paradise lost
a guanho fanfiction by delighthyuns (capuuungterbang)
[ warn : mature content ]
"Pud– " hentak "–din!"
Guanlin selalu suka, selalu cinta saat Seonho mengerang kacau, putus asa, mengais dosanya sendiri. Merebut apapun untuk kenikmatan saat lubang beceknya terhentak fatal oleh Guanlin. Lube yang berceceran jatuh lengket diseprei, poni basah Seonho yang menempel, ujung mata yang ikut berkerut ketika Seonho menutup matanya dan geraman Guanlin yang terus ditahan.
Panas.
Hentak.
"Jangan keras-keras, Puddin!" Seonho berteriak, hampir tidak terdengar kejelasannya seperti perkataan tanpa arti.
Seonho itu memikat, menghasut siapapun hanya dengan ekspresi menggemaskannya dan Guanlin sudah bersabar untuk tidak menyekap Seonho selama beberapa minggu agar tidak bertemu chef ditempat pacarnya bekerja yang selalu memberi Seonho kudapan manis berlebih atau sekedar kopi double dengan alasan tidak masuk akal karena Seonho punya senyum lucu menyegarkan.
Adakah alasan yang lebih absurd?
Dan brengsek sekali Yoo ini, mengeratkan lubangnya kan jadi susah bergerak.
Hentak.
"Kau yang jangan mengetat. Damn, are you trying to kill me or something, sweetheart?" Guanlin sedikit kewalahan memajukan pinggangnya, mencoba mencari lebih dalam dan Seonho hanya tersengal, terlalu banyak Guanlin dipikirannya, mengaburkan segalanya.
Lagipula, cinta itu menggoda dan tidak ada yang lebih menggoda daripada 'Lebih cepat, Puddin'.
Guanlin melihatnya, Seonho yang tenggelam dalam seprei putih lembut (Guanlin ingin Iron Man dan Seonho ingin gambar ayam-ayam lucu kuning jadi, kesepakatan mereka menggunakan putih). Mudah. Mudah sekali mengacaukan Yoo Seonho dan ini salah satu hal yang disukai Guanlin.
Selain suara pagi yang hampir tidak terdengar sehabis terlalu banyak berteriak, senyuman kotak lucu ketika terlalu bahagia, senandung lagu baru saat mengerjakan laporan, pancake hampir gosong kebanyakan gula atau saat Seonho bercerita kalau dia ingin menjadi pekerja rumah tangga dengan banyak anak, karena guru TK atau Pemilik Panti Asuhan tidak bisa membawa anak kerumah.
(bloody hell, memasak saja masih kececeran, mencuci saja sekali seminggu, bangun sering telat, cerobohnya minta ampun kecuali OCD yang dimilikinya; Guanlin pernah dimarahi sehabis lupa meletakkan sebilah pulpen yang tergeletak dikarpet bulu nyaman ruang tamu)
Atau Guanlin juga menyukai Seonho yang merintih dibawahnya, menatapnya dengan mata berair, bulu mata tebal yang menggulung lebih baik dari siapapun, ruam-ruam merah hampir biru yang terlalu banyak dan terbengkalai cantik diatas seprei putih. So fucking wrecked and ruined, just for him. Hanya untuk Lai Guanlin.
"Puddin, aku— aku— astaga, disana!"
"Mintalah, Seonho. Mintalah dengan manis."
"Please, please, please. Lin, please, please, please, Puddin."
Ketika gerakan semakin tidak teratur, ketika tubuh mereka bergetar antisipatif, ketika keringat sudah lengser dari ujung pelipis hingga ke dagu, atau ketika nafas mereka semakin tidak dapat berfungsi dengan baik, panas dan tercekat, Guanlin menggigit lehernya dan berucap serak, "Milikku. Kau milikku."
Gumaman Seonho menjadi penutup saat mereka datang bersamaan, bertabur pandangan putih seperti kemilau terang lampu, "Selalu, Puddin."
Guanlin pernah bertanya— penasaran sebenarnya, mengapa harus Puddin, bukan sayang atau panggilan manis lainnya. Seonho dengan penuh kelucuan dan suara melengking semangat menjawab, 'Karena kita gila. Aku gila. Kau gila. Kita berdua sama-sama gila disini. Dan kau adalah puding cokelatku.' dan menambahkan dengan tawa mendebarkan, 'Oh! Itu sebenarnya panggilan Harley Quinn ke Joker. Aku suka sekali!'
Joker adalah implikasi kejahatan nekat sekaligus berbahaya, melakukan apapun sesuai keinginan dan Harley Quinn hanyalah seseorang yang naif (mudah sekali untuk diambil hati, mudah, mudah, terlalu mudah). Kenapa terlihat seperti Guanlin yang jahat dan hanya memanfaatkan Seonho namun, juga jatuh gila-gilaan? Benar-benar terlihat seperti realitas sebenarnya.
Lagipula, Guanlin lebih memilih untuk menjadi Iron Man. Yeah. Iron Man (atau Tony Stark dengan intelejensi memukau) dan Seonho bisa jadi Pepper Potts. Itu lebih terlihat menarik bagi Guanlin, menjadi pahlawan penyelamat dunia dan berkomplot dengan sesamanya juga mempunyai asisten luar biasa. Guanlin baik, ia selalu menjadi anak baik.
Yeah.
Guanlin tidak jahat,
tidak,
sedikitpun tidak jahat.
—jikalaupun jahat, Guanlin tidak yakin akan sukarela merobek serpihan bunga lucu polos dengan kuning bersinar tertimpa hangat pagi. Paling rapuh yang pernah ditemuinya sekaligus tumbuh liar. Sekali lagi Seonho berdiri disana, menjulang, kuat juga percaya diri. Memukul telak siapapun dengan kepercayaan diri diambang batas.
(Dia malah terlihat menjadi bunga yang paling memikat diantara bunga lain)
Seketika Guanlin teringat perkataan ibunya, 'Kau tahu bunga apa yang dipetik ketika ditaman? Bunga yang paling indah, paling cantik, paling menarik. Begitu juga manusia, yang lebih indah akan pergi terlebih dahulu.'
Guanlin tidak akan memetik Seonho. Ia cukup menangkarnya, memberi pagar tinggi dan semua orang tidak akan melihatnya, tidak akan memetiknya.
"Lin, kau baik?" Seonho bertanya, sedikit teredam akibat wajahnya yang mendusel nyaman dipipi Guanlin, menggesekkan ujung hidungnya senang. Benar-benar seperti puppy rumahan minta perhatian.
Benci. Benci. Guanlin sangat benci, tidak suka dengan orang yang menempel padanya, bergelayut padanya, akrab padanya dan itu dulu, dulu, dulu sekali. Tanpa sadar, Guanlin akan menempeli punggung Seonho ketika dia mencuci piring, memeluknya saat tidur sekaligus malas-malasan pas weekend atau bersandar dibahunya saat nonton putar-ulang salah satu series di Netflix.
Lai Guanlin jadi suka menempeli Seonho, jadi adiktif untuk bergelayut pada Seonho, jadi keracunan untuk akrab dengan Seonho.
Itu tidak baik.
Benar-benar tidak baik.
"Aku baik sepenuhnya, Seon."
The best way to not get your heart broken, is pretending you don't have one.
It's a lie.
(Karena dusta selalu menang diatas apapun jika kau memainkannya dengan baik.)
Kapan Guanlin berhenti? Berhenti bersembunyi? Berhenti berbohong? Berhenti mengelak?
"Tiga puluh detik sebelum K-Dua menghilang." Guanlin dapat mendengar terlampau jelas suara Jinyoung di bluetooth earphonenya. Sebuah instruksi tertata untuknya. Ia membenarkan cara duduknya, mengatur tinggi bipod, meletakkan AWM L115A3 diatasnya hati-hati. Seingatnya tadi ini tidak memakai peredam suara. Shit. Bisa gawat bila sampai terdengar bunyi desing atau ledakan kecil.
—mungkin dia sengaja melupakannya, sengaja tidak mengingatnya agar tidak ada muncratan darah yang mekar seperti bunga mawar, merah dan gelap, kemudian jatuh terhentak menyakitkan. Mati. Secepat itu mati.
Angin terdengar lebih cepat tapi, tidak akan merubuhkan kecepatan pelurunya. Deru pendingin ruangan dingin menyentuh punggungnya karena berada disalah satu lantai belasan gedung bertingkat, bersembunyi dibalik jendela raksasa temaram. Tepat berseberangan dengan S Corporation —tempat target yang akan dibidik.
"Cepat eksekusi, Pan!" Jeno memang tidak sabaran, matanya hampir tertutupi dengan topi tapi, Guanlin tahu. Ia tahu kalau Jeno sedang menilainya, mendesaknya untuk segera mengambil aksi. Lagipula kalau dilakukan buru-buru malah hasilnya jelek.
Dan Guanlin selalu tidak ingin ada kesalahan. Kesempurnaan adalah pengabdian yang bisa dipersembahkannya. Headquarters tiap hari membawa puluhan yang terbaik (sekaligus terbuang), jika kau berbuat fatal, mundur adalah jalan terbaik selain terpaksa dipulangkan.
Empat tahun bukan waktu yang mudah, dia bukan yang terbaik tapi memangkas apapun; semua bidang dalam keadaan totalnya walaupun tetap saja maniak terhadap gerusan Dunhill atau Malboro. Itu adalah yang nikotin paling diminati. Terlalu menikmati keadaan, merendahkan pekerjaan memang kemampuannya.
Dan kesalahan fatal bermula dari dirinya—
"Shut up. Aku harus fokus." Guanlin mengambil nafas begitu banyak. Matanya berkedip tidak teratur melihat diteleskop, ia menghamburkan nafas sebisanya begitu pembatas bening itu mempertemukannya punggung familiar, terlihat ruai walau memiliki bahu lebar dengan kemeja putih longgar kelihatan kurus sekali.
Teman hidupnya.
Rumahnya.
Rumah Lai Guanlin.
Seonho.
Yoo Seonho yang menenteng kotak sepotong kue keju dan sebelahnya terangkat untuk meminum coffee cream ditambah tiga gula kotak, Guanlin selalu ingat pesanan Seonho ketika pergi menuju kantor, pulang kadang-kadang membeli cupcake untuk dimakan sendiri dan Guanlin akan membawanya dalam ciuman untuk mengetahui rasa cupcake yang dibawa pacarnya.
"Sial." Guanlin mendecih, mengunyah bibir bawahnya penuh perasaan saat Seonho berjalan dengan riang, sesekali menyapa koleganya saat berpapasan dipenyebrangan jalan. Masih saja, masih saja secerah itu.
Semuanya berwarna hitam-putih, entah pakaian atau jalan, bercampur mengaburi seluruh fokusnya juga meminta untuk cepat diwarnai dan hanya merah yang dapat dicoret Guanlin saat ini; jika dirinya bukan anak baik.
Guanlin terkesiap. Sedikit mundur mendadak saat Seonho berbalik, mengambil bahu temannya yang mempunyai mata berkilau. Mereka berdua terlihat akrab, berbincang tentang topik tak terdengar dan bersinar dengan tawa yang saling bersahutan. Apakah harus dirinya mengambil kesenangan Seonho dengan sahabatnya?
Ujung jemarinya bergetar tidak mampu untuk menarik pelatuk. Ia berkedip cepat stagnan mencoba mengenyahkan pandangannya, seolah delusi semata tapi, tidak. Tidak saja seperti itu. Bagaimana bisa seorang yang terlalu biasa, Seonho, Yoo Seonho yang manis, aneh, yang memiliki separo hatinya masih bisa tertawa menyenangkan saat ujung telunjuk Guanlin memegang nyawanya.
Suara Jinyoung datang mengingatkan, terlihat mendikte kejam untuk Guanlin segera melakukannya, "Tiga detik."
–jangan
"Dua."
–tolong hentikan
"Satu."
–aku benci hitung mundur
"Menyedihkan." orang yang disampingnya mendesis tidak setuju, hampir menendang Guanlin jika kemampuan pengendalian dirinya tidak kuat, "Kau meloloskannya lagi."
Lagi. Jeno sengaja menekannya disana dan itu berupa sindiran nyata untuk Guanlin. Sudah berapa kali ia melewatkan kesempatan. Berapa kali Seonho selamat. Berapa kali Guanlin harus mengulang kegiatan ini.
Tembakan Guanlin yang pertama meleset beberapa mili karena Seonho cemberut, membuatnya tidak tega. Hingga Guanlin sengaja membelokkan pelurunya disaat-saat mengejutkan dan melukai pelipis Seonho segaris tajam; yang membuatnya harus memakai plester luka anak ayam kekanakan, Guanlin jadi semakin tidak tega. Penasaran. Seperti apakah perangai Yoo Seonho?
Curiosity kills the cat. Guanlin secepat itu jatuh dalam dimensi? Planet? Lubang hitam? Tidak berujung dimana. Terjebak dalam loop atau mungkin limbo memusingkan, memintanya untuk terus tersesat kehilangan akan adanya jalan keluar.
Dan begitu juga cerita untuk tembakan kedua, ketiga, keempat, hingga sekarang.
Semuanya meleset atau tidak sama sekali, sampai sekarang.
"Aku lupa memakai peredam suara." sahut Guanlin berat. Ia melepas penuh kewaspadaan sniper riffle dari bipod, mengeluarkan isinya cekatan sebelum menyusunnya dengan baik sesuai pola dalam tas raksasa hijau lumut dengan logo sayap pudar angkuh kemudian menarik ritsleting tangkas, "Aku hanya ingin meminimalkan kecurigaan sebanyak mungkin."
"Terserah." Jeno mengangkat bahunya sekilas, sudah bosan sepenuhnya atas perkataan yang terus terulang dari patner lapangannya, "Kuharap kau melakukannya sebelum orang lain menggantikanmu."
Sebuah peringatan. Kartu kuning menyebalkan.
"Lain waktu. Aku akan melakukannya lain waktu." Guanlin berucap dan keyakinannya goyah, punah tidak menentu untuk mendengarkan apa yang dikatakan Ketua nanti. Pemain pengganti dan dirinya dikeluarkan dari lapangan. Deduksi tentang Guanlin dikeluarkan dan mungkin ada orang lain menggantinya.
Guanlin memasang topinya erat, memakai maskernya cepatlalu menyelipkan ransel isi sniper riffle berharganya dibahu dengan malas. Memikirkan kalau dirinya harus lewat tangga darurat sepanjang tujuh lantai, menghindari tatapan mencurigakan orang sekitar dan mungkin saja petugas keamanan akan mengejarnya untuk memeriksa tas. Ah~ menyebalkan sekali.
"Tidak ada lain waktu lagi! Ya! Ya!"
Jeno berteriak saat Guanlin berbalik, sudah berjalan menjauh menuju pintu. Membuka kenop dengan perlahan, matanya cekatan menyapu awas seluruh keadaan koridor sebelum berjalan percaya diri mengantongi tangannya disaku jaket.
Mungkin aku akan mengeksekusinya lain waktu. Yeah. Lain waktu.
Karena, lain waktu bisa menambah kebahagiaan lain dalam diri Guanlin.
(dan kebenaran yang disimpannya selalu salah.)
(Please stop me, please guide me, please let me breathe)
Pekerjaannya jahat.
Guanlin pikir menjalani kegiatan rutin tanpa berhenti, bunuh, pergi, cari, rahasia, bunuh lagi. Semuanya berputar disana, terus-terusan mengulang tanpa batas.
Tapi, dalam beberapa kesempatan Guanlin ingin hidup normal, jatuh cinta, melakukan pekerjaan mati-matian untuk membayar rumah sewa, tidak memiliki resiko tinggi dalam kehilangan nyawa. Bertemu seorang Yoo Seonho adalah pemutar balik, seharusnya Guanlin tidak menggoyahkan hatinya untuk menerima anak ayam lucu yang clingy.
"Apa kau kelelahan? Guanlin?" Seonho memegang ujung lengan mantel pacarnya, menarik dengan kecil minta atensi lebih banyak. Guanlin terlihat tidak fokus dengan jalannya dan Seonho khawatir kalau pacarnya itu sedang tidak merasa sehat atau dalam keadaan hati buruk.
Guanlin menggeleng, "Tidak." menepuk-nepuk kepala Seonho lalu menarik bahunya hingga saling lebih berdekatan, tubuh saling bersentuhan disela mantel tebal dan nafas dengan asap mengepul terlihat, "Aku tidak kelelahan atau apapun yang berada dipikiranmu, Seonho-ya."
"Kau baru saja melakukan perjalanan luar kota dan baru pulang sore tadi. Seharusnya istirahat saja, tidak perlu jajan malam begini." Seonho cemberut dalam. Diingat-ingat tadi Guanlin baru datang tepat jam enam sore dari luar kota selama seminggu sekarang menjelang delapan malam mereka malah jalan disalah satu perbelanjaan ramai dengan orang-orang yang sibuk bersenang-senang.
"Kita sudah lama tidak jalan-jalan santai seperti ini." Guanlin mengambil satu kecupan pasti disisi dahi Seonho, hanya sebentar kemudian menempelkan ujung hidungnya dipipi Seonho, menggesekkannya lamat-lamat begitu menikmati aroma kudapan manis yang menguar tanpa sebab dari Seonho, "Aku hanya merindukanmu."
Seonho langsung memberi sikutan super keras dipinggang Guanlin. Berguman dengan wajah memaling asal bukan memandang pria disampingnya, "Jangan merayuku, tolong, aku lemah sekali dengan rayuanmu."
Guanlin hanya meringis sebentar lalu menarik Seonho dengan semangat begitu melihat kedai pinggir jalan yang terlihat ramai. Duduk tanpa basa-basi disalah satu meja kosong saling berseberangan. Memesan sepiring bossam, trio kudapan warung gimtteoksun (gimbab, tteobbokki dan sundae) dan jangan lupakan beberapa daging panggang yang masih dibakar mendesis diatas kompor. Dua botol hijau soju dengan cangkir kecil yang sudah tertuang penuh.
Begitu makanan datang, Seonho sudah berbinar dengan tangan tergerak mengambil sumpit kayu dan memisahnya menjadi dua bagian sebelum mengambil bossam dan mencelupkannya ke saus yang tersedia lalu menyuapnya, gimbab berikutnya masuk dalam mulut. Seonho meniup-niup tteobbokki yang masih panas dengan saus oranye pedas kemudian, bergumam keenakan ketika mengunyah kudapan tersebut.
"Seonho. Aku mengerti kau lapar tapi, tidak perlu belepotan gitu juga." Guanlin terkekeh senang melihat cara makan Seonho yang lumayan barbar, disudut-sudut bibirnya ada noda saus tertinggal minta usap tapi Seonho masih tidak peduli, hanya makan, minum, kemudian makan lagi.
Seonho mendongak dan memberikan wajahnya pada Guanlin. Ada senyum jahil tertarik dengan sarat perintah mutlak, "Beresihin!"
"Tidak mau." Guanlin menggeleng dengan kikikan tertahan, malah mengambil satu fullshoot soju dengan tandas dan menghamburkan nafas lega. Tangan kanannya menaruh daging menyumpit cacahan bawang putih diatas daun sayur langsung memasukkan ke mulut penuh sukacita.
"Guanlin hyeong~" mata Seonho malah semakin menyipit dan ucapan manja menjadi andalannya, Guanlin tidak bergerak, Seonho menggoyangkan kepalanya dengan lucu kekanan maupun kekiri, bibir mencibir, "Gege~"
"Jelek." Guanlin tertawa lebar saat mengucapkannya, kali ini terdengar sangat maskulin membuat ringsek jantung siapa saja yang mendengarnya. Ia mengambil tisu yang tersedia dan memegangi dagu Seonho agar tidak hiper kemana-mana, mengusap sekali selesai sembari berucap mendebarkan, "Tapi, aku suka. Aku cinta."
Seonho tertawa kecil, "Aku juga cinta denganmu, Lai Guanlin." sebelum maju menaruh satu kecupan super singkat di bibir Guanlin dan mundur dengan tersenyum hingga gigi-gigi bagusnya terlihat, matanya mengatup hanya ada bulu mata yang jatuh dengan lembut ditulang pipi merah terlalu banyak minum soju.
Bagaimana Seonho terlihat sangat lembut hanya dengan balutan mantel biru gelap dan hoodie putih kepemilikan Guanlin?
Bagaimana Seonho terlihat sangat mudah membuat semua orang jatuh terseok dengan ucapan manja dan kelakuan menggemaskannya?
Bagaimana Seonho terlihat lancar sekali melakukan hal-hal yang membuat Guanlin mengais perhatiannya maupun kehadirannya?
Bagaimana?
Bagaimana bisa…
…Lai Guanlin jatuh cinta.
Yakin tidak bisa melepas.
Dari seorang Yoo Seonho.
Adore you, love you, but—
Instruksi terakhir dari Ketua datang beberapa hari lalu, hanya eksekusi untuk beberapa tikus kota yang menghalangi bisnis-bisnis terselubung; bisa dilakukan dalam sehari. Dan sisanya tentang betapa kecewanya saat Guanlin tidak bisa memberikan kematian terhadap Seonho.
Ia tidak bisa mengerti kenapa Ketua begitu ngebet untuk K-Dua, kode terstruktur untuk Seonho, hilang sepenuhnya dari pernah melewatkan dua-tiga kali sasarannya dan itu oke. The boss seems too far away to care. But, Seonho is different case, why?
Guanlin tidak ingin bertanya lebih banyak tentang hal itu kepada Ketua, apalagi informan mereka yang selalu terlihat memberengut setiap saat. Kemampuan Guanlin dalam mengais informasi terlalu dangkal, dibawah standar jadi, dirinya hanya diam dan memperhatikan Seonho lebih teliti.
—bitch, Guanlin bahkan tidak tahu dimana kejahatan yang bisa dibuat oleh matahari sebenderang Seonho.
"Babe? Lin? Bangun, hei, Lai!"
Guanlin merasakan tepukan dikepalanya, pelan, pelan kemudian keras sekali. Membuat dirinya yang sibuk dalam antara mimpi atau kesadaran, mendumel tidak senang dan tangannya mengerat dipinggang Seonho, masih sibuk bergelung dengan perut empuk pacarnya. Berucap dengan suara bangun tidur yang kering serak, "Apa sayang?"
"Ponselmu." ujar Seonho enteng, tangan kirinya menarik ujung-ujung rambut Guanlin sedikit kuat lalu menyisirnya halus kembali.
"Mungkin itu ponselmu."
Seonho mendengus kemudian meniup poni miliknya sendiri sebal, "Aku tidak punya iPhone jet black dengan case Iron Man. Dan apa-apaan dengan ringtone kematian begitu?"
Ringtone kematian? Shit. Shit. Shit. Guanlin membuka matanya terlampau cepat, duduk dengan sigap sebelum beranjak mencabut ponselnya yang dicharger, berkedip banyak melihat nama yang disana. Sebuah kutukan baru saja turun, menghambur seluruh akal sehat.
Seonho hanya mengendikkan bahunya melihat kelakuan Guanlin yang terlihat tidak nyaman; tegang tepatnya. Mungkin sedang dimarahi atasan atau apa. Ia kembali menuju browser diponselnya, sekedar membaca berita tentang pemilihan Presiden terbaru. Membiarkan Guanlin berdiri dengan kaku disana.
Sebuah bunyi lembut klik dapat didengar dan metal dingin yang menyentuh ujung pelipis hangatnya. Seonho mendongak kemudian terkesiap mendadak, ponselnya jatuh sebelum mundur terburu-buru terkantuk dinding.
Lai Guanlin.
Lai Guanlin sedang mengarahkan pistol kearahnya.
"Shush, Seonho. Dengarkan aku. Seonho. Lihat dan dengarkan aku." Guanlin berucap luar biasa tenang, nada pengucapan stagnan dan ekspresi santai saat Seonho panik, badan bergetar mendekap tubuh dengan kedua lengan juga mata yang terus menatap pistol dijemari-jemari tegap Guanlin.
Seonho tersengal entah kenapa, mencoba mengambil beberapa kata, "Gu— Guanlin. Apa yang kau lakukan? Apa itu pistol?"
Guanlin mengangguk, ia membasahi bibirnya yang kering, "Katakan yang kau tahu tentangku. Apapun."
Seonho membuka bibirnya dengan getaran parah takut-takut, "Lai Guanlin. Dua puluh tiga tahun. Lahir dua puluh tiga September di Taiwan. Bekerja sebagai driver. Keluargamu hilang, tidak ada dimana-mana. Lai Guanlin, sayangku, cintaku, my Puddin."
"Semuanya." desak Guanlin, tidak terima dengan penjelasan singkat Seonho.
"Hanya itu. Hanya itu yang aku ketahui darimu, Guan."
—dan Guanlin tahu kalau Seonho tidak pernah berdusta walaupun sedikit, karena Seonho adalah implikasi nyata dari anak-anak umur dibawah sepuluh; takut berbohong, suka jajanan dan hiper.
Guanlin menurunkan pistolnya kemudian mengarahkannya ke tas disamping lemari pakaian, "Good. Di dalam tas sana ada bajumu dan uang, jumlahnya cukup banyak untuk pergi jauh dari sini, menghilanglah, tinggalkan aku sendiri, Seonho. Kau harus meninggalkanku."
(Guanlin sudah meyakini hal menakutkan ini terjadi, antisipasi lebih baik dilakukan sebelum-sebelumnya.)
Seonho beranjak dari tempat tidur tidak terima, hampir tersandung ceroboh oleh kakinya sendiri, "A—apa? Kenapa? Kapan kau melakukan ini? Aku tidak bisa! Aku tidak bisa meninggalkanmu, Guanlin. Jangan buat aku semakin bingung!"
"Lupakan aku, Seonho. Anggap aku hilang, pergi, mati, apapun itu."
Bahkan bibir Guanlin bergetar, sedikit lagi tidak mampu mengucapkannya. Damnit, sekali ini saja, sekali ini saja aku akan melepas ikatannya, "Lupakan aku, Yoo Seonho."
"Guanlin, sebenarnya apa yang terjadi? Ini tidak masuk akal, bagaimana bisa? Katakan padaku, katakan padaku, apa yang terjadi? Apa kau dalam bahaya? Kau sedang dikejar seseorang? Katakan padaku, Lai Guanlin!" Seonho maju selangkah dan Guanlin mundur dua langkah, menghindari jemari bagus pacarnya yang ingin menggapai bahunya atau lengannya.
Apapun. Apapun. Lakukan apa saja. Bukan dengan mata redup itu, bukan dengan bibir yang digigit itu, bukan dengan tangan yang ragu-ragu menggapaiku. Lawan aku dengan sergahan hebatmu, sikutan menyebalkanmu. Apapun itu. Apapun, Seonho.
Guanlin menggeleng, "Cukup lakukan apa yang kukatakan. Maka kau akan baik-baik saja."
Seonho menurunkan tangannya, buku-buku tangannya memutih terlalu erat disamping pahanya, untuk menahan apapun yang dilindunginya. Tangis juga tidak akan berguna disaat-saat seperti ini. Ia bersitatap dengan Guanlin dan Seonho ingin menggeram ketika yang di dapat hanyalah pengkhianatan.
Kata-kata itu bahkan keluar tanpa ragu dan begitu lancar, "Apa kau akan menembakku?"
—tentu. Itu tugasku tapi—
"Pergi, Yoo." sebelum aku menembakmu.
Pikiran Seonho terus meraum, menggertak terus protes tidak terima. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Dan Seonho hanya memanggil namanya, meminta untuk mengerti,"Guanlin."
Guanlin mengambil hoodie kelabunya dilemari dengan mantel, memasangkan ditubuh Seonho, merapikan poninya yang saling tumpang tindih sebelum tersenyum, mengetuk dahi Seonho dengan dua jarinya pelan, "Pergilah, sweetheart."
Sialan. Kenapa panggilan manis Guanlin membuat emosi Seonho merebak kemana-mana? Ia memalingkan wajahnya, mencegah basah-basah yang akan mengotori matanya hingga merah, "Aku tidak akan melupakanmu. Aku tidak akan melepaskanmu jika kita bertemu lagi. Tidak akan."
"Jika— sebuah ungkapan dari keinginan. Jangan bertahan dengan hal yang tidak dapat kau yakini, Seonho. Kau tahu kalau itu hanya menyakitimu."
Seonho tidak menanggapinya, hanya punggung ruai yang semakin jauh, jauh dan jauh. Terlihat kecil, mudah bobrok walau lingkar bahu mereka hampir sama. Dulu Seonho suka kemana-mana dan Guanlin dengan perlahan menangkarnya. Tapi Guanlin tetap tahu sebelum-sebelumnya, semudah menggerakkan sayap—Seonho adalah definisi terselubung dari kebebasan.
Lupakan aku, Yoo Seonho.
Lupakan aku, Yoo Seonho.
Lupakan aku, Yoo Seonho.
Ini buruk. Benar-benar buruk.
Seonho lupa menoleh saat itu, lupa mengambil genggaman sebentar untuk sekedar mengingat pola telapak tangan Guanlin, untuk sekedar mengingat sela tangan mereka bersatu manis. Seonho lupa meminta ciuman selamat malam (sekaligus selamat tinggal). Karena pada dasarnya sama, Yoo Seonho melupakan semuanya untuk mengingat Lai Guanlin. Selama dia melupakan itu maka semakin banyak juga Seonho mengais memorinya.
Sudah dibilang kalau Guanlin tidak akan membiarkan Seonho dipetik oleh siapapun. Ia terus berada dibelakang tepat diantara keramaian, melihat Seonho naik bus tengah malam yang menutup mata, menangis kemudian pergi jauh.
Guanlin berbalik, kembali ke apartemen mereka. Tanpa basa-basi membuka beberapa laci, mendecih frustrasi ketika tidak menemukannya, "Sial! Dimana benda itu. Dimana."
Ketika ia membuka lemari kaca kamar mandi, disana, kotak dengan merk tertentu. Kemasan itu terlipat dibagian sudut-sudutnya membentuk lipatan putih jelek, terlihat diletakkan asal-asalan tapi tetap pada tempatnya. Guanlin mengecat rambutnya serampangan, membasuhnya tergesa dan mengeringkan sangat cekatan. Rambutnya berubah dari hitam gelap menjadi secokelat kukis renyah, sekembaran dengan Seonho.
Itu sudah cukup. Cukup. Benar-benar cukup.
Mengambil selembar kaos krim milik Seonho dan memasangnya kilat. Seonho selalu mempunyai tubuh seharum kue buatan rumah, pekat sekali. Detergen mereka sama tapi pakaian mereka berbeda harum yang menukik tajam, seperti persimpangan dua arah. Perbedaan yang gila. Guanlin suka hal itu karena pas Seonho memakai pakaian miliknya, seorang Yoo berada digenggaman Lai.
Guanlin membuka pintu teras, berjalan tanpa terganggu menerima angin musim gugur sembari mengambil bluetooh earphone disaku jins hitamnya. Menunggu beberapa bunyi tunggu sebelum terdengar klik tersambung.
"Pan?" seseorang bertanya, terdengar terkejut dan ada derak-derak benda jatuh (mungkin tersenggol) juga suara terengah dari sisi lain kemudian hening.
"Hyeong, K-Dua, red."
Tidak ada yang lebih keji dari Guanlin ketika dia menghormati seseorang. Dia selalu bersikap menyebalkan, tidak punya kesopanan terdidik. Dan Lai Guanlin tidak pernah merasa sepayah ini, sesakit ini, segoyah ini. Nada bicaranya bahkan yang tenang berubah penuh dengan kejatuhan.
Lai Guanlin yang tangguh, terbaik dalam segala hal harus terseok menyeret emosinya, hatinya yang sudah dibawa Seonho jauh.
"Pan, tetap berada dalam sambungan."
"Jinyoung hyeong, K-Dua mengacaukanku. Aku– mungkin, kali ini saja."
Guanlin tidak mendengar apapun, frustrasinya suara diseberang sambungan dan dirinya maju. Langkah-langkah pasti ketika tubuhnya mundur hingga tertarik menuju tanah dengan pesat. Hanya angin kebas cepat dan teriakan. Suara teriakan semakin menjauh, jauh dan menjauh.
"Lai Guanlin! Sial! Tanganku tidak dapat menggapaimu! Lai Guanlin!"
Lai Guanlin tenggelam saat itu, airnya dalam, pekat, menyeret apapun yang jatuh dan ia hanya membiarkan dirinya terus turun menuju dasar tanpa penerangan. Dingin. Dingin. Sakit. Kemudian, gelap.
Ketua
Pan, tugasmu untuk K-Dua sudah selesai. Terima kasih atas kerjasamanya.
23.45
Guanlin selalu dapat mengingat beberapa hal dengan baik. Ia bisa ingat detil-detil mengangumkan walau sekedar isi robekan kertas yang dipegang Jinyoung setengah bulan lalu. Memori fotografinya benar-benar memukulnya telak untuk terus mengingat. Seonho menyebutnya aneh karena Guanlin bahkan ingat tepat jam berapa pertemuan pertama mereka terjadi, goresan nakal diaspal atau detil lebih dalam seperti tali tas Seonho yang terlipat bahkan noda kuning mayo dikemejanya.
Itu aneh sekaligus luar biasa.
Seonho bahkan lupa jam berapa saat hujan deras itu, suhu turun gila-gilaan saat terjebak dalam halte sepi hampir tengah malam, menggigil dengan kemeja putih longgar terkena mayo pas makan roti lapis. Cerobohnya meninggalkan jaket sekaligus payung diatas meja makan. Yang dirinya pikirkan hanyalah kelalaian dalam tidak dapat memenuhi laporan bulanan, ketua divisinya yang menyumpahinya freak.
Suasana hati benar-benar buruk dan dingin adalah musuh alaminya.
Dan saat itu, ia berdiri, menerobos hujan bukan keputusan yang bagus, bisa dipastikan kena demam, flu dadakan atau paling parah pusing menyakitkan yang membuatnya harus tepar dua-tiga hari diatas tempat tidur. Itu bukan pilihan terbaik, sialan—
—mungkin itu bagus karena dirinya dengan tidak sengaja menabrak dinding semen, bukan bodoh, dada seseorang dan Seonho terjengkang tidak etis, jatuh dengan tangan terlebih dahulu sehingga tulang pergelangannya bergeser keseleo.
"Ah!"
Double sialan dengan tangan kurusnya.
"Maaf."
Seharusnya Seonho yang minta maaf atas tabrakan (yang bahkan tidak berpengaruh untuk orang dihadapannya). Tangan kanannya terus merengek sakit dan ia yakin kalau pergelangannya akan bengkak menyebalkan —itu seperti bekas gigitan nyamuk yang bertumpuk— kalau tidak dikasih kompresan es super dingin.
Tangan terulur dihadapannya, menawarkan pertolongan untuk Seonho bediri. Suara ringan dengan logat Chinese belum pudar sangat menyegarkan seperti angin musim semi, yang terbaik dari tiga lain, "Kau baik?"
"Aku baik, baik sekali. Tidak perlu minta maaf juga. Makasih atas dinding bajanya." desis Seonho sembari mengambil uluran tersebut dan yang pertama ditelaahnya adalah bagaimana permukaan kasar telapak tangan namja didepannya. Berapa banyak pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya?
Tarikannya bertenaga, mampu membuat Seonho oleng dan pusing mendadak akibat tarikan yang telalu cepat. Fuck. Apa-apaan dengan bahunya yang tinggi dan tegap? Seonho yakin, sepenuhnya, kalau ada otot hasil gym biasa dibalik mantel hitamnya.
Atau dengan wajah semenarik itu, poni tertata menawan tebelah disisi kanan, mata dengan gemerlap malam dengan kantung mata sebagai pelengkap, dan gusi, demi apa, yang timbul ketika ia tersenyum.
Hell.
Seonho mundur dadakan, ia bisa kalahkalau berdampingan dengan namja dihadapannya. Tinggi mereka relatif sama tapi, for God's sake, terlihat sekali perbedaan tubuh mereka yang jauh. Seonho minder astaga.
"Tanganmu." Guanlin berucap dengan rasa besalah, meringis begitu melihat tangan kanan Seonho tekulai sedikit bergeser dari posisi normalnya disamping tas sandang hitam Gucci jahitan terbaik betempelan dengan celana kain berbahan nyaman.
Oh iya, tangannya masih keseleo.
Seonho memegang pergelangannya, tidak sengaja menekannya sedikit keras sebelum mengaduh pelan, "Ini hanya sedikit memar, sisanya oke."
"Sini–"
Ini namja maunya apa sih! Suasana hati sedang buruk juga, direcoki orang tidak dikenal yang begitu keras kepala untuk masalah tangan keseleo (Seonho pernah ditumpahi satu porsi spagetti dan orang tersebut hanya minta maaf sebelum melengos hilang).
"Aku baik, damnit!" sergah Seonho cepat sebelum jemari Guanlin sampai kelengannya. Ia bisa melihat bagaimana jemari itu berhenti tiba-tiba, sedikit tersentak dan kembali dalam saku mantel.
"Bad day, huh?"
Pengendalian emosi yang bagus.
"Seperti itulah."
Hujan semakin deras, bau basah sekaligus percikan air yang semakin membesar. Bus masih sekitar sepuluh menit baru sampai terminal sini dan Seonho sudah tidak tahan dengan dingin-dingin jahat yang seenaknya berhembus.
"Jika kau meminta pertanggungjawaban, panggil aku." tangan Guanlin mengudara, membelah angin dingin musim penghujan ketika menyelipkan kertas bermateri ditelinganya juga jari tengah dan telunjuknya mendorong dahi Seonho pelan, "Aku menunggumu."
Hangat. Tangannya hangat.
Lai Guanlin pergi ketika Yoo Seonho terdiam.
Tidak ada yang namanya salam perpisahan, tidak ada yang namanya payung, tidak ada yang namanya mantel panas, hanya selipan ditelinganya yaitu selembar kertas kecil berujung tajam dengan nama dan nomer telepon juga ketukan di dahinya.
Hanya itu.
Sesak.
Sesak.
Seonho tersengal sesak, terduduk bangun dengan tangan bergemuruh kacau, matanya berkedip menyesuaikan sekaligus mengenyahkan pandangan kabur. Seonho tidak perlu mengusap ujung bulu matanya yang basah atau pipinya yang lembab, "Sial."
"Sialan kau, Lai. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku melupakanmu jika kau terus datang? Terus mengingatkan? Bangsat. Bangsat. Bangsat." Seonho terus bergumam, menyerapah jengkel.
Itu hari kesembilan puluh tujuh saat Seonho lelah menaiki setiap bus, berjalan dari terminal ke terminal satunya, resiko naik kereta lebih banyak terkespos. Bergerak, berpindah hanya bisa dilakukan dan Seonho cukup mengerti dengan todongan pistol Guanlin. Dia mempunyai pekerjaan berbahaya dan itu luar biasa menjengkelkan karena Seonho tidak tahu apapun.
Seonho berada dalam sebuah hotel murah, ia punya cukup banyak uang untuk membeli rumah fasilitas terbaik di daerah kaya berkuasa Gangnam Raya dan itu menakutkan. Uang sebanyak itu, Guanlin dapatkan, Guanlin simpan dan Seonho membawanya hanya dengan ransel raksasa tanpa perlindungan. Itu menakutkan.
"Seharusnya aku menyewa yang punya penghangat ruangan. Astaga, tiga kaos kaki tebal tidak mempan juga." Seonho memperbaiki selimutnya untuk menutupi kakinya yang kesemutan akibat tingginya tekanan udara.
Seonho itu mudah dingin, badannya kurus minta ampun kecuali tulang-tulang tebalnya. Bahkan untuk musim daun berjatuhan, Seonho harus memakai tiga lapis pakaian dengan mantel ganda dan memakai celana tipis (ia tidak ingin menyebutnya legging) dibalik jinsnya.
"Aku perlu selimut tambahan dan jangan sampai aku mati disini sebelum pergi ke Finlandia." dumel Seonho sembari berdiri, tubuhnya tersentak mendadak begitu angin menyentuh pipinya yang merah-merah sehabis menangis. Datang darimana angin ini?
Tangan kirinya menggosok lehernya dan menggigil begitu benda dijemari manis panjang menyentuh belakang lehernya. Menarik tangannya sebelum mengarahkannya keatas, menutupi cahaya benderang lampu. Cincin Guanlin, sepolos perak, abstraksi lilitan hitam yang mengelilinginya.
"Kau memakai cincinku lagi, Seonho. Sebegitu inginnya kah dilamar, huh?"
Seonho mundur tergesa, jatuh terhentak hingga terduduk akibat tersandung kakinya sendiri, "Oh, sial."
"Seonho! Sudah kubilang berhenti memesan pizza yang aneh-aneh. Eksperimenmu sudah cukup— Seon! Hei, Seonho! Kau mendengarkanku, tidak! Heol."
"Tidak."
"Seonho, jangan meninggalkanku! Ya! Jangan berlari!"
"Hentikan."
"Ini stroberi lapis cokelat terbaik di Hongdae dan aku berhasil mendapatkannya. Tolong habiskan dengan baik ya, sweetheart."
"Lai Guanlin!" Seonho berteriak, menyentak rambutnya marah hingga beberapa helai cokelat jatuh lembut dilantai. Guanlin memang selalu menyerbu seluruh bagian pikirannya, memangkas titik penting dalam kehidupan Seonho dan sekarang Guanlin hilang, Guanlin pergi, Guanlin mati. Nafas Seonho mulai terburu-buru,
"Kumohon berhenti, diamlah, kumohon."
Jatuh cinta bukan sesuatu yang sulit, mudah sekali. Cukup dengan perlakuan sederhana, pertanyaan simpel, ucapan pembuka atau ajakan makan. Seonho merasa itu lebih susah dari apapun. Guanlin adalah konklusi yang tidak bisa disimpulkan, kadang mudah dibaca, kadang terlalu buram.
—Lai Guanlin, aku ingin pergi bersamamu.
Jika Seonho ingin pulang, ia bisa dengan wajah polosnya datang membuka apartemen mereka di Seoul mengucapkan 'aku kembali' dengan senyum lebar. Tidak. Guanlin bisa menembaknya mati atau Seonho yang selamat. Ini masalah opsi nyawa.
Pulang ke rumah yang terbaik memang, tidak juga, ibu bisa tersenyum lebar melihat kepulangan anaknya dan ayah yang terus bertanya tentang pacarnya yang selalu Seonho katakan menawan. Dan ujungnya Seonho akan mengatakan kalau dia berhenti bekerja dan pacarnya menodong senjata berapi padanya. No, still no.
(Jangan tanya. Seonho tidak bisa berbohong.)
"Shit. Shit. Shit. Shit." Seonho menyumpah begitu banyak, menengok dengan sudut matanya. Ada seseorang sedang mengikutinya, mengambil tepat sepuluh langkah dibelakangnya. Seonho tidak akan serentan ini mengambil kesimpulan jikalau orang itu tidak melakukan jalan yang sama dengannya dari kesibukan kota tadi sampai kesini.
Jalanan ini temaram. Tidak ada toko, mobil lewat hanya lampu jalan menggantung terang karena hari sudah menginjak angka sebelas malam dan sekarang dirinya berada dijembatan sungai. Benar-benar keberuntungan yang buruk.
Seonho berhenti begitu pikirannya mulai memberikan ide-ide gila dan tapak jejak dibelakangnya ikut berhenti. Itu lebih dari cukup untuk memulai aksi gilanya. Seonho meniup ujung poninya, kakinya langsung melangkah melompati pembatas jembatan. Angin dingin segar ikut menyesakkan pernafasannya, "Ibu, ayah, Guanlin."
Kemungkinan terbaiknya dia akan selamat dengan hipotermia atau mati mengambang. Terserah. Yang penting dirinya harus menjauh dari orang yang mengikutinya. Seonho menyelam lebih dalam, bertahan beberapa saat dan memandang keatas. Seseorang yang mengikutinya masih disana, mencari keberadaan Seonho.
'Sial. Aku tidak akan bertahan lama.' kerongkongan Seonho meminta udara dan orang yang mengikutinya belum pergi.
Dibelakang kelopak mata Seonho sudah dapat melihat percikan bintang, menghitam.
Mati.
Mati.
Mati.
Tidak ada udara.
Mati.
Seonho merasa seseorang menarik segalanya, hempasan menakutnya berjalan dikulitnya hingga Seonho merasakan remang-remang hebat. Badannya basah dengan pakaian melengket tidak nyaman tapi, nafasnya tidak dapat diambil, paru-parunya mengkerut minta oksigen. Seonho kritis.
Semuanya terjadi begitu cepat. Ketika bibirnya menghangat, ketika nafas masuk kedalam mulutnya, ketika dadanya ditekan statis, ketika kesadaran datang menghantam kilat. Seonho terduduk dan memuntahkan air, terbatuk begitu tenggorokannya tercekat panas.
"Tenanglah." lelaki itu membawa Seonho untuk bersender dilehernya, berbisik menenangkan hingga kantuk menyergap tanpa main-main, "Perlahan, tarik perlahan dan keluarkan setelahnya. Good. Apa kau sanggup untuk berdiri?"
Seonho menggeleng dan mencoba untuk tidak larut, hangat rangkulan dibahunya membuat Seonho ingin cepat tidur, menggulung dibawah selimut tebal dan memakai kaos kaki ganda. Pikiran yang menyenangkan tapi, siapa yang merangkulnya? Siapa yang menolongnya?
"Siapa?" Seonho bersuara, kecil sedikit serak akibat tenggorokan yang gatal. Matanya mengerjap sedikit pelan hingga mendapati kemeja dengan klip LV dikerahnya. Memaksakan kepalanya untuk mendongak, Seonho hanya mendapati halusnya garis-garis kontur wajah, mata yang khawatir. Siapa?
"Minhyun. Namaku Minhyun. Aku hampir kehilangan nyawamu beberapa saat yang lalu tapi, sekarang kau baik. Kau baik-baik saja, hipotermia akan menyerangmu jika tidak cepat ditangani. Aku ingin kau kuat untukku, oke?"
Seonho lagi-lagi mengangguk. Dirinya hanya mengerang tidak setuju begitu Minhyun menarik tubuhnya untuk berdiri, limbung terlalu singkat akibat kakinya yang bergetar sehingga Minhyun harus menggendongnya.
Hangat. Hangat sekali . Seperti rumah. Ibu, ayah, Guanlin aku pulang.
"Kau harus kuat. Jangan biarkan dia menang. Tetaplah sadar untukku, untuk siapapun, untuk orang-orang yang menunggumu." Minhyun berbisik, terus memberikan sugesti dan Seonho benar-benar mengantuk. Badannya merengek kelehan, lemas dingin sebelum suara Minhyun mulai memburam.
Hilang.
Gelap.
I'm not ready for this, please, tell me— tell me the truh—
Seonho tersentak drastis, matanya langsung sigap menelaah sekitar ketika berada dalam ruangan berwarna kuning pucat. Terduduk lekas hingga selimut meluruh ke pinggang, hanya ada perasaan asing menakutkan. Ada seseorang duduk disamping tempat tidur, sibuk menyentuh iPad disela-sela jemarinya yang panjang dan terawat ikut-ikutan terkesiap mencoba menahan rasa terkejut.
"Kau baik-baik saja? Apa kau merasa dingin? Panas? Haus? Lapar?" pria menawan itu langsung memberikan rentetan pertanyaan yang banyak dan meletakkan iPad dengan cekatan diatas tempat tidur dekat bagian kaki Seonho. Ia langsung mengambil stetoskop dilaci nakas sekaligus senter kecil, "Biar aku memeriksamu sebentar."
Seonho mengangguk lemah, tidak mampu bergerak banyak selain kembali berbaring.
Minhyun melakukan pengecekan standar, sesekali bergumam, "Oke, ukuran pupil matamu baik. Tidak ada perubahan warna lidah, hanya sedikit pucat. Jantungmu berdetak stabil, ada delapan puluh BPM. Bisa tarik nafas, oke, hembuskan. Pernafasan normal, paru-parumu dalam keadaan sangat baik." kembali meletakkan peralatannya pada laci sebelum memegang pergelangan tangan Seonho menekannya lembut, "Nadimu berdenyut normal sekitar delapan puluh lima kali per menit."
Seonho membuka mulutnya yang kering tidak nyaman, suaranya mentah tidak dapat keluar dengan jelas dan lambat, "Aku… dimana? Ini… dimana?"
"Busan. Kita berada di Busan, Buk-gu, Deokcheonil-dong." ia menyebutkan secara rinc tempat mereka dan menjelaskan keadaan pertama kali menemukan Seonho, "Kau meringkuk kedinginan, sendirian dan sekarat. Keadaanmu buruk, hipotermia cepat sekali menyerangmu yang kuperkirakan hanya setengah atau sejam pingsan. Kupikir ada masalah dengan sistem regulasimu."
Mungkin. Mungkin seharusnya Seonho mengambil beberapa penerbangan luar negeri. Mungkin juga ketempat kelahiran pasangan sehidup-sematinya, tempat Lai Guanlin pernah mengabdikan diri sebelum pergi menuju Seoul, Kota Khusus. Cukup riskan. Ketika Seonho bahkan tidak mampu memalsukan satu dokumen apapun untuk menghindari kejaran jadi, opsi terbaiknya hanya bergerak. Mengelilingi Korea Selatansampai lelah, sampai ditemukan siapapun yang peduli padanya.
"Kau tidak sadarkan diri selama satu minggu penuh dengan demam tinggi. Aku tidak membawamu ke rumah sakit; sengaja, maaf tapi, aku melihat puluhan juta won di dalam tasmu dan beberapa kartu debit. Jadi, kupikir kau sedang berada dalam keadaan kurang baik."
Sebenarnya Minhyun merasa bersalah atas kelakuannya. Saat memberikan pertolongan pertama dan menemukan tas ransel besar. Membukanya untuk sekedar mengeringkan isi tas dan mendapati tumpukan baju tepat diatas uang berhambur banyak dan ada belasan kartu debit entah berapa isinya.
Seonho mengangguk statis, bergumam sangat pelan, "Terima kasih."
"Perkenalkan, namaku Hwang Minhyun. Dua puluh sembilan tahun. Pekerjaanku dokter salah satu rumah sakit disini. Jadi, bisa ceritakan sedikit tentangmu?" Minhyun berucap pengertian dan lembut, begitu manis terdengar, ia hanya mengusap bahu Seonho halus sekaligus tersenyum tipis menenangkan, "Tidak perlu tergesa. Kau bisa mengatakannya nanti."
Seonho mulai tidak paham. Untuk apa melakukan interaksi dengan orang yang tidak dikenal? Tapi, ia lelah terus berlari, menangis setiap malam di kesendirian yang mencekam, merasa was-was setiap saat ketika semuanya sangat asing disekitar. Untuk kali ini saja, Seonho menyerah dan membiarkan dirinya mengikuti isi hati.
"Namaku Yoo Seonho. Dua puluh dua tahun. Lahir dua puluh tujuh Februari." Seonho duduk dengan bantuan telapak tangannya kemudian sedikit menunduk setelah memperkenalkan diri, "Aku—"
Siapa diriku?
Katakan apa yang kau ketahui tentang diriku.
Semuanya.
Katakan padaku, Seonho.
Suara Guanlin langsung bergelimangan dikepalanya membuat nafas Seonho tidak teratur, pendek-pendek dengan gigi bergemeletuk seolah kedinginan padahal penghangat ruangan berada ditingkat lumayan tinggi. Seonho meringis kesakitan begitu dadanya terasa sesak hingga menimbulkan erangan tercekat parah.
"Tenanglah." Minhyun dengan lugas mengusap punggung pemuda yang lebih muda darinya itu, berucap mendayu-dayu dan membujuk, "Kau aman disini, tidak ada yang mengganggumu, mengejarmu ataupun mengambilmu. Dia, siapapun yang mengejarmu tidak akan datang, aku akan—"
Guanlin.
Siapa… Guanlin?
Apakah dia yang mengejarku? Tidak… Ya?
Bibir Seonho bergetar kuat setelah akhirnya bisa menemukan suaranya sendiri. Mengatakan secara spontan ingatannya tentang Guanlin, menyebutkan tanpa aba-aba, "Lai Guanlin. Dua puluh tiga tahun. Kelahiran dua puluh tiga September dari Taiwan. Dia sayangku, cintaku, my Puddin."
"Aku ingin pulang." ujar Seonho berikutnya dengan mata merah sudah basah dan meluruh sampai dagu, mengulang-ulang ucapannya berdeguk parah, "Aku ingin pulang— pulang— aku ingin— Guanlin— bersama—"
Yoo Seonho jatuh merengek dalam tangisannya, keras dan jatuh begitu fatal. Memori kebersamaan mereka langsung menyerbak disekeliling kepalanya. Tawa melengking Guanlin saat menonton acara variety show lucu penuh black komedi, antusiasme mereka yang menunggu delivery makanan cepat saji maupun dada hangat Guanlin saat menyentuh punggungnya waktu tidur.
(Minhyun hanya memberikan pelukan dan tepukan keibuan, tidak bisa mengucap maupun melakukan konsolidasi. Menunggu. Terus menunggu sampai Seonho puas dan berhenti. Sampai Seonho lelah terlalu banyak mengeluarkan emosi.)
Seonho baru bisa tenang setengah jam kemudian karena perutnya mulai mengeluarkan suara-suara pemanggil makanan. Mengusap mata dengan kepalan tangan sekaligus sesegukan lucu berucap, "Aku— i— ingin ma— kan a— a— ayam ma— nis."
"Kau menggemaskan sekali." Minhyun terkikik dan mengusap kepala adiknya itu acak-acakan, "Aku akan menelpon delivery sebentar dan membuat teh hangat. Remot teve ada di dekat bantal jika ingin menonton."
Ia berdiri sembari mengambil iPad dan berjalan keluar kamar, membiarkan pintu terbuka agar Seonho lebih merasa bebas dan tidak terkekang. Bisa keluar jika ingin lebih banyak mengetahui tentang rumahnya.
Seonho hanya berguman tanpa kejelasan, meraba-raba asal dibawah bantal dan menemukan remot. Menekan tombol power merah kenyal kearah televisi yang menempel dengan kaca dinding tipis diseberang tempat tidur. Seonho sempat terpukau beberapa saat, meyakini kalau Minhyun adalah dokter sukses, konklusinya ditunjang oleh barang-barang disekitarnya nampak berkelas.
Seorang pembawa berita wanita dan cuplikan gambar gedung familiar langsung membuat Seonho terfokus untuk mendengarkan, menelaah satu persatu tuturan yang terdengar layaknya dikte tajam menusuk jantung sekejap.
Terjadi kebakaran besar apartemen didaerah padat kota Seoul. Kebakaran hebat terjadi sekitar pukul lima sore tadi akibat arus pendek listrik pada lantai enam di kawasan Apartemen xxx Jalan xxx Blok xxx. Kebakaran tersebut melahap habis gedung. Sedangkan, korban jiwa masih dalam—
Suara apapun tidak terdengar selain telinga Seonho berdengung tidak berhenti, terus-menerus meninggi volume dengungan tersebut hingga kepalanya ikut berputar keras. Itu tempat tinggalnya. Bersama Guanlin. Kenangan terisi disana. Saat itulah Seonho sadar. Tidak ada adanya tempat kembali. Tidak ada rumah untuk pulang.
Dia hilang—
pergi—
mati—
Aku lupa,
aku akan melupakannya, melupakan Guanlin.
[ .bersambung. ]
lagi testing nulis nih dua byeoangri unyu :* sebenernya mau nulis fluffy fluffy kiyoood eh malah kebablasan nulis genre kek ginian_-
See ya!
[ banjarbaru, dua puluh lima maret ]
