THE DREAMS AREN'T AT FAULT
Chapter 1
.
Main Cast
Na Jaemin (GS)
Huang Renjun (GS)
Lee Donghyuck/Lee Haechan (GS)
Lee Jeno
Extended Cast
NCT 2018
Genre
AU Friendship, Romance (gradually)
Rating
T
Disclaimer
Terinspirasi dari novel If I Should Speak karya Umm Zakiyyah. Cast bukan milik saya dan kerangka besar plot cerita juga bukan sepenuhnya milik saya.
Genderswitch with NoMin, MarkHyuck, SungLe as main pairs.
Might be OOC. Sorry for typo(s).
Please enjoy and give some building critics
.
.
Saat itu Jumat sore dan koridor apartemen mahasiswa yang biasanya riuh rendah oleh obrolan penghuninya berangsur senyap. Hanya terdengar suara angin dingin awal musim semi yang menggeretakkan kaca jendela yang dipenuhi titik-titik gerimis, serta suara pemanas lama yang menggeram halus seperti kipas angin. Jaemin nyaris tertidur akibat mendengarkan suara kemresek itu sambil melamun, jika saja ia tak menengok jam dinding dan melihat jumlah halaman pada word-nya. Ia kembali duduk tegap, menyesap teh panas dari cangkirnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
"Apa yang sedang kau kerjakan?" Haechan, teman sekamar Jaemin, keluar dari kamar tidur dengan riasan lengkap dan gaun cocktail krem sebatas lutut yang tampak serasi dengan kulit sawo matangnya. Ia mengintip sedikit ke layar laptop itu, melihat paragraf demi paragraf yang tersusun secara cepat dari ketikan Jaemin yang rasanya bisa membakar keyboard.
Jaemin mendengus pelan. "File makalahku tidak bisa dibuka, entah kenapa. Padahal aku sudah menyelesaikannya sejak hari Minggu kemarin dan Senin besok adalah tenggat waktu pengumpulan."
"Hah, benarkah?"
"Yah, begitulah. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengulangnya kembali dari awal."
"Oh, turut berduka," ujar Haechan simpatik, tetapi Jaemin tidak peduli. Ia mengabaikan setiap yang dilakukan Haechan dan berkonsentrasi penuh pada laptopnya. Ia bisa menangkap gurauan dari ucapan Haechan dan itu membuatnya kesal, meski gadis itu tak bermaksud demikian.
"Kapan kau pulang?" Jaemin bertanya dengan datar, lebih untuk sekedar berbasa-basi karena ia sudah pasti akan jawabannya.
"Minggu pagi, paling cepat. Yang jelas bukan malam ini," Haechan memakai mantel katunnya, kemudian mengambil stiletto hitam yang tampak mencolok di antara sepatu-sepatu kets milik Jaemin di rak. "Aku membawa kunci. Kau bisa pulang besok."
"Kau tetap akan pergi dengan cuaca seperti ini?"
"Apakah kau pernah melihatku terhalang badai salju?"
Jaemin mendengus kesal, tetapi pada akhirnya ia hanya bisa berkata, "Hati-hati."
Pintu ditutup, meninggalkan Jaemin sendirian di apartemen itu. Ia menghela nafas berat dan menyadarkan punggungnya di sofa. Sudah dua puluh halaman, tinggal lima halaman lagi dan ia akan segera selesai dengan tugasnya. Menurut estimasinya, makalahnya akan selesai selambat-lambatnya besok pagi jika ia benar-benar bekerja keras sore ini. Setelah itu ia akan punya banyak waktu istrahat yang akan ia gunakan untuk mencari buku di perpustakaan; setidaknya sebagai tebusan karena tak pulang minggu ini.
Telepon berdering. Jaemin mendesah, telepon rumah yang tidak portabel itu terletak di dekat ruang makan dan ia harus menunda pekerjaannya untuk mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Halo, Nana? Syukurlah!" senyum Jaemin tiba-tiba merekah saat mendengar suara itu. "Kau baik-baik saja di situ?"
"Aku baik-baik saja, Eomma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Syukurlah! Di sini hujan berangin sejak siang, akan bahaya sekali kalau kau pulang sendirian hari ini. Perlu dijemput?"
"Tidak perlu. Aku mungkin baru akan pulang minggu depan. Ada tugas yang harus kuselesaikan."
"Ah, begitu. Baiklah. Kalau kau perlu sesuatu, telepon saja."
Ada jeda panjang sebelum Jaemin menambahkan, "Eomma,"
"Ya?"
"Aku akan belajar dengan keras agar bisa mendapat beasiswa magister itu."
Ibu Jaemin terkekeh pelan. "Kau lulus sarjana dengan baik pun Eomma sudah sangat bangga padamu, aegi-ya."
"Tidak, aku harus bawa Eomma ke Inggris suatu saat nanti. Appa pasti juga akan sangat bangga melihatnya. Aku ingin membuat kalian bangga."
Ingatan Jaemin kembali berputar menuju bertahun-tahun lalu, ketika ayah Jaemin meninggal dalam sebuah kecelakaan bus. Bibinya menariknya ke halaman belakang rumah ketika ibu Jaemin mulai histeris akibat duka yang amat mendalam. Saat itu Jaemin masih berusia sembilan tahun.
"Kau harus masuk sekolah yang bagus," ujar bibi Jaemin sambil menyandarkan dirinya pada pilar kayu. "Kau juga harus jadi gadis yang berpendidikan tinggi dan tidak boleh macam-macam."
"Ke-kenapa?" tanya Jaemin setengah terisak.
"Ibumu dulu anak yang pintar. Tapi sayangnya dia sangat ceroboh. Aku tak tahu apa yang merasukinya; dia mulai berpacaran saat masuk universitas dan suatu hari dia pulang sambil bersimbah air mata. Dia hamil, katanya."
Jaemin tersentak mendengar informasi asing itu.
"Waktu itu dia datang bersama pacarnya—ayahmu. Kakekmu sangat marah mengetahui kenyataan itu; ia langsung menarik ibumu dari universitas dan menikahkannya dengan pacarnya. Kakekmu benar-benar memutus semua akses pendidikan untuk ibumu. Dia bilang percuma saja memberikan akses pendidikan tinggi untuk gadis yang tak peduli masa depannya. Bagaimana dia akan mencapai gelar doktor kalau baru masuk kuliah saja sudah memiliki anak? Bagaimana dia akan menghidupimu tanpa ayahmu?"
Hati Jaemin mendidih oleh kemarahan dan kesedihan. Kenapa kakeknya tak mencoba untuk memberikan kesempatan kedua pada ibunya? Apakah ia sebagai anak yang tak direncanakan begitu membebani, menghalangi cita-cita besar keluarganya? Lantas kenapa mereka tak mencoba menggugurkannya saja, daripada terus-menerus disalahkan akibat satu perbuatan yang sama sekali berada di luar kendalinya?
Malam-malam setelah hari itu, Jaemin hanya meluangkan waktu sebanyak-banyaknya empat jam untuk tidur. Selebihnya ia gunakan untuk belajar dan menyusun strategi agar ia bisa mendapat beasiswa, setidaknya sampai sarjana. Ia juga berusaha menghindari pergaulan bebas yang membahayakan—minum-minum, karaoke, pesta-pesta, ia benar-benar menghindari semua itu. Jaemin ingin menjadi anak yang dapat dibanggakan; setidaknya ia bisa meneruskan cita-cita keluarganya yang sempat tertunda, sehingga tak akan ada lagi beban yang tersisa dalam hatinya.
"Nana, kau masih di situ?"
"Ah, iya, Eomma."
Gadis itu melanjutkan percakapan sebentar sebelum ia menutup telepon dan kembali pada pekerjaannya.
.
.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Jaemin itu kaku sekali," keluh Haechan sambil melihat-lihat isi lemari es Chenle. "Mau makan apa? Kita tak punya banyak waktu."
"Apa saja. Aku sedang tidak selera. Tapi, french toast boleh juga," Chenle melirik Haechan melalui cermin sambil mengenakan maskara hitam yang mempercantik bulu matanya. "Kau tak takut pakaianmu bau penggorengan?"
Haechan mengeluarkan sekotak telur dan sebotol susu dingin. "Mark lebih suka saat aku bau penggorengan daripada bau mawar."
"Mark? Mark Lee? Si rapper itu?" tanya Chenle dengan antusias, membuat Haechan buru-buru menyesali perkataannya. Ia belum memberi tahu siapapun bahwa ia sering berhubungan dengan Mark Lee—rapper terkenal di kampus itu—sejak beberapa bulan lalu. Dan sekarang ia tak bisa menarik ucapannya.
"Sst! Jangan bilang siapa-siapa! Kalau Jaemin sampai dengar, dia bisa membantaiku."
Terkadang Chenle kesal ketika Haechan menyebut nama Jaemin. Ia tidak suka ketika Haechan harus memberitahukan apapun kegiatannya pada Jaemin, seakan-akan Jaemin adalah ibunya. Padahal Chenle yakin Haechan mampu mengurus dirinya sendiri dan sebaiknya Jaemin berkonsentrasi pada urusan pribadinya saja.
"Aku memang baru beberapa kali melihat Jaemin itu, tapi sepertinya dia sombong sekali."
Haechan tertawa kecil. "Tidak. Dia baik, kok. Cuma ya, kau tahu, dia cukup konservatif. Dan sangat rajin."
"Ya, aku tahu kalau dia sangat pintar, tapi dia kelihatan sombong dan... sok." ujar Chenle tanpa ampun.
"Tidak, tidak. Dia hanya terlalu lurus."
"Oh Tuhan, kau tadi mengeluh tentangnya, dan sekarang kau membelanya."
"Yah," Haechan mencelup potongan roti tawar ke dalam campuran telur, susu, dan bubuk kayu manis, kemudian memasukkannya ke dalam penggorengan yang berisi minyak panas. "itu karena aku mengenalnya sejak SMP. Bahkan kalau kau tahu, aku dulu pun sama lurusnya."
Mata Chenle membulat, hampir-hampir membuat eyeliner-nya mencoret kulit di sebelah matanya. "Kau? Lee Haechan? Lurus?"
"Aku tahu itu terdengar mustahil, tapi, memang itulah kenyataannya," ujar Haechan santai, sembari mengingat bahwa untuk saat ini kata 'Haechan' dan 'lurus' tak mungkin berada dalam satu kalimat, setidaknya bagi sebagian orang. "Aku dulu sama seperti Jaemin—selalu menggebu-gebu saat belajar, rajin mencari informasi beasiswa, bisa dibilang aku sangat keras pada diriku sendiri. Tapi, sejak kuliah, aku merasa itu semua benar-benar membebaniku dan membuatku lebih mudah stres. Aku lelah dengan semua itu."
"Hm... aku tidak tahu bagaimana dirimu sebelum kuliah, tapi kedengarannya perubahanmu drastis sekali."
"Bisa dibilang begitu. Lagipula, sejak awal kuliah, aku mulai merasa bahwa ini bukanlah impianku," Haechan membalik sisi roti yang telah berubah warna menjadi kecoklatan. "Aku ingin menjadi idol, atau mungkin, penyanyi solo."
"Kenapa kau tidak mengejarnya?" Chenle hampir meloncat dari kursinya. "Girl, suaramu bagus. Kau juga belum terlambat untuk masuk agensi."
"Ibuku takkan pernah mengizinkanku," Haechan menghela nafas dan mengangkat kedua bahunya. "Pada intinya, tak ada satupun dari keluargaku yang mendukung keinginanku untuk menjadi penyanyi. Mereka bilang, setinggi apapun karir penyanyi, tak akan ada artinya dibandingkan satu gelar akademis."
"Kenapa mereka seperti itu?"
"Aku tidak tahu. Mereka selalu menuntut sesuatu yang mereka sendiri tak bisa mewujudkannya."
Beberapa saat kemudian, french toast buatan Haechan siap disantap. Ia mengambil mentega, selai marmalade, dan sebotol sirup maple dari dalam lemari es, kemudian menyiapkan peralatan makan di meja.
"Yeee, thanks, Chan-eonni," Chenle menghambur menuju ruang makan. Aroma sedap kayu manis menyenangkan penciumannya. Mereka segera duduk dan mengambil makanan untuk diri mereka masing-masing.
"Aneh sekali ketika kau memanggilku eonni," Haechan tertawa sembari menuang sirup ke atas potongan roti. Selama beberapa saat, hanya terdengar dentingan alat-alat makan sampai akhirnya Haechan menemukan satu topik pembicaraan.
"Ehm, jadi, kau dansa dengan siapa hari ini? Park Jisung itu lagi?"
"Ya. Kami berkencan."
Haechan melotot. "Kau kencan dengannya? Sejak kapan?"
"Ceritanya panjang, tapi intinya dia sering membantuku mengerjakan tugas makalah. Dia ternyata satu jurusan denganku, cuma beda kelas."
"Kupikir kalian bertemu di kantin atau sejenisnya."
"Hah, itu klise sekali—tidak. Kami tidak begitu. Jadi mulanya kami mendapat proyek dengan partner dari kelas yang berbeda dan aku mendapat Jisung sebagai partnerku. Setelah proyek itu selesai, kami telanjur terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Akhirnya dia mengajakku berkencan."
"Wow, kau tak pernah memberitahukan itu kepadaku," protes Haechan.
"Well, kau sendiri tak pernah memberitahuku tentang hubunganmu dengan Mark Lee."
Haechan terkejut dan buru-buru menanggapi, "Itu tidak seperti yang kau kira! Kami masih sebatas teman."
Chenle tersenyum jahil. "Teman macam apa yang sampai mengutarakan kesukaannya pada aroma tubuh secara spesifik?"
"Pokoknya bukan seperti yang kau pikirkan," tukas Haechan sambil membereskan peralatan makan yang telah selesai digunakan. "Cepat habiskan makananmu. Kita sudah hampir terlambat."
.
.
Jaemin meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia telah menyelesaikan bagian pembahasan, lebih cepat daripada perkiraannya. Kini Jaemin tinggal fokus pada kesimpulan, yang sejatinya memakan waktu cukup banyak karena ia harus membaca kembali dan menyimpulkan semua yang telah ia tulis. Diliriknya jam dinding, sudah pukul setengah empat sore. Ia butuh mandi dan merilekskan pikirannya.
Udara yang dingin—meskipun pemanas telah dinyalakan, efeknya tidak terlalu signifikan—memaksa Jaemin untuk mandi dengan air hangat. Dibukanya kran shower bertanda merah dan air hangat segera menghujani tubuhnya. Jaemin terdiam beberapa lama, tenggelam dalam pikirannya sambil membiarkan guyuran air hangat itu mulai memberikan efek nyaman pada tubuhnya.
Air hangat selalu mengingatkan Jaemin akan rumah. Saat mereka belum mampu membeli pemanas air, ayah Jaemin selalu merebus sepanci besar air untuk mandi ketika udara mulai dingin. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menggantikan peran itu seusai banting tulang lembur dan menjalani kerja paruh waktu. Jaemin kecil sering menjumpai ibunya yang pulang larut malam dengan raut letih, tetapi wanita itu tetap memberi senyum hangat kepadanya.
"Eomma, besok aku ingin merebus air sendiri," ujar Jaemin sambil mengerjakan tugas matematikanya. Ia tak tega melihat wajah letih ibunya.
"Tidak usah, Nana-ya," ibu Jaemin tersenyum lembut. "Kompor kita tidak terlalu bagus. Eomma khawatir akan keselamatanmu."
"Tapi Eomma pasti sudah lelah."
"Tidak apa-apa. Eomma akan bekerja sedikit lagi dan kita akan bisa membeli pemanas air. Tunggu sebentar lagi, oke?"
Jaemin ingat hari ketika mereka akhirnya bisa membeli satu unit pemanas air. Meskipun bekas, pemanas itu masih bisa berfungsi dengan baik. Ia ingat saat itu ibunya berusaha menyembunyikan tangisnya, kemudian memeluknya ketika pemanas itu selesai dipasang.
"Nana-ya, maafkan Eomma, ya? Eomma seharusnya bisa memberimu banyak hal yang lebih baik daripada sekedar pemanas air bekas. Maafkan Eomma, aegi-ya."
Air mata mengalir menuruni pipi Jaemin, bercampur dengan air hangat yang membasahi wajahnya. Keinginan untuk pulang tiba-tiba muncul begitu saja. Ia rindu pelukan ibunya yang hangat, tempat yang nyaman untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Hari-harinya terasa lebih berat akhir-akhir ini dan godaan untuk berhenti semakin kuat. Jaemin sebenarnya tak memiliki masalah dengan akademiknya, ia bahkan sudah mendapat jaminan A untuk sebagian besar mata kuliah yang diambilnya di semester ini. Namun hal yang benar-benar mengusiknya adalah tatapan orang-orang ketika melihat dirinya, seakan-akan ia adalah orang yang aneh, atau tatapan-tatapan penuh kebencian yang ia tak yakin sebabnya.
Apakah menjadi orang yang rajin adalah sebuah kejahatan? Jaemin tidak mengerti. Ia mengorbankan waktu luangnya di masa muda agar ia dapat bersenang-senang pada waktunya nanti. Toh ia tidak pernah merugikan orang lain; ia tak pernah menjegal teman-temannya saat sesi tanya-jawab, atau menyabotase mereka saat sesi presentasi. Ia hanya mengerjakan apa yang harus ia kerjakan, bertanya saat dosen memberinya kesempatan, dan menjawab saat ia yakin punya jawaban yang valid. Perbedaannya hanyalah cara dirinya memanfaatkan waktu luang. Jaemin lebih sering menghabiskan waktunya dengan membaca jurnal di perpustakaan, membuat catatan-catatan penting di bukunya, atau berdiskusi bersama beberapa teman sekelasnya mengenai tugas-tugas dan ide-ide untuk seminar. Ia memanfaatkan fasilitas pendidikan yang didapatkannya melalui beasiswa dengan sebaik-baiknya; bertekad untuk tak mengulang kesalahan yang dulu dilakukan ibunya.
Sebagai anak yang sama-sama memegang beasiswa dan berasal dari sekolah yang sama, Jaemin sangat akrab dengan Haechan, setidaknya sampai mereka lulus SMA. Di hari-hari awal kuliah pun, Haechan masih sering pergi bersama Jaemin untuk meminjam textbook tebal berjilid-jilid yang harganya sangat tidak ramah di kantong, juga terkadang berburu alat-alat tulis lucu yang cukup efektif untuk meningkatkan semangat belajar. Namun semua itu tiba-tiba berubah ketika brosur Autumn Formal—adaptasi dari Spring Formal—beredar di kampus. Saat itu mereka masih mahasiswi tahun pertama dan hingga kini Jaemin masih ingat semua detailnya.
"Haechan, Jaemin, kalian ikut pergi?" tanya Chaeyeon, teman sekelas mereka, sambil menyodorkan brosur pesta kampus itu.
Haechan mengambil brosur itu dan membacanya singkat.
"Ah, ini yang sering diceritakan senior-senior itu, 'kan? Seperti yang di Amerika, tapi ini di musim gugur?"
"Ya. Mereka bilang acaranya seru sekali dan bisa menghilangkan stres. Jangan sampai kalian melewatkan kesempatan langka setahun sekali ini! Begitu katanya."
Haechan menatap Jaemin yang tampak tidak tertarik. "Bagaimana, Na?"
"Ah, kalian putuskan dulu, nanti kita akan berangkat bersama-sama sekelas. Oke?" Chaeyeon kemudian meninggalkan mereka berdua, bergabung bersama teman-teman lain yang juga sedang heboh membahas pesta tahunan itu—yang kemudian mulai diadakan setiap akhir semester.
"Aku... sepertinya tidak akan ikut," ujar Jaemin, mengalihkan fokus Haechan dari Chaeyeon dan teman-temannya.
"Kenapa? Ini cuma setahun sekali, lho. Tak ada salahnya 'kan kalau kita sesekali mencoba bersenang-senang?" Haechan kecewa. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya menghadiri acara hiburan mahasiswa paling terkenal di kampus itu.
Jaemin sedikit terkejut, tetapi ia berusaha menyikapi ucapan Haechan setenang mungkin. "Kau ingat, Senin besok Prof. Kim akan memberi post-test sebelum ujian semester minggu depan. Dan kau juga tahu kalau beliau tak pernah bermurah hati saat memberi nilai."
"Ayolah, Na, itu masih hari Senin," Haechan mendesah keras. "Pesta ini akan diadakan pada Jumat malam. Kita masih punya Sabtu dan Minggu."
"Maaf, Chan, aku tidak bisa. Aku harus menyelesaikan materi selambat-lambatnya Jumat, agar di Sabtu siang aku bisa pulang menjenguk ibuku."
"Kau bisa menjenguk sambil belajar."
"Tidak. Aku tidak bisa belajar jika aku tak fokus."
Jaemin melihat kekecewaan di wajah Haechan, tetapi ia tak bisa tidak khawatir memikirkan nilainya. Apalagi itu akan menjadi IP pertamanya. Jika ia tak bisa mencapai target, beasiswanya akan dicabut.
"Baiklah kalau itu keputusanmu," Haechan beranjak dari kursinya. "Aku akan berangkat bersama teman-teman. Kalau kau ingin titip sesuatu, bilang saja."
Hari Senin setelah pesta itu, Jaemin yakin ia tidak mengenal sosok Haechan yang sedang heboh membicarakan keseruan pesta alih-alih belajar untuk mempersiapkan post-test yang akan dimulai kurang dari setengah jam. Biasanya, Haechan akan mengeluarkan semua buku dan catatannya, sampai-sampai ia akan membentak siapapun yang mengganggunya saking seriusnya ia belajar. Pemandangan yang ganjil di hari itu membuat hati Jaemin mencelos. Ia tergerak untuk memanggil gadis itu dan mengingatkannya untuk—setidaknya—membaca sedikit catatannya.
"Haechan,"
Gadis itu masih sibuk tertawa bersama teman-teman sekelasnya yang lain.
"Haechan-ah,"
Haechan tak menoleh sedikitpun, entah memang benar-benar tidak mendengar atau sengaja menghindarinya. Sejak Jaemin kembali ke kamar mereka Minggu sore, gadis itu tak banyak bicara padanya dan hanya terpaku pada ponsel yang bertubi-tubi diserang notifikasi pesan entah dari siapa.
Tiga kali memanggil tanpa ada tanggapan, Jaemin akhirnya menyerah dan memilih untuk fokus pada dirinya sendiri. Ia sebetulnya tak sanggup untuk tidak peduli kepada Haechan, karena ia tahu gadis itu sudah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk sampai di mana ia berada sekarang. Menyepelekan satu mata kuliah sama saja seperti mengurangi takaran semen untuk membangun dinding gedung yang sebenarnya sudah memiliki fondasi bagus.
Post-test hari itu berjalan dengan kurang lancar, bahkan bagi Jaemin dan beberapa mahasiswa lain yang diyakini pintar. Jaemin jadi tak yakin ia akan bisa mengerjakan ujian akhir dengan baik jika tipe soalnya masih seperti itu. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hasilnya dan beranjak menuju koridor, melihat-lihat mading yang berisi publikasi penelitian sambil mengisi botol minumnya dengan air dingin. Pasti akan menyenangkan jika suatu hari nanti ia juga bisa melakukan hal serupa—
"Hasilnya sudah keluar!"
"Hah?"
"Secepat itu?"
Jaemin menoleh ke samping di mana papan pengumuman kecil yang terlindungi kaca itu dikerubuti teman-teman sekelasnya.
"Wah, hasilnya parah sekali!"
"Kau yakin itu nilai?"
"Tapi soalnya memang susah, sih."
Jaemin masih terdiam di tempatnya sambil menunggu kerumunan itu bubar. Ia melihat Haechan di dalam kerumunan itu, bersama Chaeyeon dan teman-temannya yang mengajaknya pergi ke pesta.
"Siapa dapat nilai tertinggi—ah! Rupanya Na Jaemin! Nilainya 87!"
Ucapan salah satu mahasiswa barusan membuat Jaemin menatap kerumunan itu dengan kaget.
"Wah gila. Aku bahkan tidak sampai setengahnya."
"Kurasa kalau dia tidak belajar pun nilainya juga tetap bagus."
"Dia punya otak tapi masih rajin sekali belajar. Sementara aku, belajar sekeras apapun pasti cuma dapat nilai pas-pasan. What kind of sorcery is this."
"Kalau Prof. Kim benar-benar memakai sistem kurva, habislah kita semua."
"Heol, kenapa di kelas kita banyak anak yang pintar sekaligus ambisius? Aku jadi ingin pindah ke kelas sebelah saja."
"Ya. Aku juga tak ingin sekelas dengan anak-anak seperti itu. Mereka sungguh tidak menyenangkan dan menyebalkan sekali. Oke, mereka memang pintar, tapi—"
"Semua gara-gara anak yang ambisius. Ya Tuhan, kau tadi lihat 'kan betapa besarnya selisih nilai mereka dengan mayoritas anak di kelas kita? Cuma gara-gara beberapa orang, nilai kita hancur."
Beberapa mahasiswa meninggalkan papan itu dengan emosi, tanpa sadar mencabik-cabik hati Jaemin yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka. Ia bisa mendapat nilai tinggi dengan usaha yang keras dan sama sekali bukan salahnya jika mereka mendapat nilai yang jelek. Jaemin tahu semua orang mengharapkan hasil yang baik, tinggal bagaimana usaha mereka untuk mencapai target itu. Jangan berharap untuk mendapat hasil yang maksimal jika usaha yang dikerahkan sama sekali tidak maksimal.
"Haechan, kau tidak apa-apa?" tanya Chaeyeon pada Haechan, yang masih tampak terpukul dan tidak percaya dengan hasil yang diperolehnya. "Ini cuma post-test di satu mata kuliah! Santai saja, masih ada kesempatan lain. Kalau harus mengulang pun, masih ada tahun depan."
Jaemin ingin sekali menceramahi mereka tentang betapa tidak baiknya menyepelekan satu kesempatan, atau setidaknya mengatakan apa saja yang bisa membuat Haechan tidak bermain-main lagi dengan sesuatu yang menyangkut urusan akademiknya. Namun respon Haechan kepada Chaeyeon sungguh di luar dugaannya.
"Ya, kau benar."
Apa yang dikatakannya!
"Bagaimana kalau setelah ini kita pergi ke karaoke? Kita harus membuang penat sebelum ujian. Haechan, ajari aku menyanyi—aku bersumpah suaramu bagus sekali saat kau menyanyi di pesta kemarin!"
Haechan mengangguk dengan ceria, seakan-akan tak ada hal buruk yang menimpanya. Pandangan Jaemin bersibobrok dengan Haechan sesaat sebelum gadis itu pergi bersama teman-teman barunya.
Ah, teman-teman baru. Teman-teman yang lebih asyik, keren, dan tidak menyebabkan stres karena terlalu banyak belajar. Dan yang jelas itu bukanlah dirinya.
Jaemin menyadari bahwa saat itu adalah titik balik persahabatannya dengan Haechan, ia menyadari betul betapa berubahnya hubungan mereka setelah itu. Ia tahu Haechan telah memiliki tujuan yang berbeda dan tak ingin lagi menapaki jalan yang sama bersamanya.
Jaemin kehilangan Haechan, sahabatnya yang dulu pernah berbagi mimpi-mimpi besar di malam-malam saat mereka tak bisa tidur, cemas menunggu hasil seleksi beasiswa. Haechan tak pernah lagi pergi ke perpustakaan, berburu buku-buku terjemahan, atau berbelanja alat-alat tulis lucu yang dulu pernah menjadi kesukaan mereka. Haechan kini bukanlah Haechan yang heboh saat catatannya tidak lengkap, menghafal materi sambil menyanyi atau berteriak-teriak sampai Jaemin harus melempar bantal untuk meredam kebisingannya. Mereka tak pernah lagi saling bertukar cerita atau sekedar berkeluh kesah. Jaemin sekarang benar-benar berada di dunia yang berbeda dengan Haechan. Sendirian.
Air mata Jaemin mengalir semakin deras, perlahan berubah menjadi isakan keras hingga tubuhnya bergetar. Jaemin tak peduli jika tetangganya mendengar tangisannya, ia benar-benar tidak peduli. Jaemin sungguh lelah dan ia ingin sekali berhenti.
.
.
"Ah, jauh sekali ternyata," Renjun menarik koper dan mengangkat tas-tasnya yang terisi penuh. Meskipun ia menaiki lift, beban puluhan kilo itu tetap menyulitkan tubuhnya yang mungkin tidak lebih berat daripada barang-barangnya jika ditotal. Ia mengecek nomor kamar yang tercetak di gantungan kuncinya sekali lagi, memastikan kalau ia tak salah lantai.
"Maafkan aku, Jen, kau kubuat repot lagi," ujar Renjun kepada laki-laki di belakangnya yang membawa tumpukan kardus dengan sebuah troli besar. Lelaki itu hanya berdeham pendek sambil mengikuti Renjun menuju kamar barunya.
Renjun melihat-lihat deretan pintu kamar di sepanjang koridor itu sembari mencari kamar barunya. Ada pintu yang masih bersih seakan-akan kamar itu tak pernah dihuni, ada juga pintu yang penuh dengan tempelan stiker, atau bahkan pintu yang nomornya sudah hilang entah ke mana. Namun koridor di situ tampak bersih, jauh lebih bersih daripada apartemennya yang lama. Seakan-akan ia pindah ke tempat yang benar-benar berbeda, padahal apartemen itu sejatinya masih satu kompleks dengan tempat tinggalnya dulu, hanya dipisahkan oleh dua blok apartemen lain yang sudah terisi penuh.
Setelah beberapa meter berjalan, Renjun menemukan kamar bernomor 258, sesuai dengan yang tertera di gantungan kuncinya. Ia meletakkan tas-tasnya di depan pintu kamar.
"Taruh di sini saja, Jen."
Pemuda itu, Jeno, menurunkan kardus-kardus milik Renjun dari troli yang ia bawa dari apartemennya.
"Perlu dibantu?"
"Tidak usah. Terima kasih banyak. Maaf, aku pasti mengganggu waktu belajarmu."
"Tidak apa-apa. Aku sudah selesai membaca materinya."
Renjun mengangguk, kemudian menampakkan seulas senyum. "Baiklah, terima kasih. Tolong sampaikan salamku pada Samchon dan Imo, juga Jane-eonni kalau kau pulang nanti."
Dahi Jeno berkerut. "Huh? Kau tak pulang minggu depan?"
"Ada acara kumpul keluarga besar, 'kan?" Renjun memutar bola matanya, jengah. "Aku sedang malas."
"Berikan alasan yang logis supaya aku bisa menyampaikan izinmu. Aku sendiri akan mangkir minggu depan."
"Kenapa?"
"Ujian."
Oh, iya. Renjun baru menyadarinya.
"Jurusanku juga akan mengadakan ujian akhir mulai minggu depan. Kurasa jadwal kita sama untuk semester ini."
"Baiklah. Aku akan bilang kalau kita berdua sama-sama ujian, begitu saja."
"Oke."
"Aku kembali sekarang."
"Oke. Hati-hati, Jen," Renjun menepuk pundak Jeno. Lelaki itu berjalan menuju lift, kemudian melambaikan tangan sebelum sosoknya menghilang di balik pintu lift yang tertutup.
Renjun menghela nafas, ia harus segera membereskan barang-barangnya sebelum senja tiba. Diketuknya pintu kamar, barangkali penghuninya masih ada di dalam. Namun ia tak kunjung mendapat jawaban setelah empat kali mengetuk pintu. Renjun lalu mencoba untuk memasukkan kunci, tetapi kunci itu tak bisa diputar—ada seseorang di dalam sana yang menaruh kuncinya di lubang kunci. Ia akhirnya memutar kenop pelan-pelan, ternyata pintu itu tak terkunci sama sekali.
Kamar itu tampak sepi. Renjun melihat ke sekeliling ruangan dari balik pintu dan ia tak menemukan siapapun, selain laptop yang masih menyala dan buku-buku tebal yang terbuka, juga tumpukan kertas-kertas di sofa ruang tamu yang tampaknya baru saja ditinggal pemiliknya. Anehnya semua itu tertata dengan rapi hingga menyisakan tanda tanya di benak Renjun. Bagaimana bisa ada manusia serapi itu di muka bumi ini.
Ketika Renjun membuka pintu lebar-lebar, aroma permen kapas dari pengharum ruangan otomatis menyapa hidungnya. Kamar itu benar-benar tertata rapi sejauh mata memandang, dindingnya dicat ivory dan setiap perabotnya terlihat bersih mengkilap. Terdapat sekat besar berisi buku-buku tebal—sebetulnya lebih cocok disebut rak buku besar daripada sekat—yang memisahkan ruang tamu dengan ruang makan kecil. Kamar tidurnya pun terlihat sangat rapi dengan dua tempat tidur bertingkat, mengingatkan Renjun akan asrama sekolahnya semasa SD. Ia melangkah menuju dapur dan lagi-lagi takjub dengan kerapiannya. Beberapa pot kecil berisi tanaman-tanaman herba disusun di rak kayu yang ditempatkan di dekat pantri. Terdapat pula satu terrarium sukulen berukuran sedang yang menghiasi meja makan. Tiba-tiba Renjun merasa malu sendiri ketika mengingat kamarnya yang dulu.
Renjun memutuskan untuk kembali ke kamar tamu dan segera memebereskan barang-barangnya sebelum penghuni kamar itu menemuinya. Namun sebelum ia berbalik, ia menyadari ada suara shower yang menyala di kamar mandi, juga suara tangisan lirih yang semakin lama semakin keras. Renjun sedikit terkejut mendengarnya; ia buru-buru pergi mengangkuti barang-barangnya sambil mencoba berpikir positif. Bisa saja itu adalah teman sekamarnya yang mungkin sedang mengalami hari yang berat, sehingga sebisa mungkin ia segera menyelesaikan urusannya dan tak membuat temannya merasa terganggu.
Setelah Renjun memasukkan semua bawaannya, suara shower itu berhenti. Ia tiba-tiba merasa gugup untuk alasan yang tak jelas. Bagaimana jika teman sekamarnya merasa terganggu dengan kepindahannya? Renjun terus memikirkan hal itu sampai ia mendengar pintu kamar mandi dibuka dan menampakkan sosok gadis dalam balutan handuk.
"Oh, astaga!" gadis itu terkejut, hampir-hampir ia terpeleset saking kagetnya. Ia berusaha menutupi bahu putihnya yang terkena tetesan air dari rambut basah yang luput terbungkus handuk kecil. "Maaf, maaf. Aku tidak tahu kau akan datang secepat ini. Kau Huang Renjun, 'kan?"
"Ah, iya," ujar Renjun canggung.
"Duduklah di sofa. Maaf, berantakan sekali—aku akan segera membuatkanmu minum setelah aku selesai berpakaian. Ah, namaku Na Jaemin."
Jaemin segera berlari ke kamar tidur, meninggalkan Renjun yang duduk dengan canggung di samping tumpukan kertas di sofa.
Renjun sedikit tidak percaya dengan fakta yang dihadapinya. Ia sekamar dengan Na Jaemin, gadis yang tahun lalu sempat menjadi headline portal berita kampus karena memenangi emas di ajang olimpiade biologi bersama rekan setimnya. Saat itu Renjun hanya mampu berdecak kagum, memikirkan betapa cerdasnya gadis itu dan pasti akan menyenangkan sekali jika ia bisa berbincang dengannya suatu hari nanti. Kini mereka sekamar dan ia jadi merasa lebih gugup dari sebelumnya.
Suara pengering rambut terdengar dari kamar tidur, membuat Renjun teringat betapa cantiknya Jaemin barusan. Ia memang sudah melihat foto Jaemin beberapa kali, tetapi gadis itu jauh lebih cantik jika dilihat secara langsung. Jaemin juga lebih tinggi dari perkiraannya; tubuhnya pun tampak lebih kurus dibandingkan saat terakhir kali Renjun melihat fotonya musim gugur lalu.
Beberapa saat kemudian Jaemin keluar dari kamar. Ia mengenakan gaun katun putih sebatas betis bermotif bunga-bunga peoni, sementara rambutnya ditata half up-half down, membuatnya tampak semakin cantik. Ia berjalan setengah berlari menuju dapur, dengan cekatan menyiapkan teh untuk Renjun.
"Maaf, kami tak memiliki banyak makanan," ujar Jaemin sambil menyingkirkan buku-bukunya ke pinggir meja, kemudian meletakkan teh hangat dan setoples cookie buatannya sendiri. "Anggap saja seperti rumah sendiri, ya. Kau 'kan sudah tinggal di sini mulai hari ini, jadi jangan sungkan-sungkan kalau kau butuh bantuan atau semacamnya."
Renjun mengangguk. "Terima kasih banyak."
"Santai saja," Jaemin menyimpan file makalahnya, mematikan laptop, lalu duduk di samping Renjun dan mengulurkan tangannya. "Oh, iya, aku Na Jaemin, 19 tahun."
Sebelumnya Renjun menyadari bahwa daerah di sekeliling mata Jaemin terlihat bengkak, seperti habis menangis. Ia hendak bertanya apakah gadis itu baik-baik saja, tetapi urung. Bisa jadi itu adalah sesuatu yang ingin Jaemin simpan sebagai privasi. Pada akhirnya Renjun hanya tersenyum dan menyambut uluran tangan Jaemin. "Huang Renjun, akhir bulan ini 20 tahun."
"20 tahun?" kedua alis Jaemin terangkat. Renjun terlihat sangat muda baginya. "Kupikir kau masih 18 tahun!"
"Entah kenapa banyak orang berkata seperti itu. Padahal aku sudah hampir tingkat tiga," Renjun tertawa melihat reaksi Jaemin saat mengetahui bahwa mereka seumuran.
"Ah, awalnya kukira kau anak tahun pertama. Ternyata kau bahkan lebih tua dariku," ujar Jaemin antusias, entah mengapa ia merasa senang mendapat teman sekamar baru yang sebaya. "Ambil jurusan apa?"
"Aku?"
"Ya."
"Arsitektur Lanskap."
"Wah, keren sekali!" Jaemin berdecak kagum, membuat Renjun tersipu. "Kau pasti suka mendesain, ya?"
"Uh, awalnya aku hanya suka menggambar, tapi—ya, aku ingin menggambar sesuatu yang bisa diwujudkan dalam bentuk 3D, dan mungkin bisa membantu kehidupan manusia secara 'nyata'."
Jaemin mengangguk takzim.
"Uhm, kau dari jurusan Biologi, 'kan? Biologi yang di bawah Departemen Sains?" tanya Renjun, lebih untuk sekedar basa-basi karena ia tentu sudah mengetahuinya dari artikel-artikel itu.
Jaemin tertawa renyah, kontras dengan matanya yang sembab. "Iya. Kok tahu?"
"Aku membaca artikel-artikel di portal berita kampus tahun lalu. Kau hebat sekali," Renjun memuji dengan tulus.
"Ah, aku tidak sehebat itu," nada bicara Jaemin merendah. "Masih banyak yang harus kulakukan lagi untuk sampai ke sana. Tapi, terima kasih, karena kau sampai mengingatku, padahal aku bukan siapa-siapa. Aku terharu sekali."
Renjun tak bisa tidak terkesan dengan Jaemin. Selain karena keramahannya, ia terkesan dengan kerendahan hati Jaemin. Gadis itu jauh dari kata sombong seperti yang digambarkan beberapa orang—yang Renjun tahu mereka sama sekali belum pernah bertemu Jaemin—bahkan ia membicarakan pencapaiannya dengan suara pelan, seakan-akan tidak ingin membahasnya.
"Oh, kau sudah menaruh barang-barangmu?" tanya Jaemin sambil menengok ke arah pintu dan menemukan tumpukan kardus milik Renjun. "Maaf, aku tak sempat membantumu mengangkut barang kemari. Nanti malam biar aku bantu memasukkan kardus-kardusmu ke kamar."
"Tidak apa-apa, sungguh. Lagipula tadi siang sepupuku sedang luang dan dia bersikeras membantuku membawa barang-barang itu."
"Sepupu? Kau punya sepupu yang berkuliah di sini?"
"Iya."
"Ambil jurusan apa?" tanya Jaemin penasaran, barangkali ia sudah pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya.
"Kedokteran. Kau pasti sudah pernah dengar namanya, setidaknya sekali," Renjun tersenyum, membuat Jaemin bertanya-tanya dalam benaknya.
"Aku pernah mendengar namanya?"
"Ya. Aku yakin sekali."
Jaemin terdiam sesaat. Terlalu banyak nama yang melintas di pikirannya. "Siapa?"
Renjun tertawa kecil, lalu menjawab, "Lee Jeno."
"Lee Jeno!" Jaemin membulatkan matanya, mulutnya bahkan sampai menganga lebar saking terkejutnya. "Lee Jeno, anak Kedokteran tahun ketiga itu?"
"Iya, yang itu," Renjun tak bisa menahan tawanya saat melihat wajah kaget Jaemin.
"Aku tahu ini tidak ada hubungannya, tapi bagaimana bisa orang yang lembut sepertimu punya sepupu seperti dia?"
Renjun semakin terbahak saat Jaemin mendekripsikan dirinya. "Maaf, tapi aku sama sekali bukan orang yang lembut."
"Tapi tetap saja," Jaemin semakin tidak percaya. "Maksudku, oh Tuhan, dia ketus sekali! Aku pernah berpikir untuk keluar dari tim olimpiade biologi karena tak tahan dengan dia."
Tawa Renjun sedikit mereda dan buru-buru ia menambahkan, "Sebenarnya dia hanya bingung bagaimana harus bersikap. Jadi, suatu ketika dia pernah mencoba untuk melontarkan guyonan, tetapi tak ada yang menggubrisnya sama sekali."
"Kasihan sekali."
"Setelah itu dia mencoba untuk menjadi 'dingin', ya, hasilnya adalah yang kau lihat sekarang. Tapi sebenarnya dia orang yang baik, kok. Bahkan di antara sepupu-sepupuku yang lain, aku paling akrab dengannya."
"Tapi dia sama sekali tak menunjukkan keramahan saat mendapat giliran untuk membimbing timku," Jaemin menggelengkan kepalanya, masih terheran-heran dengan fakta yang tergelar di hadapannya. "Ya, aku tahu dia adalah senior di tim olimpiade biologi, tapi, bisakah dia menjawab pertanyaan kami dengan baik-baik? Maksudku, saat itu kami adalah junior yang masih perlu bimbingan dan pasti akan ada banyak sekali pertanyaan yang muncul. Kami akan sangat berterima kasih seandainya dia bersikap ramah saat itu, seperti senior-senior yang lain."
"Maafkan dia, ya," ucap Renjun penuh sesal. "Dia memang seperti itu, tapi percayalah, jika kau sudah benar-benar mengenalnya, kau akan tahu kalau dia adalah orang yang baik."
Jaemin mengangguk. "Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menilai dia seperti itu, tapi ya, sayangnya begitulah kesan yang dia berikan kepada kami. Mungkin akan sulit mengubahnya—tapi aku akan berusaha."
"Ei, jangan terlalu serius. Santai saja," Renjun terkekeh mendengar ucapan serius Jaemin. "Terkadang dia memang harus diperlakukan seperti itu agar tidak terlalu kaku. Apalagi dia akan jadi dokter di masa depan. Sejujurnya aku takut sikapnya itu akan membuat pasien salah paham dan memilih kabur darinya."
Mereka berdua tertawa hingga menyadari cahaya matahari semakin redup dan awan-awan yang memenuhi langit memantulkan warna jingga. Jaemin beranjak dari sofa untuk menyalakan lampu-lampu kamar.
"Ah, kau boleh mandi dulu, Renjun-ah—tidak apa-apa, 'kan, kalau aku memanggilmu begitu?"
"Iya. Itu memang panggilanku. Kalau kau? Jaemin?"
"Nana saja."
"Nana?"
"Ya. Ibuku memanggilku begitu sejak aku masih berada dalam kandungan. Atau, Na saja juga tidak masalah."
"Mm, baiklah," Renjun mengangguk, kemudian bangkit untuk mengambil perlatan mandi dari kopernya.
"Setelah mandi, kau bisa menaruh barang-barangmu di sini," Jaemin membuka lemari kecil yang terletak di sudut kamar tidur. "Aku tidak tahu kenapa mereka memberi lemari sekecil ini kemarin, tapi kalau sekiranya tidak muat, kau bisa menaruh sebagian baju-bajumu di lemariku. Kau bisa meletakkan buku-bukumu di sekat itu... dan kalau kau punya barang-barang kecil atau alat-alat tulis lain, kau bisa menaruhnya di meja belajarku. Pengelola apartemen tak mau memberi meja tambahan meski aku sudah meminta, tapi itu tak jadi masalah. Kau bisa menggunakan mejaku untuk belajar. Aku jarang menggunakannya karena aku lebih sering belajar di sofa."
Renjun mengangguk, kembali terkagum-kagum dengan kerapian kamar Jaemin. Ia merasa satu-satunya hal yang merusak pemandangan adalah tumpukan barang-barangnya.
"Aku akan menyelesaikan makalahku selagi kau mandi. Kalau kau sudah selesai dan butuh bantuan, bilang saja ya."
"Oke, terima kasih banyak, Na."
"Sama-sama."
Ketika Renjun beranjak menuju kamar mandi, Jaemin kembali ke sofa dengan senyum dan langkah yang ringan. Entah mengapa ia merasa gairahnya datang kembali setelah berbincang-bincang dengan Renjun. Jaemin berharap ia dan gadis itu akan semakin akrab, setidaknya mereka bisa membangun hubungan pertemanan yang baik sampai lulus nanti. Ia kini mendapatkan kembali semangatnya, satu hal yang hilang dari dirinya sejak Haechan berubah.
.
.
TBC
.
Notes (curhat lebih tepatnya):
Sebelumnya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena hampir setahun menghilang tanpa update apapun T.T serius, tugas dan apapun yang menyangkut kuliah sering banget jadi penghambat buat nulis. Semua FF udah ada draft chapter berikutnya, tapi semuanya masih setengah jalan. Sering banget ada ide muncul di saat yang nggak tepat, misal di tengah-tengah ngerjain laporan praktikum. Mau nggak mau saya harus mendahulukan laprak, sampai-sampai idenya hilang T.T sering banget juga, pengen nulis tapi mood lagi nggak bagus, atau udah nulis tapi dihapus lagi karena nggak sreg. Tolong maafkan saya yang tidak kompeten ini.
FF ini ditulis di tengah-tengah persiapan buat masuk kuliah lagi (iya, semepet itu), didasari oleh novel favorit saya semasa remaja dulu dan saya pengen menuliskannya dengan fokus cerita yang berbeda. Fokus FF ini utamanya pada friendship, jadi untuk yang menanti romance-nyamohon bersabar ya ^^
Untuk FF yang lain, semoga bisa segera saya update bulan ini.
Ps. No hard feelings for Haechan, tho T.T chapter berikutnya akan lebih banyak dibahas melalui sudut pandang dia ^^
Mind to review? ^^
