My Eternal Love
Rate : M
Pairing : Diutamakan SasuNaru, tapi bukan tidak mungkin akan ada pair-pair lainnya.
Genre : Thriller
Warning : AU, Yaoi, OOC.. I warn you, this fanfiction contains Blood, Snuff, and something like that. If you hate blood, snuff, or thriller story, but you still read it, please don't blame on me cause I've already warn you.
Disclaimer : Naruto and All charas belong to Kishimoto Masashi.
.
Summary : Jika Tuhan melarang kita memiliki perasaan dan hubungan ini, kenapa Dia menciptakannya?
.
SMA St. Michael
.
Seperti namanya, SMA Saint Michael, atau SMA St. Michael adalah nama umum dari sekolah-sekolah katolik. Sama seperti disini, di ujung sebuah tebing pulau terpencil di wilayah Konohagakure. Namun ada yang sedikit berbeda antara SMA St. Michael dengan SMA-SMA katolik lainnya. SMA St. Michael adalah sekolah asrama putera yang dikelilingi oleh dinding-dinding beton, berujung kawat yang runcing, tak ada tempat untuk melarikan diri, karena tepat dibawah tebing SMA St. Michael terdapat kumpulan batu-batu tajam dan hempasan ombak yang dijamin bisa mengikis tubuhmu jika kau berniat mencoba kabur dari SMA tersebut.
.
Berlebihan?
Itu terserah kau yang mengartikannya. Jika tak percaya, kau boleh mencobanya. Bersekolah di sebuah SMA megah yang dibangun diatas lahan seluas 10 hektar, kemudian kau merasa jenuh, dan mencoba kabur dari sana.
.
My Eternal Love
The Beginning
.
Semua menundukkan kepala dengan khidmat di gereja yang terdapat di samping bangunan utama sekolah. Mendoakan arwah Pastur SMA St. Michael yang telah mengabdi selama 62 tahun, dan meninggal 2 hari yang lalu dengan dinyatakan sakit oleh pihak sekolah dan kepolisian. Namun ada yang menganggu pikiran pemuda tanggung berusia 17 tahun, bermata biru sapphire, dan memiliki rambut spike berwarna kuning terang ini. Ia mungkin berdoa, namun tidak sekhidmat biasanya. Ia merasa aneh dengan kematian Pastur Jiraiya.
.
"Hei, ada yang menganggu pikiranmu, Naruto?" tanya Sai setengah berbisik.
"Hm?" Naruto menoleh sekilas ke pemuda berwajah tirus yang duduk di sebelahnya. "Sedikit."
"Masih tentang kematian Pastur Jiraiya?" tanyanya lagi.
"Ya. Entah kenapa, aku merasa aneh dengan kematian Pastur Jiraiya. Seolah masih ada misteri yang menggelayuti pikiranku."
"Menyerahlah, Naruto. Bahkan pihak kepolisian menyatakan bahwa Pastur Jiraiya meninggal." Sai mulai menundukkan kepalanya lagi.
"Tapi—"
"Apakah kalian tahu, gereja adalah tempat untuk berdoa? Bukan tempat untuk berdiskusi membicarakan orang yang sudah meninggal."
Suara dingin itu, menghentikan pembicaraan yang terjadi antara Naruto dan Sai. Sai hanya tertunduk malu setelah melihat siapa yang menegur mereka. Namun beda halnya dengan Naruto. Ia justru memicingkan mata untuk melihat orang yang menegurnya.
"Apa kau tidak merasa berdosa karena telah menyela pembicaraan kami, TUAN Sasuke yang terhormat?" desisnya sembari menekankan intonasi pada kata 'Tuan' yang justru membuat pemilik nama balas memicingkan matanya.
"Apa kau berani menentangku, kuning?" desis Sasuke tak kalah sengit.
"Aku hanya tak berani menentang Tuhan, Teme bodoh." Naruto mengatupkan tangannya lebih erat. Ia tak perduli pemuda raven yang terus memandangnya itu marah-marah kepadanya, atau mengatakan macam-macam hal yang bisa membuatnya beringas. Ia ingin, sekali ini, berdoa dengan tulus dan khidmat untuk Pastur Jiraya, tanpa pikiran macam-macam.
.
Dia adalah Uchiha Sasuke. Siswa kelas dua yang dengan ajaib bisa menduduki posisi kepala asrama, posisi paling penting yang hanya bisa diduduki oleh siswa kelas tiga yang memiliki prestasi paling cemerlang di antara siswa-siswa yang lainnya. Latar belakang pemuda ini sangat tak bisa ditebak. Tidak ada yang tahu tentang orang tuanya, tidak ada yang tahu bagaimana cara ia dibesarkan, yang diketahui oleh seluruh siswa adalah Sasuke memiliki kakak laki-laki yang bekerja di kepolisian.
Tak heran jika pemuda yang memiliki mata berwarna hitam onyx ini sangat populer di kalangan siswa lainnya. Mungkin jenis kelamin mereka sama, namun tak menutup kemungkinan, bahwa ada beberapa siswa yang menyukai Sasuke. Wajahnya nggak jelek, dia cerdas, dan aura misterius yang bikin orang lain penasaran, melekat padanya.
.
"Kau masih mau disini, Naruto?" tanya Gaara, saat acara doa bersama usai.
"Ya. Aku masih ingin disini." Naruto menjawab dengan pasti. Matanya memandang patung kristus yang besar di altar.
"Baiklah. Kami akan menunggumu di kantin, Naruto." Lee menepuk pemuda pirang yang masih memandang kosong mimbar tempat Pastur Jiraiya memimpin doa.
"Ya. Terima kasih, teman-teman."
Lee, Gaara, Kiba, Sai, dan anak-anak lainnya berjalan perlahan keluar dari gereja. Meninggalkan Naruto yang masih duduk memandang altar dan mengenang masa-masa saat ia dan Pastur Jiraiya bersama. Naruto menganggap Pastur Jiraiya adalah ayahnya sendiri. Setiap hari ia meluangkan waktu bercerita pada sang pastur, sedikit mencurahkan isi hatinya, namun sangat ia sesali, ia masih menyembunyikan sebuah fakta dari 'ayah'nya tersebut. Ia tidak mengatakan bahwa ia telah menentang ajaran Tuhan. Ia telah berdosa karena melakukan larangan Tuhan. Sejujurnya, ia merasa hina, namun ia tak dapat menentang nafsunya.
.
"Sampai kapan kau akan terus merenung?" tegur sebuah suara yang membuat Naruto segera menyeka air matanya.
"Kau masih disini? Kupikir kau sudah pergi dengan anak-anak yang lainnya."
"Hn."
"Hhh... Entahlah. Hanya saja, masih berat bagiku kehilangan Pastur Jiraiya. Aku seperti kehilangan sosok ayah untuk kedua kalinya." Naruto menutup wajahnya.
"Hn. Aku mengerti." Sasuke segera mengambil tempat disamping Naruto, dan ikut memandang altar kemudian langit-langit gereja bergantian.
"Tidak. Kau tidak mengerti apa-apa."
"Ayahku dibunuh oleh kawanan perampok 10 tahun yang lalu." Sasuke mulai memejamkan matanya.
"Eh? Benarkah itu, aku tak pernah tahu." Naruto kini mengalihkan perhatiannya pada Sasuke. Meminta penjelasan lebih, tentang jati diri pemuda yang telah dekat dengannya 2 tahun belakangan ini.
"Apakah cerita itu patut dibicarakan?"
"Tidak, maafkan aku."
"Hn."
"Jadi, karena itu kakakmu menjadi polisi?"
"Hn. Aniki ingin membuktikan pada Kaa-san bahwa ia bisa melindungi keluarga setelah Tou-san tiada."
"Oh, terus kenapa kau tidak masuk ke asrama Polisi saja?"
"Kau sendiri, kenapa terdampar disini?"
"Ibuku yang memintaku. Ia tak ingin aku berakhir seperti ayah. Mati dalam tugas. Dulu ayahku seorang polisi. Makanya aku ingin menjadi sepertinya." Naruto menceritakan semuanya dengan sebuah senyum terkembang. Senyum yang tak pernah ditampakkan oleh Sasuke. "Jadi, kenapa kau masuk ke sekolah ini?"
Sasuke terdiam memandang Naruto sejenak. Kemudian ia menoleh ke arah jendela mosaik yang terpampang di sisi kiri dan kanan ruang berdoa.
"Tak satupun menjadi urusanmu, Dobe."
Ingin rasanya Naruto menjambak rambut biru Sasuke yang selalu dibanggakan pemiliknya itu. Jawaban apa itu? Tapi Naruto berusaha tenang. Ia menghela napas dalam-dalam demi menghadapi makhluk ini.
"Lalu, apa yang terjadi dengan ibumu?" Naruto makin penasaran dengan masa lalu Sasuke.
"Apa aku harus menjawabnya? Apakah ini sebuah wawancara untuk menguak masa laluku?"
"Tidak. Tidak apa-apa, lupakan." Naruto menundukkan kepalanya. Ia memandang lekat-lekat sepatunya yang hitam, terkadang memainkan jas seragamnya, ataupun menghela napas karena tidak ada topik yang bisa dibicarakan.
.
30 menit berlalu…
.
Dan masih belum ada yang mau mengalah untuk membuka mulut dan mencairkan kesunyian. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hhhh..."
Hanya desah napas berat yang keluar dari bibir mungil pemilik nama Uzumaki Naruto ini. Sesekali ia memandang wajah stoic pemuda disampingnya. Hingga ia bosan menunggu, dan memulai pembicaraan,
"Ne~ Teme..."
"Hn."
"Maaf kalau aku menyinggung ini, tapi aku rasa beliau tidak meninggal karena sakit. Kurasa ia—"
"Dibunuh." Sasuke tidak memindahkan pandangannya yang masih menatap altar dengan lekat.
"Jadi kau merasa begitu, Teme?"
"Hn." Mata onyx pemuda itu tertutup. "Dan jangan panggil aku Teme lagi, usoratonkachi."
"Okay, pantat ayam. Jadi, darimana kau tahu kalau ia dibunuh?" tanya Naruto dengan tampang kesalnya.
Diam adalah jawaban yang dipilih Sasuke.
"Hei, aku bicara padamu!"
"Apa kau tadi memanggil pantat ayam? Sayangnya, itu bukan aku, bodoh."
"Argh! Terserah kaulah Teme. Mau berbagi informasi ya syukur, nggak juga nggak rugi. Kalau sudah nggak ada urusan, sana pergi!" cetus Naruto gusar.
"Hn. Kau ngambek, Dobe?"
"Menurut lo?"
"Hn."
Kini mereka kembali dalam suasana bernama keheningan. Naruto merasa kesal, merasa marah ketika Sasuke memanggilnya seperti itu. Tapi disisi lain, ia ingin segera menemukan kepastian dan melonggarkan pikirannya tentang kematian Pastur Jiraiya.
"Eng, lalu?" Naruto bertanya dengan suara yang sangat pelan. Sasuke tersenyum tipis, terlalu tipis untuk dilihat mata. "Kenapa kau bisa berkata bahwa Pastur Jiraiya dibunuh, Teme?"
"Apa kau tidak aneh, ketika kita tak diperbolehkan melihat wajahnya setelah ia meninggal? Dan jika ia memang benar sakit, kenapa pihak kepolisian ikut campur dalam masalah ini?"
"Ya. Itu aneh, dan karena itulah aku memikirkannya."
"Karena separuh wajahnya hilang."
Naruto tercekat. Rasanya ia baru saja kejatuhan batu gunung yang longsor ke atas kepalanya. Lututnya terasa lemas. Ia pun jatuh terduduk di lantai.
"Hei, Dobe. Kau tak apa-apa?" Sasuke segera memegang lengan sahabat dekatnya tersebut.
"Hi-hilang?" Bukannya menjawab pertanyaan Sasuke, tapi Naruto lebih fokus pada keadaan Pastur Jiraiya.
"Maaf, bukan hilang. Hanya wajahnya ditebas hingga hampir terbelah dua. Tulang hidungnya sempat terlihat. Aku sempat lihat fotonya saat pertama kali ditemukan." Sasuke menatap mata biru sapphire itu lekat-lekat.
"Jangan bilang padaku, kau melihat dokumen kakakmu yang menyelidiki kasus ini."
"Hn."
"Ck, itu sama saja dengan mengintip, Teme. Itu tidak baik."
"Jadi? Apa aku berdosa? Jika ya, kau juga ikut kena dosanya, Dobe. Kau juga tahu informasi yang orang lain tak tahu."
Naruto terdiam menelan setiap kata yang keluar dari bibir Sasuke.
"Ya. Mungkin kau benar. Aku... entah bagaimana mengatakannya, aku sedikit lega karena tanya itu telah dijawab. Tapi, aku tak bisa lega sepenuhnya, saat aku tahu bahwa dugaanku benar." Naruto mengusap-usap tengkuknya yang tak gatal.
"Kau sebaiknya istirahat, Dobe. Atau kau akan menjadi sepertinya!" ujar Sasuke menakut-nakuti Naruto.
"Heh! Kau kira aku sepenakut itu?" sahut Naruto gusar.
"Hn. Semua juga tahu."
"Teme kurang ajar! Aku akan buktikan kalau aku—"
Sebuah nada dering singkat memutus orasi Naruto terhadap Sasuke. Sasuke dengan gesit mengambil hp berwarna biru dongker dari dalam saku jasnya.
"Aku ada urusan. Kau mau ikut aku kembali ke asrama atau—"
Naruto mengurungkan niatnya untuk berdebat dengan Sasuke. Hari ini terasa terlalu berat.
"Aku ikut saja. Aku ingin istirahat."
"Hn. Oke."
"Tapi mungkin aku akan ke kantin dulu. Nggak enak sama yang lain." Naruto memainkan tangannya di saku jas.
"Hn. Oke. Hati-hati di jalan."
Sasuke pun berjalan meninggalkan Naruto yang masih berdiri di belakangnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa orang yang ia sayangi telah dibunuh dengan sadis.
Kantin SMA St. Michael.
.
"Yo, guys!" seru Naruto mendatangi teman-temannya.
"Yo, Naruto. Lama sekali baru kau kesini." Kiba menyambutnya dengan salam khas antara mereka.
"Maaf tadi ada sedikit urusan di gereja." Naruto mencoba menutupi kenyataan yang ada.
"Ramen?" Lee menawarkan semangkok pada Naruto. "Aku yakin kamu pasti ceria lagi kalau makan Ramen."
Naruto tertawa kecil. "Paman, Ramennya dua. Yang bayar Shika ya..."
Yang disebut namanya hanya bisa tertohok. "Heh? Kenapa harus aku? Mendokusei..."
"Hehehe, sorry ya Shika. Uangku ketinggalan dalam asrama. Kapan-kapan aku ganti deh. Ya? Ya? Ya?" sahut Naruto dengan puppy eyes no jutsu-nya.
"Cih. Merepotkan."
Semua tertawa, tak terkecuali Naruto. Ia hampir melupakan kenyataan pahit yang harus ia terima. "Oh ya, tadi kepala asrama datang ke gereja."
"Oh ya, lalu?"
"Lalu ia…. Ia…. Pergi lagi. Dia cuma memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Setelah itu ia pergi lagi." Naruto menyeruput kuah ramennya hingga menimbulkan bunyi yang mengundang seluruh sekolah untuk melihatnya.
"Sangat tak penting," desis Gaara. Entah kenapa, kelompok ini tidak begitu menyukai Sasuke.
"Eh, aku dengar gosip, katanya ada pembunuhan yang terjadi di sekolah ini." Kiba berkata dengan pelan, namun sukses membuat Shikamaru, Sai, Gaara, dan Naruto tersedak.
"Gila lu ngomongin begituan pas lagi makan siang." Sai menepuk kepala Kiba dengan ujung sedotan.
"Kan aku bilang, denger gosip. Namanya gosip juga belum tentu bener. Kalian kenapa sih?" Kiba mulai bersungut. Ia paling benci kalau tak semua orang tak setuju dengannya.
"Hanya saja, tabu membicarakan hal itu disini. Sama tabunya dengan membicarakan percintaan sejenis yang katanya sering menjadi rumor di sekolah ini." Lee berkata dengan santainya, dan ia sukses membuat Sai, Shikamaru, Gaara, Naruto, dan Kiba menyemburkan apa yang di mulut mereka ke arahnya.
"ASTAGA, TUHAN!" teriak Lee menyeka wajahnya yang tertutupi kunyahan tak sempurna. "Tuhan, maafkanlah teman-temanku yang telah berdosa kepadaku."
"LEE!" seru Sai, Shika, Gaara, Naruto, dan Kiba barengan.
"Jangan pernah ngomongin hal kayak gitu. Rumor itu nggak bener." Sai mewanti-wanti Lee dengan alis bertaut.
"Ya. Ya. Rumor itu salah. Menjijikkan sekali. Dasar merepotkan," sahut Shika menimpali.
"Iya deh. Perasaan, dari tadi aku salah mulu kalau ngomong sama kalian," rutuk Lee yang masih sibuk membersihkan wajahnya.
Lagi-lagi, semua tertawa.
.
"Wah, udah hampir satu jam setengah kita disini. Kelas sore jam berapa?" tanya Sai melihat jam tangan Rolex yang baru saja dikirimi oleh orang tuanya.
"Jam 5. Sekarang jam berapa sih?" sahut Shika agak malas.
"Setengah dua. Masih ada dua jam setengah lagi," jawab Sai simpel.
"Kalian pada mau kemana?" tanya Kiba.
"Aku mungkin bakalan ada di perpustakaan. Mau tidur-tiduran disana," jawab Shikamaru sambil membetulkan kunciran nanasnya.
"Aku mau balik ke kamar. Aku agak capek. Kamu, Gaara. Ikut?" sahut Naruto pada Gaara, teman sekamarnya.
"Iya. Ada yang mau aku kerjakan." Gaara hanya mengangguk setuju pada Naruto.
"Aku juga mau balik ke kamar. Mau menggambar. Oh ya, kalian lihat Haku nggak?" Sai menyeruput tetesan terakhir jus jeruknya.
"Haku... teman sekamarmu?" tanya Lee.
"Iya. Dia beberapa hari ini nggak kembali ke kamar, dan dia juga jarang muncul di kelas." Sai membenarkan pertanyaan Lee.
"Mungkin dia mencoba kabur dan mati." Akamichi Choji, seorang pencuci piring yang dipekerjakan oleh SMA St. Michael tiba-tiba datang dan mengambil perkakas kotor yang masih terhampar di atas meja. Semua berpandangan, dan masih berusaha untuk tidak merasa kaget atas kehadirannya yang tiba-tiba. "Tolong gelas kotornya."
Sai memberikan gelas kosong yang masih dipegangnya. Sementara itu, Choji segera beranjak pergi ke dapur kantin.
"Balik yuk, nyeremin disini…" usul Kiba yang dijawab dengan anggukan oleh semuanya.
.
Sepeninggal Sai, Shika, Naruto, Gaara, Kiba, dan Lee, Choji dengan gesit membersihkan meja mereka sembari mendesis,
"Dasar anak-anak orang kaya yang bodoh. Munafik."
.
.
"Ng... tadi itu siapa sih? Ngomongnya sengak banget." Lee berjalan malas.
"Kalau tak salah, dia Akamichi Choji. Orang yang dipekerjakan dengan bayaran bisa bersekolah disini." Shikamaru memegang dagunya, mencoba mengingat-ingat.
"Hahahaha, bayarnya nggak pakai uang dong?" Naruto membenarkan dasinya.
"Pemilik sekolah yang menunjuknya langsung." Shika menguap malas.
"Pak Kakuzu? Pantes…" Sai tertawa. Semuanya bertatapan sebelum akhirnya ikut tertawa bersama.
"Sepertinya kalian bersenang-senang. Ada berita apa?" sapa Kak Deidara—pembina asrama—di ujung koridor menuju kamar para siswa.
"Tidak apa-apa kok, Kak. Kakak lagi apa?" tanya Kiba.
"Hum, sebenarnya setelah ini Kakak mau kasih makan merpati. Ada perlu dengan Kakak?" Seperti biasa, cowok bishie yang menjadi incaran cowok-cowok lain ini menampakkan senyum termanisnya.
"Tidak ada. Boleh aku ikut, kak?" tanya Kiba. "Aku mau memandikan anjingku."
"Boleh saja. Sekarang?"
Kiba mengangguk.
.
Setelah kepergian Kiba dan Kak Deidara ke kandang hewan para siswa, Naruto dan yang lainnya menuju ke tempat tujuan mereka masing-masing, termasuk Lee yang segera ke ruang cuci untuk mencuci baju kotornya selama seminggu ini.
Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, Sai tertunduk. Bibirnya gemetar. Tak ada yang dapat mengartikan getaran pada bibir pucat pemuda berwajah datar tersebut. Tak ada yang tahu apakah ia sedang berdoa, gugup, atau ketakutan akan sesuatu.
Kamar Sai.
1:45 p.m
.
"Berapa lama lagi kau akan menyuruhku menunggu?" tegur seorang pemuda ketus.
Sai terkejut, namun ia berusaha tetap terlihat kalem.
"Maafkan aku. Apa kau marah?"
"Tidak. Lalu apa maksudmu mengundangku kesini?"
"Entahlah. Aku menyukaimu. Bisakah kau menjadi pacarku?"
Dengan ekpresi yang datar Sai mengungkapkan semuanya.
"Hm, lalu? Apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Nyawaku. Tubuhku. kau boleh mengambilnya," jawab Sai mantap.
"Buktikan padaku, kalau kau memang layak untuk jadi milikku."
.
.
.
"Ahh.. Oh…Sssshhh… Ahhh… Ahhh…" desahan Sai terdengar sangat jelas saat kejantanan pasangannya memasuki liang belakangnya.
Pemuda tersebut semakin menghentak-hentak pinggulnya, sehingga membuat Sai semakin keras mencengkram seprai merahnya. Berulang kali Sai merasakan bahwa pinggulnya terasa lepas. Ia menitikkan air mata ketika hentakan pasangannya terasa makin keras di dalam tubuhnya.
Ia hanya mampu mendesah dan mengejang parah, saat pasangannya memainkan dua titik kecil di dadanya, membantunya mencapai puncak kenikmatan. Permainan mereka semakin panas, melebihi suhu kamar di siang yang terik ini.
.
4:30 p.m
.
Naruto berjalan dengan pelan sembari menikmati angin sore yang sejuk di belakang asrama. Namun di tengah perjalanannya, ia melihat sesuatu yang menarik perhatian di atas sebuah pohon mangga. Ah, itu sosok menyebalkan Sasuke-si-Pantat-Ayam. Apakah yang dilakukannya di atas sana?
"WOI, TEME!" seru Naruto menendang batang pohon mangga itu hingga Sasuke berhasil mengumpulkan kesadarannya.
"Heh! Apa-apaan kau, Dobe?" balas Sasuke nggak kalah keras. Ia mengucek matanya dan menguap.
"Ngapain lo disana?" tanya Naruto.
"Apa urusan lo?" balas Sasuke.
"Nggak ada. Aku lupa kamu bakal menjadi monyet berambut pantat ayam." Naruto menjulurkan lidahnya.
"Heh! Jaga bicaramu, jelek." Sasuke turun dari pohonnya dan segera menatap lekat-lekat pemuda blonde di depannya. "Apa kau masih marah karena telah kalah dariku, Dobe?"
Naruto mengernyitkan alis. "Hm? Kalah? Aku tak merasa kalah apapun darimu, Teme!"
"Hn? Apa kau lupa? Di malam tiga hari yang lalu?"
Naruto tersentak. Wajahnya berubah merah.
"TEME! Jangan pernah mengungkit hal itu!"
Ucapan kemarahan Naruto hanya dibalas dengan seringai oleh pemuda Uchiha ini. "Tidak akan. Sebelum kau menang dariku, Dobe."
"Teme!" seru Naruto mengejar Sasuke yang sudah lebih dulu lari menuju kelas sore.
.
.
Sore ini hanya belajar agama saja. Sasuke yang memang tidak menyukai guru agamanya, lebih memilih untuk smsan di balik buku cetak yang ia berdirikan.
"Heh, Teme!" seru Naruto pelan, bahkan terlalu pelan untuk pendengaran normal manusia. Otomatis yang dipanggil nggak nyahut-nyahut. Karena kesal, akhirnya Naruto berinisiatif mengirimkannya SMS.
.
[ Heh, Teme! Rikudou-sensei melihatmu terus tuh ]
[Hn. Lalu?]
[Angkat kepalamu. Nanti dia sadar loh.]
[Hn. Biar. Ada yang lebih penting yang mau kubicarakan denganmu.]
[Apa?]
[Nanti malam, datanglah ke kamarku ]
[ Geez, bahkan saat seperti ini, kau masih memikirkan itu? ]
[Hn.]
[Oke. Oke. Nanti malam aku datang.]
.
Sebenarnya sedikit prihatin untuk guru yang mengajar agama pada sore hari. Karena seluruh siswa sudah mulai lelah dan bosan, meskipun ada jeda untuk beristirahat sebelum memulai kelas sore. Akhirnya, tak tertahankan lagi, sebagian besar siswa mulai tidak fokus dengan materi yang diberikan oleh Rikudou.
"Yak, anak-anak. Pelajaran telah usai. Segeralah kembali ke kamar kalian masing-masing. Jangan keluar sembarangan. Saya tak mau ada yang menghilang lagi. Terima kasih." Rikudou membereskan bukunya dan pergi meninggalkan kelas yang tiba-tiba bersemangat itu.
"Sai." Kiba menepuk punggung lelaki kurus itu. "Haku masih belum kembali ya?"
Yang ditanya hanya menggeleng.
"Mungkin Choji benar . Jangan-jangan Haku sudah—"
"Lee!' potong Naruto. "Tolong jangan membuat yang lain khawatir. Lebih baik, kita berdoa agar Haku cepat ditemukan."
"Konyol," desis Sasuke yang melintas di sebelah mereka. Di belakangnya ada Choji yang sedang membisikkan sesuatu.
"Aneh." Gaara mendesis pelan, setelah sosok dua manusia tersebut tak ada.
"Apanya?" tanya Shika.
"Apa kalian tak dengar tadi Choji bilang apa?"
Shika, Sai, Lee, Naruto dan Kiba hanya menggeleng.
"Dia bilang 'munafik'. Aku tak tahu siapa yang ia nistakan. Hanya saja—"
"Itu cuma anak aneh. Jangan dipikirkan. Sebaiknya kita segera mengikuti pesan Guru Rikudou deh," sahut Kiba yang lagi-lagi diiyakan oleh yang lain.
.
.
.
Kamar Sai.
"Kau selalu membuatku menunggu." Pemuda itu bersungut.
"Maafkan aku."
"Aku muak."
Sai membelalakkan matanya mendengar ucapan pemuda yang ia puja itu. "Eh? Apa itu artinya kau—"
"Tak apa. Jadilah anak baik yang selalu menuruti apa yang aku katakan."
Sai mengangguk pasti. Namun raut keyakinannya berubah ketika pemuda itu memberikan sebutir kapsul padanya.
"A-a—"
"Minumlah sebelum tidur. Aku tahu kau tidak sehat."
"Ya, anemiaku kumat." Sai menggenggam kapsul itu dan mengangguk.
"Kalau gitu aku pergi dulu."
"Mau kemana?" tanya Sai menahan lengan pemuda itu.
"Aku ada urusan."
Pemuda itu menepis tangan Sai dan membanting pintu kamar dengan keras saat keluar dari kamar itu.
.
10:00 p.m
.
"Oh… Oh… Sas..uke… Ahhh…" Naruto menggeliat ketika bibir pemuda raven itu menyentuh dua titik kecil di dadanya secara bergantian.
Sasuke semakin bergairah memainkan titik-titik kecil yang semakin menegang itu setelah mendengar desahan dari bibir manis kekasihnya. Beruntunglah, di luar hujan badai, dan ombak yang pasang semakin keras membentur karang-karang di bawah tebing.
"Oh… Sashh… Akhh.. Stop.. Ahhh…" Naruto menepuk-nepuk kepala kekasih rahasianya itu.
Sasuke menghentikan aksinya, dan menatap Naruto lekat-lekat. "Aku menginginkan dirimu, kekasih abadiku."
Naruto membuang pandangannya. "Sas, please. Jangan berka—"
Bibir mungil Naruto terkunci oleh bibir Sasuke yang segera 'melumat'nya. Tak ada suara lain selain suara desahan yang tertahan, permainan lidah yang semakin panas, sebelum akhirnya ciuman itu pindah ke leher jenjang Naruto.
"Jangan menyangkal, Dobe. Kau tahu itu benar."
"Akh… Oh… Ahhh.. Ahh… Ta-tapi… Akhhh…" Naruto bergelinjang menerima perlakuan Sasuke yang asyik menggigit puting dadanya dengan gairah.
"Tapi apa? Terlarang?" Sasuke kembali melanjutkan aksinya, disertai dengan elusan di perut Naruto.
"Ahh.. Ah… I-iyahhh… Oh…." Naruto menjambak Sasuke tak kalah bergairahnya.
Sasuke menghentikan aksinya. Ia menyunggingkan sebuah senyum tipis di ruangan yang temeram ini. "Naruto, pernahkah kau berpikir, jika Tuhan melarang kita memiliki perasaan dan melarang hubungan ini, mengapa Ia menciptakannya?"
Naruto terdiam. Matanya memandang langit-langit kamar Sasuke.
"Entah. Kurasa Tuhan punya rahasia yang tidak akan pernah diketahui oleh kita, para umatNya."
Sasuke terdiam. Ia hanya memilin puting Naruto yang kian menegang. "Jadi, apa kau mau berhenti?"
"Akhhh… Sasuke… Sasuke… Oh…. Tolong hentikan… ahhh…" pinta Naruto.
"Oh ya? Kurasa tubuhmu belum ingin berhenti, Naruto." Sasuke tersenyum jail sembari meremas kejantanan Naruto yang sudah mengeras.
"Oh... Sasuke… Ah…"
Dan keduanya tenggelam dalam permainan panas, dengan desahan-desahan yang teredam bunyi gemuruh di luar asrama.
.
.
"Kau masih tetap payah, Dobe."
"Cerewet kau, Teme. Sakit tahu. Punyamu semakin besar saja."
"Kau saja yang terlalu lemah."
"Cih. Untung saja besok sabtu, Teme. Kurasa aku tak bisa jalan kali ini."
"Hn." Sasuke mengecup bibir kekasihnya sekali lagi. "Ayo tidur. Kau perlu itu."
"Iya. Iya. Makasih sudah khawatir."
"Jangan geer. Kalau kau tidak tidur, mungkin kau akan 'mengerjai'ku saat aku tidur."
"Cih. Siapa juga yang niat ngerjain kamu? Oyasumi, Teme!" seru Naruto memunggungi Sasuke.
"Hn. Oyasumi."
12:00 am
.
Pintu sebuah lemari di gudang yang terbengkalai dibuka. Di dalamnya tampaklah sesosok pemuda berkulit putih yang beberapa hari ini dicari-cari oleh pihak sekolah. Pemuda itu terlihat lemas karena 80% oksigen dalam hidupnya telah terbuang tanpa bisa tergantikan. Jika ia masih bisa mengingat, ia akan mengingat bahwa ia sudah disekap dalam sebuah lemari tua dengan tangan terikat selama 5 hari. Ia bahkan tak tahu apa kesalahannya.
"Bangun!" seru pemuda yang membuka pintu itu dengan dingin.
Haku membuka matanya. Rambutnya berantakan tak karuan. Matanya sembab karena ia kurang tidur. Bayangkan saja, bagaimana kau bisa tidur dengan tangan terikat dan di dalam ruangan kedap udara? Dijamin, kau pasti akan sangat 'nyenyak' dalam tidurmu.
"A-apa salahku?" tanya Haku dengan tenggorokannya yang kering.
"Kau telah mengadu hal yang bukan urusanmu."
"Ta-tapi itu kesalahan. Yang kau lakukan dengannya adalah dosa." Haku tertohok karena setiap kali ia bersuara, tenggorokannya terasa sakit.
Pemuda itu mengeluarkan sebilah parang dari balik punggungnya. Haku terbelalak.
"Satu-satunya dosa adalah karena kau mencampuri urusan orang lain." Pemuda itu mengangkat parangnya tinggi-tinggi.
"Jangan bunuh aku. Tung—"
JLEB.
Satu tusukan tajam mendarat tepat di dada kiri Haku. Parang itu telah menusuk jantungnya. Melepaskan ruh dari raganya.
"Sesungguhnya aku ingin berkata, 'tidurlah bersama Bapa, Haku'. Tapi, aku tidak akan mengatakannya pada pendosa sepertimu."
Seolah tak puas membunuhnya, pemuda itu kemudian melubangi perut Haku dan mengeluarkan hatinya.
"Bapa, maafkan hambamu yang penuh dosa ini. Kupersembahkan hatinya padaMu untuk Kau sucikan. Terimalah, Bapa." Pemuda tersebut melemparkan hati Haku ke lautan lepas melalui jendela kecil yang terdapat di gudang, sebelum ia membawa Haku ke kamarnya.
"Berbahagialah, wahai hamba yang penuh dosa. Aku masih memberimu tempat yang lebih layak untuk kau tidur."
.
07:45 a.m
.
Sinar matahari yang hangat masuk melalui ventilasi dan menerpa wajah pucat seorang siswa bernama Danzou Sai. Ia sedikit demi sedikit membuka matanya menyambut pagi yang cerah. Tak ada yang akan percaya, jika semalam telah terjadi hujan badai. Karena pagi yang indah ini telah menghapusnya.
Sai merasa memeluk seseorang, namun ia juga mencium bau yang aneh. Akhirnya, ia fokuskan penglihatannya pada objek yang ia peluk.
"Ha-haku, kau kembali?" Ia mendesis perlahan. Sampai ia sadari ada yang aneh dengan Haku.
Bukan hanya kulit Haku yang semakin pucat. Tapi juga bau aneh yang berasal dari balik bantal merah yang menutupi perut Haku.
"Ba-bau apa ini?"
KLANG
"Hah?" Sai tercekat. Dilihatnya sebuah parang yang berlumuran darah kering terjatuh dari tempatnya tidur. Belum habis rasa terkejutnya, kini ia hanya bisa meratapi kedua tangannya yang berlumuran darah kering.
"A-aa... A-aa..."
Sai dengan sigap menyingkap bantal yang menutupi perut Haku. Sai hanya bisa tertohok melihat sebuah lubang besar yang berbau anyir terdapat disana.
"A-apa yang telah aku lakukan?"
.
To be continued
.
A/N :
.
Holla, Minna.
Ini adalah fic yang sesuai dengan "Genre" saya.
Bagaimana? Apakah Fic ini diperbolehkan di publish di FFn? Karena ini adalah fic thriller pertama saya. Di FFn. Saya sudah tanya beberapa orang di FB, dan mereka (yang juga member FFn) mengatakan boleh. Jadi, saya publish disini.
Jika memang ini menetang peraturan FFn, akan segera saya hilangkan.
Dan, apakah cerita ini pantas dilanjutkan?
Ataukah dihentikan saja?
.
Please, Review or FLAME.
