"Dokter, saya ingin cucu saya kembali normal seperti biasa... karena diputuskan kekasihnya sebulan yang lalu ia seperti kehilangan akal sehat untuk hidup selayaknya sebelum ia bertemu mantan kekasihnya. Sebagai nenek nya saya sedih dengan kondisi cucu saya yang drop berlebihan... saya berharap selama Sasori ditangani dokter dirumah sakit ini, ia bisa cepat sembuh dari luka hatinya dan bisa beraktifitas seperti biasa lagi, sebelumnya saya sangat berterimakasih pada dokter yang sudah bersedia mengurusnya."

"Tentu saja, Nenek Chiyo, aku sebagai seorang dokter akan mengusahakan untuk kesembuhan cucu anda... saya akan kabari jika Sasori-kun bisa secepatnya sembuh setelah kejadian naas dalam bathinnya,"

"Baiklah... saya percayakan kepada anda, Dokter,"

"Terimakasih." Dan percakapan antara kedua orang itu sudah berakhir dikarenakan nenek sang pasien yang harus segera pulang kerumahnya.


DISCLAIMER

Naruto © Kishimoto-sensei

Hidupku © Misshire

Fict kedua, aku sedikit ragu untuk publish new fict setelah sebelumnya aku publish fict pertama, tapi aku penasaran dengan respon reader pada fict kedua ini

Attention, [miss typo] [kalimat gaje dan tidak efisien] [Out Of Characters] [alur kecepatan] [dan masih banyak lagi]

Warning, [Tidak Suka Tidak boleh Baca]

Dokter psikiater itu adalah dokter medis plus jiwa yang bisa memahami keadaan sekitarnya...


"Jadi siapa namamu?" tanya Sakura membuka percakapan, walau ia sudah tau siapa nama pasien dihadapannya tapi dokter yang bernama lengkap Sakura Haruno ini harus memastikan sampai mana jauhnya hilang kesadaran yang diderita sang pasien.

"Hn, kenapa harus aku jawab jikapun neneku sudah mengatakannya?" tanyanya santai tapi cukup membuat Sakura tersenyum lebar, sedikit bersyukur karena pasien dihadapannya nyatanya masih nyambung ketika ia ajak bicara.

"Baiklah, tapi aku ingin lebih tau namamu lengkap dari dirimu sendiri," ujar Sakura masih bersikukuh pada prinsipnya, setidaknya jika pasien dihadapannya itu mengatakan namanya berarti penyakit hati yang dideritanya tidak terlalu parah.

"Sasori Akasuna, apakah itu cukup membuat mulutmu bungkam?! Ayolah aku dibawa kesini untuk melewati perawatan serius! Bukan ditanya seperti halnya anak balita!" ujarnya ketus seraya menatap Sakura tajam.

'T-tunggu! Sialan, sabar-sabar Sakura...' ujar wanita berambut merah muda itu dalam hatinya, pasalnya baru kali ini ada pasien yang mengatai hal negative padanya. Sakura baru menjadi dokter 2 tahun yang lalu karena ia baru lulus S2 psikiatri. Tapi selama 2 tahun kebelakang itu pasien yang ia tangani tidak separah dan seberontak Sasori?

"Hey kenapa kau diam saja?! Bisakah kau bawa aku kehalaman untuk melepas penatku? Setidaknya aku harus melihat-lihat keadaan rumah sakit ini," pintanya singkat. Namun tanpa banyak bertanya karena melihat kondisi Sasori yang normal-normal saja Sakura turuti keinginan pasiennya. Pasien yang langsung ditangani olehnya,

"Ayo! Dengan senang hati," ujar Sakura mencoba mencukupi kesabarannya, ia segera berdiri dari duduknya dan berjalan sejajar dengan pasiennya. Beberapa gadis atau bahkan wanita dokter sepertinya memekik ketika melihat paras Sasori, tapi bagi Sakura pasiennya ini biasa-biasa saja dan tidak ada hal yang harus di teriaki.

"Dokter-dokter disini bodoh yah?" tanyanya singkat dan menatap dokter yang ada disampingnya. Urat pelipis Sakura muncul dan giginya sedikit bergertak karena kesal dengan cemooh pasien yang ada disampingnya, tapi sebagai seorang dokter yang sudah melewati banyak rintangan semasa kuliah Sakura cukup bisa mengendalikan emosionalnya.

"Haha.. tentu saja tidak Sasori-kun, mereka hanya terpesona oleh penampilanmu," ujar Sakura menjelaskan walau ia tidak begitu yakin dengan apa yang ia utarakan.

"Apa kau tidak tertarik padaku?" tanya Sasori masih tidak mengalihkan pandangannya dari dokter yang berada tepat disamping kanannya.

"M-maksudmu?" tanya Sakura tak percaya dengan pertanyaan yang diajukan pasien barunya, oh Tuhan pasien yang ditangani Sakura kali ini adalah pasien terekstream yang pernah Sakura temui, bahkan Suigetsu yang sudah ia tangani saja tidak seperti ini.

"Rupanya dokter yang menangiku tidak separah mereka, setidaknya aku bersyukur.. kau yang paling mengerti," gumam Sasori tiba-tiba, sebagai seorang dokter yang mendalami kejiwaan Sakura cukup mengerti kearah mana pembicaraan pasiennya, tapi karena penasaran ia harus tanyakan lebih lanjut.

"Kau berpikir mereka bodoh, apa karena kau pikir mereka menyukai lelaki sepertimu yang mempunyai penyakit jiwa?" tanya Sakura menebak.

Sasori tersenyum lebar, "Tepat sekali! Tidak aku ragukan lagi jika kau memang dokter yang tepat untuku! Lihat saja, kenapa mereka sampai harus memekik pada pasien sepertiku? Bukankah seharusnya mereka juga mengerti kondisiku sebagai pasien yang butuh bimbingan?" Sasori menjelaskan dengan memetakan kedua tangannya. Sakura tersenyum tipis, sedikit perasaan senang dalam hatinya karena pasien yang ia tangani kali ini setidaknya nyaman dengan dirinya yang membimbing.

Dan kini mereka berdua duduk ditaman rumah sakit jiwa, berdua. Sesekali Sasori mengarahkan pandangannya pada sekeliling taman yang memang ditempati oleh beberapa pasien lain sepertinya. "Berapa banyak pasien yang berada dalam peganganmu?" tanya Sasori menatap dokternya penasaran.

"Untuk sekarang mungkin hanya kau saja," jawab Sakura, 'Sialan! Disini, siapa yang menjadi pasien? Arrghhh!' pekik dokter yang masih setia tersenyum itu. "Jadi siapa nama mantan kekasihmu sampai seperti ini?" tanya Sakura mencoba mengalihkan pembicaraa, pasalnya jika bersama dengan pasien berambut merah yang satu ini rasanya Sakuralah yang menjadi pasien dan pasiennya yang menjadi dokter –karena ia terus bertanya sesuatu yang tidak diduga–.

"Huh? Kau ingin tau silsilah hidupku?" tanya Sasori menaikan alisnya satu keatas. Sakura mengulum senyumnya kemudian menganggukan kepalanya membenarkan pertanyaan sang pasien.

"Ceritakanlah, kita bisa berbagi cerita disini, aku tidak akan membocorkan isi hatimu Sasori-kun dan justru aku akan membantu masalahmu," jelas Sakura menatap meyakinkan kearah pasiennya yang kini tampak sedang menerawang.

"Benarkah kau bisa? Masalahnya, aku tidak terlalu percaya pada semua perempuan," gumamnya masih dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Tentu saja karena aku adalah doktermu, dan karena aku doktermu aku akan selalu mendorong hidupmu dalam kebaikan.. jadi ceritakanlah masalahmu," jelas Sakura menatap pasiennya yang kini sedang menatapnya balik.

"Maaf... bukan waktunya sekarang, aku akan menceritakannya tapi bukan saat ini," jawab Sasori menundukan kepalanya, Sakura mengusap punggung badan Sasori pelan.

"Tenang saja Sasori-kun, aku akan menunggumu dan kau bisa ceritakan kapanpun jika kau baru merasa baik," jelas Sakura, nyatanya hasil kuliah itu memang sangat diterapkan oleh Sakura. Menjadi dokter yang sabar menghadapi pasiennya adalah kata kunci bagi psikiater.

.

.

"Forehead!" panggil Ino ketika melihat sahabatnya itu sedang berbincang bersama dengan pasien barunya.

Sakura mendengus kemudian menolehkan kepalanya kearah belakang, sedangkan Sasori ia masih disibukan dengan pikirannya. "Ino! Jangan katakan hal itu disini!" nasehat Sakura pada rekan kerjanya, Ino Yamanaka.

"TIDAK! SUDAH KATAKAN AKU TIDAK MAU DEKAT DENGANMU! DASAR JALANG!" pekik Sasori tiba-tiba membuat seisi orang yang ada dirumah sakit, mau itu dokter dan pasiennya menjadi kaget dan gemetaran karena takut.

"Sasori?! Tenanglah!" Sakura berlari mengejar Sasori yang semakin menjauh dari jangkaunnya. Ketika Ino belum menyapanya Sasori tampak baik-baik saja dan sedang berbicara normal dengan Sakura, tapi ketika melihat Ino datang entah apa yang merasuki atau momen yang berputar dalam otak Sasori membuat ia berteriak histeris seakan-akan ia melihat sesuatu yang menakutkan baginya.

Sasori tidak menyahut ucapan Sakura ia malah berlari keluar dari rumah sakit membuat Sakura semakin sulit mengejarnya, bahkan para satpam penjaga yang melihat Sasori berlari tidak sempat mengejarnya.

"SASORI TUNGGU!" teriak Sakura lagi masih berlari dengan sekuat tenaganya.

.

"Ada apa ini?!" pikir Ino kaget, ia tiba-tiba ditatap melotot oleh pasien Sakura dan secara tiba-tiba pula pasien itu berlari kencang dengan berteriak histeris membuat seisi rumah sakit menjadi ketakutan.

.

.

BRUK

"KYAAAH! SASORI!" melihat Sasori yang tergeletak dijalanan semakin membuat Sakura berteriak bingung, Sasori adalah tanggung jawabnya sekarang dan karena itu Sakura takut jika sesuatu terjadi pada pasiennya. Dengan lutut yang semakin melemas Sakura memaksakan diri untuk tetap berlari kearah dimana pasiennya tergeletak.

"Sasori!" panggil Sakura pada pasiennya yang tergeletak ditengah jalan setelah ada mobil yang menabraknya. Tidak peduli mobil siapa Sakura segera menyuruh sang supir itu keluar dari dalam mobilnya.

"Hn, dia menghalangi jalanku," gumam sang penabrak dan sukses membuat tenaga Sakura meledak-ledak untuk menyampaikan amarahnya.

"Hey Tuan! Kau tau apa yang kau perbuat?! Dia adalah pasienku! Dia menderita penyakit jiwa! Jangan salahkan dia! Salahkan dirimu sendiri karena kau mengemudi tidak hati-hati dijalanan!" cerocos Sakura menatap sang penabrak pasiennya marah.

Tanpa menjawab ucapan Sakura, pelaku yang menabrak Sasori hanya menunjukan sesuatu dengan dagunya sebagai isyarat. Merasa tidak beres dengan apa yang dilakukan pemuda didepannya membuat Sakura mengikuti arah pandang lelaki itu.

"Sa-sasori.." gumam Sakura lemas, nyatanya Sasori hanya membodohi dirinya dengan tergeletak dijalan kemudian berlari memanfaatkan kesempatan ketika Sakura menceramahi supir yang menabraknya sebelum ini.

TIID TIID

Sakura baru sadar jika ia sedang menjadi perhatian seluruh pengguna mobil, melirik kearah atasnya ternyata dirinya tepat berada ditengah lampu hijau. Sialan!

"Aku tidak menabraknya! Dia menjatuhkan dirinya dihadapan mobilku, dasar bodoh!" gumam lelaki yang sempat dituduh Sakura, Sakura bengong belum bisa mencerna ucapannya dan kini pemuda itu kembali masuk kedalam mobilnya.

Walaupun kesadaran belum sepenuhnya menempel tapi Sakura segera menyingkir kearah sisi jalanan. Mobil yang sempat macet itu kembali berlalu lalang termasuk lelaki yang sebelumnya ia marahi.

"SASORI!" teriak Sakura marah dan segera mencoba mencari pasiennya. Untung saja Sasori mengenakan gelang hijau yang bertanda adalah pasien, dan digelang itu langsung dihubungkan dengan radar yang dilacak oleh alat pelacak yang dipegang Sakura sebagai dokter yang merawatnya.

'Sialan! Ia itu sakit atau tidak sih?!' pikir Sakura dalam hatinya sebal.

Radar menunjukan jika jarak Sasori tidak jauh dari jaraknya sekarang, Sakura menghela nafasnya singkat kemudian ia keluarkan dari mulutnya. Mencari Sasori memang sedikit ekstream karena lelaki itu sangat gesit. Tapi bukan Sakura namanya jika wanita itu kalah gesitnya.

Ternyata Sasori sedang berada didalam restoran yang ada disamping Sakura, dengan tersenyum penuh kemenangan Sakura memasuki restoran itu dan segera mencari keberadaan pasiennya.

"Dokter!" ah itu suara Sasori, Sakura segera membelokan badannya kearah dimana pasiennya berduduk santai. "Ini tagihannya pada dokter ini saja, aku tidak bawa uang. Dokter aku akan membayarmu nanti, sekarang kau talangi jumlah makanan yang aku beli," jelas Sasori santai membuat emerald hijau Sakura terbelalak mendengar penjelasannya. Se-enak jidatnya saja Sasori makan santai dikala Sakura mencarinya, dan setelah ditemukan Sasori ternyata meminta Sakura untuk membayar tagihan makanannya.

'Shit! Aku tidak bawa uang! Sasori sialan! Bagaimana ini?!' pikir Sakura dalam hatinya, tidak sengaja ia menemukan lelaki yang ia marahi karena insiden –memalukan– sebelum ini, dengan segenap hatinya Sakura menahan rasa malu kemudian mendekat kearah pemuda itu yang tampak sedang berbincang bersama dengan teman-temannya.

.

.

"T-tuan, maafkan atas kelancanganku, tapi bisakah untuk sekarang kau bayari makanan yang pasienku makan? Aku janji akan melunasi jika aku membawa uangnya, tapi sialnya uangku tertinggal diruanganku, aku meminta bantuanmu.. ini alamat rumahku atau aku bisa cari aku kerumah sakit Konoha bagian ruangan psikiater! Aku akan membayarnya jika kau datang, terimakasih sebelumnya!" jelas Sakura cepat dan segera berlari mengejar Sasori yang kembali menjauh dari jaraknya.

Sakura langsung berlari tanpa memerhatikan ekspresi pemuda yang ia marahi sekaligus ia pintai itu, ia tidak mau melihat perubahan wajah dari pemuda yang sebelumnya membuat ia malu setengah mati karena –perbuatan Sasori.

.

.

"Teme, siapa dia? Ada apa dengannya? Kau kenal sebelumnya dengan wanita tadi?" tanya pemuda berambut kuning menatap sahabatnya bingung, sedangkan sahabat kuning itu sebatas menghela nafas kemudian mengendikan bahunya.

"Aku yang membayar tagihannya," ujar sahabat pemuda kuning itu pada pelayan yang masih berada disampingnya.

"Baiklah Tuan, terimakasih," ujar pelayan itu dan pergi dari hadapan kedua pemuda yang sedang melingkari meja restoran.

"HAH? T-Teme kau benar-benar membayar tagihannya?!" tanya pemuda berambut kuning tadi seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya.

"Hn, tentu saja." Jawabnya santai.

"T-tapi bayarannya besar bodoh!" cerca pemuda berambut kuning lagi, tapi mungkin sahabat didepannya itu seakan tidak peduli dengan apa yang dikatakan sahabatnya.

"Kau ragukan keuanganku, eh Dobe? Bahkan restoran ini masih milik Pamanku," jelas sahabat pemuda berambut kuning tersebut.

"E-eh haha... tentu saja!"

.

.

"Sasori cukup!" Sakura menarik lengan Sasori sekuat tenaganya dan memukul badan pasiennya dengan lumayan keras. Cukup sudah kesabaran Sakura diuji oleh pasiennya yang satu ini, walaupun lemas tapi Sakura coba untuk mengeluarkan tenaga –Shannaroo– nya.

"A-ah ittai! Kau mau membunuhku?!" tanya Sasori marah, rasanya sakit ketika anggota badannya dipukul oleh dokter yang merawatnya.

"Cukup! Aku tidak tau apa masalahmu, tapi bisakah kau diam! Aku lelah mengejarmu dasar pasien bodoh!" cerocos Sakura, tapi karena cerocosannya itu tidak membuat Sasori marah, dan ia malah menyeringai kecil melihat reaksinya.

"Baiklah aku kalah, maafkan aku dokter cantik!" ujar Sasori dengan ekspresi penyesalannya.

DEG

Rona merah memang langsung menjalari pipi Sakura. "Tapi aku memang mempunyai trauma ketika melihat gadis berambut pirang, dan jangan salahkan aku jika kejadia seperti tadi terulang lagi... itu bukan kesengajaan aku berani bersumpah, aku refleks," aku Sasori.

Sakura menghela nafasnya, baiklah karena baru satu kali Sakura percaya dengan pengakuan pasiennya, lagi pula Sakura harus selalu memahami kondisi pasien yang ia rawat bukan?

"Asalkan kau tidak ulangi lagi aku akan memaafkanmu," jawab Sakura singkat disertai senyuman manisnya.

"Aku akan berusaha, terimakasih dokter... Sakura," ujar Sasori dan Sakura kembali menganggukan kepalanya dengan senyum yang tidak putus.

.

.

"Ino untuk sementara kau jangan dekati pasienku! Dia punya trauma yang akut dengan wanita berambut pirang sepertimu," jelas Sakura menatap sahabatnya serius, Ino bahkan terbelalak kaget dan sebagai dokter medis yang sama dengan Sakura, Ino menganggukan kepalanya mengerti,

"Baiklah aku akan berusaha menjauh dari pasienmu itu," gumam Ino malas sedangkan Sakura hanya terkikik geli mendengar ucapan sahabat pirangnya.

"Aku harus pulang, lagi pula jam ini sudah lebih dari jadwalku," ujar Sakura pelan dan segera pergi dari ruangan sahabatnya untuk segera kembali keapartemennya.

"Semoga kau baik-baik saja!" teriak Ino sebelum Sakura benar-benar menghilang..

.

.

"Oh Tuhan aku lupa dengan bayarannya!" pekik Sakura, salahkan pemuda 'itu yang tidak datang padanya sesuai dengan penjelasannya. Rasanya enggan tapi Sakura harus membayar 'hutang nya pada pemuda itu karena kekonyolan Sasori.

Tapi Sakura bahkan tidak tau dimana alamat rumah pemuda itu jika ia akan memaksakan kekediaman pemuda itu untuk membayar hutang direstoran 'tadi.

Memijit pelipisnya, Sakura berharap akan sedikit menghilangkan rasa pusingnya. Rasanya ini baru pertama kali ia dibuat heboh oleh pasiennya.. sampai getaran ponsel membuat kegiatan Sakura terhenti kemudian melirikan matanya kearah ponsel yang menyala.

"Ino," gumam Sakura dan segera menekan tombol hijau dalam layar ponselnya. Ada apa sahabatnya ini sampai berniat menghubungi dirinya? Bukankah masih ada waktu besok hari?

"Ada apa Ino?" tanya Sakura tanpa berbasa-basi ketika sambungan dengan sahabatnya sudah terhubung.

"Sakura datang cepat kerumah sakit! Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu!" jelas Ino disebrang sambungan telepon Sakura. Mengernyit bingung, siapa orang yang ingin bertemu dengannya dijam malam seperti ini? Pikir Sakura heran. Pusing yang semakin menjadi-jadi ditambah rasa lelah karena ulah satu pasiennya membuat badan Sakura lemas setengah mati.

"Baiklah, aku akan kesana," jelas Sakura dan mengakhiri sambungannya. Demi 'orang yang Ino maksud' Sakura harus segera bergegas menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

.

.

"Hei kau? Oh ya aku harus membayarnya sekarang... terimakasih dengan talangannya," jelas Sakura dengan menyodorkan beberapa lembar uang yen pada pemuda yang ternyata sudah ia temui sebelumnya.

"Bukan ini!" gumamnya dan menarik lengan Sakura untuk segera pergi dari rumah sakit bahkan pergi meninggalkan Ino yang menatap kedua tidak mengerti.

"Hei! Aku mau dibawa kemana?" tanya Sakura sedikit memekik, ia kaget ketika lengannya harus ditarik secara tiba-tiba seperti ini. Apalagi dibawa kesuatu tempat yang tidak jelas.

"Ikut saja," jelasnya pelan dan Sakura hanya bisa diam ketika mobil yang kini ia naiki sudah melesat dari area parkiran rumah sakit.

"Bisakah kau pelan-pelan mengendarai mobilnya?! Kau bisa membuatku trauma jika seperti ini!" jelas Sakura dengan memegang sabuk pengaman erat-erat ketika mobil itu melesat dengan nyaris 360km/jam. Bukankah sedikit mustahil? Tapi karena ini mobil sport dengan tenaga 1000 kuda ditambah jalanan lenggang Konoha tidak terlalu mengkhawatirkan untuk kecelakaan.

"Kau diam saja! Jikapun mati, kita mati bersama," jelasnya datar dan terkesan santai, tapi demi Tuhan Sakura ingin menjerit sebisanya ketika jantungnya yang serasa akan lari keluar... rasanya baru kali ini ada pengemudi gila seperti pemuda disampingnya.

"HEI PELANKAN!" teriak Sakura tidak kuat lagi, matanya sudah ia tutup rapat-rapat ketika mobil itu semakin menancap gas untuk menambah kecepatannya. Dan...

CKITT

Berhenti dengan sempurna namun membuat badan Sakura oleng kedepan, gila! Ini sungguh pengalaman tergila yang pernah Sakura alami seumur hidupnya.

"Kita sudah sampai, cepat turun!" ujar pemuda itu dan segera keluar dari dalam mobilnya disusul dengan Sakura dibelakangnya.

Menatap kagum karena luasnya kediaman pemuda yang belum diketahui siapa ini Sakura seakan berada didalam Istana dongeng.

"Oy!" panggil lelaki yang jauh didepan Sakura, rupanya karena lamunan itu sampai bisa membuat jarak Sakura tertinggal jauh dengan jarak lelaki tadi.

Sakura berlari kecil untuk mengikuti langkah pemuda itu, sudah menculiknya memaksa pula. Dasar pemuda gila! Rutuk Sakura.

"Jadi kau tinggal disini?" tanya Sakura tak percaya ketika pemuda itu menganggukan kepalanya. "Lalu kenapa kau membawaku kesini?" tanya Sakura lagi dan tanpa menjawab lelaki itu langsung membukakan salah satu pintu ruangan yang Sakura ketahui ternyata terdapat seorang wanita paruh baya yang sedang membelakangi mereka berdua.

"Siapa dia?" gumam Sakura pelan.

"Ibuku," jawab pemuda itu singkat, dan tebakan Sakura terjawab benar dengan ruangan ini yang ternyata adalah ruangan pemuda yang membawanya.

.

.

"Ibu, aku membawa seseorang untuk menghiburmu Ibu, jangan sedih kumohon... kematian Itachi kita harus merelakannya," jelas pemuda itu tanpa menatap Sakura dan malah menatap wanita paruh baya yang ia katakan sebagai Ibunya.

Wanita itu hanya menatap pemuda yang belum Sakura ketahui namanya sekilas kemudian menatap kosong kearah jendela kamar besar itu. Menghela nafas, lelaki yang tampak tampan dimata Sakura itu seperti kehabisan akal..

"Aku tau jika kau psikiater, dan aku ingin kau sembuhkan Ibuku," jelas pemuda itu menatap Sakura penuh harapan. Sakura terbelalak, jadi Ibu pemuda itu menderita... gangguan jiwa? Benarkah?

Sebagai seorang dokter yang dalam bidangnya tanpa berpikir panjang Sakura anggukan kepalanya, berharap ia bisa menangani pasien tambahan ini secepatnya. "Aku akan mencobanya," jelas Sakura dan mendekat kearah Ibu pemuda itu.

"Jika kau ingin tinggalah disini, aku akan membayarmu tiga kali lipat dari gajimu dirumah sakit," ujar pemuda itu lagi menatap Sakura seyakin mungkin, jika saja Sasori –pasien menyebalkannya– itu tidak ada mungkin Sakura bisa saja mempertimbangkan untuk membantu kejiwaan Ibu pemuda itu, tapi ketika ingat dengan kondisi Sasori membuat Sakura tidak bisa langsung meng-iyakan.

.

"Halo Bibi, namaku Sakura Haruno.. bagaimana kabar Bibi sekarang? Baikah?" tanya Sakura membuka pembicaraan, rasanya sedikit kaku juga ketika berhadapan dengan Ibu dari 'pemuda' yang bermasalah dengannya.

"Apa kau istri Sasuke? Apa kau calon Uchiha?" tanya Ibu pemuda yang ternyata bernama Sasuke Uchiha itu, dan sukses membuat Sakura kaget.

"Ya Ibu, dia calon istriku," sela pemuda yang ternyata bernama Sasuke itu, dengan selaan itu membuat mata emerald Sakura terbelalak sempurna. Apa yang dikatakan pemuda itu? Dengan raut wajah yakinnya pula?!

"Syukurlah, aku ingin diperiksa olehmu," jelas Ibu Sasuke menatap Sakura dengan senyuman yang bahkan baru kali ini lagi Sasuke lihat.

TBC


A/N

Wkwk baru aja post one fict sudah post lagi haha... semoga kedua fict pertamaku ini tidak aku pending^^ hehe aku lucu sama salah satu reader yang kaya bego itu :D sudah aku jelasin jika tidak suka tidak boleh baca malah ngatain aku A*J*N*?! Wkwk mungkin dia sekolah di Sekolah Luar Biasa kali ye, atau memang lagi suka nyari masalah-,- aku no komen lah dan hanya bisa hapus aja review ga mutu kaya gitu :D aku hanya ingin reviewan mendukung atau mengoreksi bukannya melecehkan dan nyuruh aku mati pula -_- sialan! Emang dia Tuhan? Ya Tuhan semoga saja orang yang mendo'akan aku mati dibukakan hatinya agar ia tau siapa pencipta sebenarnya...

Sekedar pelampiasan karena Naruto Gaiden 700-7 :)


Haha berhubung kaga ada lagi yang harus Miss sampaikan jadi segini aja dulu, makasih buat reader yang sudah bersedia mengreview di first fict ku kemarin ** juga second fictku yang ini^^

See you