Pattisiere |

Disclaimer : all characters that Masashi Kisimoto own

Genre : romance/drama/hurt

Rate : M

Chapter 1

"Pesona sang Dewi"

Kafe khusus dessert itu terlihat ramai. Beberapa pelayan berlalu-lalang untuk melayani tamu. Pengunjung kafe terdiri dari beberapa kalangan. Anak-anak, remaja, maupun orang dewasa senantiasa memenuhi kursi-kursi yang tertata rapi. Tidak hanya terkenal dengan menu-menunya yang lezat, kafe itu juga terkenal karena dekorasi ruangannya yang menarik. Kafe itu di dominasi dengan warna soft purple dan biru langit. Beberapa lukisan-lukisan abstrak memenuhi sudut ruangan. Namun, ada satu lukisan besar yang menjadi pusat perhatian di kafe itu. Lukisan sepasang laki-laki dan perempuan yang saling berpandangan satu sama lain. Perempuan dalam lukisan itu berambut panjang dan berwarna indigo. Matanya tanpa pupil dengan iris yang berwarna soft lavender. Cantik. Perempuan itu terlihat sangat cantik. Bahkan mungkin, perempuan itu terlihat lebih cantik aslinya. Tidak sedikit dari beberapa pengunjung pria yang terpesona dengan lukisan itu. Bahkan mereka iri pada pria yang ada dalam lukisan itu. Pria itu terlihat sedang memeluk pinggang ramping dan memegang sebelah pipi perempuannya. Romantis sekali bukan?

Hari ini pengunjung kafe terlihat lebih ramai dari sebelumnya. Para pengunjung terus berdatangan. Para pelayang merasa kewalahan dengan kedatangan pengunjung yang tidak ada habisnya. Kakashi, pria dewasa yang terlihat sangat tampan meski wajahnya ditutupi masker itu pun menginstruksikan para bawahannya untuk lebih gesit melayani pengunjung. Pria berambut perak itu kesana-kemari sambil mengeluarkan kata-kata perintah dengan tegas. Terdengar bisik-bisik dari beberapa pengunjung wanita sambil melirik dengan genit kearah Kakashi. Meski di umurnya yang menginjak ke-34 tahun, pesona yang dipancarkan pria itu seakan tidak berkurang. Kakashi hanya diam dan acuh diperlakukan seperti itu. Baginya, hanya ada satu perempuan yang selalu mengisi hatinya. Perempuan yang sesungguhnya tidak bisa diraihnya. Perempuan yang memiliki status sosial yang jauh berbeda. Yah, meskipun ia tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah berpaling pada perempuan lain. Perempuan yang menurutnya seorang jelmaan dari sosok dewi bulan pengendali air dalam mitologi kuno. Terdengan konyol bukan? Tapi Kakashi tidak menghiraukan hal itu.

Suara ketukan pantofel menggema di dalam kafe. Seorang pria tinggi dan bertubuh tegap berjalan dengan penuh percaya diri. Sesekali ia tersenyum ramah pada para pengunjung wanita yang sontak saja mengundang bisik-bisik yang terdengar manja. Pria itu terus berjalan ke arah lukisan utama yang terpasang dengan anggunnya. Beberapa pelayan membungkuk sopan ketika berpapasan dengannya. Pria itu berhenti di depan lukisan besar itu. Membuka kacamata hitam yang di pakainya dan memasukan kaca mata itu pada saku jasnya. Pria itu terlihat menyunjingkan senyuman lebarnya. Tangannya yang besar dan terlihat sedikit kasar itu mulai menelusuri objek perempuan yang merupakan suatu keindahan baginya. Ia kembali tersenyum ketika melihat potret dirinya yang berada dalam lukisan itu. Beberapa pengunjung mulai menyadari sesuatu. Mereka menatap lukisan dan pria itu secara bergantian. Sampai akhirnya mereka menyadari, bahwa pria tinggi itu, adalah sosok yang tergambar dengan sempurna pada lukisan itu.

"Tuan Namikaze?" merasa namanya di panggil, pria itu menoleh ke sumber suara.

"Ah, Kakashi! Bagaimana kabarmu?"

"Saya baik, Tuan. Bagaimana dengan anda?"

"Oh ayolah, jangan berlagak sok formal begitu. Panggil saja Naruto." Pria yang ternyata bernama Naruto itu merangkul bahu Kakashi dengan akrab. "Oh ya, dimana dia?" lanjut Naruto

"Nona ada di dapur. Oh ya, apa nona tidak mengetahui kedatangan anda?"

"Tidak, aku tidak membertitahunya tentang kedatangannku ke Jepang. Aku ingin membuat kejutan untuknya." Ucap Naruto dengan antusias. Kakashi hanya tersenyum tipis melihat tingkah Naruto yang menurutnya tidak berubah. Pria itu pun mempersilahkan Naruto untuk segera menemui 'nona-nya'.

Suasana di dapur tidak kalah ramai dengan suara di dalam kafe. Disana, terlihat sesosok wanita yang sedang menginstruksikan perintah pada bawahannya. Rambut panjangnya yang di kuncir kuda bergoyang mengikuti gerak tubuhnya. Satu tangannya ia letakan dipinggang dan satunya lagi ia gunakan untuk menunjuk-nunjuk mengarahkan sesuatu. Wanita itu terlihat galak. Tidak ada senyum di wajah cantiknya, hanya ada tatapan tajam dan raut wajah yang datar yang diperlihatkannya.

Naruto menyenderkan samping tubuhnya pada pintu dapur. Ia melipatkan tangannya di dada sambil tersenyum dengan geli. Naruto mengawasi gerak-gerik sang wanita. Sesekali ia terkekeh sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Orang-orang yang menyadari kehadiran Naruto hanya diam. Pria itu meletakkan telunjuk pada bibirnya, memberikan isyarat pada mereka untuk tetap diam. Beberapa pelayan yang berada di dapur terlihat menahan tawa. Wanita yang sedari tadi di awasi oleh Naruto hanya mengerutkan kedua alisnya.

'Apanya yang lucu?' pikir wanita itu

"Kau tidak perlu segalak itu, sayang." Bisik Naruto sededuktif mungkin.

Wanita itu diam, nafasnya tercekat. Ia menolehkan kepalanya ke samping. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui orang yang sedang berbisik padanya.

"N-naruto?"

"Ya, Hinata. Aku sudah kembali." ucapnya sambil mengecup bibir merah wanita yang ternyata bernama Hinata.

Hinata membalas kecupan Naruto dengan lembut. Kecupan-kecupan itu berubah menjadi lumatan. Mereka saling menangkap bibir satu sama lain. Meraba, meremas, dan memeluk. Seolah mereka tidak punya waktu lagi untuk hal itu.

"E-emmh, mmmhhh.." lengguhan dari Hinata hanya memperburuk keadaan. Hal itu membuat birahi Naruto menjadi naik.

Naruto mulai menelusupkan tangannya di balik kemeja kerja Hinata. Tangan besar dan kasar itu meraba-raba perut Hinata dengan pelan. Meraba sekaligus mencubit gemas pantat sintal yang menggairahkan. Tak ingin kalah, Hinata memulai aksi jelajahnya. Tangan mungil nan halus itu menelusuri wajah, rahang dan turun ke leher Naruto. Usapan-usapan lembut itu semakin membuat si empunya menggila. Tangan mungil itu turun dan membelai dada bidang Naruto, membelai dengan perlahan. Ciuman Naruto terlepas, kini leher jenjang Hinata menjadi sasarannya. Pria itu mengecup dan menghembuskan nafas hangatnya. Satu tanda merah berhasil dibuatnya. Kepala Hinata terasa pusing. Tubuhnya tidak bisa bertahan lagi, lututnya terasa lemas setelah menerima segala kenikmatan yang ditawarkan pria blonde itu.

"A-ahh, N-narutoh.. emmhhh" Hinata mulai meracau tak jelas. Tangannya meremas helaian pirang milik Naruto. Bukannya berhenti, Naruto malah menaikkan tubuh Hinata ke atas meja dapur.

Mereka kembali berciuman dengan panas, saling melilitkan lidah dan bertukar saliva. Naruto mulai melepaskan satu-persatu kancing kemeja Hinata. Bibir mereka masih berpangutan. Satu, dua, tiga, tiga kancing kemeja itu sudah terlepas. Mengekspos aset Hinata yang sangat berharga. Tangan Naruto terasa gatal, ia ingin segera meremas gundukkan besar nan kenyal itu. Hingga-

PRANGGG!

Suara benda yang jatuh itu menghentikan pergumulan mereka. Naruto yang merasa kesal karena kegiatannya terhenti hanya menghela nafas dengan kasar. Orang itu tidak salah, mereka berdualah yang salah. Mereka tidak menyadari, bahwa mereka masih berada di dapur kafe. Dapur dengan banyak pelayan yang berada di dalamnya dan terlihat cengo melihat kegiatan yang baru saja mereka lakukan. Hinata memeluk Naruto. Menyembunyikan wajahnya yang merah di dada bidang pria itu. Para pelayan hanya berdiri mematung dan tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Naruto yang menyadari situasi hanya tersenyum tanpa malu. Pria itu berbalik, menggendong Hinata yang merasa malu dan berjalan meninggalkan area dapur.

"H-hey, apa aku bermimpi?" tanya salah satu pelayan,"Aku rasa tidak."

"Entah mengapa ruangan ini menjadi panas." celetuk Kakashi yang sebenarnya ikut melihat adegan panas itu.

Tbc