My perfect Enemy
By AishaMath
::Hope::
.
.
Genre : Drama & Sci-fi
Rate : K+
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning: Gaje, abal, typo(s), don't like? don't read! Flame? Boleh kok, asalkan yang membangun.
.
.
.
Sore itu sejuk sekali. Angin menarik satu per satu daun-daun berkaroten yang berpegangan pada tangkainya. Sehingga kelihatan seperti musim gugur di luar negeri. Sakura keluar dari kelasnya dengan muka masam. Pelajaran Matematika sore itu sangat tidak menyenangkan. Sebagai anggota olimpiade matematika, kejadian tadi benar-benar membuatnya malu.
"Umm… jawabanmu tidak salah, Sakura. Hanya saja kurang matematis. Sedangkan jawaban yang ditulis Sasuke, jauh lebih matematis daripada milikmu. Tidak apa, belajar lagi ya?" kata guru Kurenai saat mengomentari jawaban Sakura di papan tulis.
Sakura hanya tersenyum kecut. Hatinya bergemuruh hebat. Ia melirik ke arah Sasuke. Yang dilirik hanya stay cool seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Pujian itu hanya seperti angin berlalu baginya. Sakura semakin geram. Ia kembali ke tempat duduknya dengan wajah menahan malu. Apa kata orang kalau anggota olimpiade matematika tidak mampu menjawab soal matematika? Dan di sekolah favorit seperti ini, Konohagakure High School.
"Kamu kenapa, Sakura?" tanya Ino melihat wajah Sakura cemberut.
"Aku kesal! Kenapa aku selalu dibandingkan dengan Sasuke? Aku tahu kalau aku itu bodoh. Tapi apakah orang bodoh akan selalu dipermalukan?" emosi Sakura.
"Sakura, baru begitu saja kamu sudah marah," kata Ino dingin.
Sakura terdiam. Diliriknya Ino yang sekarang serius. "Ta-tapi… tidak hanya di kelas. Saat pelatihan olimpiade pun aku sering merasa malu. Dia selalu bisa, sedangkan diriku mengerti soal saja tidak?" Sakura setengah berteriak. Jantungnya bergemuruh.
Mendengar perkataan Sakura, Ino menghentikan langkahnya. Sakura pun ikut berhenti. Suasana menjadi tegang. "Kamu pikir hanya kamu saja yang merasa seperti itu? Aku juga sangat kesal pada Shikamaru. Saat pelatihan dia hanya tidur-tiduran dalam kelas. Tapi kenapa dia selalu bisa, kenapa aku yang mati-matian belajar justru tidak?" Ino menahan emosinya. Sakura terhenyak.
"I-Ino… maafkan aku." Sakura mengelus pundak Ino.
"...Sakura, pilihan kita hanya ada dua: bekerja keras atau menyerah. Kalau kita bersungguh-sungguh, kita pasti bisa." emosi Ino mereda.
"Kau benar. Arigatou, Ino." kemudian sama-sama tersenyum.
.
.
.
Sakura melirik jam dinding kamarnya. Pukul delapan malam. Seharusnya ia segera menuju ke ruang makan sekarang. Namun, tubuhnya sulit sekali beranjak karena ia telah tenggelam dalam samudera matematikanya. "Makan malamnya nanti sajalah. Eh, tapi kalau makan larut malam 'kan bisa bikin tubuh gendut! Ck!" pekik Sakura dalam hati. Mau tidak mau akhirnya ia beranjak dengan malas menuju ruang makan.
"Sakura, belajarnya sudah selesai?" tanya ibu Sakura lembut.
"Belum Bu, tapi Sakura harus makan. Kalau makannya larut malam, nanti tubuh Sakura bisa gendut," jawab Sakura lesu.
"Hahaha, kamu ini ternyata sudah besar ya." goda ibunya.
"Ibu ini bagaimana sih, Sakura kan memang harus makan agar konsentrasi belajarnya tidak terganggu. Apalagi kalau belajar olimpiade," timpal Haruno, ayah Sakura. Matanya tetap fokus pada buku kedokteran yang sedang dibacanya.
"Ayah, biasa saja kok. Jangan terlalu khawatir, " Sakura memulai makannya.
"Sakura, kamu tahu tidak? Dulu ayahmu juga merupakan anggota olimpiade di sekolahnya. Olimpiade Fisika." ujar ibunya. Sedangkan ayahnya hanya tersenyum.
"Ha? Benarkah?" tanya Sakura tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang dokter seperti ayahnya, dulu justru mahir Fisika.
"Iya. Tapi saat ikut lomba OSN, Ayah tidak menang. Kamu harus bisa menang ya, Sakura." Haruno tersenyum pada putrinya.
Sakura terdiam. "Semoga saja, Ayah..." jawabnya lesu.
"Lho, kamu kok tiba-tiba tidak semangat?" Haruno mengalihkan perhatiannya pada putrinya.
"Ano, kalau Sakura tidak menang bagaimana?" tanya putrinya polos.
"Sakura, Ayah dan Ibu tidak memaksakan kamu harus menang kok. Yang penting kamu harus berusaha semaksimal mungkin," kini ibu Sakura yang angkat bicara. Sakura mengangguk tersenyum. Kemudian melanjutkan kembali makannya.
"Ayah, kalau Sakura boleh tahu tips mahir olimpiade itu bagaimana?" tanya Sakura.
Haruno mengubah sedikit posisi duduknya. "Dengan ketekunan, kesabaran, dan kreatifitas. Kalau kamu sudah melakukan tiga hal ini, yakinlah kamu akan menang." katanya kemudian. Ekspresi wajahnya berusaha meyakinkan putrinya.
Sakura mengerjapkan matanya berkali-kali. "Jadi... hanya seperti itu ya?" kemudian tersenyum.
"Ayah, Sakura berjanji akan berusaha keras!" teriaknya semangat.
.
.
.
"Sakuraaa~! Sakura, cepat ke mari!" teriak Ino.
Sakura yang sedang berjalan menuju kelasnya pun mengurungkan niatnya dan segera berlari mendekati Ino.
"Ada apa, Ino?" tanyanya penasaran.
"Pengumuman lomba olimpiade dua minggu lalu di Ganesha Operation sudah keluar. Tuh, lihat!" kata Ino bersemangat.
Jantung Sakura berdebar. Ia putuskan untuk melihat pengumuman lomba kimia lebih dulu. Untuk lomba olimpiade kimia, peringkat satu diraih oleh Shikamaru Nara. Peringkat kedua diraih oleh… mata Sakura membulat. Ia melihat sekali lagi nama itu dan mengejanya satu per satu, "I-no-ya-ma-na-ka," spontan Sakura melompat memeluk Ino.
"Ino, kamu berhasil! Selamat Ino! Kerja kerasmu tidak sia-sia!" teriak Sakura.
"Benar 'kan... semuanya butuh kerja keras dan juga perjuangan!" Ino tersenyum lebar.
"La-lalu, bagaimana denganku, ya?" jantung Sakura kembali berdebar-debar.
Ia melihat papan pengumuman lomba olimpiade matematika. Peringkat pertama diraih oleh… tentu saja Sasuke Uchiha. Peringkat kedua berasal dari sekolah lain, begitu juga dengan peringkat tiga, empat sampai seterusnya. Kaki Sakura gemetar. Sampai pada akhirnya ia menemukan namanya. "Sakura Haruno, peringkat 19…" suara Sakura melemah. Matanya berkaca-kaca tidak percaya. Ia bahkan tidak masuk sepuluh besar. Ino langsung memeluknya memberi semangat.
"Sakura, jangan bersedih. Ayo berjuang lagi, kamu pasti bisa. Jangan menyerah. Semangat!" tangannya mengelus-elus punggung Sakura.
"Aku... tidak boleh menangis! Ino, aku akan belajar lebih giat lagi!" ujar Sakura berusaha tersenyum.
Dan beberapa saat kemudian mereka pun harus berpisah karena kelas mereka berbeda. Sakura duduk di kelas XI IA II sedangkan Ino di XI IA III. Keduanya melambaikan tangan dan masuk ke kelas masing-masing.
"Sakura, bangkit dan jangan mau kalah!" batin Sakura sebelum kemudian memasuki kelasnya.
.
.
Pelajaran hari ini cukup membosankan bagi murid-murid yang malas. Untunglah waktu pulang segera tiba. Siswa maupun siswi berlomba-lomba menuju pintu kelas mereka. Sakura mengeluarkan handphonenya dan mengirim sms pada Ino.
'Ino, kamu pulang duluan saja, ya. Tidak usah menunggu, ada hal penting yang harus kukerjakan.'
Tidak lama kemudian, muncul balasan dari Ino. 'Okay' katanya. Sakura tersenyum.
Di depan perpustakaan, Sakura menunggu orang itu lewat. Dan yang ditunggu memang datang. Hati Sakura berdebar tak karuan. Hampir saja ia mengurungkan niatnya. Diperhatikannya orang itu dengan baik. Sedang mengobrol di ponselnya. Dugaan Sakura, lawan bicara orang itu sepertinya Hinata. Mereka memang begitu dekat. Begitulah yang ia dengar dari teman-temannya. Tapi apa pun itu, ia tidak peduli. Tujuannya ingin bertemu dengan orang itu adalah karena ia ingin orang itu menjadi pembimbing olimpiadenya.
"Duh, Bagaimana kalau dia tidak mau?" Sakura berjongkok di depan perpustakaan dengan jari yang ia mainkan di atas lantai penuh debu. Dan tanpa ia sadari lagi, orang yang ia tunggu justru sedang menatapnya heran.
"Sakura," gumam orang itu.
Sakura menoleh. Melihat siapa yang datang, buru-buru ia bangkit.
"Eh, Sasuke..." Sakura sedikit salah tingkah. Ia tidak tahu mau mulai pembicaraan dari mana.
"Kenapa kamu disini?" tanya Sasuke to the point.
"E... begini, aku… mau minta tolong padamu, Sasuke." ujar Sakura ragu-ragu.
"Hn, apa itu?"
"Kamu mau tidak menjadi pembimbing olimpiadeku? Banyak hal yang belum aku mengerti. Yah… hitung-hitung untuk kebaikan sekolah kita juga 'kan? Hehe, tapi kalau kamu tidak bisa, juga tidak apa-apa." ujar Sakura. Ia tahu ini garing.
"Ya, boleh." singkat, padat, dan jelas.
Mata Sakura membulat. "Be-benarkah? Kau serius, Sasuke?"
"Hn,"
"Terima kasih, Sasuke! Semua hal yang aku tidak mengerti akan aku tanya 'kan padamu, ya?" tanya Sakura riang. Sasuke mengangguk. "Hn, santai saja." kemudian tersenyum dan segera berlalu.
Sakura menatap punggung Sasuke. Senyumnya benar-benar sumringah.
"Dia... tidak seburuk yang aku kira. Semoga perbuatan baikmu terbalas, Sasuke."
.
.
To be continued
Yah... beginilah fic abal-abal ini. Mohon komentarnya ya, Minna-san. ^^
