Author's Note : Kuroko no Basuke bukan milik saya, saya hanya memiliki cerita beserta alurnya. Kemungkinan akan adanya salah penulisan Typos, tata bahasa jelek, dll.

AU Setting, OC, Gender-Bender. Aka-Kuro Twins.

Pairings : Decided Later

Characters Copyright : Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki.


What's human fighting for in this life? What's mean of glory? What's mean of victory, if you get that from killing or sacrifice another to satisfy your will. Will that bring you a happiness?

.

.

Chapter 0 (Zero)

.

.

"Kau mengerti apa yang telah Kaa-san katakan, Sei?" Tanya wanita paruh baya berambut biru langit kepada anak laki-laki dihadapannya dalam sebuah ruangan berdinding putih yang cukup luas di dalamnya, yang hanya berisi sebuah meja kayu mahoni dengan kursi kerja keabu-abuan dibaliknya di temani sebuah sofa kemerahan di seberang meja dan lemari penuh dengan buku-buku melekat pada beberapa bagian dinding dengan cahaya lampu temaram sebagai cahaya penglihatan mereka.

"Tidak. Aku tidak mau meninggalkan Okaa-san." Rengek gadis kecil berambut biru langit sambil menggenggam erat ujung dress yang dikenakan olah wanita paruh baya tersebut. Dalam ruangan besar tersebut hanya terdapat mereka bertiga, seorang wanita paruh baya dengan dua anak kecil di hadapannya.

"Nee.. Nii-san, katakanlah sesuatu…" Pinta gadis kecil tersebut kepada anak laki-laki berambut merah menyala seumurannya yang hanya berdiri terdiam di sampingnya. Sang ibu menatap mereka dengan pandangan sendu.

"SLAP! OOMPH!"Dari kejauhan terdengar samar-samar bunyi suara tembakan dan orang-orang yang terluka karenanya. Suara tersebur semakin lama semakin terdengar jelas, seolah-olah suara tersebut tengah mengejar dan memburu mereka dari tempat persembunyian mereka saat ini.

Dalam persembunyiannya wanita paruh baya tersebut memutuskan untuk duduk berjongkok dihadapan kedua anaknya. Dipandanginya anak laki-laki dan perempuan tersebut lekat-lekat, dia membelai kepala dan pipi mereka bergantian dan membungkusnya dengan kecupan di pipi mereka masing-masing dan memberikan seberkas senyuman sebelum ia memeluk kedua anaknya dengan erat.

"BOOSFLASHH."Satu persatu peluru sniper memburu orang-orang yang berada di luar kediaman mereka tanpa memberi kesempatan orang-orang tersebut untuk berteriak dan merasakan sakit. Mencoba menghalangi mereka yang mencoba menerobos dan berniat mencelakakan para penghuni kastil tersebut.

"Ingatlah ini. Apapun yang terjadi pada kami berdua, Okaa-san dan Otou-san sangat menyayangi kalian." Tuturnya dengan penuh kasih sayang.

"No.. I don't want to leave you... Kaa-san harus ikut bersama kami.." Anak perempuan tersebut mulai mengeluarkan air matanya.

"I'm sorry, if I never can be a good mother for you both. I hope I can see you both grow together." Air mata turut jatuh membasahi pipi wanita tersebut untuk sesaat.

Anak laki-laki tersebut mengepalkan kedua tangannya dengan erat dan mengigit bibir bagian bawahnya dengan kesal hanya bisa memejamkan kedua matanya sesaat. Dia tidak menyukai perkataan yang dilontarkan oleh ibunya yang seakan-akan pasrah dengan apa yang akan terjadi dengannya tapi apa daya yang dimilikinya dia hanyalah anak-anak yang berumur 8 tahun. Bagaimana caranya ia bisa menolong ibu dan saudara kembarnya dari pria-pria bersenjata tersebut.

Wanita itu bangkit dari duduknya, ia menyeka kedua matanya. Pandangan matanya berubah seketika dari keibuan menjadi tatapan penuh amarah dan kebencian yang dapat membunuh seseorang dengan dinginnya. Ia meninggalkan kedua anaknya yang terdiam dan berjalan ke salah satu lemari buku yang terletak di bagian dinding sebelah kanan ruangan tersebut.

"BANG! BANG! BANG!" Kekacauan tengah terjadi baik di luar maupun di dalam kastil. Onggokan tubuh penuh darah berserakan di mana-mana yang berasal dari pihak penyerang maupun pihak kastil. Entah sudah berapa banyak timah panas yang dikeluarkan hanya dalam hitungan menit. Akan tetapi hal ini tidak membuat pihak kastil menjadi gentar dan menyerah begitu saja, mereka mengerahkan sekuat tenaga mereka untuk bertahan hidup.

"Sekarang saatnya." Ujar wanita tersebut saat salah satu lemari buku tersebut bergeser membelah dinding di belakangnya, membuka sebuah jalan masuk ke dalam lorong yang gelap.

"DAKKA! P-TAFF!" Terdengar suara senjata otomatis dan handgun yang saling bersaut-sautan satu sama lain. Waktu semakin sempit, itulah yang tengah diyakini oleh wanita paruh baya ini dalam persembunyian sementaranya.

"Seijuuro!" Bentak wanita tersebut.

Dengan raut wajah penuh penyesalan anak laki-laki tersebut menyalakan dengan kasar senter kecil yang telah digenggamnya sedari tadi dan meraih tangan saudari kembarnya serta menarik pergelangannya untuk mengikutinya. Akan tetapi saudarinya memberontak untuk tidak meninggalkan ruangan tersebut dan mencoba melepaskan genggaman saudaranya.

"Okaa-sann!" teriak anak perempuan yang mencoba meraih ibunya. Saudara lelakinya menarik dan menyeretnya dengan paksa hingga mereka berdua masuk ke dalam lorong sempit dan gelap tersebut. Seberkas cahaya yang tadinya masih tampak perlahan-lahan mulai memudar bersamaan dengan merapatnya kembali dinding dari arah mereka masuk. Satu-satunya penerangan yang dapat ia andalkan hanyalah senter kecil yang digenggamnya saat ini.

Tak peduli seberapa tebalnya dinding di tempat mereka berada saat ini, suara senjata otomatis dan lainnya masih dapat terdengar dengan samar oleh mereka berdua.

"Okaa-sann!" Tangis anak perempuan tersebut terus sambil memanggil-manggil ibunya, saudara lelakinya yang mendengarkan isak tangisnya merasa tersayat di dalam hati dan tanpa sadar air mata turut membasahi pipinya.

Usai merapatkan kembali dinding lemari di ruangan tersebut wanita bersurai biru langit itu mengeluarkan dual handgun yang tersimpan dari balik dress yang ia kenakan. Mata birunya yang hangat bagaikan selimut langit berubah menjadi mata pembunuh berdarah dingin.

"I'll make that bastard regret for what he has done today and bring him with me into hell." Sumpah wanita itu yang kemudian berjalan perlahan dengan menggenggam erat kedua pistol di kedua tangan beserta dagu menonggak dengan angkuhnya.

※※※※※※※

"HOSH! HOSH! HOSH!" Dengan napas yang memburu tampak terlihat jelas napas putih yang keluar dari mulut mereka berdua. Hujan salju menambah buruk pelarian mereka di cuaca sedingin ini di tengah pepohonan hutan pinus yang mulai tertutupi salju putih.

"CRACK!" anak lelaki yang berada di depan menginjak ranting kecil yang terjatuh. Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya ia terus berlari sembari menggenggam erat tangan saudarinya agar tidak terpisah dengannya. Satu-satunya cahaya yang mereka miliki dalam hutan belantara ini dikala sang rembulan telah tertelan oleh awan gelap hanyalah senter kecil yang sedari tadi menyala.

"BANG! BANG! BANG!" samar-samar masih terdengar suara timah panas yang dimuntahkan, walaupun mereka telah berhasil keluar dan melarikan diri dari kastil tempat kediaman mereka.

Mereka terus berlari berusaha menjauhi suara tembakan yang masih terdengar di telinga mereka. Berlari dan terus berlari, mencari jalan keluar dari dalam hutan di tengah cuaca seburuk ini.

"Ahh!" Tangan anak perempuan di belakangnya tak sengaja terlepas.

"FLOPP!" Terdengar bunyi dentaman keras dari atas tanah tempat mereka berada saat ini.

Seijuuro menghentikan langkah kakinya dan menoleh tepat ke belakang yang mana ia melihat saudarinya jatuh tersungkur di tanah.

"Tetsumi!" Dengan sigap ia berlari ke arah adiknya dan membantunya untuk bangkit.

"Kau tak apa-apa?" Cemas Seijuuro sambil membantunya untuk berdiri.

"Umm. Aku hanya tidak melihat akar tersebut dan terjatuh." Angguk Tetsumi yang kemudian menunjuk ke salah satu akar pohon yang cukup besar menyembul keluar dari dalam tanah.

"Ouch!" Teriak Tetsumi kesakitan saat Seijuuro mencoba membantunya untuk berdiri dan jatuh terduduk karenanya.

Tanpa membuang waktu Seijuuro segera melepas boots kaki kanan yang tengah dikenakan adiknya. Tampak kaki saudarinya itu membengkak dan memerah. Dirogohnya saputangan dari saku celananya, dirobeknya sebagian saputangan tersebut dan dililitkannya di kaki saudarinya yang membengkak tersebut sebagai perban sementara.

"Nii-chan… aku tidak apa-apa. Kau pergi saja terlebih dahulu, aku tak ingin menghambatmu."

"Tidak. Aku berjanji pada Okaa-san untuk menjaga mu." Jawab Seijuuro sembari mengikat saputangan tersebut.

"Tapi…"

Seijuuro menatap Tetsumi, diletakannya kedua tangan miliknya di pipi Tetsumi yang memerah karena kedinginan, dan didekatkannya wajah mereka satu sama lain sehingga napas putih mereka menjadi satu dan mata mereka saling memandangi.

"Aku tak akan meninggalkanmu. Hanya kau yang kumiliki dan aku tak mengizinkanmu meninggalkanku. Ingat baik-baik akan hal itu, Tetsumi." Ujar Seijuuro dengan raut wajah serius.

"Pegang ini."Seijuuro menyerahkan satu-satunya penerangan yang mereka miliki ke tangan Tetsumi. Digenggamnya senter tersebut dengan erat disusul dengan Seijuuro yang duduk berjongkok membelakanginya.

"Naiklah kepundakku. Aku akan menggendongmu." Pinta Seijuuro kepada adik satu-satunya. Tetsumi meraih pundak Seijuuro dengan kedua tangannya dan merangkulnya.

"Hup!" Ujarnya saat berdiri menggendong adiknya. Tetsumi menyorotkan cahaya senter mereka ke depan..

"Bertahanlah. Sedikit lagi kita akan keluar dari sini." Seijuuro berjalan perlahan menerobos salju yang menjadi penghalang mereka. Sangat susah berjalan di cuaca seburuk ini di tengah hutan belantara yang gelap dengan cahaya yang seadanya.

'Mengapa ini harus terjadi? Mengapa di saat hari kelahiran mereka? Apa salah mereka?' Saat ini hanya itulah yang berada di dalam pikiran Seijuuro dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Hujan salju dan hutan belantara inilah yang menjadi saksi bisu atas tragedi yang menimpa mereka di saat hari kelahiran mereka yang kedelapan.

ж

TBC

Hopes you like my story.

What do you think? Should I delete this one or still continue it?

Mohon review and suggestionnya para author-san dan guest yang baik.