Aku berjalan mengittari lorong sekolah dengan langkah yang pelan.

Semua warga sekolah bertingkah seolah mereka tidak menyadari kehadiranku.

Ada, tapi satu.

Dia berdiri di ujung lorong dengan kepala yang selalu dimiringkan kekanan.

Bola matanya yang biru tua memandangku tanpa kedip.

Mulutnya yang benar-benar kecil, bahkan tampak tak bermulut tetap diam ditempatnya. Non-ekspresi.

Sesekali, kedua bahunya bergetar seperti menertawakan aku.

Aku cemberut.

Aku menghampirinya dengan langkah berhentak.

Mengabaikan pandangan ngeri orang-orang di sekitarku.

Aku mendorong bahu lemah laki-laki di depanku kasar.

Seolah berkata 'berhenti mengejekku'

Dia masih diam. Lama sekali.

Dan aku mulai jengah.

Ketik aku hendak berbalik, aku bisa merasakan hembusan angin yang melewati tengkukku.

Dia berubah.

Menjadi tinngi.

Tinggi sekali.

Memandangku dalam dengan matanya yang kini sepenuhnya hitam.

Mulut kecil yang membesar,

Hingga dapat menyentuh masing-masing telinganya.

Tiada hidung.

Kulit penuh keriput berwarna agak kehijauan.

Dan badan yang serba panjang, mengalahkan panjangnya aliran sungai di hutan.

Aku terpaku beberapa detik, hingga aku menyadari.

Aku sadar, kalau dia tengah tersenyum hangat dan tertawa kepadaku.

Bukan. Bukan itu yang aku sadari.

Tangan-tangannya yang panjang menggenggam erat tubuhku dan mengangkatnya.

Aku masih terkaget-kaget, bahkan ketika orang-orang mulai berteriak histeris seraya berteriak 'Dia terbang!'

Aku memandangi sosok 'teman' di depanku penasaran

Apa yang akan dia lakukan?

Dia mulai membuka mulutnya dan detik berikutnya aku terjebak.

Terjebak dalam tubuhnya.

Terjebak dalam mmpi-mimpi buruknya.

Terjebak dalam memori ketika dia di bunuh secara perlahan di sekolah ini.

Dan ya... aku terjebak.

Untuk selamanya.

Dan aku sadar...

Bahwa dia telah menelanku.