MEMORIES

Akhirnya fic pertamaku…

Maafya Megami-san yang itu aku salah update.

Maklum belum ngerti….

Sekali lagi maaf bagi yang udah baca…..

Tapi tetep inget review yawwwww!

YA udah, ga perlu banyak cingcong, langsung cong aje….

Aku sudah terbiasa, bahkan saat seseorang meneriakiku monster. Aku memang aneh-sesebagian besar orang menganggap begitu. Jika orang saat lahir kembali ke dunia biasanya bagaikan selembar kertas putih kosong, yang siap untuk diisi, tetapi tidak denganku. Aku memiliki ingatan kehidupanku di masa lalu. Semuanya, Gotei 13, Soul Society, dan pertarungan Winter war. Ingatanku masih sangat jelas. Sensasi saat pedangnya-si busuk Aizen- menebasku. Saat itulah ingatanku berakhir, dan menyadari kalau aku sudah mati.

Saat itulah, aku menyadari, ini bukan akhir dari segalanya. Mataku terbuka. Meluhat sekeliling. Dunia yang sama sekali tak ku kenal. Secara naluriah aku menangis-waktu itu aku ragu kenapa aku mengangis, tetapi sekarang aku tahu maksudnya. Reinkarnasi. Aku tahu aku telah bereinkarnasi saat melihat kaca. Tubuhku tak sama lagi. Kulit putih pucat dengan guratan-guratan pembuluh darah yang terlihat jelas, rambut masih putih, mata hijau-yah, walau 2 hal ini masih sama-, dan tubuh yang ukurannya hampir sama dengan guling bayi.

Aku tidak pernah mengatakan kalau aku memiliki ingatan masa lalu-belajar dari pengalaman. Orang yang berbeda akan dijauhi. Itulah yang terjadi. Dengan menjadi seorang albino-orang yang tidak memiliki zat warna tubuh- sudah cukup membuat orang-orang menatapku jijik dan aneh, apalagi dengan menyombongkan diri kalau aku bisa mengingat siapa aku dulu. Orang-orang pasti menganggapku gila!

Selama 9 tahun-menurut perhitungan saat dilahirkan kembali- orang orang menjauhiku. Hanya Ibuku yang menerimaku. Ayahku sudah pergi entah kemana. Bajingan itu meninggalkan ku saat aku baru lahir. Dia tidak menerima diruku yang lahir cacat-aku tahu karena aku mengerti, dan mereka berteriak-teriak dihadapanku. 1 minggu yang lalu, ibuku meninggal. Selama ditinggal oleh Bajingan itu-aku tak ingin menyebutnya ayah- ibuku bekerja keras. Bahkan terlalu keras.

Sekarang aku tinggal sendiri, bahkan tidak ada keluarga yang mau menjagaku, yah memang aku tidak begitu berharap. Tapi tidak adakah rasa toleransi? Saat akan dibawa ke panti asuhan, aku melawan di pengadilan. Aku membayar seorang pengacara-uangnya dari warisan ibuku- dan akhirnya aku dibiarkan hidup sendiri.

Sebuah gumpalan berbulu melompat ke wajahku "Mau tidur sampai kapan?" hewan itu mengusap-usapkan tubuhya di dagu ku. Bulu-bulu pitihnya membuat daguku geli. Aku menjambak kulit punggungnya- kalau induknya menggigit, aku menjambak. Menyingkirkan kucing yang warna bulunya hampir mirip denganku, putih dengan loreng coklat. "Cepat buat sarapan, Shouitaro. Kau sudah berjanji."

Kehidupanku memang aneh, dimulai dari ingatanku, kucing yang bias bicara, dan yang paling parah adalah namaku. Kujou Shouitaro. Ibuku memang memiliki selera yang cukup unik-atau aneh-untuk memberiku nama. Aku tidak begitu suka nama lengkapku. Jika orang lain menanyai namaku, aku biasa menyebutkan margaku, atau Shou.

Melemparkan kucing aneh itu kelantai, marah karena dia menyebut nama lengkapku "Jangan sebut itu, Junk, atau tak ada sarapan." Kucing ini memang sudah bersama ku sejak aku masih kecil. Hanya aku yang bisa mendengarnya berbicara. Aku tidak merasa aneh jika kucing ini sudah hidup lebih dari 8 tahun, mengingat kalau dia bisa bicara dan bisa berpikir seperti manusia.

Aku turun dari tempat tidurku. Menggerak-gerakkan badanku yang kaku. Menuruni tangga menyiapkan sarapan. Sudah mulai terbiasa hidup sendiri.

Jam menunjukkan pukul 7.00, masih banyak waktu. Sekolahku dimulai pukul 8.30. Tetapi biasanya aku berangkat lebih awal. Menikmati aroma pagi yang menyegarkan hati dan pikiran. Menyiapkan peralatan dan pakaian yang akan ku bawa ke sekolah. Mandi dan menunggu makanan matang.

"Toushiro…" , Junk mengelus-elus kakiku dengan tubuhnya.

Aku menjawab asal, "Huh. Ada apa? Cepat habiskan makanan mu." Tanpa meliriknya dan tetap menghabiskan sarapan ku. Memikirkan pekerjaan rumah yang diberikan kemarin padaku. Aku sudah menyelesaikannya. Mudah sekali. Lalu pikiranku melayang pada beberapa mantra kidou yang kurapal. Beberapa bisa ku gunakan-aku rajin melatih kidou ku setiap hari- beberapa lagi tidak-aku lupa mantranya.

Tanpa kusadari Junk sudah naik ke meja makan. Menatapku. "Hei, Toushirou! Mau sampai kapan merenungi makananmu?" Matanya mengagetkanku. Bagaimana tidak, mata kuning besar berada tepat di depanku.

Aku meletakkan piringku dan membereskan meja makan, mencuci piring dan bersiap ke sekolah. Melirik jam sesekali. Masih jam 7. Aku melanjutkan lagi, untuk beberapa saat. Jam 7? Kenapa masih jam 7? Aku melirik jam sekali lagi. Memandanginya beberapa saat. Dan meyakinkan diri. Jam ku mati. Dan yang lebih parah lagi. Aku terlambat-mungkin.

Aku bergegas membereskan meja makan. Mengunci rumah dan melesat ke jalan. Mengambil jam tanganku yang tertinggal dan melesat lagi. Sesaat aku menyadari bahwa baru jam 7. 30. Aku tidak akan pulang lagi. Toh,rumah sudah beres. Berangkat lebih awal tak ada salahnya.

Di perjalanan aku melihat seorang anak. Bukan benar-benar seorang anak. Seorang roh anak kecil tepatnya. Selain tahu ingatanku yang lalu, aku juga bisa melihat makhuk makhluk yang tidak bisa dilihat orang lain.

Aku tidak mengacuhkan anak itu. Meneruskan perjalanan menuju sekolah.

Junk yang tadinya diam, mulai angkat bicara. "Hei, kenapa tidak menolonhnya?"

"Dia, bukan urusanku lagi. Masih banyak dewa kematian lain. Aku sudah bukan dewa kematian lagi." Mengomentarinya singkat tanpa melihat kearahnya.

"Kejam sekali. Walau pun begitu, paling tidak sapa. Kau tahu kan bagaimana rasanya ditinggal sendiri. Sikapmu tidak berubah sama sekali. Hitsugaya Toushiro."

Aku berhenti. Terdiam sejenak. " Aku…" Hening. Menunduk sepi. "Sudah bukan "'Hitsugaya Toushiro'" lagi. Aku sudah lama membuang nama itu." Kesepian menyelimutiku. Memang dari dulu aku kesepian. Tetapi tidak benar benar sendirian. Ada Hinamori. Ada matsumoto, dan yang lainnya.

Sekolah sama seperti biasa. Hari hari juga sama seperti biasa. Tidak ada yang dapat menarik perhatianku. Pintu geser kelasku bergerak, menandakan pelajaran akan dimulai.

Seorang wanita dewasa berambut hitam, panjang memasuki ruangan. Namanya Ayumu. Wanita bertubuh tinggi langsing ini, berdiri di depan kelas. "Baiklah anak-anak, karena Dandy-sensei sedang cuti, maka hari ini kita kedatangan guru pengganti. Silakan masuk Kurosaki-san."

Seorang laki-laki tinggi, berambut jingga memasuki ruangan. Aku yang awalnya tidak mengacuhkan langsung menoleh, saat merasakan reiatsunya. Kurosaki Ichigo. Penampilan fisiknya cukup banyak berubah. Tubuhnya lebih tinggi. Wajahnya lebih dewasa.

Tiba tiba ia memukul meja. Semua orang melihat kearahnya. "Ok anak-anak. Namaku Kurosaki Ichigo. 25 Tahun. Guru pengganti. Single. Mengajar Bahasa Inggris. Ada yang bertanya?"

Hening. Tak ada yang bertanya. Ia meneruskan "Kalau tidak ada, langsung saja kita mulai pelajarannya."

Masih tak percaya, tanpa sadar aku menatapnya.

"Hallo, ada masalah?" Kaget. Tiba-tiba wajahnya mendekat.

"Tidak. Tidak ada apa-apa."

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Kurosaki mendekatkan wajahnya padaku.

Aku memalingkan muka "Tidak. Ini yang pertama."

"Oh.. Mungkin perasaanku saja."

Pelajaran usai. Tak ada yang menarik minatku kecuali pertemuan singkat dengan Kurosaki Ichigo.

Junk melompat ke arahku "Oi…Bagaimana tadi? Ada yang menarik?"

"Seperti biasa" Aku tidak ingin menceritakan pertemuanku dengan Kurosaki Ichigo. Walaupun bertemu, aku sekarang tidak mengenalnya.

"Bagaimana ya kabar teman-teman_?"Kata-katanya terpotong. Sebuah garganta terbuaka. Sejak saat itu-winter war- baru kali ini aku merasakan reiatsu sebesar ini lagi.

Tubuhku kaget. Bergetar. Ketakutan. Aku segera berlari secepat mungkin. Menyadari kemampuanku sekarang. Mustahil bisa mengalahkannya. Ada reiatsu besar menyusul. Kakiku berhenti berlari. Mengenali Reiatsu itu. Rasa penasaran mengacaukan akal sehatku. Menyadari kalau aku mendekat. Tamatlah riwayatku. Kakiku tetap akal sehatku. Terus melangkah mendekati sumber energi.

Terlihat, sosok yang begitu kukenal. Sosok yang siap diserang seekor hollow. Sosok yang begitu familiar. Kini menggunakan haori putih yang dulu kukenakan. Tanpa sadar aku berteriak. Melepaskan reiatsuku.

"Matsumoto!"

Akhirnya chapter 1 selesai.

Review ato Shiro-chan ga muncul lagi…