Disclaimer : Naruto adalah sebuah manga yang diciptakan oleh Masashi Kishimoto. Kalau pun Naruto adalah milik saya pasti Naruto sudah menjawab ungkapan cinta Hinata atau setidaknya Hinata akan bersama Sasuke.
Incompatible Pressure
Mizukaze-hime
Suara pemberitahuan keberangkatan penerbangan menuju Tokyo menggema memekakkan para pengunjung bandara. Hinata melepaskan ikatan rambut berenda ungu dengan motif bunga sekadar untuk membiarkan rambut lurus indahnya tergerai tersapu angin kencang akibat pesawat lain yang sedang lepas landas. Dia melihat ke sekeliling tempat mencari pesawat yang akan ditumpanginya. Sesampainya di pesawat, Hinata pun mencari tempat duduk miliknya. Kebetulan Hinata mendapatkan tempat duduk di samping jendela. Karena dengan begitu, dia bisa melihat pemandangan yang memesonakan dirinya. Selang beberapa waktu, pramugari maskapai pun memberitahukan penumpang bahwa pesawatnya akan lepas landas dalam waktu lima menit. Hinata menelusuri tiap bagian pesawat dengan kedua bola matanya yang berwarna unik itu. Dilihatnya hampir setiap bangku sudah diduduki oleh pemiliknya. Tapi rasanya bangku disampingnya masih kosong. Mungkin memang tidak ada pemiliknya, pikir Hinata. Hinata pun mencoba untuk merebahkan punggungnya dan memejamkan kedua matanya. Ia sangat lelah karena baru saja selesai menghadiri rapat di salah satu cabang Hyuuga Corporation. Ayahnya, Hiashi Hyuuga, mengatakan bahwa itu adalah salah satu bentuk latihan untuk bisa menjadi pimpinan di perusahaan tersebut. Selain itu juga, dia bisa melatih keberaniannya. Tiba – tiba bangku disebelahnya bergoyang. Hinata pun membuka kedua matanya perlahan karena terganggu oleh seseorang yang sepertinya baru saja duduk disebelahnya. Ia pun melihat sesosok wanita yang berpakaian sangat rapi, dan sepertinya seorang yang well educated. Hinata bisa melihat rambutnya yang secerah sakura, merah muda mencolok. Selain itu, gadis itu nampaknya sedang terburu – buru, nafasnya terengah- engah, mungkin pasokan udaranya ia pakai untuk berlari tadi. Kemudian gadis itu menyunggingkan sebuah senyuman sambil mengelap beberapa bulir keringat buah hasil berlarian mengejar pesawat yang hampir terbang. Gadis cantik itu, Sakura, tidak sengaja ketiduran disebabkan malamnya ia menelepon kekasihnya tercinta. Ia pun menyapa gadis berambut indigo itu. Dua jam di atas pesawat tanpa ada teman yang bisa diajak bicara sangat membosankan. Hal inilah yang membuat Sakura ingin sekali mengajak gadis disebelahnya berbicara, menghilangkan kepenatannya. Tadi pagi, ia harus melakukan operasi dan kegiatan itu cukup menguras pikiran dan tenaganya.
"Aku Sakura Haruno," katanya sambil terengah – engah. Dadanya mengembang secara sporadik. Ia mencoba mengatur nafasnya. Dan tersenyum kembali. Hinata yang dari tadi mengamati gadis berambut merah muda ini pun tersadar bahwa gadis di sebelahnya mengajaknya berbicara. "Aku Hinata. Hinata, Hyuuga," katanya mantap. Sakura pun merasa tidak asing dengan nama keluarga yang Hinata miliki. Hyuuga, Sakura merasa bahwa ia sering mendengar nama itu. Sakura pun segera membuang pikiran itu. Dia mengajak Hinata berbicara untuk menghabiskan waktunya yang sangat membosankan di pesawat itu. Tapi sepertinya, teman barunya, Hinata, sangat menikmati berada di atas pesawat, matanya dari tadi tertuju ke samping jendela. Hinata memang sangat senang melihat pemandangan dari atas pesawat. Rasannya pemandangan yang ada di bawahnya seperti mainan saja. Sakura pun tersenyum karena ini adalah pertama kalinya ia melihat seseorang yang sangat terpesona dan seakan melupakan keadaan sekitar hanya untuk melihat pemandangan yang menurut Sakura kurang sepadan dengan pesona kekasihnya. Sakura tidak akan seantusias itu apabila melihat pemandangan dari atas pesawat dibandingkan perhatian dan kehadiran kekasihnya. Ia pun tersenyum setiap kali mengingat hubungan mereka yang sangat rumit. Sakura pun menepuk pundak Hinata, berusaha mengalihkan perhatiannya dari pemandangan yang tersaji dari atas pesawat yang sangat besar itu. "Hyuuga-san, " panggil Sakura.
"Hinata saja, lagi pula rasanya kita seumuran," ucap Hinata sambil tersenyum. "Kalau begitu kau harus memanggilku Sakura. Deal," kata Sakura sambil menjulurkan tangan yang putih bersih itu. Hinata pun membalas uluran tangan Sakura. "Oh ya, kau dari Kyoto juga?" tanya Sakura antusias. Matanya hijaunya berbinar dan terlihat sangat bersemangat. Hinata pun memberikan anggukan kecil yang ia tujukan pada Sakura.
"Aku juga dari Kyoto. Tadi aku habis mengoperasi pasien yang mengidap penyakit kronis, sangat melelahkan," imbuh Sakura, sambil mengempaskan dirinya di bangku pesawat. "Apa kau seorang dokter?" Tanya Hinata. Sakura pun menganggukkan kepalanya, mengiyakan. "Kalau kau?" tanya Sakura balik. Sakura pun meminum teh panas yang tadi diberikan oleh pramugari. "Aku baru saja menghadiri rapat di salah satu cabang yang ada di Kyoto. Dan terjadi perdebatan dalam mengambil keputusan, untungnya tadi aku bisa membujuk klienku itu," kata Hinata sambil mengambil cemilan yang ada di sampingnya, lalu menawarkannya pada Sakura. "Wah, kau sibuk sekali ya! Pasti sangat sulit untuk membujuk klienmu itu, untung aku jadi dokter, tidak harus melawan orang – orang yang mempunyai ego sangat tinggi. Kau tahukan, para pebisnis itu rata – rata berego tinggi," kata Sakura sambil mengingat pengalamannya dengan seorang pebisnis yang sangat berego tinggi. Hinata pun tertawa kecil sambil tahu benar betapa sulitnya untuk meyakinkan klien dalam sebuah rapat. "Aku kenal seorang pebisnis yang sangat berego tinggi. Dia adalah cinta pertamaku," tutur Sakura sambil memejamkan kedua matanya mengingat masa lalunya itu. Hinata pun mendengarkan dengan seksama. Sepertinya walaupun mereka baru saja kenal, tapi mereka sudah seperti sahabat. Dan lagi gadis berambut merah muda ini mau bercerita mengenai pengalaman cintanya pada Hinata yang sangat kurang pandai dalam hal yang satu itui. Hinata ingat betapa sering Hanabi, adiknya, membujuk agar ia segera mencari kekasih. Tetapi, bukan itu prioritas Hinata, ia ingin membahagiakan ayahnya. Karena itulah, Hinata berusaha keras agar bisa membanggakan ayahnya.
Sakura pun membuka kembali kelopak matanya, "Dia itu sangat menyebalkan. Tapi entah kenapa rasanya kami saling membutuhkan. Walaupun dia sering tidak mau mengakuinya," cerita Sakura sambil menampilkan pipinya yang mulai merona. Sakura pun ingat bahwa gadis disampingnya ini baru saja ia kenal tetapi, ia sudah bercerita tentang pengalaman cintanya. Hinata sangat antusias mendengar Sakura yang mulai bernarasi menceritakan kisahnya secara singkat. Sakura pun menangkap keingintahuan Hinata lewat pancaran bola mata peraknya yang sedikit lavender itu. Sakura pun melanjutkan ceritanya, lagi pula tiga puluh menit lagi mereka akan mendarat di Tokyo. "Aku sudah empat belas tahun menyukainya. Dan butuh dua belas tahun untuk bisa mendapatkannya," kata Sakura. Itu memang bukan rekayasa Sakura sanggup menanti pujaan hatinya agar mau menerimanya. Ia teringat akan perjuangannya mendapatkan hati sang kekasih. Sakura pernah kehujanan hanya karena menunggu kekasihnya itu membukakan pintu apartemennya. Ia pernah jatuh dari sepeda karena terburu – buru mengantarkan bento yang susah payah ia buat. Ia juga pernah berenang di sungai dan tenggelam hanya karena kekasihnya itu menantangnya.
"Pasti dia orang yang sangat berpendirian tegas ya, Sakura- chan," tangggap Hinata. Dia bisa merasakan betapa sulitnya Sakura mengejar cintanya. Tatapan mata Sakura yang bisa membuat Hinata sadar bahwa Sakura pasti sangat mencintai kekasihnya terdengar suara pengumuman bahwa mereka akan mendarat sebentar lagi. Hinata dan Sakura pun mengencangkan sabuk pengaman yang dari tadi melindungi mereka.
Setelah pesawat mendarat, Hinata pun megambil tasnya dan mengucapkan salam perpisahan pada Sakura. Ia sangat senang bisa mendapat teman baru. Kalau ia bercerita pada Hanabi mengenai kisah cinta Sakura pasti adiknya itu akan menyuruh kakanya agar bisa seperti gadis beramput merah muda itu.
Hinata mulai mengambil kopernya di bagasi. Setelah itu ia keluar dan melihat banyak sekali orang yang sedang menunggu para penumpang pulang. Hinata pun melangkahkan kakinya ke arah bangu terdekat dan mendudukkan dirinya. Ia pun merogoh sakunya dan mengeluarkabn ponsel putihnya itu. Ternyata ada sebuah pesan singkat dari adiknya tersayang.
From : Imouto-kun
Nee-chan, aku sebetar lagi sampai. Tunggu kami ya. Jalan ke bandara benar – benar macet. Kau harus lihat bagaimana tampang Neji-nii sekarang. Sangat jelek. Hehe…
Hinata bisa membayangkan ekspresi Neji –nii yang sangat membenci kemacetan. Dasar Imouto-kun selalu saja punya cara untuk bisa membuat Neji-nii berubah drastis Hinata ingat adiknya itu selalu marah apabila ia memanggilnya dengan sebutan 'kun'. Hal ini disebabkan tingkah laku Hanabi yang sangat tidak mencerminkan seorang perempuan. Benar – benar sangat tomboy. Neji-nii pun ikut – ikutan memanggilnya dengan panggilan imouto-kun. Hinata menaruh kembali ponselnya di sakunya. Kemudian ia melihat Sakura yang baru keluar dari toilet wanita. Hinata pun melambaikan tangannya seraya memanggil nama gadis berambut merah muda itu. Sakura membalas lambaian tangan kecil Hinata. Dan melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Hinata duduk. Ia pun duduk di samping Hinata.
"Kau belum dijemput?" tanya Hinata."Ah, dia itu selalu terlambat menjemputku. Kau tahukan dia yang tadi kuceritakan itu," Hinata ingat siapa dia yang Sakura maksud. "Dia juga baru selesai rapat."
"Nanti kalau dia disini aku akan mengenalkannya padamu." Tambah Sakura.
Kemudian Hinata pun melihat Hanabi yang sedang mencari – cari dirinya itu. Dan juga Neji-nii yang sedang ikut mencarinya. "Aku sudah dijemput, Sakura-chan,"ucap Hinata. Mereka pun berpamitan.
Mizukaze-hime
Hinata sudah berada di dalam mobil. Ia pun membuka jendela mobil yang membawanya pulang ke kediamannya. Neji sengaja tidak menyalakan alat pendingin dan membiarkan angin masuk melalui jendela. Ini adalah salah satu kebiasaan Hinata. Neji dan Hanabi sudah sangat kenal dengan Hinata, sangat. "Nee-chan, aku kangen sekali padamu. Kau tahu aku mau bercerita padamu tentang Kono-kun," ucap Hanabi sambil mengerucutkan bibirnya dan mengembungkan pipinya."Nanti sebentar lagi kita sampai. Nah, kau bisa bercerita padaku tentang kencanmu yang kemarin itu, Imouto-kun," balas Hinata.
"Nee-chan, aku kan sudah berkali-kali mengatakan kalau aku tidak mau dipanggil seperti itu,"
"Kau memang cocok dengan sebutan itu," timpal Neji.
Mizukaze-hime
Hubungan Hinata dengan ayahnya bisa dikatakan kurang akur. Padahal Hinata selalu menyayanginya dan memprioritaskan kebahagiaan ayahnya di atas kebahagiannya sendiri. Hinata rela melakukan itu semua demi Otousan nomor satu di dunia. Hinata masih ingat betapa dahulu ayahnya selalu memanjakannya. Tetapi, itu semua lenyap tak bersisa, tersapu bersih ketika ibunya menutup mata. Mulai hari itu Otousannya mulai mendidik anak – anaknya dengan keras. Dan lebih menyayangi Hanabi. Kini Hinata sudah berada di kediamannya yang sangat besar. Ia pun menuju kamarnya untuk tidur sebentar padahal ia sudah berencana untuk tidur di atas pesawat tadi.
Terdengar suara ketukan yang berirama di pintu kamar Hinata. Dengan enggan Hinata pun beranjak dari kasur empuknya dan membukakan pintu. "Hinata, Paman Hiashi memanggilmu sepertinya ini masalah bisnis. Aku lihat ia sangat terburu – buru," kata Neji. Hinata pun menutup pintu kamarnya dan beranjak ke ruang kantor ayahnya. Rasanya hari ini rapatnya di Kyoto berhasil dan memuaskan. Mungkin sekarang ayahnya mulai bisa melihat kepandaiannya dalam urusan bisnis. Dan kemudian, ia ingin mengucapakannya selamat dan memeluknya erat. Betapa Hinata sangat menantikan hari seperti itu. Dengan hati yang berdebar – debar dan membuncah ia pun mengetuk perlahan daun pintu ruang kantor Hiashi. "Otousan, ini Hinata,"katanya lembut sambil memegang dadanya sembari menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskan udara yang ia hirup perlahan – lahan guna meredamkan gemuruh yang bergejolak di dadanya.
Mikukaze-hime
Sakura tampaknya sudah mulai kesal dan geram. Wajar saja, orang yang dia tunggu – tunggu dari tadi belum menampakkan batang hidungnya. Awas saja kau nanti, batin Sakura. Ia sudah berkali – kali mengutak – atik ponsel hitam legamnya dan menekan beberapa digit tombol yang sudah ia hapal dengan jelas. Sudah satu jam lebih ia duduk di kursi plastik putih bandara ini. Dan nampaknya bandara ini juga mulai sepi. Kalau tahu begini ia pasti lebih memilih naik taksi atau minta jemput Naruto. Tapi mau dikata apa, janji sudah terucap, ia sudah meminta kekasihnya untuk menjemputnya di bandara. Ia pun mencoba menelungkupkan badannya, matanya terasa berat dan berair. Sesekali ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya karena dari tadi ia sudah menguap. Hari ini benar – benar melelahkan baginya. Tanpa sadar ia pun sudah tiba di dunia mimpi dengan tangan yang masih menggenggam erat ponselnya itu. Ponsel hitam sakura bergetar beberapa kali, tetapi ia masih terkulai lemas dan terbuai mimpi.
Sesosok pria tampan dengan rambut gelap dan tegap mengedarkan pandangan mencari sesorang wanita yang sudah memintanya menjemputnya. Ia mencoba menelusuri beberapa terminal di bandara tersebut tapi belum juga mendapatkan orang yang dicarinya. Ia juga sudah mencoba menghubungi wanita itu berkali – kali tetapi, ia tidak mengangkatnya. Mungkin dia marah.
Sampailah ia di dekat toilet wanita. Di sana berbaris kursi plastik putih dengan rapinya dan dibelakangnya dinding berkata yang menyuguhkan pemandangan indah, dan sesekali terlihat pesawat yang baru mendarat. Seketika ia mendapati seorang perempuan berambut merah muda yang sudah sangat ia kenal, Sakura.
Ia berjalan menghampiri Sakura dan kemudian tersenyum kecil karena gadis di hadapannya sudah tertidur pulas. Wajahnya damai sekali, sunggu sangat polar dengan sikapnya. Ia mencoba menggoyangkan bahu Sakura perlahan. Sakura pun terbangun ketika melihat sosok di hadapannya, siapa lagi kalau bukan kekasihnya, Sasuke. Uchiha Sasuke.
"Sasuke – kun, kenapa kau lama sekali menjemputku? Tahu begini lebih baik aku naik taksi atau minta Naruto menjemputku," keluh sakura sambil melingkarkan tangannya di lengan pun hanya mengangguk kecil. Sasuke masih seperti yang Sakura kenal selama ini. Rasanya mereka saling melengkapi. Walaupun Sasuke tidak begitu menunjukkan perasaannya tapi Sakura tahu bahwa Sasuke bisa mulai menerima keadaannya. Ia hanya bisa berharap suatu hari nanti Sasuke akan mencintainya sedalam cinta yang ia tawarkan padanya. Kemudian mereka berdua berjalan menuju tempat parkir untuk segera pulang.
"Kenapa kau telat menjemputku?"
"Otousan tadi memanggilku. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan."
Mizukaze – hime
Daun pintu ruang kantor Hiashi mulai terbuka perlahan menampakkan kantor Hiashi yang sangat sesuai dengan kepribadiannya, sangat mengintimidasi. Hinata pun mulai mendudukkan dirinya di sofa hitam besar. Ia menghirup nafas dalam – dalam. Rasanya jantungnya seakan ingin mendobrak tulang rusuknya.
"Otousan memanggilku?"tanya Hinata pelan. Ia ingat dahulu ia sering sekali berbicara terbata – bata di hadapan semua orang. Dan ia bisa bergetar hebat apabila harus bebicara denga ayahnya. Tapi untungnya ia sudah bisa mengatasi kegugupannya itu. Ini semua ia lakukan untuk Otousan tercintanya.
"Aku tahu kau pasti menduga ada gerangan apa aku memanggilmu. Aku puas dengan hasil rapatmu di Kyoto. Tetapi itu masih belum cukup kau harus lebih berusaha. Lampaui Neji dan Hanabi. Kau mengerti?"Hinata pun menganggukkan kepalanya dan mengepalkan tangan kecilnya. Memejamkan matanya seraya menundukkan kepalanya. Ia ingin menangis, ingin sekali. Ia terus memaksa dirinya agar pertahannya tidak lemah di hadapan Otousannya. Hinata tahu, tahu dengan jelas, ayahnya memang tidak pernah puas dengan pencapaiannya. Padahal ia sudah berusaha sekuat tenaga. Ia belajar memasak agar bisa pandai meracik bumbu dan membuat makanan kesukaan ayahnya, seperti apa yang Okaasannya dulu lakukan. Ia belajar bisnis agar bisa setegas ayahnya, dan tak terhitung lagi apa yang sudah ia lakukan. "Aku sudah memikirkan ini masak – masak. Dan kau harus menuruti kemauanku kalau kau memang benar adalah anakku. Aku sudah mendiskusikan ini dengan rekan bisnisku, Uchiha Fugaku."
Hinata bertanya – tanya, pikirannya mencoba menebak apa yang mereka diskusikan sampai harus melibatkan dirinya. "Aku akan menikahkanmu pada bungsu dari keluarga Uchiha. Dan kami sudah menentukan tanggal pernikahanmu. Tepatnya minggu depan, hari Minggu. Dan kalau kau bertanya padaku apa alasannya, itu semua karena aku merasa kau tidak cocok untuk menjadi pewarisku. Tapi aku akan mewariskan beberapa perusahaanku padamu." Mata Hinata terbelalak ia pun menatap ayahnya dengan mata kemerahan akibat menahan air mata agar tidak jatuh.
"Ta-tapi Otousan," belum sempat Hinata melanjutkan perkataanya Hiashi segera berdiri. "Apa? Kau belum kenal dengan pria yang akan kau nikahi itu? Atau kau tidak mencintainya? Apa itu yang mau kau katakan ? Percuma saja, kau itu lebih cocok menjadi ibu rumah tangga. Atau mungkin itu terlalu sulit untuk kau jalani. Buktikan padaku bahwa kau bisa menjadi ibu rumah tangga yang memuaskan. Apa itu terlalu sulit? Ya pasti itu terlalu sulit untukmu." Hinata sudah tidak bisa membendung air matanya. Matanya memerah, ia menangis sejadi – jadinya. Otousan yang ia cintai meremehkannya. Bahkan hanya untuk menjadi seorang istri pun ia diremehkan, dipandang sebelah mata. Hatinya bergejolak, nafasnya tercekat. Tangannya , tubuhnya bergetar. Ia memegang gagang kursi yang ia duduki keras – keras. Ia pun berdiri sambil menundukkan kepalanya. "A-aku bisa menjadi seorang istri yang be-berhasil. Otousan tidak perlu khawatir atau pun me-meremehkan kemampuanku. Aku akan buktikan!" ucap Hinat terbata – bata. Ia pun berlari keluar ruangan seram itu. Dan menangis sejadi – jadinya di kamar. Sambil memikirkan apa kesalahan yang ia perbuat sampai ayahnya begitu membencinya. Okaasan, Hinata takut. Hinata pun tetidur dengan pipi yang masih basah dengan air mata.
Mizukaze-hime
Uchiha Sasuke tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Otousannya, Uchiha Fugaku, memanggilnya secara tiba – tiba. Dan di sinilah ia sekarang di gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke angkasa. Ia ingin cepat – cepat menyelesaikan urusannya dengan ayahnya itu. Ia ingin segera menjemput Sakura di bandara. "Cepat katakan! " ucap Sasuke dengan kasar. Tawa renyah Fugaku membahana di sekitar ruangan. "Kau memang tidak berubah Sasuke. Aku sudah menjodohkanmu dengan seorang gadis." Sasuke pun membelalakkan matanya. "Apa maksudmu? Kau tahu dengan jelas aku sudah menjalin hubungan dengan seseorang."
"Tak usah berbohong dihadapanku. Aku tahu kau tidak menyukainya. Kau hanya kasihan padanya yang selama ini mengejarmu selama bertahun – tahun," kata Fugaku sembari menunjukan seringainya. Sasuke pun terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. "Gadis itu bernama Hinata Hyuuga. Ia pewaris Hyuuga Corporation. Aku sudah sepakat dengan ayahnya, Hiashi, untuk menikahkanmu dengannya." Tidak ada suara. Ruangan pun terasa mencekam.
"Bukankah ini cita – citamu?" tanya Fugaku dengan lantang sambil menyalakan rokok yang dari tadi ada di genggamannya.
"Jadi karena itu kau setuju?" tanya Sasuke sambil menatap lekat – lekat ayahnya. Ia, Sasuke Uchiha, sangat ingin mengembangkan perusahaannya. Ia ingin menguasai dunia dan menjadi pebisnis ternama. Dan dengan menikahi Hyuuga berarti ia semakin dekat meraih mimpinya itu. "Aku setuju kalau memang itu alasanmu."
"Bagus sekali, anakku. Kau harus bisa memanfaatkan kesempatan ini. Aku minta kau segera putuskan hubunganmu dengan Sakura." Sasuke baru ingat bahwa ia bisa menyakiti hati Sakura. Memang benar ia tidak mencintainya. Tetapi, hatinya sedang belajar untuk menerima tawaran cinta dari gadis berambut merah muda itu.
Mizukaze-hime
Bagaimana para pembaca? Saya sangat mengharapkan kritik yang membangun. Kalau ada saran bisa dilayangkan lewat review.
Tiada kado paling indah melainkan kehadiranmu, tiada kesan paling indah kecuali review darimu.
Salam ^_^
