitam. Mereka terlihat bagaikan kesempatan terakhir di dalam ketidak-adaannya lagi sesuatu yang disebut 'kesempatan'.

Aku mengambil tempat tepat di sisimu, tak begitu jauh. Masih kuingat bagaimana berbinarnya wajahmu ketika netramu dapat kembali menatap bintang-bintang itu bertaburan tepat di atasmu. Aku ingin kau dapat berbagi kebahagiaan itu bersamaku seperti yang telah kita lakukan hingga detik itu. Dalam palung terdalam hatiku, aku tak mengerti bagaimana bintang begitulah berarti bagimu.

"Kenapa kau menyukai bintang, eoh?", tanyaku pada akhirnya setelah kita nyaris tenggelam dalam keterdiaman dan keheningan yang berlarut-larut.

Kau menatapku lembut, tersenyum kecil, "Kau tahu, hanya dengan melihat bintang, aku bisa tahu siapa lagi selanjutnya yang akan pergi dari sisiku…"

Aku tertawa hambar, bertindak selayaknya apa yang kau ucapkan hanya sebuah omong kosong belaka. Kuakui, aku takut jika orang yang selanjutnya akan pergi dari sisimu adalah diriku. "Jadi siapa yang akan pergi?"

Kau kembali menatap kumpulan bintang itu, "Tidak ada…"

Saat itu juga, aku mampu menghela nafasku yang tertahan di tenggorokanku selama beberapa detik lamanya. Hatiku lega telah mendengar ungkapan itu. "Apa bintang merupakan hal terpenting untukmu? Hanya bintang-bintang itu yang–"

"Biarkan aku bertanya sesuatu padamu terlebih dahulu…", kau tiba-tiba menyela penuturanku. Kau tak pernah seperti ini sebelumnya.

"Bertanyalah…"

"Apa sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu, hem?"

Butuh waktu untukku berpikir kembali jawaban atas pertanyaan itu. Pada awalnya, kuyakini jawabanku ini tepat namun ketika aku berpikir untuk mengungkapkannya padamu, kurasa ini terlalu melankolis dan itu jelas bukan tipeku walaupun aku tahu, hidupku mungkin telah berada di ujung tanduk.

"Er…nyawaku kurasa.", jawabku pada akhirnya, mengakhiri seluruh gemelut pemikiran-pemikiran di benakku. "Kau sendiri?"

Kau terdengar terkekeh hambar seakan menertawakan kebodohanmu selama ini. "Kau adalah sesuatu yang paling berharga bagiku. Percayalah, aku rela membayar nyawamu dengan nyawaku…."

Seketika itu juga, aku tertawa sumbing mendengar penunturanmu, seakan-akan kau baru saja menyatakan perasaan cinta padaku. Namun, perlu kau ketahui, sahabatku, di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku menyesal, sangat…

Hari itu juga, aku mengerti bagaimana definisi sebuah persahabatan di matamu dan di mataku. Bagaimana perbedaan dalam mengartikan sebuah ikatan ini begitu terlihat di antara kita. Kita sangatlah berbeda, itu benar. Aku sangatlah menyedihkan, itu juga benar. Namun ketika seseorang mengatakan bahwa kita tak bisa bersama, itu tak benar.

Percayalah, bahwa kosakata 'nyawaku' yang sebenarnya kutuju bukanlah nyawa yang bersemayam dalam diriku namun sesuatu yang justru terpisah dari diriku dan aku telah kehilangannya. Kau tahu, nyawaku adalah dirimu, Sahabatku…


I still remember your promise to me…

Kala itu, aku hanya dapat berbaring tak berdaya di atas kasur putih itu. Terlihat sangat mengenaskan mengingat usiaku yang belum seberapa. Aku berada di ujung tanduk, tak dapat mengelak maupun menerima. Aku hanya bisa terdiam mendengar bagaimana dokter telah mengutarakan segala hal terjadi padaku.

Kau datang, kristal air mata membasahi setiap millimeter pipimu. Ketika aku melirikkan netraku padamu, tangisan tak lagi dapat kau bendung. Aku tahu, kau menyesal, Sahabatku.

"Maafkan aku…", isakmu seraya memelukku erat. Tubuhmu bergetar. Resonansi begitu kental dari suaramu.

Apa kau terlihat semenyedihkan itu di matamu?

Aku tersenyum tanpa kau sadari, "Gwaenchanha. Tak ada yang harus disesali…"

Kau mendekapku semakin erat, seakan berusaha menghentikan waktu dan memberikanmu waktu lebih lama untuk tetap berada di sisiku. Sayangnya, waktu terus bergulir, tak peduli seberapa banyak tetes air mata menitih dari mata indahmu dan seberapa erat kau mendekapku.

"Tetaplah berada di sisiku hingga saatnya nanti atau tetaplah berada di sisiku hingga hari kelulusan nanti….", pintaku tatkala setetes air mata menitih dari pelupuk mataku.

"Aku pasti tetap di sisimu..."

Aku tak pernah menyesal pernah mengorbankan nyawaku demi dirimu… Tidak pernah walaupun hanya sekali. Tak peduli betapa berat menjalani hari-hari seperti ini, aku tetap baik-baik saja. Tak perlu khawatir…

.

.

.

.

Dan ketika saatnya tiba, aku adalah orang yang paling merasa dipecundangi oleh dunia ini. Namun, di sisi lain, aku merasa bahagia karena dengan ini, aku yakin kau tak lagi merasakan sakit, Sahabatku…

.

.

.

.

TBC

WADAU… Ini FF ato buku harian? Maaf karena enggak menarik sama sekali ya, Guys. Bahasa yang kampungan dan alur cerita yang enggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Maaf, author juga manusia pasti punya kesalahan. Oke, next chapter baru mulai memakai nama tokoh ya, Guys… LAST, I NEED UR REVIEW(S), GUYS! THANK YOU #bow jedot lantai