FIVE YEARS
by Vander Yorke
Harry Potter belongs to J. K. Rowling. I just own the plot.
Albus Potter, yang matanya baru 'terbuka' pada cewek itu di tahun kelimanya.
Pagi ini benar-benar menyebalkan!
Tadi pagi, si brengsek Scorpius Malfoy menyembunyikan tongkat sihirku. Aku yang bangun terlalu siang (gara-gara tugas mendadak esay Transfigurasi, 3.5 meter panjangnya) pun harus mencari-carinya selama beberapa menit dan kehabisan waktu untuk mandi pagi. Sesudah mandi, aku pun menyadari kalau jubah ku pun menghilang dan dan ditemukan tergantung di atas perapian ruang rekreasi Slytherin. Mungkin Malfoy berpikir kalau cara terbaik untuk mengawali bulan November adalah dengan mengerjai orang. Sialan.
Dan disinilah aku terduduk di meja Slytherin sekarang mencoba memakan apapun yang tersedia di meja makan sebelum harus masuk kelas Mantra, 10 menit lagi. Disisiku adalah sahabatku Liam Keane, seorang Muggle-born jangkung berambut pirang dan berwajah tengil yang anehnya bisa masuk Slytherin.
"Wow, pagi sekali Al," sindir Liam sambil nyengir.
"Oh , Diamlah. Kenapa kau tak membangunkanku tadi pagi?" kataku sambil menarik segelas jus labu.
"Kau 'kan habis mengerjakan tugas esay sialan itu sendirian. Kulihat kau kurang tidur," ucapnya sambil mengangkat bahu. "Sudah kubilang lebih mudah kalau kita menyalin punyanya Elisa." Elisa adalah pacarnya Liam, anak Ravenclaw.
Anak-anak Hogwarts sudah mulai meninggalkan Aula Besar untuk masuk kelas masing-masing. Aku melirik meja Ravenclaw dan melihat Rose Weasley, dengan rambut merah dan berantakan, yang melirikku balik. Dari tampang ngantuknya, tampaknya dia habis tidur larut malam dan bangun kesiangan juga. Aku memberinya isyarat untuk pergi bersama-sama ke kelas Mantra. Kebetulan hari ini Ravenclaw dipasangkan Slytherin. Dia mengangguk mengiyakan.
"Kau duluan saja, Liam. Aku bersama Rose," kataku melihat piring Liam yang kosong, sarapannya sudah selesai.
"Baiklah. Kutunggu kau di kelas Mantra," katanya sambil membetot Mark Selwyn, anak Slytherin tingkat 5 sepertiku dan Liam.
Tiba-tiba Malfoy dan Goyle cengar-cengir menyebalkan ketika melewatiku, "Semoga harimu menyenangkan, Alby," katanya. Aku mendelik.
5 menit sebelum pelajaran pertama. Aku harus memastikan dulu perutku terisi penuh.
###
Ruangan kelas Mantra terdiri dari tiga baris meja panjang dan kursi-kursi yang berjejeran menghadap meja Profesor Ernie Macmillan. Meja tersebut diapit dua papan tulis dan di sudut kelas terdapat sebuah rak kecil berisi buku dan peralatan lain, dibawah sepasang jendela. Akupun mengambil tempat duduk di sudut kelas baris terdepan, dekat dengan jendela. Rose kelihatan cemberut karena aku memaksanya untuk duduk di tempat yang tampaknya kurang memuaskan baginya.
"Kita duduk di baris terdepan dan kau masih kelihatan belum puas," kataku heran.
"Aku ingin duduk ditengah-tengah, bukannya disudut begini," katanya cemberut.
"Oh. Kukira kau ingin duduk dekat Malfoy."
Rose melotot. "Yang benar saja. Aku dan si musang? No way."
Aku selalu berpikir kalau Rose sebenarnya tertarik pada Malfoy. Dan Malfoy juga sebaliknya. Dulu sekali waktu kami akan berangkat pertama kali ke Hogwarts aku pernah melihat seorang anak pucat berwajah pirang yang kelihatan terpesona pada Rose. Tampangnya benar-benar bego. Aku baru-baru ini sadar mungkin sebenarnya si anak itu adalah Malfoy. Musim panas kemarin ketika Aku, Rose serta para adik dan sepupuku bertemu dengan Malfoy di Diagon Alley, dia tampak terpesona dengan penampilan Rose saat itu. Malfoy tampak kaget dengan penampilan Rose tanpa jubah penyihir Hogwarts. Kupikir akan benar-benar lucu apabila Paman Ron berbesanan dengan ayahnya Malfoy. Kudengar mereka sering bertikai ketika di Hogwarts dulu. Pasti reaksi Paman Ron akan konyol sekali. Aku dan Lily, adikku, sudah sering mendiskusikan kemungkinan bahwa Rose dan Malfoy saling menyukai. Apalagi dia suka memandang banyak hal dari sisi romantis, yang kadang menyebalkan. Contohnya saja dia suka menanyakan kapan Teddy dan Victoire‒sepupu kami, menikah. Namun bagaimanapun, kalau soal Rose-Malfoy ini sepertinya Lily tidak salah.
Pintu kelas terbuka. Ternyata Profesor Macmillan akhirnya datang dan menyapa murid-muridnya dengan bersemangat. "Kali ini kita akan mempelajari mantra pingsan, cara membloknya dengan mantra pelindung, dan cara menyadarkan orang yang terkena mantra pingsan,"
Terdengar riuh tertarik diantara para murid. Aku sendiri sebenarnya pernah mempelajarinya di Klub Duel tapi tetap saja ini cukup menarik.
"Baiklah, aku akan memberitahu kalian apa saja nama mantranya, dan kalian harus mengulangnya. Siap?" tanya Profesor Macmillan
"Siap, Profesor!"
"Baik. Pertama, mantra pingsan. Stupefy!"
"Stupefy!"
"Kedua, mantra pelindung. Protego!"
"Protego!"
"Ketiga, mantra penyadar. Rennervate!"
"Rennervate!"
Dan sekarang Profesor Macmillan mulai mengitari kelas dan mengajari langsung kepada murid-muridnya cara mengayunkan tongkat sihir mereka.
"Kita harus mulai praktek," katanya, lalu menyihir sebuah cermin bulat didepan kelas. "Alat ini dapat menyerap berbagai mantra sihir," kata Profesor Macmillan menjelaskan. "Lihat baik-baik. Stupefy!"
Cahaya kebiruan keluar dari tongkat Profesor Macmillan dan menghantam kaca tersebut. Cahaya tersebut seperti terserap merata dalam cermin itu. Tepuk tangan terdengar memenuhi seisi ruangan. Dia juga mempraktekkan dua mantra lain.
"Ada yang ingin mencoba?" tawar Macmillan
Aku, secara refleks mengangkat tangan.
"Bagus sekali Mr. Potter. Anggota Klub Duel 'kan? Silakan," katanya
Aku mempraktekkan ketiganya dan kurasa cukup berhasil.
Profesor Macmillan tersenyum. "Ya itu tadi cukup impresif, Mr. Potter. Sepuluh poin untuk Slytherin. Itulah yang diharapkan dari anggota Klub Duel. Kebetulan ada lima orang di kelas ini. Dan ya, kalian berlima, tolong bantu teman kalian yang kesulitan. Saya akan segera kembali," katanya. Profesor Macmillan langsung pergi.
Di tingkat 5 asrama Slytherin, ada 3 orang yang masuk Klub Duel. Aku, Scorpius Malfoy, dan sepupunya Malfoy, Eveline Nott. Ada 2 orang lain dari Ravenclaw, dan sayangnya Rose tidak termasuk. Dia sebenarnya sempat ikut seleksi namun tidak lolos. Masuk Klub Duel itu sejujurnya memang tidak mudah.
Rose dan teman-teman Ravenclaw-nya sempat cukup kesulitan. Aku terus membimbing mereka sambil mengantri untuk memberi mereka kesempatan mencoba mantranya ke cermin didepan kelas.
"Cari perhatian ke cewek Ravenclaw, Potter?" Scorpius Malfoy nyeletuk tiba-tiba.
"Kau sendiri? Masih jomblo, Malfoy?" kataku sembil nyengir puas.
Malfoy cuma mendengus. Dia dan geng-nya yang bertampang bego mendekat. "Ooh… Weasel Queen, akan mempraktekkan mantranya rupanya," katanya, mengangguk pada Rose. "Kawan-kawan, beri jalan pada Weasel Queen!" ia mengomandoi geng-nya.
Rose yang wajahnya memerah karena marah pun berdiri menghadap Malfoy lalu berteriak dan mengacungkan tongkatnya‒ "Stupefy!"
BRUK.
‒ke arah Malfoy, yang pingsan ditempat, tepat ketika Profesor Macmillan memasuki ruangan kelas.
"Miss Weasley! Saya tidak menyuruh kalian mempraktekkan mantra itu pada orang!" katanya murka. "Oh, aku baru akan menyampaikannya pada sesi terakhir. Sungguh tindakan ceroboh. 20 poin potong dari Ravenclaw! Rennervate!"
Sekarang Malfoy bangun dan menatap Rose dengan sengit. Ia dibantu berdiri oleh Nott dan Goyle.
"Untuk sesi terakhir ini aku ingin kalian melakukan duel. Saya minta sepasang laki-laki dan perempuan!"
Tiba-tiba kelas riuh dengan nama Weasley dan Malfoy. "Oh, jangan nak. Err… Potter saja dengan Nott," ujar Professor Macmillan.
Aku dan Eveline Nott berjalan ke depan.
"Oke, saya minta etika duel diterapkan disini. Kalian berdua pasti mengerti. Dan ingat, hanya dua mantra yang diperkenankan disini. Mantra pingsan, dan mantra pelindung. Siap?"
Kami berdua mengangguk.
"Baiklah. Silakan saling memberi hormat."
Aku menatap Nott. Bila dijajarkan denganku tingginya mungkin sedagu denganku. Matanya berwarna hijau gelap, serasi dengan dasi Slytherin yang bertengger di lehernya. Kulitnya sepucat porselen, namun menurutku indah. Hidungnya mungil tapi mancung. Keningnya mengernyit sedikit memberi kesan jutek. Bibirnya yang tipis mungil tersenyum sedikit. Belum pernah aku memperhatikannya seperti sekarang ini, namun aku harus mengakui: cewek ini cantik sekali. Ya ampun, kemana saja aku selama ini?
"Oh ayolah, kalian menunggu apa lagi? Kalian membuat bosan anak-anak ini," kata Profesor Macmillan agak tidak sabar.
Kulirik Mark yang sedang berpura-pura menguap dengan menyebalkan dan Liam yang nyengir mengejek. Tampaknya ia mengerti kalau aku terpesona oleh Nott. Sial. Merusak reputasiku saja. Pasti wajahku sudah merah padam. Dasar gen Weasley sialan.
Aku mengangguk dan memberi hormat sekilas dan langsung mencabut tongkat dengan cepat.
Sekitar lima detik kami hanya saling mengacungkan tongkat sebelum akhirnya ia meluncurkan mantranya. Aku tak akan pernah memulai menyerang terlebih dahulu pada perempuan, sekalipun hanya latihan.
"Stupefy!"
"Protego!"
"Ingat nak, hanya dua mantra itu saja!" kata Profesor Macmillan.
"Stupefy!" dia menyerang lagi. Untung saja meleset sekitar 30 sentimeter dari tangan kiriku.
Harus diakui cewek ini jago juga. Tapi aku mana mau kalah. Aku berusaha untuk mengalahkannya walau tak mau juga melukainya. Sementara ini aku cuma bisa bertahan.
"Stupefy!" aku menyerang pahanya namun ia mampu berkelit.
"Stupefy!"
"Protego!" kutukannya hampir mengenai dadaku.
"Stupefy!" aku mengincar kaki kirinya, nyaris kena, ia menghindar namun tampak kehilangan keseimbangan.
"Stupefy!" aku menyerangnya secara beruntun.
"Prote‒ah…" Terlambat. Kutukannya sudah mengenai kaki kanannya terlebih dulu. Nott pingsan. Aku dan semua anak-anak di kelas datang menghampirinya.
"Tenang anak-anak… Rennervate!" Profesor Macmillan menunjuk Nott dengan tongkatnya. Nott langsung siuman.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku pada Nott. Aneh sekali, namun aku sebenarnya cukup khawatir. Biasanya aku hanya bisa khawatir pada keluarga dan sahabat terdekatku.
"Aku baik-baik saja. Bagus sekali Potter," katanya.
Kalau dipikir-pikir sepertinya itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Nott padaku di tahun ini.
"Oh, syukurlah," kataku sambil mengulurkan tangan. Ia menerimanya.
"Baik anak-anak kembali ke tempat duduk kalian," Profesor Macmillan menenangkan kerumunan murid sebelum akhirnya menutup pelajaran hari itu.
###
Hari itu terasa panjang sekali sampai aku langsung berniat pergi ke tempat tidur setelah makan malam usai. Sementara di belakangku Liam dan Mark masih menggodaku kejadian tadi pagi di kelas Mantra. Sungguh menyebalkan. Aku bahkan tadi menumpang makan malam di meja Gryffindor bersama James, Lily dan para sepupu untuk menghindari mereka. Aku sengaja menghindari ruang rekreasi karena takut Liam dan Mark bakal bicara yang aneh-aneh dengan keras-keras.
Sesampainya di kamar anak laki-laki aku pun berbicara, "Oh diamlah!"
"Baru sadar kalau Nott itu cantik?" tanya Liam. "Mukamu sampai memerah tau tadi!"
"Hahaha! soalnya kau lucu sih," Mark masih cengar-cengir puas.
"Kubilang sama Malfoy tewas kau!" Liam berbaring di ranjangnya.
"Bilang saja! Dia sendiri suka sama Rose kok," kataku.
Mereka berdua tertawa mengejek.
"Yang benar saja," Mark meremehkan pendapatku.
"Ya sudah kalau tidak percaya. Aku tidur duluan," kataku, menutup hari yang aneh ini. Aneh, gara-gara Nott‒maksudku Eveline. Kupikir aku harus terbiasa memanggilnya dengan nama depan.
###
-To Be Continued-
Please review! Saran, kritik, dan flame diterima :D
