Disclaimer : Naruto adalah milik Masashi Kishimoto, tapi cerita ini sepenuhnya milik author.

Author hanya meminjam karakter untuk cerita ini dan tidak mengambil keuntungan materi apapun dari cerita yang di-publish.

.

Warning : AU, OOC, Typo (s), maybe AR, AT, dan banyak kesalahan lainnya.

.

.

.

Unbelievable

Family, Hurt/Comfort

.

.

.

Pernah terbayang bagaimana rasanya menjadi tulang punggung keluarga. Semua kebutuhan tertuju hanya kepada satu orang.

Menghidupi banyak anak tanpa seorang suami mungkin menjadi hal yang sangat sulit untuk ibu lakukan. Tapi hari ini aku masih melihatnya sehat bugar, tak tahu jika hatinya diliputi kekosongan semenjak ayah pergi meninggalkannya.

"Ibu ..."

Ia sangat anggun, usianya masih relatif muda. Saat aku membantunya menyiapkan sarapan untuk ketiga adikku, ia tampak begitu senang. Bagaimana tidak, ibu sangat sibuk mengatur kebutuhan keluarga kami, sedang aku hanya bisa membantu ibu dengan merawat dan menjaga ketiga adikku.

"Naruto, ibu pergi bekerja. Jagalah ketiga adikmu."

Dengan berpakaian sederhana, ibu berangkat ke pasar dan meninggalkan kami. Membawa beberapa keranjang berisi barang-barang dagangannya. Rasanya aku tidak tega melihat ibu berjuang sendirian, tapi aku belum mampu berbuat apa-apa, terlebih ketiga adikku masih sangat membutuhkan pengawasanku.

"Kak Naruto, Minna ingin es krim ..."

Jerit hatiku saat si adik bungsu menginginkan sebatang es krim yang belum sempat terbeli. Tatapannya begitu memilukan membuat hatiku serasa tercabik-cabik, tapi dengan segera aku berlutut menghadap ke arahnya.

"Sabar ya, nanti kita membelinya jika kita mempunyai uang."

Lagi-lagi hanya kata-kata itu yang dapat kuucapkan. Kadang terbesit untuk memenuhi kebutuhan keluargaku dengan jalan yang salah, tapi pesan ibu selalu terniang di kalbuku.

'Lebih baik dalam kemiskinan asal tidak memakan hak orang lain.'

Batinku berbisik, sangat jelas di pandangku saat ibu berpesan semenjak aku masih balita.

"Kak Naruto, Minna ingin beli es krim. Sekali saja, Minna ingin es krim ..."

Lagi-lagi dengan rayuan yang menggetarkan hati itu, mau tidak mau aku menuruti permintaan adikku, tapi bagaimana caranya?

Aku merogoh kantung sakuku dan kutemukan beberapa keping uang yang hanya dapat membeli sebatang es krim. Lalu bagaimana esok aku berangkat ke sekolah sedang sekolahku berjarak lumayan jauh dari rumah.

'Sudahlah, aku akan berjalan kaki saja,' pikirku berusaha kuat menghadapi kenyataan.

Akupun pergi bersama adik bungsuku untuk membeli sebatang es krim. Tapi kedua adikku yang lain juga ingin ikut.

'Bagaimana ini, uangku hanya cukup untuk membeli sebatang es krim.' Aku bingung dan sungguh bingung bagaimana mengakalinya. Kami berempat lalu pergi menuju sebuah toko kecil tempat di mana freezer es krim berada. Aku membelinya lalu es krim itu niat kupatahkan menjadi tiga bagian.

Merasa terharu dengan yang kulakukan, si pemilik toko memberikan sebatang es krim sebagai bonus. Hatiku sungguh riang sekali karena dua batang es krim itu bisa dibelah menjadi empat.

'Yeay! Aku kebagian!'

Aku tidak berpikir bagaimana esok hari aku berangkat ke sekolah. Di hatiku hanya ingin memenuhi keinginan adik-adikku.

.

.

.

Malam hari yang gelap...

Ia masih sempat tersenyum sebelum berlalu pergi meninggalkan ketiga anaknya yang masih kecil, aku sendiri hanya mampu menatapi kepergiannya tanpa berani mencegah kepergian ibu di pagi hari, sangat pagi bahkan langit pun masih hitam pekat.

Ibu selalu pergi ke pasar satu jam sebelum memasuki waktu fajar dan pulang sore harinya dengan membawa berbagai macam perniagaan yang semoga saja laku terjual dan mendapatkan untung agar kami dapat membeli sepotong roti.

Kegigihannya membuatku menangis semakin menjadi di kala aku melihat dirinya sedang terbaring lemah tapi masih tetap memaksakan diri untuk terus pergi bekerja di kala langit masih hitam pekat.

"Jaga adikmu. Ibu sudah membeli beberapa liter beras dan lauk pauk seadanya. Katakan kepada adikmu agar esok tidak datang terlambat ke sekolah," pesan ibu sambil tersenyum kepadaku.

Aku masih ingat jelas pesannya sesaat sebelum menghilang dari pandangan. Kulihati punggungnya yang semakin lama semakin menghilang. Dengan ambisi yang kuat akupun berkata di dalam hati.

'Ibu, aku akan menggantikanmu.'

Batinku terasa sesak karena aku hanya dapat melihat tanpa melakukan apapun untuk ibuku, mencari uang. Saat ini aku hanya bisa membantu merawat dan menjaga ketiga adikku yang nyaris hampir putus bersekolah karena kekurangan biaya. Kadang kala aku berpikir, haruskah aku menggantikan posisi ibu di seusia ku saat ini?

.

.

.

Bongkahan air mata tak dapat terbendung di kala ibu menangis kesakitan. Kakinya mulai melemah dan tidak dapat berjalan.

"Anakku ..."

Dia memanggilku dalam kondisi yang lemah sementara aku harus berjuang menghadapi ujian akhir di sekolah.

"Jika ibu tiada, ibu titip ketiga adikmu, ya."

Bagaimana mungkin air mataku dapat tertahan saat ibu memberikan isyarat yang paling ku benci. Air mata itu pun tumpah bersama kehampaan yang kurasakan.

"Anakku ..."

Dalam raut wajah yang pucat pasi, ibu masih sempat mengatakan hal itu sebelum akhirnya ia tertidur. Tidur yang cukup lama bagiku ... ah, tidak mungkin saja ia tertidur selamanya.

Tapi bukan itu yang menjadi masalah utama bagiku. Saat ini aku membulatkan tekad untuk mendapat pekerjaan yang mapan. Yah hanya itu tekadku agar aku dapat menggantikan posisi ibu sebagai tulang punggung keluarga di rumah.

Selepas dari masa pahit, ibuku kembali terbangun lalu mencoba memulai aktifitas hariannya.

"Naruto, hari ini ibu tidak pergi berdagang. Bisakah kau menggantikan ibu mengambil pesanan kue?" Sambil memegang dada yang terasa sesak, ibu memberikan beberapa daftar pesanan yang harus segera di penuhi.

"Baik, Bu."

Aku dengan sigap mengambil secarik kertas itu lalu pergi ke tempat yang ditujukan. Cukup lama aku menunggu akhirnya pesanan itu dapat kupenuhi tanpa kendala.

Ibuku selain berdagang di pasar, ia juga menerima pesanan dengan mengambil keuntungan di ujung. Semacam membeli barang dari produsen lalu menyalurkannya kepada konsumen secara langsung.

.

.

.

Hari demi hari kulalui, kulihat ketiga adikku tumbuh menjadi remaja yang cantik. Satu dari ketiganya sangat sulit ku nasehati.

"Tenang, Nak. Tidak ada keluarga yang sempurna. Begitupun dengan hati."

Sambil memasak, ibu terus menasehatiku agar aku lebih fokus dalam bekerja dan tidak perlu mengkhawatirkan ketiga adikku. Yah aku sudah lulus dari sekolah dan saat ini sudah bekerja sebagai pramuniaga di salah satu toserba.

Andai saja ayah masih ada mungkin kami dapat berbagi tugas lebih baik. Tapi sayang itu hanya sebongkah khayalan semu.

Bulan demi bulan kami lalui bersama, kehidupan kami mulai berubah secara perlahan. Tidak terasa sudah satu tahun berlalu semenjak aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Padahal banyak yang tidak menyangka jika aku dapat meraihnya terlebih aku bukan seorang siswa yang pandai bergaul.

"Selamat ulang tahun, Kak Naruto!"

Aku tak menyangka jika ketiga adik perempuanku masih mengingat akan hari jadiku. Tapi kali ini untuk yang pertama kalinya aku tidak melihat keberadaan ibu.

"Di mana ibu?" tanyaku yang kebingungan kepada ketiga adikku.

Hanabi, Moegi dan Minna hanya dapat menggelengkan kepala pertanda tidak mengerti akan maksud pertanyaanku. Akupun berlari ke sebuah lorong kecil untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Kulihati satu persatu khalayak ramai yang berkumpul.

"Naruto ..."

"Ibu ..."

Ternyata ibuku baru saja mendapatkan sebuah rezeki yang tidak pernah disangka sebelumnya.

"Harta warisan?"

Aku terkejut di saat ibu sedang melakukan akad yang di saksikan oleh banyak orang. Ternyata ayah sudah mewariskan sesuatu kepada kami sebelum kepergiannya, sebuah toko beserta isinya.

Aku begitu senang mendengar akan hal itu. Aku berharap setelah kebahagiaan ini akan memancing kebahagiaan yang lainnya dan hal-hal gila itu tidak akan pernah terjadi. Pikiranku terlampau kacau menghadapi kenyataan yang ku ketahui. Terlebih banyak saudara dari ayah yang tidak menyukai ibuku.

.

.

.

Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan aku menuai kerja kerasku selama ini.

"Naruto, ini bonus untukmu. Cukup untuk membeli sebuah hunian kecil di tepi kota."

Seorang wanita berperawakkan muda memberikanku bonus tambahan atas kerja kerasku selama tiga tahun terakhir. Aku bahagia sangat bahagia, setidaknya aku dapat mempersiapkan masa depan untuk ibu dan ketiga adikku karena rumah yang lama sudah harus terpaksa dijual untuk membayar semua hutang selama ini.

Tanpa banyak basa basi akupun pergi bersama ketiga adik perempuanku melihat-lihat sebuah rumah kecil yang harganya relatif murah.

"Deal."

Kami saling menyepakati atas pembelian sebuah rumah beserta surat-surat kepemilikkannya. Alhasil aku mempunyai sebuah hunian baru, kecil memang tapi cukup membuatku merasa tenang dengan kehidupan baru yang akan segera kami jalani.

Bagaimana mungkin seorang pramuniaga toserba mendapatkan bonus untuk membeli sebuah hunian kecil di tepi kota?

Pekerjaanku sangat melesat saat itu, dalam satu tahun menjadi seorang pramuniaga aku dapat menguasai banyak hal sehingga setahap demi setahap jabatanku naik hanya dalam hitungan bulan saja. Tentunya prestasi ini tidak terlepas dari support ketiga adikku dan juga do'a ibu.

.

.

.

Waktu terus berjalan tanpa henti dan usiaku kini sudah matang, saatnya aku memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang dapat memahami bagaimana keadaanku. Kudapati, kedekati dan kulamar wanita yang selalu ada di kala aku kesusahan. Dia bagaikan dewi yang turun dari khayangan. Perawakkan yang lembut membuatku tersipu malu.

"Hinata ..."

Satu bulan yang lalu aku resmi menikahinya dengan pesta pernikahan yang sangat sederhana, padahal aku sudah menjabat sebagai Area Manager saat itu. Dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Tapi Hinata lebih menginginkan uang pesta pernikahan itu ditabung untuk hari depan dibanding dengan pesta mewah yang hanya menghabiskan biaya tanpa manfaat.

Saat ini ia tengah mengandung anakku, anak pertama kami. Bukan main sulitnya aku mengatur hidupku saat ini. Istriku yang sedang hamil ingin selalu kuperhatikan tapi dilain sisi aku mempunyai seorang ibu yang usianya sudah menginjak masa baya yang juga harus kuperhatikan. Terlebih ketiga adik perempuanku yang masih membutuhkan diriku sebagai seorang kakak yang selalu menjaga mereka.

Tapi akhirnya semua bisa kulalui dengan adil setelah berbagai masalah yang datang. Semuanya berbanding lurus, keluarga kecilku terurus dan ketiga adikku bisa lulus dari sekolah tanpa kekurangan sesuatu apapun.

Bahagia? Tentu saja.

Tapi sungguh berat perjuangan menjadi seorang tulang punggung keluarga itu.

.

.

.

TAMAT

.

.

.

A/N : Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan Naruto yang menjadi tulang punggung di keluarganya, menggantikan Kushina yang terpaksa menjadi single parent setelah kematian Minato. Sekelumit permasalahan datang menerjang tetapi ketenangan membantunya melewati semua itu. Tentu dengan usaha yang keras dan menyita waktu.

Hanabi, Moegi, dan Minna sebenarnya hanyalah seorang anak pungut keluarga Uzumaki. Tetapi Naruto begitu menyayangi mereka sepenuh hati layaknya adik kandung sendiri.

Di tengah-tengah keterbatasan hidup, Kushina mampu berbagi kepada ketiga anak yatim piatu yang dipungut oleh sang suami. Lalu bagaimana dengan kita yang berkecukupan?

Semoga menginspirasi bagi semua para pejuang keluarga.

Arigatou ^_^