Seperti biasa, kelas baru, teman baru, dan kesepian yang sama. Aku baru naik ke tingkat 1 Senior High School dan lagi-lagi sendirian. Aku tidak pernah punya teman yang benar-benar akrab. Semua melihatku seakan-akan aku ini wabah penyakit. Aku tidak peduli. Setiap masa akan lewat dan berganti dengan masa yang lain.

Itu bohong. Aku peduli.

"Raven Geer?"

Seorang guru berdiri di hadapanku. Ia cantik dan membawa-bawa buku tebal.

"Benar kan itu namamu?" Tanyanya ramah. Kelewat ramah malah.

"Eh, iya," jawabku.

"Kenapa masih di luar? Sudah masuk jam pelajaran ke lima. Aku guru Biologimu," katanya.

Wow. Hebat. Pasti semalaman ia berusaha keras menghafal nama dan foto setiap murid barunya. Aku mengapresiasinya. Aku pun berjalan mengekornya menuju kelas Biologi.

Ya, ampun. Kelas ini benar-benar payah. Mereka ribut dan berisik sementara aku diam. Kenapa sedetik rasanya seperti seabad? Sambil bengong aku memikirkan lagi hari ini. Guru yang cantik itu memperkenalkan dirinya sebagai Mrs. Mia Henderson. Ternyata dia sudah menikah, aku terkecoh oleh parasnya yang muda dan sempurna. Oh, pikiranku kembali ke dunia.

Seorang anak laki-laki ceroboh menabrak mejaku. "Hmm, maaf…eh…," ia terdiam kira-kira sebulan sebelum aku menjawab, "Raven Geer."

"Ah ya, Raven," ia nyengir bego di depanku. Rambutnya keriting kribo dan berantakan sampai menutupi matanya. Perawakannya kurus dan kecil. Hm, sepertinya ia belum melewati masa puber.

Anak laki-laki itu duduk di kursi di sebelahku. "Hai, aku Pete," sapanya padaku sambil terus nyengir.

Dan begitulah kira-kira hari pertamaku di kelas baru.

Ibuku Joan Geer, adalah karyawan di sebuah pabrik sepeda. Ia bekerja sangat keras demi aku. Dan ia memiliki hati yang murni. Karena tidak tega jika harus meminta uang darinya, aku sekali-sekali menjadi babysitter. Semua tetanggaku suka memakai jasaku karena aku terkenal anak yang baik, sopan, bertanggung jawab, dan tidak macam-macam. Ya iyalah, siapa lagi anak umur enam belas tahun yang tidak pernah ada di luar rumah pada pukul sebelas malam kecuali aku?

Sore ini, adalah jadwalku untuk menjaga bayi keluarga Hall. Aku suka bayi, dan Rachel Hall masih berusia delapan bulan. Ia lucu dan menggemaskan,

Aku memencet bel rumah keluarga Hall. Terdengar gedebak-gedebuk, tidak lama kemudian Mrs. Hall membuka pintu. Rambutnya digelung dan ia sudah berdandan rapi. Tapi, dia kelihatan panik. "Maafkan aku sayang, tapi kami benar-benar harus pergi sore ini. Apakah kau yakin bisa menjaga Rachel"

"Ya, Mrs. Hall," jawabku pasti.

"Baiklah, masuklah. Kami akan pulang sekitar jam sepuluh nanti. Ini susu dan baju ganti Rachel. Kau bisa lihat nomor ponsel kami di sini. Atau, jika keadaan darurat, segera telepon 911."

Dia memberi instruksi di sana-sini. "Aku juga sudah menitipkan Rachel pada Mrs. Jones. Jika kau tidak bisa sendirian, kau bisa pergi ke rumahnya," tambahnya. Mrs Jones adalah tetangga di seberang depan rumah keluarga Hall. Ia nenek tua janda yang tinggal sendirian.

"Baiklah, aku pergi sekarang. Hati-hati ya," pesannya. Ia segera berlalu bersama suaminya yang baru keluar kamar sambil membentak-bentak seseorang di ponselnya.

Aku menghela napas saat pasangan yang sibuk itu sudah pergi. Rachel sedang tidur pulas di boks bayinya. Aku menghempaskan diri di sofa dan menonton TV.

Satu jam berlalu.

Dua jam.

Di luar sudah gelap sekarang. Ini musim gugur yang dingin. Terdengar gemeresak pepohonan yang dihantam angin. Aku menyibak tirai dan mengintip keluar lewat jendela. Pohon willow di rumah Mrs. Jones bergoyang-goyang heboh ke kiri dan ke kanan. Awan hitam mengumpul tepat di atasku. Tidak ada seorang pun yang keluar rumah. Jalanan lengang dan sepi.

Hhh, di saat-saat seperti ini aku sebenarnya lebih suka berada di rumahku yang kecil dan hangat. Sambil meringkuk di kasur dengan selimut tebal. Oke, dan minum cokelat panas buatan ibuku.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Apa? Siapa itu? Maniak? Psikopat? Pembunuh berantai?

Aku benar-benar ketakutan. Secepat kilat aku menyambar remote dan mengecilkan suara TV. Hening sebentar.

Ketukan itu terdengar lagi. Oh, tidak. Kenapa harus pada malam badai seperti ini?

Aku berlari menuju Rachel dan mengangkatnya perlahan. Dia tidak terbangun. Aku menggendongnya dan menutupinya dengan selimut, lalu berjingkat-jingkat ke pintu depan. Sambil melewati ruang tamu, kusambar stik golf Mr. Hall yang tergeletak di guci antik dengan satu tangan. Aku mengintip lewat tirai jendela di samping pintu.

Pete? Bocah itu berdiri di depan pintu dengan wajah bingung. Mau apa dia?

Aku membuka pintu. Dia terlonjak kaget.

"Raven? Lama sekali kau membuka pintunya. Aku kira penciumanku salah!" serunya girang.

"Apa?" Kataku curiga. "Penciuman?"

"Eh, itu… kau sedang main golf?" Matanya terbelalak heran melihat stik golf di tangan kananku.

"Oh, tidak," jawabku cepat. Aku malu mengakui kalau aku ini pengecut. "Mau apa kau?" Tanyaku.

"Hei, santai saja Kawan. Aku hanya mengecek keadaan," jawabnya.

"Mrs. Hall memintamu mengecek Rachel?" Tanyaku.

"Apa? Eh, oh, iya… ya, aku disuruh mengecek bayi itu, Rachel ya?" katanya kikuk sambil memandang Rachel di gendonganku. "Hmm, ya, ya, aku ini saudara sepupunya."

"Oh ya? Aku baru tahu itu," kataku ragu.

"Bolehkah aku masuk? Di sini dingin," Tanyanya.

"Oke," aku menyingkir dan dia masuk. Lalu aku menutup pintu.

"Jadi, Rave, kau penjaga bayi?" Tanyanya saat kami duduk di sofa menonton TV.

"Iya, untuk tambahan uang," jawabku.

"Hmm, begini, sebenarnya…" kata-katanya terputus oleh suatu bunyi di luar. Pete menegang dan memelototi pintu.

"Apa?" Tanyaku.

"Ssst… tolonglah, jangan sekarang. Lindungi aku O, Soter…" gumamnya tidak jelas. Seluruh tubuhnya gemetaran.

Anak ini benar-benar gila. Ada apa dengannya?

Pete masih menggumamkan hal-hal lain yang kurang lebih seperti, "Oh, Zeus yang Agung, Pan, Artemis, siapapun…"

Pintu menjeblak terbuka. Di sana berdirilah… Mrs. Mia Henderson? Aku dan Pete berdiri.

"Mrs. Henderson?" Tanyaku bingung.

Wanita itu melangkah maju. Ia tersenyum ramah. "Panggil aku Mia, Sayang," katanya sambil terus tersenyum. Ia maju dan maju, sementara Pete mundur dan mundur.

"Mmm, malam yang indah ya?" Mrs. Henderson berkata padaku sambil memandangi Rachel. Aku mengira aku melihatnya menelan ludah.

"Mrs. Henderson…" kataku terbata.

"Menjauhlah iblis!" Pete tiba-tiba berteriak dan tubuhnya bergoncang hebat.

Mrs. Henderson sedikit terkejut dan kemudian memperhatikan Pete.

"Ah, dan kau adalah…" Mrs. Henderson terdiam dan berpikir keras.

Pete menendang sepatunya. Tampaklah sepasang… itu tidak mungkin kaki kambing, kan?

"Aku satir dan Perkemahan Blasteran," Pete berkata dengan gagah, atau setidaknya mencoba tampak gagah. Aku kontan melemas, hampir saja menjatuhkan Rachel.

Mrs. Henderson menjentikkan jari seolah berkata, "Aha!" Dia berkata senang, "Itu dia! Satir kecil, apa yang kau lakukan di sini?"

Aku tidak bisa mengatakan siapa yang lebih bingung. Aku atau Pete. Pete kelihatan semakin gugup melihat Mrs. Henderson yang cerah ceria.

"Mrs. Henderson, tunggu, ada apa ini?" Tanyaku histeris.

"Henderson adalah identitas palsuku, Sayang. Bisa repot jadinya kalau aku mengurus akte dengan nama Lamia, kan?" Jawabnya santai.

Pete megap-megap seperti ikan maskoki.

Mrs. Henderson menyeringai. Ia meregangkan lehernya seperti orang yang sedang encok.

Saat itulah Pete menemukan kembali suaranya. Ia mengoceh, "Tidak mungkin! Kau adalah impian semua murid laki-laki dan para guru pria heteroseksual!"

Guru Biologiku yang cantik jelita kemudian bertingkah aneh. Ia menjatuhkan diri ke depan dan terguncang-guncang seperti orang kerasukan atau menderita epilepsi.

Pete tersentak dan berteriak padaku, "LARIII!" Dia kabur. Sedetik kemudian dia kembali lagi untuk menyeretku yang masih mematung. Kaki kambingnya mengetuk-ngetuk lantai dengan berisik. Pete, aku, dan Rachel dalam pelukanku berlari kesetanan. Jauh di belakang, terdengar suara seperti menggeleser dan desisan.

Pete mendorongku masuk ke dalam VW butut Mr. Henley tua yang diparkir di ujung jalan. Untungnya, kakek itu sedang sibuk berusaha membuat pintu rumahnya terbuka sehingga dia tidak melihat kami mengutil mobilnya. Pete menyalakan mesin dan VW butut meraung protes. Kami melaju tersendat-sendat. Aku berteriak-teriak.

"PETE! APA YANG TERJADI? PETE?!" Jeritku.

"Jangan salahkan aku! Aku satir yang baru belajar!"

"AP—" DUAKK! Pete menerobos pagar rumah seseorang.

"Aku akan membawamu ke tempat aman!"

"TEMPAT APAAA?"

"Perkemahan Blasteran, tempat teraman bagi demigod!"

"APAA? MRS. HENDERSON—AAAAHHH!" kami berteriak. Satu sosok jatuh menimpa kaca jendela mobil. VW butut sukses menabrak pohon cemara di pinggir jalan.

"… oh, sial…" aku bergumam. Kepalaku pusing karena benturan. Aku merangkak keluar dari mobil. Sesuatu yang hangat mengalir di dahiku. Darah, kurasa. Rachel terbangun dan mulai menangis.

"Raven…" kudengar Pete memanggil dari sisi lain. Aku berhasil berdiri. Pete berlari sempoyongan ke arahku.

"Pete, apa kita menabrak seseorang?" Aku histeris.

Terdengar suara desisan dari bawah bemper depan mobil. Suatu tenaga tak kasat mata membanting mobil itu ke samping. Tamatlah riwayat VW butut Mr. Henley. Sosok yang tadinya berada di bawah mobil adalah Mrs. Henderson. Maksudku, separo Mrs. Henderson. Ia masih cantik seperti semula. Hanya saja dari pinggang ke bawah dia ular. Wajahnya pun memucat dan matanya berkantong seperti orang yang menangis tiap hari sampai air matanya kering. Ia tersenyum mengerikan padaku.

"Usaha yang bagus, Sayang. Tapi percuma berlari dariku," katanya. Suaranya berubah menjadi seperti pisau yang sedang diasah.

"Apa… siapa kau?" aku ingin menangis rasanya.

"Aku Lamia, Ratu Libya," jawabnya.