"The Way of Love"
Disclamer : Mashashi Kishimoto.
Genre : Entahlah ^_^.
Rated : T.
Caution : This first fic, mungkin banyak OOC dll dst dsb dkk.
[So enjoy Reading guys]
Semburat cahaya orange di ufuk barat masih tersisa. Angin sore yang lalu-lalang disekitar atap sekolah masih belum mengusik dua remaja yang kini terdiam itu. Sudah sekitar seperempat jam mereka terdiam dalam kebisuan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Nee… Sakura-chan…" Panggil Pemuda yang sedari tadi menatap anggunnya cahaya senja yang begitu indah dimatanya itu.
"Hn…" Gadis berambut pink itu tergagap sadar dari lamunannya.
"Apakah Kau masih menunggunya? Sampai-sampai menjawab panggilanku saja Kau menggunakan kata yang selalu diucapkannya…"
"Emmm itu…" Gadis itu kembali tergagap mendapat pertanyaan tiba-tiba dari pemuda di hadapannya.
Yah. Tidak biasanya Haruno Sakura merasa kaku di depan pemuda itu. Harusnya hanya di depan mata sehitam jelaga saja dia akan merasakan hawa intimidasi seperti ini, bukannya di depan mata shappire yang cerah ini. Namun, entah kenapa kali ini dia merasakan hal berbeda dari pemuda yang sejak tadi mendiamkannya itu.
Semenjak dua tahun yang lalu. Ketika sang pemilik Mata sehitam jelaga itu pergi. Memang hanya Sang Shappire yang selalu disisinya. Bahkan bias dikatakan pemuda itu telah menjadi pelengkap dalam hidupnya. Tidak ada hari tanpa riangnya pemuda itu, tiada hari tanpa celotehan aneh yang sering dibicarakan pemuda itu, tapi kini entah kenapa, mata bercahaya cerah itu seakan mengeluarkan hawa intimidasi yang nyaris membuatnya kaku.
Uzumaki Naruto. Itulah nama sang pemuda yang sedari tadi berdiri membelakangi Sakura. Berpegang pada pagar pembatas atap sekolah yang hanya sebatas pinggangnya dengan menatap indah sang senja. Biasanya jika berada di depan Sakura, sifat periangnya akan seketika muncul untuk menghapus duka diwajah cantik gadis itu. Yah, duka yang coba dia sembuhkan selama 2 tahun belakangan ini. Semenjak 'orang itu'' pergi.
"Naruto… Aku…"
"Kau tidak perlu mengatakannya, Sakura-chan…" potong Naruto sebelum Sakura menyelesaikan kata-katanya. "Aku tahu, tidak akan mudah bagimu melupakan orang yang sangat kau cintai. Bahkan, dengan hadirnya orang aneh sepertiku…"
Suasana kembali sunyi. Hanya suara angin yang berhembus yang menjadi back sound dari peristiwa itu. Perlahan, mata sebiru air laut itu mulai berkaca-kaca. Sang pemilik engan berbalik hanya untuk menatap mata gadis yang kini ada dibelakangnya. Dia tidak ingin sang gadis melihat luka yang dirasakannya. Yah, bagaimana tidak akan terluka jika mencintai seseorang selama 2 tahun, namun sang gadis hanya memberikan hatinya pada orang yang dulu ada dalam hidupnya.
"Sekarang pergilah. Kejar 'Dia'. Jangan hiraukan orang bodoh ini. Kau tidak perlu mempedulikan orang ini lagi. Kau tidak perlu lagi terbangun di hari minggu hanya untuk menemani orang bodoh ini di kedai ramen. Kau tidak perlu risau lagi akan diikuti orang bodoh ini dengan ocehan-ocehannya yang sama sekali tidak penting. Pergilah, Sakura-chan…"
Sakura hanya terdiam. Dia tidak pernah mengira sang pemuda uzumaki itu akan mengatakan hal itu padanya. Seperti yang lain tahu, pemuda itu. Dia adalah pemburu sakura bahkan sebelum 'orang itu' pergi. Tapi, kenapa sekarang dia menyuruh sakura untuk meninggalkannya? Apakah sang pemuda telah menemukan orang lain? Atau dia sudah jenuh pada ketidak pastian yang dia lalui untuk menunggu cinta gadis yang kini berada dibelakangnya?
Sakura hendak mengatakan sesuatu jika saja tak dilihatnya setetes air mata pemuda itu melayang terbawa hembusan angin. Mungkin Sakura akan merangkul pemuda itu dalam dekapnya bila saja Dia tidak melihat genggaman pemuda itu pada pagar atap sekolah tidak semakin kencang.
Semua itu sudah cukup untuk membuat Sakura mengerti. Membuatnya mengurungkan setiap kata dalam benaknya. Mengurungkan setiap gerak yang akan dilakukannya. Mebuat dia berpikir mungkin membiarkan pemuda itu seorang diri saat ini adalah yang terbaik.
Suasana kembali hening. Hanya suara langkah Sakura yang terdengar kian menjauh. Dalam diamnya, Naruto terus berontak pada isi hatinya. Yah, isi hatinya yang tak pernah ingin kehilangan gadis itu. Isi hatinya yang sangat menginginkan gadis it uterus bersamanya.
Tanpa disadarinya. Air mata beningnya mengalir. "Dari mana datangnya air mata ini…?!" dengus Naruto sembari mengusap air matanya. Namun itu tidak berlangsung lama ketika dirasakannya dada dan nafasnya mulai sesak. Jantungnya terasa tertikam sebilah golok berkarat. Membuatnya bertekuk lutut menahan sakitnya. Sakit yang entah dari mana asalnya. Sakit yang kian menggerogotinya. Air matanya tak lagi mampu ditahannya.
"Menangislah jika itu dapat mengurangi bebanmu. Tidak ada salahnya seorang laki-laki menangis. Menahannya hanya akan membuat dadamu sesak saja, Naruto…"
Sebuah suara teriakan menyadarkan Naruto. Masih dalam posisi meringkuk sambil menggenggam dadanya yang tersa sakit Naruto menoleh kearah datangnya suara itu. Nampak olehnya seorang pemuda dengan tanda segi tiga terbalik pada kedua pipinya, tengah bersandar pada pintu tangga menuju kedalam sekolah sambil tersenyum.
Pemuda itu berjalan menghampiri Naruto. Dia bantu Naruto yang meringkuk menahan sesak didadanya untuk berdiri.
"Sankyu, Kiba…"
Pemuda itu hanya tersenyum. Setelah melepas Naruto agar berdiri sendiri, Dia bersandar pada pagar atap sekolah. Mengedarkan pandangan matanya pada sebagian langit yang mulai berganti warna karena sang senja kian menenggelamkan dirinya.
"Nee… Naruto…"
"Iya…"
"Apa yang akan kau lakukan setelah kita lulus…?"
"Entahlah. Mugnkin pergi dari sini. Mencoba menjalani hidup yang baru. Atau mungkin mulai mencintai gadis lain. Agar aku tidak seperti ini lagi. Kau sendiri…?"
"Aku… Aku ingin menjadi Bodyguard seorang pengusaha dari Suna city. Sepertinya pekerjaan itu cukup menjanjikan…"
Naruto tersenyum tipis. Dalam benaknya dia juga berharap akan bisa pergi dari tempat ini. Agar dia tidak lagi mengingat hal yang bru saja di alaminya.
Dua pemuda itu terdiam. Mengamati langit yang mulai menambahkan rona senja pada dirinya. Mereka larut dalam kebisuan. Bermain dalam imaginasi masing-masing. Imaginasi pada hari esok yang masih menjadi misteri.
