Hiroshima, 8 Juli 20XX
Takuya Kanbara menenggak sekaleng pocari sweat hanya dengan sekali teguk. Terik matahari di kota metropolitan Jepang ini memang sedang panas-panasnya. Ia yang sedang duduk lemas di sebuah bangku taman tidak tahan untuk tidak mengeluh tentang panas dan teriknya cuaca saat ini.
"Sinting!" teriaknya kesal.
Sebenarnya, apabila ia memutar topi snapbacknya ke depan, ia mungkin dapat merasa lebih nyaman di cuaca panas saat ini, namun sepertinya ia bahkan sudah tidak tahu fungsi topi selain menjadi tempat sandaran gogglenya yang ia pakai sejak SD dulu. Saat dimana ia bersama Kouji, Junpei, Izumi, Tomoki, dan Kouichi berperang melawan Cherubimon dan Lucemon. Saat dimana ia merasakan arti persahabatan yang tak pernah lagi ia rasakan.
-xx-
"Hee, kau akan ke Hiroshima liburan musim panas ini?"
"Um, uhang hashil kerja shambhilanku shudah keluar bu,
"Habiskan dulu nasimu, baru bicara."
"Khan ibu yhang ajhak aku bhicara."
"Ya sudah, habiskan dulu!" seru Nyonya Kanbara yang akhirnya naik pitam.
"Yha yha.." jawab Takuya sambil terus mengunyah makanannya.
"Tapi kau ini anak yang aneh," lanjut Nyonya Kanbara sambil menghela napas. Ia melihat ke putranya yang telah berusia 15 tahun dengan heran.
"Sampai saat ini kau tidak pernah seperti ini. Setiap liburan musim panas pasti kau pergi untuk kejuaraan nasional sepakbola SMP." Kenang sang ibu, masih dengan wajah yang keheranan.
"Tapi kali ini di tahun terakhirmu di SMP, kau menolak ikut dan malah kerja sambilan dan mengumpulkan uang untuk liburan?"
Takuya berhenti mengunyah sejenak.
"Ghanti suasana sajha bhu," ujarnya sambil melanjutkan mengunyah.
"Hoo begitu? Benar?"
"Yhaa bhegituu, thentu sajha bhenaar."
Raut wajah Nyonya Kanbara berubah.
"Sudah ibu bilang, habiskan makananmu dulu baru bicara!"
"Tapi khan ibu yhang dari tadi mhengajak akhu bicara, adhuuh jhangan jhewer akhu bhuuu!"
-xx-
Takuya berjalan menyusuri kota Hiroshima tanpa tujuan dengan ranselnya dan kini ditambah es krim yang menggantung di mulutnya. Panas yang terik membuatnya ingin bersantai di sebuah restoran untuk minum segelas teh dingin atau di dalam bioskop untuk sekedar tertidur di ruangan ber-ac selama dua jam.
"Bioskop!" ujarnya sambil menjentikkan jarinya ketika 'AHA!' moment itu merasuki otaknya.
"Setidaknya aku bisa tidur sampai sore dan bisa mencari sesuatu untuk dilakukan saat cuacanya lebih nyaman." Ujarnya dengan senang. Ia bergegas menuju jalan-jalan utama kota Hiroshima untuk mencari kendaraan umum atau tumpangan.
Tidak butuh waktu lama, dengan sifatnya yang memang tak tahu malu dan kemampuan komunikasnya yang bisa dibilang lumayan, ia mendapatkan tumpangan dari pengendara motor yang lewat untuk mengantarnya ke bioskop terdekat.
Angin menerpa rambutnya yang sedikit lebih panjang dibanding saat SD dulu. Melewati jalan-jalan di Hiroshima yang berbeda dengan daerahnya, sedikit romansa merasuki pikiran Takuya.
"Aku berada di tempat asing, seperti dulu," pikirnya.
Pikirannya kembali ke saat dimana mereka, para D-Warriors menjelajahi Dunia Digital dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk dunia yang bahkan bukan dunia mereka, juga bersama Bokomon dan Neemon hingga akhirnya mereka mengalahkan Lucemon dan berhasil mengembalikan dunia itu seperti semula.
Setelah itu semua berakhir, para Digimon Spirit pergi meinggalkan mereka. Paling tidak, itulah yang mereka tahu.
-xx-
Takuya turun tepat di depan gedung bioskop. Ia terdiam. Semua poster film yang dipampangkan di depan gedung bioskop untuk hari ini bertema cinta dan drama shoujo. Pikirannya jadi bercampur aduk.
"Gawat. Film-film macam apa ini? Bagaimana bisa tidak ada film yang lebih laki-laki sedikit? Apa pembuat film semuanya perempuan sekarang?" protesnya kesal.
Kesal dan tanpa pilihan yang lebih baik, Takuya memilih film "My Idol Loves Me" yang bercerita tentang seorang anggota boyband yang mencintai seorang penggemarnya. Setidaknya itu gambaran yang ia dapat setelah melihat poster dan judul film itu.
"Pasti film kelas B seperti ini sedikit yang menonton. Huhu, aku bisa tidur tenang."
Takuya kembali dengan muka tebalnya pergi ke kasir untuk membeli satu tiket film "My Idol Loves Me". Ia mendapatkan satu tiket dengan bonus satu set ekspresi wajah bingung-campur-geli dari penjaga loket tiket dan penjaga pintu teater bioskop.
Namun sepertinya nasib buruk kembali menghampirinya. Tempat duduk yang ia pikir kosong, penuh.
Takuya menatap hampa teater yang ia masuki itu, yang dibalas dengan tatapan bingung para wanita di bangku penonton yang melihatnya masuk. Tatapan yang ia translasikan sebagai "Sedang-apa-monyet-itu-di-sini?"
-xx-
"Monyet" itu akhirnya mendapatkan satu keberuntungan. Ia sumringah karena melihat di antara bangku-bangku yang telah penuh, bangku di sampingnya kosong, ia dapat menggunakannya sebagai tempat tambahan untuk tidur dan itulah yang ia lakukan. Ia mengangkat sandaran lengan di bangku itu dan ia pun dengan segera, terlelap.
"Akhirnya," gumamnya senang. Ia menemukan tempat yang nyaman untuk tidur, tempat yang gelap dan dingin untuk tertidur dan menunggu sore.
Namun kesenangannya tidak bertahan lama. Beberapa saat setelah film dimulai, Takuya dibangunkan oleh suara seseorang.
"Permisi, halo, ini tempatku, tolong bangun," bisik orang itu dengan suara pelan karena takut mengganggu penonton yang lain.
Takuya mendongak. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat sosok seorang wanita seumurannya. Sosok itu berambut pirang, lumayan tinggi, dan yang paling menarik perhatian Takuya adalah karena sekelebat ia melihat wajahnya walau samar, wajah yag sangat cantik.
Takuya terperanjat. Ia langsung terbangun dan salah tingkah. Dengan mulut terbata-bata ia pun akhirnya dapat berbicara.
"Ma-maaf! Silakan!" serunya keras, yang tentu memancing tatapan sinis dan geraman dari penonton lain.
"Terima kasih."
Takuya sudah tidak bisa tidur. Pikirannya terus tertuju pada wanita yang duduk di sebelahnya. Teriakan manja para penonton yang membahana di setiap sudut teater sepanjang film pun tidak masuk ke pikirannya. Ia ingin sekali melihat wanita di sebelahnya, namun ia tahu ia tidak bisa mencuri pandang di kegelapan teater bioskop ini.
Tiga puluh menit, tanpa suara di kepala anak muda itu. Satu jam, hingga akhirnya film pun selesai. Lampu pun dinyalakan. Sampai saat ini pun, Takuya masih bimbang.
"Ayo, bodoh! Di kota sebesar ini, kau tidak akan melihatnya lagi kalau kau bimbang terus! Jangan sia-siakan kesempatan besar yang ada di depan matamu! Kalau perlu, sekalian saja kenalan. Gerakkan kepalamu, gerakkan mulutmu, ayo!"
"Umm, halo?"
"I….i… Iya! Iya! Ada apa!?" jawab Takuya kaget. Sebelum ia sempat memantapkan hatinya, ia justru malah didahului oleh wanita itu. Sang Monyet pun menoleh, sebelum akhirnya matanya terbelalak.
"Kau Takuya kan? Takuya Kanbara?"
Takuya akhirnya mampu menggerakkan bibirnya. Seolah tidak percaya, ia setengah berteriak.
"Izumi!?"
-xx-
"Hahahahahaha!" Izumi tertawa kencang. "Ya ampun, apa yang terjadi denganmu? Sekarang tontonanmu film yang seperti tadi?" ujarnya yang mengagetkan satu lobby teater setelah akhirnya bisa menenangkan perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Berisik, ceritanya panjang," jawab Takuya merengut.
Melihat wajah Takuya yang kesal, Izumi kembali ingin tertawa, namun ia mengurungkan niatnya.
"Jadi, kapan kau pindah ke Hiroshima?" Tanya Izumi.
"Sok tahu! aku hanya liburan," Jawab Takuya ketus.
"Ih, ketus sekali, memangnya kau tidak kangen padaku, teman lamamu?"
Takuya terperanjat. Kata-kata Izumi yang masuk ke telinganya hanyalah bagian "Memangnya kau tidak kangen padaku?"
"Ti..tidak, biasa saja," ujar Goggle boy generasi keempat itu terbata-bata.
"Jahat! padahal aku kangen kalian."
"Iya, iya, aku juga kangen kamu."
"He?"
"Da..da..da..dan Kouji, Tomoki, Kouichi juga," lanjut Takuya salah tingkah. terbata-bata dengan wajah yang memerah.
"Kenapa Junpei tidak kau sebut?"
"Oh, ternyata Junpei itu seniorku di sekolah," kata Takuya datar.
"Hah? Betulkah?" Tanya gadis pirang itu kaget. Izumi pun langsung duduk di samping Takuya. "Ceritakan dong! Bagaimana kalian setalah kita semua berpisah!"
Takuya pun mulai bercerita panjang lebar bagaimana rasanya bersekolah bersama Junpei di Kanagawa, tim sepak bolanya, dan juga lingkungan sekitar yang membuatnya betah.
"Haha serius? jadi Junpei terjatuh dan kehabisan nafas dari kursinya setelah menyelesaikan tantangan makan ramen pedas super besar?" Tanya Izumi sambil tertawa.
"Dari cerita-ceritaku tadi kenapa yang kau ingat malah yang itu? Hahaha,"
"Habis, itu lucu!"
"Bagus kalau lucu. Nah, sekarang giliranmu ceritakan bagaimana kehidupanmu disini, Izumi,"
Izumi terdiam, Takuya bingung.
"Emm.. nanti saja, kau di Hiroshima sampai kapan?" Tanya Izumi mengalihkan pembicaraan.
Takuya menaikkan alisnya. Namun ia pun sudah lebih berkembang menjadi orang yang lebih perasa, ia tahu Izumi mencoba menghindari topik itu dan ia mengerti.
"Sampai senin depan, kenapa?"
"Oooh, cukup lama ya. Tidak apa-apa."
Izumi melihat jam imutnya yang berwarna pink. Sama seperti baju yang ia kenakan hari ini.
"Sudah jam segini, aku pulang dulu ya,"
"Oh iya, aku juga mau lanjut jalan-jalan kalau begitu,"
"Hoo, Kau sudah ada rencana kemana saja?
"Hmm? Tidak tahu."
Alis kanan Izumi naik.
"Tidak tahu? Tunggu sebentar, kau menginap di hotel mana?"
"Eeeh!? Izumi, kita terlalu cepat untuk melakukan itu!"
Sebuah pukulan mendarat tepat di pipi kiri laki-laki puber itu.
"Bukan itu, bodoh! Hidung belang! Jawab saja!" teriaknya yang membuat mereka bedua kembali menjadi pusat perhatian di lobby bioskop.
"Aduuh, Belum tahu, aku belum check-in kemana-mana," jawab Takuya dengan raut muka kesakitan sambil mengelus pipinya yang merah.
Izumi hanya melihatnya dengan tatapan yang dapat di translasikan oleh Takuya sebagai "Monyet-ini-serius?"
Dan memang itulah yang ada di pikiran gadis puber itu.
"Baiklah, sudah kuputuskan, aku akan menjadi guidemu selama kau di Hiroshima!" ujar Izumi tiba-tba.
Takuya kembali bingung.
"Sebentar, nona. Aku tidak pernah minta tour guide, apalagi memintamu memikirkannya. Dan lagi, mengapa cepat sekali kau memutuskannya!?"
"Ya sudah, tidak apa-apa kan, aku sedang liburan musim panas tanpa kegiatan, dan kau pun buta Hiroshima. Setidaknya, aku bisa belajar jadi tour guide, kan. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui," kata Izumi yang kemudian memancarkan senyum manis.
"Intinya, aku kelinci percobaanmu?"
"Lebih ke monyet percobaan sih," Pikir Izumi dalam hati yang terlihat dari ekspresi wajahnya.
"Aku tidak suka cara dia menatapku," Pikir Takuya dalam hati yang juga terlihat dari ekspresi wajahnya.
"Pokoknya begitu ya, sudah diputuskan, hehe."
"Aaah, terserahlah," jawab Takuya lelah.
"Nah, sekarang kita cari dulu hotel untukmu tidur."
"Bersama kamu?
Sebuah pukulan kembali mendarat di pipi kanan si monyet.
"Maksudku mencari hotelnya bersama kamu! Kenapa kamu tambah brutal saja sih, sekarang!?" ujarnya kembali mengusap pipi kanannya yang memerah.
"Takuya bodooh!"
-xx-
Takuya dan Izumi berjalan bersama di jalan ramai kota Hiroshima. Banyak hotel kapsul bertebaran di jalan yang penuh gedung besar seperti Tokyo. Gedung besar yang terlihat indah karena berbiaskan langit yang mulai kemerahan. Orang-orang seakan ditelan oleh cahaya matahari yang mulai terbenam bersamaan dengan suhu udara yang mulai menghangat.
Takuya berjalan sambil menyibukkan diri dengan menjuggling bola sepak yang ia bawa dari rumah. Izumi yang berjalan disampingnya tidak peduli dan terus menengok kanan dan kiri untuk mencari hotel yang cukup bagus untuk ditinggali si pengembara tanpa arah.
Beberapa lama berjalan berdua, Izumi baru tersadar bahwa laki-laki di sampingnya, yang beberapa tahun lalu adalah seorang anak laki-laki pendek kini sudah lebih tinggi darinya.
"Cowok itu pertumbuhannya memang lambat ya?" ucap Izumi pelan.
"Hmm? Kau bilang apa?"
"Tidak.."
"Ah, jujur.."
"Tidak ada apa-apa!"
"Kenapa kamu marah-marah terus sih!?"
"Kan sudah kubilang tidak ada apa-apa ya tidak ada apa-apa!"
"Huh, terserah!"
"Huh!"
Izumi dan Takuya sama-sama memalingkan wajah.
Walaupun keduanya sama-sama ingin bicara lebih banyak, namun nyatanya mereka tidak bisa berbicara banyak karena pertengkaran yang daritadi mereka lakukan. Masing-masing sama-sama menunggu siapa yang akan meminta maaf duluan, sampai akhirnya si rambut coklat memutuskan untuk man up.
"Maaf," Ujar Takuya sambil tetap memalingkan wajah.
Gadis pirang itu menoleh, ia kaget. Takuya yang ia kenal dulu akan sangat sulit untuk meminta maaf lebih dulu daripada orang-orang lain yang ia kenal.
"Iya, aku juga minta maaf," Jawab Izumi senang, menyadari Takuya yang sudah lebih dewasa.
Takuya menoleh, ia melihat Izumi tersenyum manis. Degup jantungnya tiba-tiba meningkat. Wajahnya memerah.
"Jadi, bagaimana? Sudah menemukan hotel yang cukup bagus?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Belum, Daritadi semua kebanyakan hotel kapsul atau hotel-hotel yang terlampau mahal."
Izumi kembali menengok kanan-kiri untuk mencari hotel yang cukup bagus, ketika akhirnya pandangannya tertuju pada satu guest house yang terlihat cukup bagus dan bersih.
"Ini saja, bagaimana?" Tanya Izumi sambil menunjuk ke guest house yang ia pilihkan.
"Guest House Kakiyama III.." Takuya membaca tulisan yang terpampang di guest house itu. "Kau tahu, Izumi…"
"Apa?"
"Kakiyama I dan Kakiyama II sudah kita lewati dari tadi selama berjalan, dan ketiganya sama saja kelihatannya!"
"Ah, masa?"
"Iya, kau memikirkan apa sih dari tadi!?"
"Memikirkan…. Bagaimana membuka obrolan lagi denganmu."
"Eh?"
"Ah, sudahlah," tutup Izumi sambil menggelengkan kepalanya. "Pokoknya, siap-siap. Istirahat yang cukup, besok aku aku akan datang menjemput jam 7 pagi!"
"Kenapa pagi sekali!?"
"Sudah, ikuti saja pemandu super Orimoto Izumi ini, ya!"
"Kau belum penah jadi pemandu kan.."
"Sudah, sudah. Ini alamat e-mail ku, e-mailkan nomor kamarmu ya."
"Iya, iya, tapi kenapa harus jam tu…."
"Ssst!"
"Ck…"
Mereka masuk ke hotel itu. Selama Izumi melakukan proses check-in, Takuya melamun melihat ruangan di sekitarnya. Sebuah guest house dengan gaya jepang yang cukup indah dengan ornament-ornamen kayu dan bambu, serta penerangan yang cukup.
Selagi ia duduk melamun di sofa, Izumi sudah selesai melakukan proses check-in, ia memberikan kunci kamar kepada Takuya.
"Ini, kamar 10. Lantai dua ya."
"Oke, thanks Izumi,"
"Baiklah, aku pulang dulu,"
"Oke,"
"…"
"….."
"Hei."
"Kenapa? Kau bilang mau pulang?"
Izumi merengut.
"Ya sudah! Aku pulang!"
Takuya bingung, ia melihat gadis pirang itu pergi dengan kesal. Ia mulai menerka-nerka apa yang salah dengannya, ketika tiba-tiba ia teringat perkataan Junpei.
"Dengar, Takuya. Kalau kau ditolong oleh seseorang di tempat yang tidak kau kenal, maka kau harus…."
"Ah!"
Takuya sedikit berteriak. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kemudian berlari dan mengejar Izumi keluar. Tidak lama, ia melihat sang penolong sedang berjalan dengan lesu. Walau terengah-engah dan berada di tengah orang banyak, Takuya mencoba berteriak untuk memanggilnya.
"Izumiiii! Heeeeei!"
Izumi menoleh, ia melihat si Goggle boy berlari ke arahnya.
"Ah, akhirnya dia sadar seorang laki-laki tidak boleh membiarkan wanita pulang sendirian."
Pikirnya.
Dengan sedikit ngos-ngosan, Takuya akhirnya mengejar Izumi.
"Maaf, aku lupa," ujar si rambut coklat itu sambil berjongkok karena lelah.
"Hmm, ya tidak apa-apa,"
Izumi tersenyum, Takuya yang akhirnya berhenti ngos-ngosan pun berdiri dan ikut tersenyum lebar.
"Nah, ayo kita ke kamarku dan minum.."
Sebuah tendangan lutut mendarat ke perut Takuya.
