Semua gadis adalah heroine dalam kisahnya masing-masing. Tak peduli apakah mereka jelek, cantik, pintar, bodoh, miskin, kaya, atau cacat sekalipun. Jalan kisah mereka pun tak selamanya baik atau buruk, mereka bisa mengubah alurnya sesuai apa yang mereka perbuat. Sebagai tokoh utama, tentu saja hal itu mudah dilakukan. Tergantung bagaimana mereka mengatur dan memprediksi kisah mereka.

Aku adalah heroine dari kisahku sendiri. Kisahku untuk saat ini tak perlu judul. Aku menjalaninya secara biasa. Benar-benar biasa. empat belas tahun hidupku kujalani dengan normal. Berangkat sekolah, belajar, bermain, makan, ekskul, berlibur, benar-benar kegiatan biasa yang rata-rata dilakukan orang-orang di seluruh dunia. Ketika aku menyadari bahwa alur hidupku ini berada di tanganku sendiri pun aku tak berniat mengubahnya, meskipun hanya sedikit perubahan kecil yang mengejutkan. Aku menikmati kehidupan biasa ini.

Sekalipun aku berniat mengubahnya pun, kurasa aku tak punya kekuatan. Misalnya, aku ingin berubah menjadi ratu kecantikan. Tentu saja hal itu mustahil melihat fisikku yang sangat standar—berambut hitam lurus setengah pinggang, mata sedikit sipit, hidung pesek, tinggi seratus enam puluh sentimeter—seperti gadis-gadis lain. Atau misalnya berubah menjadi jutawan yang mengontrol minimal tayangan televisi sesuka hatiku. Hal ini mustahil juga. Memangnya uang bisa dipetik dari pohon?

Pernah terpikir olehku sebuah gagasan perubahan kecil dalam hidup monotonku. Perubahan yang menurutku cukup membuat gejolak, menyenangkan, dan rasanya masih cukup normal juga. Apalagi kalau bukan jatuh cinta? Semua orang mungkin pernah merasakan jatuh cinta dan itu membuatnya sama standarnya dengan orang lain, namun gejolak yang dirasakan ketika jatuh cinta sepertinya cukup mengejutkan.

Akan tetapi sampai saat ini aku belum juga bisa jatuh cinta. Aku tidak bisa memilih sembarang pria untuk kucintai dan aku juga tidak terburu-buru sih dalam menciptakan gejolak yang satu itu. Jadi, kuputuskan untuk membiarkan hidupku yang biasa ini mengalir dengan menyenangkan.

Namun, sepertinya tuhan tidak membiarkanku menikmati kehidupan biasaku. Buktinya, ia mengirimkan sebuah makhluk yang mengaku sebagai iblis bernama Nijimura Shuuzou.

.

.

.

.

.

Warning : Teikou Arc+AU—possibly OOC—AllMainChara x Reader—Nyerempet reverse!harem—possibly typo(s)—Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.

.

.

.

.

.

The Occult

.

.

.

.

.

Hari ini, pagiku dimulai dari sapaan hangat sahabatku, Momoi Satsuki, di kelasku.

"Pagi, (your name)~! Lihat, aku bawa buletin sekolah bulan ini, lho!" Sapanya riang seraya menyodorkanku buletin bulanan Teikou yang baru terbit. Aku menerimanya dengan senang lalu membacanya halaman demi halaman.

"Hm, sepertinya tidak ada yang menarik ... tapi bolehlah untuk bacaan pengisi waktu." Komentarku tanpa diminta.

Satsuki yang mendengar komentarku pun tertawa. "Kamu kayak editor aja. Lagipula ini kan buletin, fungsinya untuk menyampaikan informasi, bukannya menghibur, tahu!" Serunya sambil meletakkan tasnya di kursi di sebelahku.

Aku mengacuhkan seruannya barusan ketika perhatianku tertuju pada sebuah artikel olahraga. "Hei, Satsuki. Memangnya benar klub basket kita tidak lolos ke final? Di artikel ini ditulis begitu, lho."

Senyum cerah Satsuki lenyap seketika. "Ah, iya ... Kemarin kami memang tidak lolos ke final. Pokoknya ada banyak hal terjadi, tapi intinya ya begitulah ..." Jawabnya lesu.

"Berat juga ya jadi manajer klub yang biasa juara. Padahal ada Generation of Miracles kan? Bagaimana sih kerjanya mereka? Katanya generasi keajaiban, tapi kok malah menghancurkan gelar juara berturut-turut Teikou." Komentarku asal bicara.

Raut wajah Satsuki semakin gelap mendengar komentarku. "Yah ... berat memang ..." Timpalnya lirih.

"Ah, kamu udah belajar sejarah buat ujian jam ketiga nanti?" Tanyanya tiba-tiba. Tidak biasanya ia mengubah alur pembicaraan, tetapi karena ini sepertinya membuatnya baikan maka aku mengikutinya saja.

Ia sahabatku, tentu saja aku tidak tega melihatnya berwajah sedih begitu terus-menerus.

Lalu, tak berapa lama kemudian pelajaran pun dimulai dan hari ini kembali menjadi hari yang senormal biasanya. Selesai pelajaran, aku langsung berpisah dengan Satsuki lalu pulang. Kesannya penyendiri sekali aku pulang sendirian sambil berjalan kaki karena aku tidak punya sedikitpun minat terhadap klub-klub di sekolahku. Dulu pernah aku mencoba beberapa klub, tapi semuanya tidak menyenangkan. Toh bukan berarti aku selalu sendirian. Aku punya Satsuki dan beberapa teman lainnya.

Sejauh ini aku masih berbaik sangka kepada kehidupan monoton ini. Ini menyenangkan. Aku bisa berbuat semauku. Coba bayangkan kalau aku menjadi seperti Satsuki dalam kehidupannya yang sedikit tidak biasa. Ia pasti mendapatkan tekanan berat sekarang, dan itu adalah gejolak hidup yang tak kusukai.

Aku menyukai kehidupan biasaku.

"Benarkah?"

Sebuah suara bass terdengar seperti meragukan apa yang ada di dalam benakku. Sontak aku pun menengok kanan-kiri, berusaha mencari suara yang terdengar begitu jelas di telingaku itu.

"Bukankah kamu hanya membohongi dirimu sendiri?"

Suara itu terdengar lagi. Percuma aku mencari kemana-mana. Di sekitarku hanya ada perumahan yang bisu. Tidak ada siapa-siapa di sekitarku. Atau mungkin sumber suara itu sekarang sedang bersembunyi?

"Siapa itu? Tunjukkan saja dirimu!" Tantangku sedikit kesal.

Lalu, seorang pemuda keluar dari gang kecil di kanan depanku. Ia tersenyum mengejek ke arahku. Rasanya ia sudah terlatih sekali membuat ekspresi yang bisa membuat orang kesal. "Hai." Sapanya singkat.

Melihat sosoknya barusan, aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jelas. "Sepertinya aku pernah melihatmu."

Seringai jahil di wajahnya bertambah lebar. "Kalau pernah, berarti kamu sudah mengunjungi neraka, ya?"

"Haah?" Pemuda ini membuatku bertambah kesal saja. "Apaan sih?"

"Aku ini iblis lho, iblis. Tinggalnya di neraka. Makanya kalau kau pernah bertemu aku berarti kamu sudah pernah mengunjungi neraka." Jelasnya.

Aneh. Maunya pemuda ini apa sih? Tiba-tiba menyapa lalu membual tidak karuan.

"Jangan bercanda, deh. Klub drama ya? Kalau mau latihan menjiwai peran untuk pentas tolong cari orang lain saja, ya." Ujarku ketus.

Bibir pemuda itu mengerucut. "Ya sudah kalau tidak mau percaya. Memang susah juga sih percaya untuk pertama-tamanya. Kalau begitu, sampai jumpa!" Ucapnya dengan sedikit sebal lalu ia langsung menghilang begitu saja dari hadapanku.

Kalau diberi sound effect mungkin bunyinya 'plop' lalu sosoknya langsung hilang dari mataku.

Aku kaget setengah mati. Dia ... manusia kan? Benar-benar manusia, kan? Kemunculannya di hadapanku normal, tapi ... tapi kenapa dia bisa tiba-tiba menghilang di tengah jalan? Aku jelas-jelas melihat dia sedang berdiri lalu menghilang, bukannya berlari cepat ke arah gang dan hilang atau sejenisnya.

Dia ... iblis katanya ya? Aku bukannya tidak percaya adanya iblis dan malaikat, ataupun neraka dan surga, tapi tidak mungkin juga iblis berwujud begitu kan?

Ah, barangkali aku lelah atau apa. Dia pasti cuma anak klub drama yang ahli sulap, makanya bisa tiba-tiba menghilang begitu. Kan sering terjadi dalam pertunjukan sulap, sang pesulap mendadak hilang di hadapan penonton. Klub drama juga kan anaknya suka punya keahlian aneh-aneh. Dia pasti salah satu dari mereka.

Yah, aku terus menanamkan pemikiran seperti itu tentang dia.

Walau sebenarnya setengah hati aku mengakui bahwa pesulap sekalipun takkan mungkin bisa menghilang tanpa asap atau properti apapun seperti yang ia lakukan barusan.

Ia ... mungkin saja memang iblis ... yang dikirimkan untuk mengacaukan hari-hari normalku ...

.

.

.

.

.

Keesokan harinya, ada yang aneh dengan Satsuki.

Gadis berambut merah muda itu biasanya ceria, tapi kali ini ia menyapaku dingin dan terus-terusan gelisah sepanjang waktu. Aku yang dekat dengannya pun jadi ikut-ikutan gelisah. Jangan-jangan kemarin ada sesuatu terjadi di klub basketnya? Apakah dia ikut kena marah karena tak bisa membantu tim basket ke tingkat nasional atau semacamnya—walau sebenarnya itu sama sekali di luar lingkup manajer, sih.

Lalu, aku coba menanyakannya di saat istirahat.

"Hei, Satsuki. Kayaknya kamu dingin banget hari ini. Ada apa?" Tanyaku langsung.

"Aah ... (Your name). Nggak, aku nggak apa-apa." Jawabnya, sedikit berkelit.

"Jangan bohong, kamu tidak bertingkah seperti biasanya. Cerita saja, ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan klub basketmu kemarin?" Tanyaku yang mulai mendesaknya.

"Klub basket memang sedang tidak baik-baik saja, tapi itu bukan alasanku bersikap seperti ini ... kepadamu." Jawabnya lirih.

Aku tidak percaya. Satsuki memang sedikit susah untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain. Ia selalu saja berkelit dulu. "Jangan segan begitu, ah. Kita kan sudah lama berteman. Ceritakan saja, ada apa dengan klub basketmu? Kalaupun mereka melakukan hal-hal yang buruk aku memang akan kesal, tapi aku takkan menjelek-jelekkannya juga di hadapan orang lain, kok."

Satsuki menatapku lurus mataku.

"Ayo, ceritakan saja. Apa mereka menuduhmu tak kompeten karena kau tak membantu mereka sampai bisa masuk final? Atau suasana kekalahan di klub membuatmu tak nyaman? Atau apa? Aku tidak bisa menebaknya nih!" Desakku lagi.

"Aku tidak ingin membahasnya." Ujar Satsuki dengan dingin. Ia memasang headset di kedua telinganya lalu mulai memutar lagu dan sibuk dengan buku teks biologi yang menjadi mata pelajaran pertama hari ini.

Yah, aku sudah berusaha dan dia masih menutup-nutupinya. Semoga saat makan siang nanti ia bisa sedikit lebih ceria. Tidak penting apa penyebabnya, yang penting ia bisa kembali ceria. Aku tidak suka melihatnya begitu. Kesannya seperti aku sedang dimusuhinya saja.

Namun, saat makan siang aku mengajaknya makan bersama, ia menolakku dengan halus lalu pergi entah kemana. Aku sedikit kesal, tapi mungkin ia butuh waktu sendiri untuk memulihkan mood-nya. Mungkin juga ia sedang datang bulan sehingga jadi sedikit sensitif. Aku memutuskan untuk tidak mengusiknya lalu pergi makan bekalku sendirian di atap. Hari ini aku sedang tidak ingin bergabung dengan kelompok makan siang manapun setelah ditolak Satsuki. Aku ingin makan sendirian di atap, pasti tenang dan menyenangkan.

Kupikir begitu, setidaknya sampai si anak klub drama yang ahli sulap dan mengaku sebagai iblis itu memamerkan seringai jahilnya lagi padaku di atap.

"Hai." Sapanya dengan khas.

Aku jengkel melihatnya, tapi aku tak mau merelakan tempat yang tenang ini untuknya, jadi aku memilih untuk mengabaikannya.

"Hei, kan sudah kubilang sampai jumpa. Berarti dalam waktu dekat kita akan bertemu kan? Hei, jangan mengacuhkanku begitu!" Protesnya sambil mengikutiku mencari tempat yang nyaman untuk memakan bekalku.

"Berisik! Kan sudah kubilang jangan ganggu aku!" Omelku kesal. Ketika menemukan tempat yang tepat aku langsung duduk dan sialnya pemuda itu juga duduk di sampingku. Merusak acara makan siangku saja.

"Kau tidak bilang begitu. Kau cuma bilang suruh aku cari orang lain untuk latihan peran. Tapi aku tidak sedang latihan berperan. Aku juga bukan anak klub drama—atau pesulap, jika itu yang kau pikirkan tentangku." Dalihnya.

"Kalau begitu, kau siapa? Lalu, untuk apa menggangguku dari kemarin, sampai mengaku-ngaku iblis segala." Tanyaku gusar.

Seringai jahilnya muncul lagi di wajahnya. "Aku memang iblis, seperti yang kukatakan. Panggil aku Nijimura."

Mendengar namanya, nasi dan tamago yang sedang kukunyah nyaris membuatku tersedak. Cepat-cepat kutelan makananku lalu mengomentarinya. "Ni ... niji? Ahahahaha aku langsung membayangkan iblis pelangi, ahahahaha, aduh kau mengotori imajinasiku tentang iblis, ahahaha pelangi! Ya ampun!"

Nijimura yang mengaku sebagai iblis itu cemberut lagi. Entah kenapa lucu sekali karena bibirnya membentuk cemberut yang khas. "Bawel. Tapi pokoknya aku ini memang iblis. Mau bukti? Coba pegang aku."

Kalimatnya terdengar seperti sedang menggodaku, tetapi aku melakukannya juga. Kucoba untuk menyentil dahinya sekeras mungkin. Kupikir tadinya aku akan bisa membuat dahinya merah kesakitan, tapi jariku ternyata hanya menyentil udara kosong. Padahal dalam pandanganku, jelas-jelas aku mengenainya.

"Kamu tidak bisa menyentuhku, kan? Tentu saja, karena alam kita berbeda. Ah, tapi kalau kau masuk neraka nanti kau bisa bebas menyentuhku, sih." Godanya lagi.

Alih-alih kaget, entah kenapa aku malah kesal. "Buktinya kurang! Coba kau buat api! Iblis kan identik dengan api!" Tantangku.

Nijimura tergelak keras. "Siapa yang bilang iblis bisa menciptakan api? Kami memang tercipta dari api, tapi bukan berarti kami bisa menciptakan api, bodoh. Lagipula, kekuatanku di dunia ini terbatas."

Raut wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Waktuku juga terbatas. Makanya aku harus cepat."

Aku mengalihkan pandanganku dengan sebal. "Aku masih belum terlalu percaya dengan semua keanehan ini, tapi jelaskan saja apa maksudmu menggangguku dari kemarin."

"Baiklah. Jadi ... sebenarnya sekarang neraka sedang ada sedikit masalah. Ada beberapa roh tahanan neraka yang lepas dan kabur ke dunia ini. Mereka masing-masing adalah roh jahat tingkat tinggi yang bisa menimbulkan bencana besar. Aku adalah penjaga mereka di neraka, jadi harus akulah yang bertanggung jawab terhadap penangkapan mereka kembali." Jelas Nijimura singkat.

Penjelasan itu agak sulit dipercaya, tapi aku tidak punya pilihan lain. "Oh, begitu. Ya sudah, silakan tangkap mereka. Kamu kan tidak perlu berinteraksi dengan manusia untuk menangkap mereka." Tanggapku acuh.

"Jangan komentar dulu, aku belum selesai. Roh-roh tahanan itu memang memiliki kekuatan yang besar untuk menimbulkan bencana di dunia ini, tetapi begitu mereka menyeberang ke alam manusia, kekuatan mereka mulai menyusut drastis. Aku juga begitu. Masalahnya adalah, mereka bisa menyusup ke dalam tubuh manusia untuk mengumpulkan kekuatan mereka dan menghisap energi positif manusia yang membuat manusia tersebut menunjukkan sifat-sifat negatif yang buruk." Lanjut Nijimura.

"Misalnya orang yang biasa kau kenal baik tiba-tiba jadi jahat dan semacamnya." Nijimura memberi contoh singkat.

Aku mulai terbawa penjelasannya. "Hm, jadi ... apa maksudmu mendatangiku? Jangan-jangan kau ingin merasukiku juga lalu mengumpulkan kekuatanmu dan menangkap roh-roh itu?" Tanyaku.

Nijimura menghela nafas. "Nah, itu dia salah satu masalah yang lain. Aku iblis, tidak bisa merasuki manusia. Aku hanya bisa memperlihatkan wujudku kepada beberapa manusia dan memberikan instruksi kepada mereka." Jawabnya.

"Dan ... sepertinya kamu sudah menyadarinya, bahwa aku memilihmu untuk membantuku dalam misi penangkapan roh-roh tahanan neraka ini." Lanjutnya dengan seringai jahilnya yang terlihat puas.

Aku mendecak pelan. Wah, kena aku!

"Untuk menangkap mereka kembali, kita harus mengeluarkan mereka dari tubuh yang mereka tumpangi dulu. Nah, aku membutuhkanmu untuk mengeluarkan mereka. Tidak banyak kok, hanya enam roh. Keenamnya juga ada di sekolahmu, jadi penaklukan ini harusnya mudah saja." Lanjutnya.

"Pe ... Penaklukan?" Tanyaku bingung.

"Ya, penaklukan. Untuk mengeluarkan roh-roh dari tubuh yang mereka tumpangi, kamu harus mendekati mereka dan membuat mereka mengeluarkan energi negatif mereka—misalnya dengan menyelesaikan masalah yang meresahkan mereka—dan mengisinya dengan energi positif. Energi positif yang paling bagus adalah ... cinta." Jawabnya.

Mulutku menganga lebar mendengarnya. "Cinta? Maksudmu ... membuat mereka semua jatuh cinta ... padaku?"

"Tepat sekali. Itu adalah solusi tercepat dan terbaik untuk segera mengeluarkan roh-roh jahat itu." Jawabnya riang, seakan itu bukan apa-apa.

"Y.. yang benar saja! Seumur hidupku aku bahkan belum pernah jatuh cinta!" Elakku dengan gugup.

"Tidak apa-apa. Yang penting kau bisa membuat mereka jatuh cinta padamu, dan mengeluarkan semua roh. Selesai masalah." Serunya enteng.

"Iya selesai masalahmu! Tapi masalah baru bagiku! Lagipula aku takkan bisa, aku tidak pernah ... kubilang. Ini hal yang sensitif untukku tahu!" Protesku.

Nijimura terdiam. Ia menatap wajahku dengan serius dan dalam. "Kamu selalu berkata begitu. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Sepertinya kamu harus sedikit dipaksa."

"Eeh..? Kamu mau apa? Lagipula, aku kan tidak harus membantumu!" Dalihku semakin keras.

Perlahan, Nijimura mendekatkan wajahnya padaku. Ia mendekati telingaku. "Kalau begitu, akan kubuat harus." Bisiknya lirih.

Lalu semuanya terasa begitu cepat. Bibirnya menyentuh bibirku pelan dan lembut, mengirimkan sebuah sensasi aneh dalam tubuhku. Sesuatu seperti menggemuruhkan dadaku dan menggelitik perutku.

"Kamu merasakannya kan? Sensasi aneh dalam tubuhmu itu?" Tanyanya sinis setelah menciumku tanpa permisi. "Itu adalah kutukan api dari para iblis. Kamu akan mati dalam waktu tiga puluh sembilan hari mulai dari sekarang dan masuk neraka. Aku bisa menghilangkan kutukan itu lagi, setelah kau membantuku menangkap roh-roh jahat itu dalam waktu tiga puluh sembilan hari."

Setelah mengatakan semua itu, ia menghilang begitu saja seperti sebelumnya.

Rasanya aku ingin menangis.

Ciuman pertamaku diambil oleh seorang iblis dan kehidupan normalku akan berakhir dalam waktu tiga puluh sembilan hari.

.

.

.

.

.

Aku punya pilihan apa selain membantunya menangkap roh-roh jahat itu?

.

.

.

.

.

A/N : Yahoo~! Schnee balik lagi sebentar ke dunia per-fanfic-an hehehe~ Untuk multichap yang satu ini kuusahain bakal lanjut update sampe selesai, kalau udah mulai ngadat silakan diteror aja ya ke PM atau review, fufufu~ Semoga menikmati~