green with envy.

(1: lily of the valley.)

disclaimer: identity v (c) netease.

warning(s): ooc. canon rewrite. au. gaslighting. identity theft.

sinopsis: entri diari: "aku tahu chloe tak akan berubah. ia akan selalu menjadi gadis naif yang dengan gegabahnya, selamanya kusayangi. tapi oh, chloe-ku tersayang, apa yang telah kau perbuat?"

note: untuk naomi. makasih dah naik di kapal yang sama dengan q uwu maap abal awoakawoakwaok gue gbs nulis oq

note2: untuk klarifikasi sebelum gue diamuk: gue tau lakeside village bukan tempat yang sama dengan grasse. gue juga tau grasse dilabelin jadi ibukota parfum dunia di abad ke-18, sedangkan event jack the ripper mulai di whitechapel abad ke-19. tapi demi ~plot~, sah-sahin aja yak.

note3: aturan ini oneshot, tapi gw dah ganiat ngelanjutinnya (mungkin).

.


.

[svɛnˈɡɑːli.]

"A person who exercises a controlling or mesmeric influence on another, especially for a sinister purpose."


Sejak pertama melihat seorang wanita Grasse yang kelihatan seperti seorang gipsi yang terpisah dari kaumnya, ia gemetar dengan kegembiraan yang membuih dari lubuk hatinya yang nyaris ia anggap tak ada. Wanita itu berjalan dengan postur tubuh tegak, sedikit linglung dengan panik yang mengabuti kilauan matanya yang memandang lepas pantai di antara kerumunan orang-orang yang datang dan menyaksikan sumber inspirasi penulisan novel terkenal itu—Lakeside Trails.

Ia adalah seorang wanita Grasse—desa pedalaman yang semula tempat pelacur dan penyamun serupa tinggal. Namun sekarang Jack dapat melihat kegelapan yang melingkupi perlahan melarikan diri setelah lampu sorotnya terarah pada desa ini; sumber inspirasi dari novel yang menurut Jack bukanlah suatu karya yang patut dipuja. Wanita Grasse dengan wajah putih tanpa rona seperti boneka, jari-jari lentik memeluk galangan tinggi yang belum dipotong sempurna, dan leher jenjang yang mengundang untuk dikecup—

Jack menghampirinya. Perlahan. Semua wanita rapuh, namun yang ini ranum untuk dipetik. "Halo."

Wanita itu terlonjak, pelan-pelan ia mengangkat kepalanya untuk memandang Jack, yang jauh lebih tinggi darinya. Bulu matanya lentik dan tahi lalat di bawah matanya menjadi penguat kecantikan yang menarik Jack lebih jauh pada pesona fisik wanita itu. Ia nampak seperti kucing yang baru saja tertangkap basah mencuri ikan. "Halo..."

"Aku tahu aku menginvasi saat ini, tapi—anda terlihat kebingungan, sedaritadi." Ia memulai. Wanita itu, sepersekian detik menegang dengan bahunya terangkat naik dan matanya yang membulat seolah tidak sadar kalau ia meletakkan emosinya pada papan pengumuman yang adalah wajahnya tempat semua orang dapat melihat. Namun kemudian ia menatap Jack lagi, emosinya sedikit terkontrol. "Boleh aku tahu apa yang mengusik anda? Mungkin... mungkin aku bisa membantu."

Ia tertawa—manis, lembut, dan Jack ingin mendengarnya lagi—tangan kirinya terangkat dengan alis bertaut dan senyum miring, ia membalas, "Ma... maaf, tapi... aku tidak yakin anda bisa, um... a-aku yakin saudaraku akan menemukanku sebentar lagi, anda... anda tidak perlu khawatir." Ia terbata-bata, dengan wajahnya yang pucat bersembunyi di balik semburat merah yang mewarnai pipinya. "Aku... aku besar dan tinggal di sini, lagipula... hahaha."

Kata-katanya tercekat diantara tarikan napas yang memburu, tapi ia menambahkan: "Anda... anda turis?"

"Hmm, bisa dikatakan demikian."

"Oh... umm—anda menyukai tempat ini?"

Menyukai? Tidak, sama sekali tidak—ia hanya kemari untuk... berlibur (melemahkan jejak yang ia tinggalkan untuk kepolisian di Whitechapel), ia bisa kembali ke Paris untuk bersenang-senang sebentar, atau segera kembali ke London, tidak... tidak lagi di tempat kumuh dan terpencil di negeri yang ia tak sepenuhnya kenali seperti ini.

Tapi ia mengamati wanita di hadapannya. Permata di antara rongsokan yang seharusnya sudah hancur dengan sendirinya sejak lama. Kilaunya memberikan ilusi nyaris-sempurna bahwa ia adalah enigma berjalan yang harus dipecahkan. Kuncupnya belum mekar; menyembunyikan kecantikan di balik kelopak yang enggan memberi diri untuk disaksikan. Semua karena... dirinya sendiri.

"Bila aku bilang aku tidak menyukai tempat ini, apa anda akan tersinggung?" ia bergurau.

Bola matanya membulat—menyulut sesuatu dalam hatinya untuk meraih wanita itu dan mencungkil kedua bola matanya, hanya untuk mengagumi keindahannya secara menyeluruh. "Oh..."

"Aku menyukainya." Keluar dari mulutnya, tanpa ia komando—tapi matanya tak pernah berpaling dari wanita canggung di depannya, yang seketika menghela napas lega. Ia mendengar dan menghargai opini orang lebih dari dirinya sendiri. "Aku benar-benar menikmati pemandangan di sini; udaranya juga sejuk dan suasana yang tidak terlalu menjegang, berbeda dengan... London."

"London? Oh—"

"Chloe? Chloe!"

Dilihatnya wanita itu menoleh dengan cepat, dan sebelum visualnya menampakkan sumber suara, senyumnya merekah lebar dari bibir ranumnya—kegelisahan perlahan sirna dari kerutan pada wajahnya. Jack mengamati wanita lain yang melambaikan tangannya, kakinya berlari dengan sepatu hak tinggi yang membuat kelegaannya sedikit tertunda. Wanita yang berbincang dengannya—Chloe, oh Chloe—menghampirinya, dan keduanya saling memeluk satu sama lain erat.

Mereka meletakkan tangan satu sama lain pada genggaman; wanita itu adalah imitasi sempurna dari wanita yang pertama. Insting untuk melindungi yang kuat dimiliki wanita bersurai cokelat yang sedikit lebih terang; ia mendorong Chloe, sedikit ke belakangnya, menjadikan tubuhnya sendiri untuk tameng yang melindungi orang yang berharga baginya. "Selamat siang."

"Siang, nona."

Ia memiliki kilatan mata yang kritis kala Jack mengunci pandangan mereka. Bukan seperti kegelisahan yang seperti dimiliki Chloe. "Anda pendatang?"

"Vera..."

"Ya, seperti itulah." Ia memberikan mereka senyuman, yang segera dianggap sebagai undangan kebencian oleh wanita yang baru tiba. Dilihatnya iris gelap wanita itu, untuk sepersekian detik menyempit seolah merasakan sesuatu yang mengancam. "Permisi, nona sekalian; aku rasa aku harus pergi karena bantuanku tidak lagi diperlukan."

Pertanyaan dari ekspresi wanita yang baru tiba adalah—bantuan apa? Tetapi ia tidak menunda-nunda dan berbalik, namun hatinya masih menunggu, detik yang berlalu seirama dengan debaran jantungnya yang kegirangan, mengaso untuk menerkam, terlebih ketika—

"Tunggu, tuan...!"

Suara yang lirih, didorong dengan determinasi yang kuat. Udara yang mengisi paru-parunya sepenuhnya terpukul keluar ketika ia berusaha untuk mendapatkan perhatian Jack kembali.

"Terima... terima kasih... um."

Tangan wanita lainnya nampak gelisah untuk menghentikan Chloe, tapi ia tak berdaya untuk melakukan apapun. Sementara itu Chloe menantikan responnya; sebuah nama, namanya, yang dengan senang hati ia berikan:

"Jack." Nama (aslinya) terasa ringan melantun dari mulutnya yang acap kali berujar dusta dengan informasi paling krusial seperti itu.

"Te-terima kasih... Jack!"

Pelafalan yang tidak-cukup-sempurna (lirih, patah-patah dan belepotan), tapi ia bisa mengajarkannya yang benar, suatu hari nanti.

(Ingat akan aku.)

.


.

Darah muda tercium kental di atas dek kapal ini, pasir pantai di bawah menelan semua jeritan anak-anak yang diterkam ombak dan tak pernah pulih dari lukanya. Tetapi kematian adalah siklus alamiah manusia hidup yang menandakan awal dari akhir segalanya; Jack tidak ingin memusingkan hal itu, terlebih karena tempat ini adalah lapak perburuan seseorang, dan ia tidak ingin mengusik siapapun itu di balik layar.

Asalkan mereka tidak mengusik London, Jack tidak akan mengusik Grasse—simpel, seperti itu.

Adalah sebuah toko parfum yang memiliki aroma familiar dekat dari kapal yang berlabuh, dan ia seharusnya mengenali aroma yang mampu membuatnya mabuk bukan kepalang. Ia melihat papan nama toko—'Nair', tertulis jelas, diiringi dengan aroma pikat wewangian yang menguas bawah sadarnya secara lembut. Mengikuti penciuman—dan instingnya—ia menghampiri toko itu.

Ia mengamati dari etalase toko; seorang wanita, dan Chloe, yang sedang bermain dengan botol-botol berwarna gelap di atas kounter. Tangannya tidak sedikitpun gemetar ketika meneteskan tetes-demi-tetes cairan dari botol bening gelap satu ke botol yang lainnya, lalu memberikan mulut botol tersebut pada wanita yang nampak tidak sabar. Wanita itu mendengus.

Chloe menautkan alisnya, ia terkekeh gugup, namun tangannya tetap kokoh memegang botol kaca itu.

Ia mengambil lagi botol kaca lainnya, lalu menuangkan sedikit kontennya ke botol utama. Ia mengocok perlahan, lalu kembali memberikan mulut botol tersebut sedikit ke depan wanita yang adalah pelanggannya. Wanita itu masih mengerutkan wajahnya, dan Jack memutuskan untuk menghampiri Chloe dan melihat kerjanya dari dekat.

Pintu toko bernyanyi dengan bunyi lonceng yang merdu, membuat kedua orang yang berdiri berhadapan di kounter menoleh—wanita itu memiliki sorot mata arogan yang sulit dipuaskan, sedangkan Chloe memandangnya dengan naif, dan pipi merona yang disamarkan oleh pencahayaan toko. "Se-selamat datang!"

"Halo, Chloe." Ia menyapa, perlahan—tidak ingin membuatnya ketakutan. Wanita itu membutuhkan perlakuan spesial (karena ia spesial, seperti porselen cina kuno yang perlu dipoles), dan Jack akan dengan senang hati memanjakannya dengan perlakuan yang ia inginkan (memolesnya menjadi jauh-diatas-ideal dan pantas dipajang). "Masih mengingatku, kan?"

Kemudian wanita yang kemarin keluar dari pintu di balik kounter, di saat yang bersamaan wanita tempramental itu menghentakkan kakinya.

"Ah-ah... maaf." Chloe bercicit, layaknya tikus. Ia menundukkan kepalanya dan sekali lagi matanya terfokus pada botol-botol bening itu. Sementara itu, wanita yang kemarin bertemu dengannya melangkah mendekatinya, senyumnya melebar hingga matanya, namun mulutnya meludahkan racun dengan bengis: "Kau lagi." Ia menghela napas berat.

Bukan sebuah pertanyaan; sebuah pernyataan yang diutarakan dengan penuh kebencian—wanita ini menghakimi semua orang yang dia lihat dari penampilan yang nampak.

(Atau apakah itu karena ia melihat noda darah yang telah lama mengering pada telapak tangannya, pada pakaian yang tertata rapi untuk menyembunyikan monster dalam peraduannya?)

"Begitukah caramu menyambut calon pembeli?" ia bertanya, walau sesungguhnya tak membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang telah ia jawab dengan sendirinya.

"Menurutmu seorang wanita akan bertingkah selalim ini di tengah astaka? Tidak, tidak—hanya kau." matanya dipicingkan, dengan sinis memandang lurus mata-ke-mata; wanita ini berdiri di atas tebing terjal yang tingginya setara dengan tebing yang Jack pijaki. "Aku tahu laki-laki; kau terus memandang saudara perempuanku seperti itu, aku akan mencungkil bola matamu. Jangan dekati ia."

Ia termenung. "Oh, sudah kelihatan, ya?" seringainya ia tampakkan; ia tidak membutuhkan topeng untuk menyembunyikan jati dirinya—motifnya sudah terlihat. Warna aslinya ia kembangkan, dan wanita itu, terlihat gemetar, namun berusaha tak gentar. "Baguslah. Aku tidak berusaha untuk bermain subtil."

Wajah wanita itu memerah, tak salah lagi amarahnya menggebu—namun sebelum ia sempat kembali melontarkan balasannya, ia mendengar rintihan Chloe, dan gebrakan kounter kayu diiringi bentakan kasar dari pelanggan itu: "Tidak adakah ahli parfum lain yang lebih kompeten darimu?!"

Saudara perempuan Chloe—berdasarkan ingatan Jack dari pertemuan mereka kemarin, ia bernama Vera—menghampiri kounter, dan pelanggan toko yang sedaritadi nampak tak puas atas racikan Chloe. "Maaf, tapi apakah ada yang bisa kubantu?"

Ia menghela napas diantara kata-kata yang diutarakan dari mulutnya; tak salah lagi berusaha untuk mengatur emosinya yang masih terjebak pada percakapan antara dirinya dan Jack beberapa detik sebelumnya. Akhirnya senyuman kecil merekah dari bibirnya, berusaha untuk nampak netral dan ramah—walau matanya menunjukkan kemunafikan dari mikroekspresinya.

"Ya, sebenarnya—begini, aku menginginkan parfum dengan aroma yang unik, kau tahu—khas Grasse sebagai oleh-oleh untuk anak gadisku yang akan menikah sebentar lagi, tapi orang ini memberikanku parfum yang aromanya sama seperti milik pelacur di emper Paris." Ia menunjuk Chloe, yang menunduk di balik kounter dengan bahu yang gemetar. Ia terisak—Jack ingin meraih wanita itu, tapi Vera memiliki otoritas yang lebih tinggi darinya; wanita itu menghibur Chloe, meraihnya pelan, dan mendekapnya erat.

Chloe terisak di bahu Vera, gumamannya tak cukup sampai pada telinga Jack, namun air mata Chloe yang mengalir membuat Jack seketika melihat merah dalam visualnya; amarah yang memuncak: berani sekali, jalang ini. Vera memandang wanita itu, matanya berkilat dengki. "Haruskah anda memperlakukannya sekasar itu?"

"Kalau ia bekerja dengan benar—"

"Chloe adalah ahli parfum terbaik di Grasse—lebih dari ayahku, lebih dariku." Ia mengusap punggung Chloe, bentuk pelipur yang dibutuhkan wanita pemalu itu. Ekspresinya halus, penuh simpati—namun sorot matanya lain cerita.

"Oh, sungguh?" wanita itu, masih memandang keduanya dengan rendah dan sorot mata arogan yang tak acuh pada perasaan orang lain selain dirinya, mendengus dan mengibaskan rambut panjangnya. "Itu, yang terbaik dari tempat langu ini? Paris bisa membuat lebih baik; pantas saja tidak ada yang pernah mendengar tempat ini sebelum novel Inggris murahan itu—apa namanya? Lakeside Trails?"

Vera tidak segera membalas, dan wanita itu mendengus. "Tidak ada balasan bermutu lainnya, Nona Muda?" ia mendesis: "Kau seharusnya tahu lebih baik—"

"Mengapa anda ke Grasse, kalau begitu?" Vera bertanya—dan kini, kini giliran Jack yang melebarkan senyumnya. Chloe mungkin memiliki paras yang amat-sangat-sempurna seperti Galatea yang dihadiahkan napas kehidupan oleh Aphrodite karena kecantikannya; tetapi Vera memiliki kearifan yang seolah diberkahi langsung dari Athena. "Bila Grasse sangat menjijikkan bagi anda, mengapa anda kemari?"

"Itu—bukan urusanmu, kan—"

"Jawab pertanyaannya, Nyonya; mengapa anda kemari?" persetan dengan tata krama; ia mendengar Chloe terisak, dan memandang Vera yang tersentak, tidak mempersiapkan dirinya dengan desakan dari Jack. Melihat wanita itu kini ternganga berusaha menciptakan kalimat koheren dari mulutnya yang gagap, Jack tersenyum, tangannya meraih dagunya, berpura-pura berpikir: "Dilihat dari gaya busana anda, anda pasti dari kalangan atas—hmm, aristokrat kah, bahasanya? Maaf aku kurang tahu, aku tidak pernah duduk di bangku sekolah—berbeda dengan anda, yang pasti mendapatkan pendidikan privat—ah, tunggu tunggu: apakah di tutor privat anda mereka mengajari—"

"Jangan ikut campur, Tuan." Ia memberi peringatan; lampu merah menyala di atas kepala wanita itu.

"Aku hanya ingin tahu, Nyonya Besar; tata krama, ya, atau tidak?"

Ada keragu-raguan pada wajahnya. Wanita itu memucat, darahnya meninggalkan rona pada pipinya ketika ia bertemu dengan sorotan mata Jack yang sinis tak melepaskannya. Ia menelan saliva di mulutnya, lalu: "Y-ya... Mr. Cavallier—"

"Sungguh? Mereka mengajarkanmu tata krama? Dimana?" ia kembali bertanya—ekspresi yang dipasang oleh wanita itu menanam bibit berbahaya yang perlahan bertumbuh, membuatnya ingin meraih leher wanita itu dan merasakan tangannya melilit hingga napas dan nyawanya terpisah. "Dengan kelakuan seperti sampah itu, heran Chloe enggan menggunakan bakatnya untuk meracik parfum spesial untukmu—kelakuanmu berbau terlalu menyengat untuk disamarkan dengan parfum seharum apapun itu. Keluar dari sini; mereka tidak menerimamu."

Kata-katanya membuat bahu wanita itu menegang, dan mulutnya bergerak-gerak seolah ingin memuntahkan cercaan lain, tapi yang ditunggu tak kunjung tiba, hingga wajahnya memerah karena amarah yang terpendam meledak-ledak di dalam hatinya. Jack menahan senyumannya ketika akhirnya wanita itu menarik napas panjang, lalu mengumpat, "Kaum jelata keparat."

Hal itu membuat Jack terkekeh. Dari ekor matanya ia melihat Vera yang mendekap Chloe sedikit lebih erat (ia menatap Jack, sedikit-sangat-sinis; tatapannya membunuh), lalu pandangannya terarah kembali pada wanita yang pergi menghentakkan kakinya ke luar dari toko.

.


.

Chloe memiliki binar mata yang dapat menjadi kiblat bagi orang-orang yang kehilangan arah; tetapi ia menyembunyikannya di balik helaian rambut cokelatnya yang sampai menutupi nyaris sebagian wajahnya. Vera kadang menyingsingkan rambutnya ke belakang telinga, agar ia dapat melihat lebih baik—tapi Chloe selalu dikabuti dengan ketidaknyamanan yang amat kentara.

Ketika ia melihat Chloe, tanpa Vera (baguslah; enyahlah), berjalan tanpa arah dengan keranjang anyam dekat dengan dadanya, Jack merasa saat itu adalah momen yang sempurna untuk mendapatkan waktu untuk berbicara empat mata dengan wanita yang memikatnya seperti kelekatu pada lampu pijar. Ia berjalan perlahan, tanpa berniat untuk memberikannya kejut jantung, ia memanggil.

"Chloe?"

Yang spontan membuat wanita itu berbalik. Seketika bibirnya melukiskan senyum. "Jack...! Halo... um."

"Apa yang kau lakukan di sini?" ia bertanya basa-basi, tidak begitu mengharapkan jawaban yang berarti karena ia hanya perlu tahu kalau Chloe ada di sini, bersama dengannya seolah takdir mempertemukan mereka. Chloe memandang Jack dengan senyum lebar dan napas terengah, dadanya dibusungkan dengan sedikit kepercayaan diri dan kenyamanan yang ia tandai karena hadirnya Jack.

"Aku... aku ingin membuat parfum." Katanya—yah, tentu. Ia seorang ahli parfum, lagipula. Bukan seorang ahli parfum bila mereka tidak membuat parfum. "Wanita yang kemarin... ia... ia mungkin benar—mungkin aku tidak... semahir apa yang kupikir... kita pasti melakukan hal seperti itu... memandang diri yang terbaik pada hal yang kita biasa lakukan—"

Tidak, tidak—lihat, di sinilah Chloe, wanita canggung di hadapannya, salah. Chloe adalah yang terbaik; tidak ada yang akan dan mampu menyangkal itu. Lebih baik dari Vera, lebih baik dari wanita manapun yang Jack temui; lebih dari wanita-wanita Whitechapel yang ia temui—lebih dari Mary Jane Kelly.

(Ia mendengar wanita itu bernyanyi dengan paru-paru yang hampa karena udara yang menepak kabur suara nyanyian merdu dari hatinya—selagi hidup masih mampu menggirangkan hatiku, dalam ingatanku aku akan tetap menyimpan kembang ungu lembayung yang kupetik dari makam ibuku [1]—menyaksikan wanita itu menanggalkan pakaiannya perlahan dengan niat menggoda, sebelum kembali pada peraduannya. Jack mengingat ia membantu wanita itu menanggalkan kulitnya, meletakkan organnya pada sisi meja malam di samping ranjang selagi wanita itu terlelap.)

"Kupikir... aku akan mulai dari Vera."

(Bunga amyris, sulingan hati kayu batang pohon cendana, geranium ungu lembayung—seperti Vera (otaknya menyuplai, mengkhianatinya), hasil sulingan kayu pohon sonokeling, melur yang menghantarkan aroma sedikit-intim-dengan kematian pada batang hidungnya; botol-botol yang berada di dalam keranjang memiliki label. Chloe mengangkat salau satu botol dengan hati-hati, tangannya gemetaran ketika membuka tutupnya.)

"Ia selalu membuatku merasa nyaman, Vera... aku... aku ingin menyampaikan perasaan yang sama pada orang lain... melalu parfumku." Ia memainkan rambutnya, bibirnya disembunyikan di balik helaian rambutnya, matanya berpaling mencari objek lain selain Jack. "Kuharap... harapanku semua orang dapat merasakan apa yang kurasakan ketika aku bersama Vera..."

Jack mengendus aroma ekstrak yang diberikan Vera padanya; ia mengintip label: dafodil (nama lain: bunga narsis—dari nama seorang pemburu yang jatuh cinta pada pantulan dirinya sendiri di atas riak air tenang—cintanya menjadi kehancurannya). "Kuharap kau berhasil menemukan apa yang kau inginkan."

Pimpernel merah—bukan, amyris dengan mawar. Ekstrak pohon cendana, geranium ungu lembayung. Jack tahu Chloe tidak membutuhkan dafodilnya. Atau melati di atas keranjangnya.

"Ada yang bisa kubantu?" ia bertanya—giginya menggigit lidahnya yang lancang, tapi saat lidahnya dilumpuhkan, laringnya melonjak cepat. "Aku tidak bisa membantu banyak, tapi bila kau membutuhkanku, aku bisa."

Chloe melebarkan senyumnya—Jack bersumpah matanya berkelap-kelip jauh lebih indah dibandingkan langit malam manapun yang menaungi tempat kakinya berpijak. Langit di Whitechapel pada malam yang mencekam itu tak membuatnya gempar barang sedikitpun, tapi wanita ini, kecil dan pendek serendah mungkin ia berada, membuatnya penuh dengan gairah yang jauh lebih menggebu dibanding yang sudah-sudah.

"Um, mungkin. Bila anda tidak keberatan..." Wanita itu menggigit bibirnya. "Bisakah tinggal di sini... sebentar... hingga aku selesai memetik apa yang kuinginkan?"

Ia akan menyeret dirinya sendiri ke neraka bila ia tak mengiyakan permintaan Chloe.

.


.

Jack mengamati Chloe dari jauh—matahari telah lama berlalu, tetapi hari masih terlihat cerah dengan Chloe yang berada dalam visualnya. Matanya terpaku pada punggung mungil wanita itu, yang sedaritadi celingak-celinguk dengan alisnya yang bertaut. Kelimpungan mencari Vera, saudaranya, mungkin.

Namun tak lama suara Vera membelah sunyi, pekikannya cukup untuk membuat bahu Chloe terlonjak, dan senyumnya menyeruak dari bibirnya yang terdiam seribu bahasa kala Vera meraih tangannya. "Selamat datang kembali! Bagaimana? Kau menemukan apa yang kau perlukan?"

Bombardir pertanyaan itu membuat Chloe mengedipkan matanya perlahan. "Y-ya..."

"Lalu...?" seringai jahil ada pada wajahnya.

"'Lalu' apa...? Um... oh! Aku... aku bertemu Jack!"

Air muka Vera menjadi masam, sepersekian milisekon setelah namanya terlontar bebas dari mulut Chloe. "Ia menemaniku hingga aku selesai... dan—katanya ia adalah seorang pelukis! Ia bilang, bila aku mau, ia bisa memperlihatkan lukisannya nanti." Chloe menceriterakan, antusiasmenya tak terbendung. Ia mengabaikan Vera sepenuhnya. "Vera, ia benar-benar dermawan! Aku tidak pernah mengetahui ada pria sepertinya."

"Chloe, dengarkan aku—"

"Dan... aku benar-benar menantikan hari disaat ia dapat menunjukkan lukisannya. Pasti... pasti sangat mengagumkan."

"Chloe."

"Ia juga menyarankanku untuk tak menggunakan melati bila ingin membuat parfum yang kuinginkan. Ia terdengar tahu banyak tentang parfum. Ia juga terdengar berpendidikan, dan tawanya—"

"Chloe!"

Wanita itu tersentak, matanya selebar bulan purnama. Vera menghela napas. "Chloe, dengar... aku dan Jack—aku bicara padanya. Ia... ia bukanlah seperti yang kau kira." Saudaranya meraih lengan Chloe, dan tangannya meremas tegas, tak memberi sedikitpun ruang untuk bantahan. "Ia bukan orang yang bisa dengan mudah kau anggap temanmu, Chloe."

Wanita itu terdiam. Kebingungan. "A-ah, itu.. tidak mungkin... kan?" (Jack tersenyum mendengar sanggahan dari mulut Chloe, sedangkan Vera menggeram kecil). "Tapi Jack... ia... kau... bohong...?"

"Chloe..."

"Vera... kau... selalu bilang hal yang sama tentang semua orang yang ingin... bersamaku." Ia melangkah mundur dari Vera, namun matanya masih bertemu dengan Vera, yang memelas, tak menginginkan konflik melawan saudara perempuannya sendiri.

"Ya, Chloe, dan aku—aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu... aku... semua yang kulakukan, kulakukan untukmu."

"Vera... apa kau percaya padaku?" Chloe menggigit bibirnya.

"Ya, Chloe." Jawabnya absolut, tanpa perlu berpikir-dua-kali. "Sepenuh hatiku. Jadi kau—"

"Maka biarkanlah aku mendapatkan ini; biarkan aku."

Permohonannya terdengar seperti tuntutan (tanpa benar-benar menuntut), Vera menangkalkan pandangannya, menjauh dari Chloe yang telah memiliki resolusi teguh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan—tidak ingin jatuh ke dalam bujukan manis saudara perempuannya. Tetapi akhirnya, ia menghela napas, mengakui hatinya yang telah takluk oleh keinginan Chloe.

"Chloe, kumohon. Berhati-hatilah." Ia meremas lengan saudarinya, hatinya skeptis namun ia tetap tak memberi celah pada kesangsiannya terunjuk pada ekspresinya.

Jack menyukai Vera, tapi ia menyukai Chloe, (ter)lebih—

—mudah untuk melumpuhkan ia yang tak memiliki asumsi apapun, dibanding ia yang telah bersiap untuk lari dengan perlawanan.

Chloe meraih punggung tangan Vera. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Vera." Matanya berbinar dengan penuh kenaifan yang Jack sukai; Vera telah mengasah pisau untuk melawan—lebih untuk melindungi—Chloe yang tak sedikitpun memiliki ruang untuk keragu-raguan. "Aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku... yakin, Jack bukanlah seperti apa yang kau pikirkan."

Oh—wanita ini. Kalau saja kenaifannya bisa membunuh...

(Vera tak menelan perkataan Chloe bulat-bulat, tapi) saudarinya tersenyum, optimis (skeptis), dan berkata (mencibir): "Aku bersamamu, Chloe; setiap keinginanmu. Jangan lupakan itu."

Keduanya tersenyum pada satu sama lain, dengan arti yang tak sepenuhnya dapat Jack terjemahkan.

.


.

[to be continued.]


[1]: selagi hidup masih mampu menggirangkan hatiku, dalam ingatanku aku akan tetap menyimpan kembang ungu lembayung yang kupetik dari makam ibuku: terjemahan dari lagu "a violet from my mother's grave", lagu yang (menurut kesaksian tetangganya) dinyanyiin sama mary jane kelly (korban terakhir jack the ripper ("canonical five")) di hari kematiannya. [2] (casebook.)

[2]: terjemahannya ga 100% akurat, gue lebih berusaha biar kalimatnya mengalir dan puitis sorry uwu


note: gw pen nulis aeseli tapi karena labil gw dah jadi terlanjur suka ripper x uwu chungas (idk gw mungkin nulis ripper x uwu bois trus eli jadi anak yang dititip ke mereka IDK) yaallah gue hype bgt ama skin bishonen oreo bois tapi gue gbs make mereka rip

mungkin lanjut, mungkin nggak; awalnya gue pen nulis gaslighting ripper x chloe/vera tapi entah kenapa jadi keburu males grgr satu kali lupa kesave (it was already 5k and half-finished, my dumbass forgot to save it, and i lost it) ;-;

referensi dari kasus jack the ripper ada disana-sini di fic ini ;) crossposted di ao3 karena di ffn gaada fandomnya hiks QuQ

—Jakarta, 08:03 PM, 4 Mei 2019.