in ampulla pendere
(1: the birds in the arbor.)
disclaimer: mobile legends: bang bang (c) moonton.
warning(s): ooc. modern au. reincarnation/fantasy elements. implied character death.
sinopsis: 1: ibunya bilang, ada iblis-iblis kecil di kepalanya, menari-nari. alucard tidak merasa sedang menari bersama mereka.
note: judul diambil dari satyricon karya gaius petronius; judul chapter diambil dari "les oiseaux dans la charmille"—the birds in the arbor, atau: the doll song, aria dari opera the tales of hoffmann.
note2: ini terinspirasi dari kejadian yang dialamin dua orang yang tiba-tiba ngalamin semacam time travel (saya lupa siapa dan seperti apa tepatnya, waktu itu (baca: dah lama banget) pernah liat cuma sekilas di on the sp*t) kalo ada yang tau, mungkin bisa beri saya pencerahan?
note3: warning berbeda tiap chapter, anotasi(?) angka (romawi/asli) nandain perubahan sudut pandang dan temlen; angka romawi bakal lebih dark dibanding yang lainnya.
.
.
Bola merahnya memantul ke ruangan lain.
Alucard yang masih kecil menatap ibunya panjang, berharap wanita itu mengambilkannya untuknya. Ia tidak mau tersesat di rumah barunya, tidak selama kardus-kardus di koridor rumah belum dibenahi. Alucard merasa nyaman di sini—kamar bermainnya. Tetapi ibunya berkacak pinggang, ia balas menatap Alucard, tak mau kalah. Alucard siap untuk menangis (senjata paling efektif melawan ibunya)—tapi ibunya tak mengalah, "Alu, ambil bolanya."
"Ta-tapi aku tidak mau."
"Alu, sayang—kamu yang lempar, kamu yang ambil." Ia menghela napas. "Mama masih harus membereskan kamarmu."
Ibunya tak lagi memerhatikan rengekannya, tangannya meraih kotak lain, dan memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, sambil sesekali mengamati pakaian mana yang sudah sepantasnya dibuang, atau diberikan ke orang lain yang lebih membutuhkan. Melihat itu Alucard merengut, tak senang. Tak apa—ia main kereta saja, kalau begitu.
Ia mendengar lantunan lagu lirih yang bersumber dari luar. Bukan seperti suara televisi, atau rekaman lagu studio milik milik ayahnya yang biasa. Televisi dimatikan saat siang sampai sore, itu peraturan tak tertulis di rumahnya—ayahnya sedang berada di luar rumah, mengurusi surat dan kelengkapan administrasi (?) untuk kantornya yang baru dan kepindahan Alucard ke sekolah dasar di dekat sini.
Radio, mungkin? Ia ingat ibunya pernah memiliki radio di bawah ranjangnya, tak pernah terpakai lagi. Tapi mana mungkin, benda setua itu?
Penasaran, ia meninggalkan mainannya, lalu berlari menuruni tangga—ibunya berteriak, "Perhatikan langkahmu, jangan berlarian di dalam rumah!"—lalu ia tak melihat apapun, hanya tumpukan-tumpukan kardus yang membosankan. Tak ada radio. Televisi dalam kondisi belum terpasang dengan sumber daya. Kalau begitu… rumah sebelah?
Alucard menggeleng, suaranya jelas-jelas bersumber dari dalam rumah ini.
Ia kembali berlari ke atas, lalu melihat pintu yang terbuka—tempat dimana lagu-lagu dan hawa dingin semakin kuat terasa. Itu pintu kamar orang tuanya yang baru, di depannya terdapat beberapa koper dan kardus (lagi). Ia mendorong pintunya, dan melihat dua orang di sana—bersandar pada dinding dekat dengan jendela.
Kedua orang itu seolah tak menyadari kehadirannya.
Alucard menyadari kalau keduanya adalah pria yang lebih tua darinya (tentu saja). Keduanya tinggi, seperti ibunya, tetapi yang satu terpaut beberapa senti di bawah yang lainnya. Yang bersandar pada dinding melingkari tangannya pada pinggang pria yang lainnya—yang menyandarkan tubuhnya, dengan tangan yang melingkari leher pria lainnya.
"Um." Alucard memulai—tetapi kedua orang itu tak menggubrisnya. Yang bersandar nampak mengatakan sesuatu, tapi Alucard tak dapat mendengar suara apapun darinya—dan yang bersandar memejamkan matanya saat yang berada dalam pelukannya mendekat untuk—eww, mereka berciuman. Menjijikkan.
Alucard segera menangis, ibunya datang berlari dan menariknya kembali ke kamar.
Ibunya pikir Alucard berlari ke tembok, mengantam kepalanya—seperti biasa.
.
.
Ibunya bilang tidak ada apapun—dan siapapun—di kamarnya.
Tapi Alucard bersumpah ia melihat sesuatu. Ia tidak menyebut detailnya karena takut ibunya akan marah kalau ia mengintip kegiatan dua orang dewasa—itu privasi, dan tidak seharusnya kau mengintip, sayangku. Tapi Alucard mungkin bisa membalas dengan, tapi ini rumah kita!
Yang mungkin ibunya akan menjawab, "Atau mungkin mereka tidak benar-benar berada di sini, Alu." Ibunya akan meraih puncak kepalanya dan mengacak rambutnya seraya berkata, "Kamu dan imajinasimu—ada-ada saja."
Ibunya meninggalkannya, mangkok sup sayur di depannya. Segelas susu di sampingnya—tahu betul Alucard akan merasa mual bila ia memakan yang hijau, ibunya menyiapkannya segelas susu untuk menawarkan rasanya. Ibunya tak ada di ruang makan, tapi samar-samar Alucard mendengar ibunya berbicara dengan ayahnya, melalui telepon, "Kurasa halusinasinya semakin parah. Haruskah kita membawanya ke dokter?"
Ayahnya menjawab dengan kalimat yang tak dapat Alucard dengar, tapi ibunya membalas dengan helaan napas, beberapa detik jam yang berlalu kemudian, "Aku—aku kira dengan perubahan suasana ia akan membaik," ia menyentuh pipinya, sedikit khawatir atas ucapan ayahnya di sambungan, kemudian ia berbisik, "kau tahu, ia bilang ia melihat orang berciuman di kamar kita—jadi kurasa… itu juga dilarang, untuk beberapa minggu ke depan."
Alucard menyendoki sayur ke mulutnya, berusaha untuk tidak memuntahkannya kembali ke mangkok. "Aku tahu, aku tahu—tapi darimana menurutmu ia dapat penglihatan seperti itu kalau bukan dari kita?" ibunya lanjut berbincang—atau bertengkar, suaranya yang lembut perlahan menjadi paksaan dan ia berkacak pinggang di depan pesawat telepon. "Sayang, aku mencintaimu, tapi kau bertingkah kekanak-kanakan sekarang."
Kemudian ia melihat lagi—orang yang sama, berjalan melewati koridor rumahnya, dengan mulus berjalan mengendap melewati punggung ibunya. Wajahnya nampak sangat bersedih. Alucard turun dari kursinya, ia menarik-narik lengan baju ibunya, yang melihatnya dengan tak senang—"Alu, mama sedang sibuk."
"Ta-tapi orang itu ada lagi!"
Ibunya menutup teleponnya dengan satu tangan, perhatiannya pada anak tunggalnya. "Dimana?"
"Itu!" ia menunjuk ke arah mana sosok itu berjalan, tetapi tak ada apapun di sana—membuatnya menautkan alisnya dengan heran. Itu tidak mungkin, kan? "Loh."
Wanita itu mengacak puncak kepalanya, "Alu, naiklah ke kamarmu kalau sudah selesai makan, ya?"
Yasudah, ia juga tidak nafsu makan (yuck, siapa sih yang menanam sayur-mayur, tidak lihatkah mereka pada penderitaan anak-anak di seluruh dunia?). Alucard—sedikit kesal—menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya. Tetapi ia berhenti saat melihat sosok itu berdiri di puncak tangga, kemudian berjalan turun tanpa menanggapi kehadirannya—melewati tubuh Alucard yang transparan. Alucard ternganga—apa yang terjadi? Ia mencoba untuk bertanya, tapi suaranya tak keluar.
Ia memutuskan untuk mengikuti bayangan itu—berlari melewati ibunya—"Alu! Jangan berlari di dalam rumah! Anak nakal!"
Ia berhenti pada sebuah pintu di dapur. Sosok itu memutar kenopnya dan ia berjalan masuk—tapi Alucard tak dapat masuk, karena kondisi fisik pintu itu adalah tertutup rapat dengan enam macam kunci yang menjadi peringatan tak tertulis bahwa tak ada yang menginginkan kehadiran siapapun itu di bawah sana. Alucard sempat memutuskan untuk mengabaikan apa yang ia lihat—atau menangis dan mengatakan pada ibunya kalau rumah ini berhantu.
Tapi ibunya tak pernah memercayainya. Karena hantu tidak ada.
Ia berpikir untuk mengampiri ibunya, cepat atau lambat—tapi mendengar tawa keras wanita itu membuatnya mengurungkan niatnya. Ibunya mungkin tak akan mendengarkannya. Jadi ia memutuskan untuk ke luar melalui pintu belakang—ia ingat ada jendela kecil di sisi rumah ini yang menembus ke apapun itu yang ada di balik pintu usang itu.
Jadi ia berjalan ke luar, lalu mengitari rumah untuk mencari jendela yang ia sumpah ia lihat sebelumnya. Jendela kecil itu ada di dekat gubuk rendah di sisi rumah, yang digembok dan pintu depannya dirantai dengan rantai berkarat yang mungkin sudah tak berpindah sejak bertahun lamanya. Jadi ia mengintip ke dalam melalui jendela, berbaring dengan perut menyentuh tanah.
Di dalam sana, orang itu—seorang pria, dengan surai yang persis seperti dirinya dan bola mata cerah yang diremangi cahaya lilin—mengitari seorang pria lainnya; yang nampak tak berani bergerak keluar dari lingkaran di bawah kakinya. Lingkaran itu lucu, Alucard pikir—warnanya kemerahan, dengan gambar bintang di tengahnya, dan motif aneh menghiasinya. Pria di tengah lingkaran—surainya putih dan kulitnya berwarna tidak normal—memandang lawannnya dengan tajam.
Ia tertawa.
Pria di tengah lingkaran itu tertawa—tubuhnya dengan cepat berputar ke arah Alucard—matanya bersinar terang seperti menghasilkan cahaya sendiri. Alucard terlonjak mundur, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Ia berlari masuk ke rumahnya, masih merasakan sepasang mata itu menatapnya dalam sampai ke dalam hatinya. Saat di dalam, ia baru merasakan tubuhnya basah kuyup.
Alucard memandang keluar, dan menyaksikan langit menangis. Air matanya mengetuk jendela dengan ricuh. Alucard segera dihampiri oleh ibunya, yang berkacak pinggang. Jari telunjuknya mendarat di bibirnya, lalu diarahkan pada Alucard. "Jangan bergerak dari situ." Katanya dengan tegas, dan Alucard menurut.
Tak lama ibunya kembali, dengan handuk kering. Tubuhnya dikeringkan, ibunya memintanya untuk melepaskan pakaiannya yang berlumpur dan basah kuyup—Alucard menurut juga, dan kemudian ia dituntun ke kamar mandi. "Mama sudah bilang, kan? Ingat-ingat kamu dimana sebelum pergi keluar." Nada bicaranya lembut—ini bukan pertama kalinya ia pergi dan lupa suasana sekitarnya. "Kamu tidak mau kan, mereka di dalam kepalamu membuatmu melakukan hal tak terpuji?"
"Ta-tapi aku melihatnya, betulan! Ada orang di bawah!"
Ibunya mencubit pipinya. "Mandi, Alu; setelah itu kita ke bawah kalau itu membuatmu merasa lebih baik."
Jadi Alucard menyelesaikan mandinya dengan cepat—berganti pakaian dengan cepat dan mengampiri ibunya yang mengurusi cuciannya. Ia menarik-narik baju ibunya, tak sabar. Kali ini ia tahu ada orang di bawah sana. Ia tahu. Ibunya tertawa, dan ia, ditemani ibunya, kembali ke dapur. Ibunya memiliki kunci dengan gantungan berbentuk cincin besar—dengan kunci bermacam-macam ukuran dan bentuk. "Mari lihat… kunci kamar atas, kunci kamar mandi utama… kunci gudang… kunci lantai tiga—ah, kunci pintu dapur—eh?"
Ibunya menyentuh pipinya. "Mama… tidak memiliki kunci untuk membuka semua gembok ini, sepertinya."
"A-ada pintu di belakang! Kita bisa lewat belakang!"
"Alu, diluar hujan. Mama tidak mau kamu flu." Mereka berdua terdiam. Alucard menatap ibunya dengan kecewa, dan marah. Kalau saja ibunya mendengarkan tadi, ini tidak akan terjadi. "Ta-tapi… mungkin… kalau kamu pakai jas hujan, mama bisa menemanimu?" ibunya menarik kunci yang lain, kali ini berlabel, 'basemen luar'—membuat Alucard tersenyum lebar. "Jangan bilang papa?"
"Janji!"
.
.
Gemboknya terbuka dengan bunyi yang keras—dan rantai yang menutupi terasa sangat berat dan lengket pada tangannya yang kecil. Ibunya memayunginya selama ia menarik rantai itu. Saat rantainya terlepas, Alucard menarik kedua gagang pintunya dengan sekuat tenaganya—tak salah lagi ibunya terkekeh di belakangnya saat melihat pintunya bergeming. Ibunya membantu, dan pintunya terbuka; menampakkan tangga turun menuju basemen rumah.
Alucard melompat turun lebih dulu, senternya segera ia arahkan ke dalam. Ibunya mengikutinya, tangannya menyentuh pundaknya, ia merasa ibunya menyentuhnya dengan sangat kuat seolah takut melepaskan—atau ia yang takut. Alucard tahu ibunya takut. Jadi sebelum mereka menyentuh lantai basemen, ia menoleh ke arah ibunya, yang menggandeng tangannya bersama-sama melangkah turun.
Di bawah, ibunya tersenyum padanya. Alucard menyenteri seluruh ruangan di sana—kosong, tidak ada apapun kecuali bercak berwarna hitam gelap di lantainya, seperti arang, dan rak-rak yang seluruhnya menempel pada dinding.
"Tidak ada apapun, kan?" ibunya bertanya padanya. Tangan wanita itu meraih puncak kepala Alucard dan mengacaknya. "Ayo kita kembali ke atas sebelum papa pulang."
"Ta-tapi—tapi aku melihat orang disini tadi!" ia memekik. "Ada laki-laki dan—laki-laki! Dan… dan gambar lingkaran besar! Dengan—"
"Alu, sayang, kau tahu itu mungkin hanya permainan mereka dalam kepalamu, kan?"
"Aku tidak bohong! Ada orang disini, tadi!"
"Sayang, mama tahu Alu tidak bohong, tapi apa yang Alu lihat belum tentu benar-benar terjadi sungguhan, kan?"
Ibunya menungguinya, memintanya untuk menelusuri sekeliling ruangan itu. Ibunya mengampiri rak-rak dengan rongsokan. Alucard menoleh ke sisi lain ruangan, dekat dengan akses masuk melalui dapur. Di ujung sana, ada bola berwarna merah delima; bola yang sama yang tadi terlempar keluar kamarnya. Tentu Alucard mengenali bola itu—ada coretan spidol papan tulis permanen di sana, menuliskan namanya dan seorang anak perempuan tomboi yang ia kenal sebelum pindah kemari.
Ia mengambil bola itu, bertanya-tanya apa yang benda itu lakukan di sini.
.
.
Ibunya mengecup dahinya sebelum ia pergi keluar dari kamar Alucard untuk menyambut ayahnya.
Alucard menendang selimutnya, ia berjalan menuju kotak yang belum sempat dibenahi, dan mengambil sebuah buku yang biasa ia baca sebelum tidur. Senter di atas meja—ia kembali ke kasurnya, menyelimuti kepalanya dengan selimut dan mulai menyenteri buku itu. Mulai membaca—hingga ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka perlahan.
Alucard menahan napasnya, pelan-pelan ia mengintip melalui celah selimutnya. Pintunya tertutup, dan suara yang sama sepertinya berbicara, "Hai, maaf aku terlambat—oh."
Sosok itu—adalah orang yang tadi. Wajahnya sama persis seperti Alucard, rambut yang sama—dan bola mata muram. Apakah ibunya sedang bercanda? Siapa orang asing ini? Pria itu tersenyum padanya, membuat Alucard ketakutan setengah mati. "Halo." Sapanya. Alucard mengeratkan selimut pada tubuhnya, pelan-pelan mundur hingga punggungnya menyentuh kepala ranjang.
"Um. Halo…?" ia balas, "Si-siapa kau…?"
Ia mendekati Alucard, lalu duduk di sisi ranjangnya. "Kau pasti adiknya Miya, ya?" ia tertawa, tangannya meraih Alucard—tapi melihat reaksi penolakan yang dibuat jauh sebelum ujung jemarinya menyentuh pipi, pria itu mengurungkan niatnya. "Miya bilang ia kehilangan adik laki-lakinya. Syukurlah kau tidak apa-apa."
"Siapa Mia?" banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak Alucard. Mungkin ia harus berteriak memanggil ibunya. Tapi saat ia membuka mulutnya untuk berteriak, pria itu menyela.
"Hei, berapa umurmu?" ia bertanya dengan lembut, namun Alucard tahu ada motif yang lebih besar dibalik pertanyaan itu. Saat pria itu melanjutkan—dengan selingan tawa halus dan tatapan mata kosong—Alucard tak bisa berhenti merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. "Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Hanya—maukah kau melakukan sesuatu untuk membantuku?"
"Uh…."
"Kumohon?" pria itu memandangnya dengan penuh harap. Matanya tak secerah senyumnya—Alucard merasa ketakutan. Tapi pria itu mendekatinya, ia berkata lagi, "Ini kepentingan hidup dan mati seseorang yang sangat, sangat, kusayangi. Tidak maukah kau membantuku melakukan suatu hal kecil untuk suatu hal yang besar?"
Suatu hal kecil—katanya. Mungkin Alucard bisa membantu.
"Ini akan jadi rahasia kecil kita, bagaimana?"
.
.
Alucard mengamati ibunya yang memasak di dapur, menyenandungkan nada-nada yang amat familiar—lagu nina bobo-nya, tanpa nilai artistik yang sering dikeluarkan ibunya, wanita itu menyanyi dengan sumbang seolah tak ada mata yang menyaksikan. Ia melempar bolanya ke dinding kamarnya, bolanya memantul lagi kembali padanya. Membosankan.
Ia tidak diizinkan keluar sama sekali, dan disuruh untuk menunggui seseorang yang akan datang.
Di kamar.
Bahkan ke toilet sendiri pun dilarang—ibunya dengan keras kepala memintanya untuk memanggil bila ingin sesuatu, atau pergi ke toilet.
Ia bermain dengan kereta api mainan, menyaksikannya bergerak mengitari rel. Alucard meletakkan objek asing di dalam rel, untuk menyaksikan kereta itu terus berputar dengan mendorong barang asing itu bersamanya mengitari rel, atau keluar dari jalur. Kadang-kadang ia menatap ke luar jendela—kadang-kadang ia berniat untuk naik ke kasurnya dan tidur.
Tetapi ia mengurungkan niatnya karena ibunya bilang seseorang akan datang untuk menemuinya.
Ia berusaha untuk tak tertidur karena kebosanan yang hinggap, tapi akhirnya ia kesulitan. Ia memejamkan matanya, dengan kepala yang dipangku di atas tangannya yang menyilang, mengabaikan perasaan tak nyaman karena berat yang membebani tangannya, tubuhnya berbaring datar dengan perut menyentuh lantai, menyaksikan kereta mainan itu berlalu dengan kecepatan konstan. Ia menguap.
Lalu tertidur.
Dalam mimpinya, ia melihat seorang wanita, dengan surai perak yang menari-nari seiring dengan irama tubuhnya. Alucard merasa seperti ia sedang menangis. Tak jauh dari dirinya, tubuh seorang lainnya terbaring dengan mata yang terpejam—wajahnya memucat, agak keunguan. Wanita itu memeluk Alucard, erat. Kata-kata yang mengalir dari mulutnya tak dapat segera Alucard pahami, tapi ia dapat mendengar rangkaian kata seperti doa dalam bahasa lain yang dilontarkan wanita itu kepada telinga Alucard yang masih menangis.
Akhirnya, wanita itu berdiri. "Aku… pergi sebentar, ya?" ia berucap dengan penuh sesal, nada bicaranya memilukan—sesaat Alucard berpikir pasti terjadi sesuatu, hingga matanya ia beranikan untuk melihat sosok yang terbaring di atas kasur itu. Pucat; seperti mayat—segera Alucard memahami apa yang sedang terjadi.
Wanita itu memiliki bola mata berwarna keunguan saat matanya bertemu dengan milik Alucard. Ia merasakan wanita itu memeluknya sebelum beranjak, kecupan singkatnya masih terasa pada dahinya. Alucard—tanpa benar-benar mengetahui apa yang ia lakukan—berjalan mengendap-endap di belakang wanita itu, yang menyentuh dinding sebelum mulai menuruni tangga.
Alucard mendorong wanita itu—hantaman dan suara kecil seperti retakan memenuhi indera pendengarannya. Alucard tak tahu apa yang ia lakukan, semuanya terasa ringan, namun semuanya terlalu berat. Tangannya tak bergerak dari posisinya saat ujung jemarinya memberi gaya dorong pada punggung wanita itu. Ia berkedip, air matanya mengalir semakin deras.
Tubuhnya terbanting cukup keras saat menemui lantai—matanya yang tak berkedip tanpa cahaya memandang lurus pada Alucard, yang kini hanya mampu mengoceh tak karuan. Alucard merasakan dirinya menangis, merasakan dadanya tiba-tiba menjadi sesak saat ia berlari menuruni tangga untuk mengecek kondisi wanita itu—wanita itu tidak bernapas, lehernya dalam kondisi yang tak seharusnya.
"—Alu, sayang?"
Suara ibunya membangunkannya dari mimpi (buruk). Ia berkedip, sekali, dua kali—merasakan air matanya meleleh dan meninggalkan jejak pada pipinya. "Tidur nyenyak?"
Alucard menggelengkan kepalanya, ia memeluk ibunya dengan erat. Tangannya mencengkeram pakaian ibunya agar ia tak lepas. Ia terisak—ingin menceritakan apa yang ia lihat pada ibunya, namun ia tak mampu—tak berani membayangkan tatapan mata kosong itu. Punggungnya dielus untuk menenangkannya.
"Mungkin ia bisa membantumu," kata ibunya. Pelukan mereka dilepas, dan ibunya menunjukkan wanita itu, bertelut tak jauh dari mereka—dengan senyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa. Surai peraknya diikat tinggi, permata keunguannya berpendar hidup, tidak seperti dalam mimpinya. "Kau bisa menceritakan apapun padanya, sayang. Ia akan membantumu."
Melihat wanita itu segera menarik jeritan histeris keluar dari mulutnya.
.
.
Alucard terus menggenggam lengan ibunya dengan kuat, ia menyembunyikan wajahnya di belakang ibunya—berusaha membuat wanita itu tak mengenali wajahnya. Beruntungnya, wanita itu belum mengatakan apapun tentang Alucard yang mendorongnya jatuh dari tangga.
"Halo, manis, namaku Miya. Aku disini untuk membantumu." Ia memulai dengan perlahan. Mendengar namanya membuat wajah Alucard memucat—kemarin malam, pria itu menyebut seseorang dengan nama Mia. Dan ia diminta tolong untuk—
"Alu?"
Ia tersentak. "Um. Halo?" ia memeluk lengan ibunya lebih erat—sesuatu membisikkannya untuk tak melepaskan, takut-takut ibunya pergi dan tak menahannya untuk melakukan sesuatu karena impulsnya—imej wanita itu, terbujur tanpa nyawa di anak tangga terakhir. Ia menatap wanita itu dengan paranoia pada dirinya sendiri, dan hidup wanita itu. "A-aku… tidak butuh bantuan siapapun."
"Alu…." Ibunya memulai. "Tadi malam kamu menyayat tanganmu sendiri, dan katamu seseorang memintamu untuk melakukannya." Ia menghela napas, tangannya mengusap kepala Alucard dengan tujuan untuk meyakinkannya. "Mama tahu mereka yang memintamu untuk melakukan demikian, kan?"
Tiba-tiba tangannya terasa gatal—setelah ibunya menyebut itu, ia baru menyadari perban yang membalut punggung tangan kirinya, tepat pada telapaknya ada bercak kemerahan yang mengering. Alucard menekan bercak itu—dan benar saja, rasanya amat menyakitkan.
Alucard menggeleng, kepala batu. "Tidak ada mereka dalam kepalaku, ma." Ia menjelaskan, yakin. "Orang itu sungguhan ada!"
Ibunya menoleh pada wanita itu—Miya—yang menautkan alisnya saat mendengar ucapan Alucard. Tatapannya adalah 'sudah-kubilang-apa' dan wanita itu memiringkan kepalanya. "Alu, bisa jelaskan seperti apa orang itu?"
"Uh… rambutnya putih?" ia mengingat-ingat orang yang dilihat kemarin, yang menyelinap ke kamarnya saat malam hari. "Ia datang ke kamarku tadi malam, dan katanya ia membutuhkan bantuanku, jadi aku membantunya."
"Uh-huh. Bantuan seperti apa yang ia inginkan?"
Alucard mendadak pusing—ia ingat orang itu mengatakan sesuatu padanya. Dan ia berjanji akan membantunya. Tapi ia tidak mengingat apapun. Yang ia ingat hanya terbangun di pagi hari dengan ibunya yang duduk terlelap di sisi ranjangnya, kursi goyangnya berayun malas. Bukunya terletak di meja di samping kasurnya, bersama dengan senter dan kotak pertolongan pertama.
"Aku… tidak ingat." Katanya. "Tapi ia bilang ia butuh bantuan untuk… sesuatu."
"Dan… apa 'sesuatu' ini?"
"…aku tidak ingat."
"Apakah 'sesuatu' ini membuatmu menyakiti dirimu sendiri, Alu?"
Alucard menautkan alisnya. Ia bahkan tidak ingat apa yang ia lakukan sebelum tertidur tadi malam—hanya orang itu. Ia menggeleng, kuat-kuat. Miya menulis sesuatu pada catatannya—Alucard merasa sesuatu memanggilnya untuk menarik pulpen itu dari tangannya dan melakukan hal buruk pada kedua bola mata keunguan wanita itu. Ia menggeleng kuat-kuat, berharap pikiran jahat itu enyah dari kepalanya.
Ibunya menyadari tingkah itu. "Ada yang ingin kamu sampaikan pada Miya, Alu?"
Alucard menggeleng. Ibunya tidak menerima tidak untuk jawaban. "Ayo, jangan malu-malu—ceritakan pada Miya tentang orang yang kamu lihat di kamar mama kemarin."
Ia merasa ini tak berguna. Ia tak mau bicara apapun lagi. Rengutannya membuat Miya tersenyum maklum, wanita itu menutup buku catatannya, dan sedikit membungkuk untuk bertemu pandang dengan Alucard yang menyembunyikan wajahnya di belakang lengan ibunya. "Alu, apa kau akan merasa lebih baik bila hanya aku yang mendengarkan, tanpa mamamu?"
Ia menggeleng.
"Bagaimana kalau lusa?" wanita itu bertanya, ia mengeluarkan permen dari dalam tasnya, dan menyerahkan itu pada Alucard yang menerimanya dengan satu tangan. "Aku akan bawa cokelat. Kau suka cokelat?" ia mengangguk pada wanita itu, senang—ibunya tak suka memberinya cokelat. Katanya ia suka tak sikat gigi usai makan.
Kemudian ibunya pergi ke ruangan lain bersama Miya. Wanita itu menjelaskan pada ibunya untuk tidak begitu khawatir; karena mungkin Alucard hanya memiliki teman imajinasi, seperti kebanyakan anak pada umumnya, dan cepat atau lambat ia akan melupakan itu.
"Tapi aku masih perlu mengamatinya untuk membuat diagnosis—anda bilang halusinasinya telah berlangsung selama… sejak ia lima?"
Ibunya mengangguk, nampak benar-benar khawatir. "Kami hanya tidak ingin ia dianggap anak yang bermasalah dan tumbuh dengan stigma, jadi selama ini… kami biarkan. Lagipula ia tidak melakukan hal yang berbahaya—katanya temannya bermain bersamanya, membantunya menggambar dan melakukan pekerjaan rumahnya." Ia mengingat-ingat lagi. "Oh, dan katanya temannya juga melindunginya. Ia pernah bilang kalau temannya menakuti anjing-anjing yang mengejarnya. Menggemaskan, kan?"
"Sebenarnya tidak ada salahnya memiliki teman imajinasi." Wanita itu bilang, "Hanya saja… masalah akan terjadi bila temannya memintanya untuk melakukan hal-hal buruk—bila hal itu terjadi maka teman imajinasinya yang menggemaskan menjadi iblis kecil penghasut yang nakal."
Alucard menghela napas. Ia berjalan ke dapur, dan mengambil kotak serealnya untuk makan.
Tangannya gemetaran saat memegang sendok kala mendengar suara wanita itu dari ruang sebelah—ada dorongan yang kuat untuk mengampirinya dan melakukan suatu hal buruk pada wanita itu.
.
.
Benar saja, beberapa hari kemudian, saat ia sedang bermain di kamarnya seorang diri, pintu kamarnya diketuk. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat Miya berdiri di sana, bersama ibunya. Miya melambaikan tangannya sekilas, "Halo, manis, boleh aku masuk?"
Alucard mengangguk. Miya memasuki ruangan dan ibunya pergi meninggalkannya—Alucard dapat mendengar suara ceret yang menjerit nyaring dari dapur. Wanita itu bertelut di sebelahnya, ia meraih sesuatu dari tasnya. Satu batang cokelat, sesuai yang ia katakan kemarin. Alucard merampasnya dari tangan memberi wanita itu, membuatnya terkekeh.
"Jadi… aku ingin mendengar tentang temanmu. Siapa namanya?"
Ia membuka bungkusan cokelatnya, sambil berusaha mengingat-ingat. "Um… aku tidak tahu kalau aku dan dia berteman." Alucard juga tidak tahu namanya.
Miya tertawa. "Tentu saja kalian berteman, Alu." Ia membuka bukunya, "Ia pasti teman yang baik sampai mau mengikutimu pindah ke rumah barumu di sini."
Alucard melirik Miya, wanita itu masih tersenyum kecil—tetapi tatapan matanya yang kosong membuat Alucard bergidik. Ia mengingat Miya yang kemarin berbaring, dan ia mengingat dirinya menangis. "Um… aku…."
"Ayo, jangan malu-malu, kau bisa ceritakan semuanya padaku. Apapun itu."
Ini akan jadi rahasiah kecil kita, bagaimana?
Ia menggigiti batang cokelatnya. "Aku… tidak tahu namanya." Ia membalas, meyakinkan dirinya untuk lanjut menceritakan apa yang orang itu katakan padanya, beberapa hari silam. "Ia bilang… ia butuh bantuanku untuk membantunya menolong seseorang yang ia sayangi."
Miya menatapnya—jangan bayangkan tatapan hampa itu—dengan bola mata berkilat, menandakan kalau ia masih hidup. Bibirnya melukiskan senyuman yang tulus, seraya ia berkata, "Jadi kau membantunya?"
"Y-ya."
"Dan… kau melukai tanganmu…?"
Ia menggelengkan kepalanya. Ia mengubah posisinya, hingga duduk bersila di hadapan wanita itu, yang masih sabar menunggu jawaban darinya. Dalam diam memintanya untuk menjelaskan lebih rinci apa yang sebenarnya terjadi padanya. "Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi—sungguh!"
Miya terdiam, agak lama. Alucard menundukkan kepalanya, sedang mulutnya masih melumat ujung cokelat pemberian Miya. Tangannya masih berdenyut kesakitan tiap kali seseorang mengungkit topiknya—entah itu ayahnya atau ibunya, di meja makan.
"Bagaimana sekolahmu?" akhirnya wanita itu bertanya. Alucard mengangkat kepalanya, memandang Miya—tidak, ia belum benar-benar menghadiri sekolah barunya. Jadi ia tidak tahu. Semoga teman-temannya yang baru akan baik, seperti teman-temannya di rumahnya yang dulu.
Hari itu Miya hanya menanyakan tentang dirinya sendiri—dan pada akhirnya, ia berjanji akan membawakan lagi cokelat untuk Alucard.
Setelah itu, Miya berdiri. Alucard mengikutinya keluar pintu kamarnya—pandangannya tiba-tiba mengabur dan ia teringat pada kejadian itu, dalam mimpinya. Langkah wanita itu perlahan, Alucard mengamati punggungnya yang semakin menjauh. Ia merasakan dorongan itu lagi—dorongan yang kuat untuk menyakiti wanita itu, lagi, seperti dalam mimpinya.
Ia tidak tahu apa yang terjadi—saat ia sadar, wanita itu telah berbalik memandangnya, kakinya terselip dari anak tangga. Alucard mengulurkan tangannya sebelum wanita itu dapat terjatuh sepenuhnya. Wajahnya memanas, melihat mata wanita itu yang berkilat tidak percaya—Miya meraih tangannya yang terulur.
Lalu mereka berdua terjatuh, tubuhnya didekap erat hingga tak merasakan hantaman apapun saat tubuh Miya terbanting ke lantai rumahnya.
Alucard menangis saat menyaksikan mata wanita itu terpejam erat, tubuhnya bergeming.
.
.
[to be continued.]
note: ik its hella confusing but bear with me ok
ini awalnya cuma alibi saya buat nulis smol alu, tapi lama-lama ada plot, dan saya bingung sendiri harus diapain. saya gabegitu paham nulis anak-anak, jadi meh untuk karakterisasi. saya dah nulis keseluruhan plotnya, cuma karena saya mageran, jadi ya:) seharusnya ini bisa oneshot, tapi saya lagi kepengen dramatis, jadi maaf. inspirasi dah didetailkan di note awal, saya masih kepengen tau banget tentang itu btw (cookies for anyone who can tell me what im actually rambling about;)
rencananya ini adult zilong/smol cinnamon roll alu, saya gatau dimana tbtb saya mikir ini lebih menarik dari itu (no spoiler for u children;)). mungkin ga keliatan di sini, tapi chapter 2 bakal lebih fun(tm) dibanding ini (ch1 dah ada alu celakain miya lmao, virgin sacrifice next, probably)
uh, anyway review? im lazy tho jadi harap-harap cemas aja ini kelar sebelum tahun baru, idk
—Jakarta, 16 Agustus 2018, 11:19 AM.
