Disclaimer: Furudate Haruichi sensei adalah pemegang hak cipta anime-manga Haikyuu beserta seluruh alur cerita dan karakter-karakternya. Adapun saya sama sekali tidak mengambil keuntungan materiil dalam peminjaman karakter-karakter Haikyuu yang nasibnya saya ombang-ambingkan di dalam fanfiksi ini. Saya sarankan kepada kalian untuk mendukung Haruichi Furudate sensei, seminimalnya belilah komik Haikyuu yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia jika sudah tersedia di toko buku di kotamu.

A/N: Ini adalah salah satu fanfiksi berchapter banyak yang kembali mengambil latar Perang Dunia 2. Untuk beberapa masa nanti kayaknya saya akan menulis ff DaiSuga World War 2!AU, deh. Kenapa DaiSuga? Dan kenapa temanya perang? Karena 'tragedi DaiSuga, tragedi terbaik' adalah nama tengah saya dan karena tak ada kebahagiaan di medan perang. Semoga kalian gak bosan. /dibombardirbolavoli/

.

.

.

2 Maret 1945, Showa 20

Hsinking, Manchuria

Daichi dengan cepat membantu mengepaki barang-barang anak dan istrinya. Baju dan selimut Shoyo serta beberapa makanan yang cukup untuk menjadi bekal perjalanan kali itu dimasukkannya dengan terburu-buru. Tak lupa jua beberapa surat penting, surat tanah, surat perjanjian, hingga surat pribadinya pun disimpannya jauh di bawah barang-barang di dalam tas. Sekantung penuh berisi uang Jepang dan beberapa keping emas disimpannya jua di sebuah kantung tersembunyi yang hanya ia dan Koshi tahu letaknya. Tangannya gemetaran, seluruh tubuhnya berkeringat bukan karena panas di penghujung musim dingin itu, namun karena kegugupan luar biasa atas bayangan yang menghantui kepalanya sejak beberapa bulan lalu.

Habis baju dan barang berharganya dimasukkan ke dalam dua koper besar milik mereka, Daichi menatap istrinya yang masih melipati kimono dengan cepat. Tanyanya, "Shoyo. Mana Shoyo?"

Nada suara Koshi gemetaran dan ia berat menelan air liurnya sendiri sebelum menjawab, "Shoyo di luar."

Koshi menangis. Sembab matanya dan sesak hidungnya oleh ingus yang tertahan di pangkal. Pipinya memerah dan berkali-kali ia menggosok matanya sendiri. Daichi memeluk Koshi sebentar dan mencium mata bengkak istrinya sebelum pergi ke luar dengan terburu-buru. Matanya dengan panik mencari si jingga yang bermain sendirian di koridor rumah. "Shoyo."

Anak semata wayangnya itu baru lima tahun bulan Juni nanti dan entah apakah Daichi bisa ikut merayakan ulang tahunnya atau tidak, dia kali itu tak peduli. Segera diangkatnya tubuh kecil si jingga dan diciuminya pipinya. Ditekannya suaranya agar tak terdengar ketakutan ketika dia berujar, tak ingin Shoyo tahu bahwa ayahnya luar biasa gelisah kali itu. "Shoyo, ayo. Ganti baju. Sebentar lagi Shoyo dan kaasan pulang ke Jepang."

Bibir Shoyo tipis dan ada bekas karamel di sudut bibirnya. Daichi menggosokkan ibu jarinya ke sekitaran mulut anaknya. "Kalau tousan?"

Daichi tersenyum tipis dan diberantakkannya rambut jingga bocah itu, "Tousan ikut sampai Dairen. Shoyo dan Kaasan duluan naik kapal. Nanti tousan menyusul, ya. Setelah seluruh urusan di sini selesai."

Entah mengapa Shoyo menggeleng kuat. Dipeluknya leher sang ayah dan ia menyembunyikan wajahnya di pundak Daichi, "Tidak mau. Pulang sama-sama."

Dibawa Daichi Shoyo masuk ke dalam rumah sambil ia elus lembut kepala anaknya itu. Tanaka, seketarisnya, menghadap padanya sambil membawakan tas kerja Daichi. "Saya sudah memasukkan semua berkas yang Anda perintahkan."

Koshi di belakang Tanaka dan dilihat Daichi mata merah serta wajah pucat istrinya itu. Ia mengangguk pada Tanaka dan katanya, "Siapkan mobil."

Tanaka berlalu dan Daichi mendekati si perak. Tangan kanannya membelai pipi si perak dan dengan senyuman tipis, Daichi berujar, "Berbedak lah. Aku tidak ingin melepasmu dengan wajah yang kacau habis menangis begini."

Si perak hanya mengangguk dan ditangkap Daichi setetes lagi air mata istrinya terlepas dari pelupuk. Ia masuk ke dalam kamar mereka sementara Daichi membawa Shoyo ke kamar putranya itu, mendudukkan si jingga ke atas tempat tidur meskipun lehernya erat dipeluk. "Ayo, Shoyo. Kaasan sudah menyiapkan baju Shoyo yang bagus. Lihat ini. Seperti baju tousan."

Kepala Shoyo menoleh sedikit untuk melirik baju yang dipegangi ayahnya. Wajahnya cemberut. "Tapi tousan ikut pulang sama-sama."

Daichi tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan melepaskan pegangan tangan Shoyo di belakang lehernya. Dibukanya kancing baju putranya, memakaikan kemeja yang sudah diseterika pada Shoyo, celana katun selutut, serta memasangkan gesper dan suspender-nya dengan hati-hati. Ia ambil vest yang digantungkan Koshi di pegangan pintu lemari, vest yang persis sama seperti milik Daichi dan sangat disayangi Shoyo karena merasa kembar dengan ayahnya.

"Lihat, Shoyo sekarang sudah seperti tousan." Daichi tersenyum pada Shoyo ketika dia mengancingi jas berwarna senada seperti celana selutut Shoyo. Masih tak ada senyuman di wajah si jingga hingga Daichi menyisir rambut Shoyo dengan pelan-pelan. "Shoyo jangan sedih, ya. Nanti tousan akan cepat menyusul."

"Benar?"

"Benar." Daichi masih mengusahakan senyuman terbaiknya pada sang putra. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sekaleng permen Sakuma yang ia dapatkan kemarin dari anak buahnya yang baru kembali dari Jepang. Daichi sendiri yang memesan permen itu. "Lihat, nanti di Jepang tousan akan membelikan permen ini yang banyak untuk Shoyo. Jadi, Shoyo tunggu ya?"

Tangan kecil Shoyo diambil Daichi agar mengulur padanya. Dibukanya penutup kaleng itu dan dihentakkannya hingga dua buah permen keluar dari lubangnya. Mata cokelat Shoyo berbinar melihat biji berwarna merah dan hijau yang terjatuh di telapak kecilnya. Yang berwarna hijau diulurkannya ke mulut sang ayah dan Daichi dengan patuh melahap permen itu dan membuat senyuman lebar muncul di wajah putranya.

"Shoyo juga." Diambil Daichi permen yang masih tersisa di tangan kecilnya dan disuapkannya pada Shoyo. Kini bibir kecil itu tak memiliki waktu untuk cemberut atau memprotes pada sang ayah. Daichi membuka saku jas Shoyo dan dimasukkannya kaleng permen itu di sana. "Ini buat Shoyo, ya. Kita akan beli yang banyak nanti."

Entah apa yang diracaukan mulut kecil itu, tapi Daichi hanya mengiyakan singkat dan membawa Shoyo keluar kamar. Ennoshita, pelayan keluarganya, sudah datang dan berpakaian rapi jua. Mengangkati barang-barang Koshi dan Shoyo dan dibawanya ke mobil. Koshi sudah jua siap dan jelita berdiri di pintu kamar mereka. Wajah ayunya masih menunduk penuh kesedihan meskipun rautnya disembunyikan oleh bedak yang dipinta Daichi untuk dipakainya.

"Ayo, sayang."

Tangan Daichi mengulur pada Koshi dan dengan patuh si perak menggapai tangan besar itu. Menggandengnya dengan penuh sayang dan ikut berjalan keluar rumah. Satu dua perwira militer rekan Daichi sudah mengirim pulang keluarganya kembali ke Jepang, karena itu tak akan ada untuk mereka waktu berpamitan pada tetangga dan mengujarkan salam pisah pada ruang-ruang kosong yang ada di sana. Shoyo duduk di pangkuan Daichi sementara Koshi tak lepas memegangi lengan besar suaminya. Tanaka membawa mobil dengan cepat, ditemani Ennoshita yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya.

Perjalanan Hsinking menuju Dairen enam jam lamanya, dan selama enam jam perjalanan itu Daichi tak henti-hentinya menciumi Shoyo dan pucuk kepala Koshi yang kali itu diam seribu bahasa. Tubuh istrinya itu masih gemetaran kuat, memegangi lengan Daichi seolah mencari kenyamanan dan ketenangan yang semu. Si perak tak menangis lagi seperti tadi. Keduanya menyimpan kesedihan mereka dari Shoyo yang masih tak mengerti apa yang terjadi.

Bahkan tanpa mencoba pun, Daichi tahu jika dia berbicara pada Koshi hanya akan memancing emosi yang masih menumpuk di dadanya, sehingga mayor jenderal militer Jepang itu mengelus lembut tangan kecil Shoyo dan berkata pada si jingga, "Sho-chan jadi anak baik-baik, ya? Jaga kaasan. Tousan titip kaasan sampai tousan datang nanti."

"Nanti kita pulang ke rumah lagi?"

Rumah yang dimaksud putranya adalah rumah yang baru mereka tinggalkan. Seumur hidup Shoyo, tak ada ia mengenal tempat tinggal lain selain rumahnya di Hsinking.

"Iya. Tapi setelah tousan mengalahkan seluruh musuh kita. Jadi Shoyo tunggu saja, ya."

"Bagaimana dengan Cui?"

Cui adalah anak perempuan dari pelayan China yang bekerja di rumah mereka.

"Cui tetap di rumahnya."

"Qing?"

"Dia harus membantu ayahnya menjaga toko."

"Shoyo juga ingin membantu tousan." Kepala jingga itu menengadah untuk melihat wajah ayahnya. Mata cokelatnya berkilat dan membuat Daichi mau tak mau memperlihatkan senyuman ganjil pada putranya. "Kalau Shoyo bisa menjaga kaasan, berarti Shoyo sudah membantu tousan."

Mobil mereka terguncang-guncang karena menyepak bebatuan dan rangkulan Daichi di tubuh anak dan istrinya makin erat makin mendekatnya mereka ke Dairen. Perjalanan enam jam seolah hanya sekejap mata dan Daichi sama tak relanya seperti Koshi saat mobil berhenti tepat di pelabuhan Dairen, di depan kapal besar yang akan membawa keluarganya menuju Kobe, Jepang. Ketiganya masih tetap diam dengan penuh kesedihan meskipun Ennoshita dan Tanaka sudah keluar dan mengangkati barang-barang Koshi ke dalam kapal. Detak jantung Daichi pun Koshi sama tak beraturannya, masih belum siap menemu perpisahan yang tak pasti kapan pertemuannya lagi.

Koshi dibawa pergi dari Jepang tujuh tahun lalu, tinggal di Manchuria sebagai istri dari panglima militer kebanggaan negara. Tugasnya yang sebenar-benarnya adalah mencintai suaminya, mendampingi hidupnya suka dan duka, hidup dan mati. Tapi kenapa sekarang Daichi justru berniat mengirimkannya kembali? Membuatnya tak bisa memenuhi tugasnya dengan baik. Dia ingin bersama Daichi seperti sumpahnya dulu. Hidup dan matinya untuk Daichi.

"Tidak mau." Koshi berbisik pelan. Masih erat pelukannya di lengan besar Daichi. Tubuhnya makin menggelung makin perih dadanya yang dikerubungi kesedihan. Daichi membiarkan Shoyo turun dari pangkuannya dan keluar mobil karena rasa penasarannya menemu kapal yang luar biasa besar untuk pertama kalinya. Ennoshita menggendong si jingga dengan cepat sebelum bocah itu menghilang di keramaian, mengerti bahwa majikannya perlu waktu sebelum berpisah.

"Sayang." Daichi mengelus kepala Koshi. Diciuminya ubun-ubun si perak berkali-kali. "Ini untuk kebaikan kita. Untukmu dan Shoyo. Aku akan baik-baik saja."

"Tapi kau sendiri yang berkata bahwa Jepang sudah terdesak." Koshi tak menahan suaranya lagi. Ia kini duduk tegak dan memelototi mata cokelat Daichi. "Kembalilah pulang bersama kami."

Seolah Koshi lupa bahwa peran Daichi yang paling dibutuhkan di garda terdepan ini.

Jemari Daichi perlahan-lahan menyelisik ke belakang telinga Koshi, ibu jarinya bermain-main di pipi lembut si perak. "Aku akan pulang setelah perang berakhir. Itu tak lama lagi. Optimislah. Jepang bisa memenangkan ini. Aku bisa memenangkan ini."

Bibir bawah Koshi digigitinya kuat-kuat, tak mau air matanya turun dan membuat berantakan wajahnya lagi. Daichi merangkul tubuh istrinya, mencium bibir si perak dengan lembut dan lama. Penuh kasih dan sayangnya. Ingin melupakan bahwa beberapa jam lagi dia sudah harus menghadiri rapat besar militer yang diam-diam dilaksanakan di salah satu gedung di Dairen sini.

"Aku akan baik-baik saja." Daichi mengakhiri kecupannya. Ibu jarinya mengusir air mata Koshi yang sudah akan turun lagi. "Akan kupastikan aku segera pulang."

Kaca pintu mobil diketuk Tanaka yang berujar, "Kapal sudah akan berangkat setengah jam lagi."

Dengan berat hati Daichi dan Koshi keluar. Genggaman tangan Koshi erat dan sekali lagi Daichi menciumi seluruh wajah Shoyo yang kini digendongnya sebelum perhatiannya beralih pada istrinya yang sudah terlihat lebih tegar daripada tadi.

"Setelah sampai Kobe, segeralah ke Miyagi. Sudah ada prajurit yang menunggu di Kobe dan menyiapkan tiket kereta api untuk kalian. Ingat, Koshi, ke Miyagi. Jangan ke Tokyo atau ke manapun. Jangan berlama-lama di Sendai juga, itu pangkalan yang cukup berbahaya. Pergilah ke rumah ibumu di Karasuno. Atau ke rumah orang tuaku di Wakano juga tak apa. Yang pasti jangan di Sendai atau kota manapun. Kau mengerti?"

Si perak tak menjawab dan hanya menggigiti bibir bawahnya lagi. Daichi terus berkata cepat di depan keluarganya, "Aku akan mengirimkan barang-barang yang tersisa nanti. Makanan juga. Jadi, tolong selamatlah."

"Kau juga selamatlah." Untuk kali itu akhirnya Koshi berujar. Dipaksanya ia tersenyum pada suaminya dan dipeganginya pipi Daichi, "Kau juga selamatlah dan segera susul kami."

Bukan hal yang mudah bagi seorang perwira militer berpangkat mayor jenderal seperti Daichi untuk pergi dari medan peperangan begitu saja. Harga diri dan jiwa patriotismenya seolah membanjiri kepalanya meski rasa cintanya pada keluarganya sama melimpah jua. Satu-satunya yang ia coba lakukan hingga perang berakhir adalah tetap bertahan hidup di sini, di tanah invasi ini, di garda terdepan negaranya ini, lalu kembali ke rumah hangat dimana Koshi dan Shoyo menantinya.

Shoyo menangis dilepas Daichi ketika mereka sudah akan naik ke kapal. Pelukannya di leher sang ayah mendadak begitu kuat. Kebahagiaan dan antusiasmenya yang tadi seolah hilang tanpa jejak ketika melihat kesedihan yang dirasakannya dari ayah dan ibunya. Kuku-kuku jarinya mencakar leher cokelat sang ayah ketika Koshi, dibantu Ennoshita, memisahkan si jingga yang terus meraung tak ingin dipisahkan dari ayahnya. Dan untuk kali itu akhirnya Daichi menangis di depan umum, mencium pipi anak dan istrinya untuk terakhir kali sebelum berpesan pada Ennoshita yang ikut Koshi dan Shoyo kembali ke Jepang. "Kau adalah pelayan paling setia yang pernah kumiliki, Chikara. Untuk terakhir kalinya aku meminta padamu, tolong jaga keluargaku."

Raungan Shoyo membahana ketika mereka naik ke kapal. Mengalahkan keberisikan dermaga yang sibuk serta bunyi mesin-mesin kapal yang menyalak, menginformasikan bahwa dalam waktu yang tak lama lagi mereka akan segera berlayar. Shoyo bahkan tak melambai padanya ketika kapal mulai pergi meninggalkan dermaga tanah dataran China itu. Tangisan Shoyo masih bisa didengarnya tak rela dan dengan terpaksa dia segera masuk ke mobil. Tak ingin berlama-lama di sana. Bisa-bisa akal sehatnya menjadi rusak dan pikiran gila untuk melompat ke laut dan berenang menuju Jepang menguasai dirinya.

Tanaka menurut saat Daichi memerintahkannya untuk pergi ke tempat pertemuan para petinggi militer hari itu dengan segera.

Ia harus mengusir gema pekik amarah Shoyo dari telinganya. Secepat mungkin.

.

16 Maret 1945, Showa 20

Hsinking, Manchuria

"Seharusnya mereka sudah sampai di Jepang sekitar tanggal delapan atau paling lama tanggal sepuluh kemarin. Mereka pasti selamat, Sawamura-san." Tanaka berulang kali mengujarkan kalimat yang sama sejak mereka mendengarkan berita bahwa Amerika menjatuhkan bom di Kobe. Menenangkan atasannya yang sedari tadi gemetaran penuh ketakutan mengkhawatirkan mereka yang jauh dari genggamannya. "Saya yakin Koshi-san pasti langsung pergi ke Miyagi di hari yang sama. Chikara pasti memastikan Koshi-san dan Shoyo-san untuk segera naik kereta yang berangkat hari itu."

Radio yang dipegangi Daichi bergetar. Tanggal sepuluh kemarin pun didengarnya Amerika menjatuhkan bom di Tokyo dan beberapa di Sendai, dekat gunung Zao, perbatasan Yamagata dan Miyagi, dua jam dari Karasuno, tempat orang tua Koshi tinggal di bawah kaki gunung Izumigatake. Wakano, kampung kelahirannya, hanya satu kilometer dari Karasuno. Berita itu saja sudah mampu membuatnya berkeringat dingin memikirkan keluarganya.

Kepala Daichi berdenyut tak nyaman. Wajahnya memerah, menahan amarah pada pihak sekutu yang memborbardir Jepang dengan tanpa ampun. Seolah tak bisa membiarkan Daichi bernapas lega hanya untuk sejenak. Telegram yang dikirimkannya pada ibunya tak terbalaskan, ia masih belum tenang jika belum menerima kabar bahwa Koshi dan Shoyo sudah berada di salah satu rumah di pegunungan yang aman dari serangan musuh.

Pintu kantornya diketuk dari luar sebelum terbuka tak lama kemudian. Rekan sejawatnya, Ushijima Wakatoshi, masuk dan menghampiri yang sudah nyaris gila di meja kerjanya itu. "Sawamura, aku menerima surat dari Eita. Mungkin kau ingin membacanya."

Ushijima Eita—nama gadisnya Semi Eita—adalah istri Wakatoshi yang sudah kembali ke Jepang sejak akhir tahun lalu. Eita dan Koshi berkawan baik karena keduanya mahasiswi keperawatan Universitas Kekaisaran Tokyo dan sama-sama berasal dari Miyagi—Koshi dari Karasuno dan Eita dari Wakano. Daichi dan Koshi berkenalan juga berkat Eita yang merupakan kawannya sejak kecil itu. Mereka bahkan terus berkawan meskipun sudah menjadi istri dan memiliki keluarga masing-masing. Merupakan sebuah kebetulan Ushijima Wakatoshi ditempatkan di Hsinking bersama dengannya.

Diambil Daichi selembar surat yang diulurkan kawannya itu dan dengan cepat matanya menyusuri saban baris kalimatnya. Napasnya memburu, matanya memicing. Jantungnya seolah tak berdetak dalam sesaat ketika dibacanya tulisan-tulisan di kertas hingga akhirnya tubuhnya terjatuh dengan lemah seolah tak bertulang. Napasnya melambat, matanya terpejam.

'Wakatoshi-san, aku bertemu dengan Koshi di Wakano tanggal dua belas kemarin. Dia tinggal bersama ibunya di Karasuno. Dan tolong beritahu Daichi bahwa anaknya jatuh sakit sejak mereka sampai di Jepang. Koshi sama sekali tidak sempat menulis surat untuknya.'

Daichi meringis. Shoyo adalah anak yang sehat dan jarang jatuh sakit. Mengetahui putra tunggalnya itu meradang di tanah seberang membuatnya sama sakit hatinya. Meski tak diberi tahu, Daichi langsung menduga sakit Shoyo akibat dari stres yang ia derita. Kali ini Daichi benar-benar merasa bersalah pada Shoyo, juga pada istrinya yang kini jelas kesusahan mengurus si jingga yang sakit sendirian.

"Tsutomu—" Wakatoshi berujar, "—juga sakit ketika mereka sampai di Jepang Desember dulu. Tapi sakit mereka takkan lama. Anak-anak memang sensitif pada perubahan lingkungan, tapi cepat menyesuaikan. Anakmu pasti akan cepat sembuh juga seperti Tsutomu."

Diangkat Daichi kepalanya untuk menatap rekannya itu. Dipaksanya senyumannya, "Terima kasih sudah menenangkanku, Ushijima."

"Dan aku lupa memberitahumu—" Wakatoshi menatap tajam Daichi. Memberikan tekanan tak nyaman bagi si hitam, "—Eita harus ke Tokyo. Pengeboman di Tokyo kemarin membutuhkan banyak tenaga medis dan seluruh mahasiswa dan lulusan medis dari daerah banyak ditarik ke Tokyo."

Daichi ternganga. Jika itu perintah langsung dari Kaisar, sangat mungkin Koshi pun pergi ke Tokyo jua. Meninggalkan Shoyo meradang sendirian. Walau bagaimanapun Koshi adalah seorang perawat yang dibutuhkan negara. Anggota palang merah Jepang. Harus turut berjuang membela negara meskipun hanya di garis belakang.

Daichi menangis kali itu. Menangis ingin pulang.

.

17 Agustus 1945, Showa 20 (Dua hari setelah Kaisar menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat)

Tempat Rahasia Tentara Kwantung, Perbatasan Hsinking, Manchuria

Daichi menelan air liurnya sendiri dengan berat. Beberapa mayat kawan sejawatnya ia temui tadi di ruangan mereka masing-masing. Kebanyakan menembakkan pistol ke tenggorokan mereka sendiri. Daichi sejak dulu mengagumi jiwa samurai nenek moyangnya, sehingga jika mati pun dia ingin terlihat setangguh mereka.

Daichi berlutut di lantai yang sudah dihamparinya dengan kain putih bersih. Pedang pendek yang selama ini selalu disimpannya dengan apik kini kilauan matanya seolah melotot tajam pada Daichi. Ujungnya hanya tiga inci dari perutnya, namun entah bagaimana kepengecutan menghadang, menarik semua mimpi-mimpi Daichi selama ini dan menjadi batu sandungannya kali itu untuk membelah perutnya sendiri.

Entah sudah berapa kali Daichi menangis semenjak ditinggal Koshi dan Shoyo. Mengingat dua orang yang begitu dikasihinya itu masih menanti, berharap cemas di tanah airnya sana membuat pilu dada Daichi. Ulang tahun Koshi dan Shoyo bulan Juni lalu ia habiskan di kompi bersama dengan prajurit-prajuritnya yang terluka parah dan meregang nyawa. Daichi tak bisa benar-benar berdoa pada dewa, mengharap kesehatan keduanya. Mendadak ia rindu berdoa di kuil, menghadap dewa secara langsung di kuilnya. Memohon kesejahteraan.

Dan Daichi lupa, kapan terakhir kali ia mengharapkan berkah dari dewanya?

Kesedihannya berubah menjadi kepanikan saat tak ayal didengarnya langkah kaki berisik yang banyak dan makin mendekat. Menendangi pintu-pintu ruangan di gedungnya hingga akhirnya pintu ruangannya lah yang terbuka. Daichi tak berdaya ketika tentara Soviet datang dan menendangnya, menjauhkan pedang kecilnya dan membuatnya bersujud memeluk tanah. Ia masih menangis mendengarkan ancaman-ancaman berbahasa asing, perih karena gagal bunuh diri. Di pikirannya kini hanya ada Shoyo dan Koshinya.

Ia merindukan mereka.

.

WAR OF THE SON

-bersambung

.

Betewe, ini hadiah buat ulang tahun Harucchi sensei. Tapi telat sehari. Yang pasti, selamat ulang tahun Harucchi sensei. Maafin ya karaktermu saya bikin gini. Saya cinta Harucchi sensei. /plak /kayakyangdibacaaja/