Temari
Disc by Masashi Kishimoto
Org Story by Cristine MT
"Tuan pemalas,"
"…"
"Hei, cengeng!"
"Ck, kenapa kau suka sekali memanggilku begitu,"
"Karena memang kau cengeng, kan? Gagal sedikit, menyerah lalu menangis, lalu aku juga yang repot-repot datang membantumu!"
"Kalau begitu teruslah bersamaku,"
"Eh?"
"Agar kau tidak repot-repot datang membantuku dan agar aku tidak lagi menyerah lalu menangis."
"M-maksudmu apa, sih? Bodoh!"
"Kan? Lagi-lagi aku salah,"
For SHIKATEMA Lovers!
.
Mata hijaunya menatapku.
Iris yang, yeah, yang akhir-akhir masa mudaku ingin selalu kutatap. Tiap waktu.
Kini dia, tubuhnya, raganya ada bersamaku. Di depanku, di dekatku. Mata itu, mata yang kupuja dari pertama kali kita bertemu. Tatapan tajam dan senyuman nan angkuh ia sandingkan tiap kali berbicara pada lawannya. Bukan wanita lemah, tersirat maksud dari raut wajah yang ia tampilkan.
Aku menghela napas pelan, tak bisa kusembunyikan senyum bodohku sekarang, aku mengangkat sudut bibirku hingga membuat lengkungan kecil sambil masih menatap kedua mata itu. Mata yang berbeda sekarang. Tidak lagi menatapku dengan dingin, kini ia memandangiku dengan lembut, sangat teduh.
Sabar aku menunggu pemberkatan ini akhirnya selesai, aku mengucap banyak-banyak syukur. Aku menatap gadis cantik itu lebih dalam, menenangkan emosinya yang kini melonjak tinggi. Dapat kurasakan bahwa wanita ini sebentar lagi akan menitikan air matanya, tak akan kubiarkan.
Wajahku mendekatinya, menatap bibir manis itu dan ingin merasakannya sekali lagi, ia mendekatkan pula wajahnya padaku, tetapi aku mengarah pada telinganya, "Kau dengar itu?" ujarku. Hampir aku tertawa karena berhasil mengerjainya, pipinya memerah, ia pikir aku akan mengecupnya tadi. Ha, aku tak sanggup melihatnya salah-tingkah. Aku kembali pada matanya, mendekatkan wajahku dan kami saling mengecup.
Gadis yang surainya seindah pasir emas pada senja hari, melepas pagutan bibirnya padaku, lalu ia merundukan kepalanya, meletakannya di depan dadaku. Aku sudah paham betul bagaimana sifat Temari, ia sangat dewasa, tetapi di sisi lain ia sangat kekanakan.
Kuangkat wajahnya lalu kulihat ia menangis.
"Aku jatuh cinta lagi kepadamu," kata-kata itu yang terluncur bebas dari mulutnya, tanpa kepalsuan membuat jantungku berhenti berdegup beberapa kali. Kemudian aku tersenyum, "Tetapi cintaku selalu lebih besar," balasku, ia terkekeh, "tak peduli berapa kali kau jatuh cinta lagi padaku," rasa senang di dadaku melihatnya tertawa, disusul teman-teman kami yang menghadiri pernikahan kami. Apalagi Naruto yang paling bersemangat menyorakiku. Aku tak peduli, yang pasti sudah kuperhatikan sedari awal, bahwa Gaara dan Kankuro tidak main-main dengan ucapannya. Mereka benar-benar memercayakan Temari padaku dan memenuhi janji mereka –khususnya Gaara.
Senyum kembali terukir di wajahku.
Hei, kau pikir aku bercanda mengenai perasaanku? Sama-sekali tidak. Aku benar-benar mencintai Temari. Mungkin beberapa orang akan berpikir; Bagaimana mungkin aku bisa mencintainya? Tapi entahlah. Aku tidak memiliki satu pun alasan. Pun aku harus juga repot-repot menjabarkannya, mungkin kupikir ini cukup. Maksudku beberapa pertemuanku dengan Temari ini, menjelaskan bahwa aku benar mencintainya.
Pagi yang sendu untuk Konoha hari itu kurasa, tak kuasa menahan kantuk yang menyerangku mendadak, aku menguap lebar-lebar.
Setelahnya aku menyandarkan punggungku di gerbang Desa Konoha lalu memejamkan mataku, untuk tertidur seraya menunggu kedatangan seseorang dari Desa yang jauh. Entah kenapa Nona Tsunade menyuruhku untuk repot-repot bangun pagi untuk menyambut dia? Atau aku dengan tidak sadar meminta Nona Tsunade untuk repot-repot menungguinya? Entahlah.
Kemudian terlintas di benakku, keputusan para petinggi kelima Desa untuk menyelenggarakan ujian Chunin segera di Desa Suna. Itu terasa janggal bagiku. Alasannya? Aku masih belum tahu. Tapi menurutku seperti tidak ada yang beres di balik ini semua. Kupikir ujian Chunin hanya alasan untuk sesuatu.
Kusimpulkan dari waktu penyelenggaraan. Meski aku tidak ingin terlibat sama-sekali dengan urusan apapun, tetapi sedikit-banyak, tidak, semuanya aku harus tahu apa yang terjadi pada Dunia Shinobi pada Kelima Desa besar yang diakui. Harusnya, ujian ini diadakan setahun yang lalu, tetapi kenapa baru diadakan sekarang? Berketepatan dengan kelompok Ninja Pelarian bernama Akatsuki memulai beberapa teror. Mungkinkah ujian Chunin ini memancing Akatsuki untuk mendekat setelah kepulangan Naruto ke Konoha agar Akatsuki menangkap Naruto dan mengekstrak Kyuubi di dalamnya?
Kemudian perselisihan sengit dari para tetua Konoha dan melibatkan petinggi Suna dan Kazekage itu sendiri. Dan menghasilkan keputusan bahwa Ujian akan dilaksanakan di Desa Pasir.
Entah pikiran gila apa ini, tetapi aku menduga kalau target umpan Akatsuki adalah Kazekage yang notabane adalah Jinchuriki ekor satu-Shukaku.
Dan juga wajah wanita yang kala itu belum sempat kusapa, ia menyembunyikan mati-matian wajah cemasnya kala menghadiri rapat rahasia Kazekage dengan Hokage.
"Hei," sebelah mataku terbuka melihat seorang wanita kini berada di depanku. Ia adalah orang yang beberapa menit belakangan kutunggu kedatangannya.
Seperti biasa, ia selalu menampilkan wajah datarnya yang terkesan angkuh. "Selamat datang," balasku. Ia mengangguk lalu berjalan mendahuluiku. Aku di belakangnya, menatap punggung Temari lalu aku menghela napas. Dasar wanita, mereka sangat payah menyembunyikan emosi.
Aku menghentikan langkahku di persimpangan, sementara Temari tetap berjalan dengan sok tahunya. "Kau mau kemana," tegurku. Kemudian ia berbalik lalu merunduk, "Oh maaf," balasnya. Ia berjalan mendekatiku. Inginnya aku memarahinya –sangat jarang bagiku mendapat kesempatan untuk membuatnya merasa bersalah. Tapi kuurungkan niat bercandaku. Wanita itu meminta maaf tadi, sungguh kejadian langka.
Tidak ingin mengulanginya lagi, aku menyajarkan pundakku dengannya berjalan berdampingan agar Temari tidak seperti anak hilang lagi. Oh ayolah, aku membenci keributan tapi sangat tidak biasa melihat Temari merundukan kepalanya. Biasanya dia mengolokku sampai aku hampir berteriak.
Hei, Shikamaru kau perlu ingat. Kebiasaan itu sudah berlalu hampir tiga tahun lebih yang lalu, barangkali Temari sudah berubah. Yaya, aku ingat.
Perhentian kami di tempat penginapan terbaik di Konoha, aku membukakan pintu untuknya lalu menyuruhnya masuk. Aku menunggu di luar, menunggu ia memintaku masuk. Tapi, sial, nampaknya Temari benar-benar sedang tidak waras saat ini, ia hanya meletakkan barang bawaannya lalu pergi ke belakang tanpa menghidupkan lampu di ruangan ini.
Helaan napasku menghembus lagi, aku memasuki penginapan Temari dan menghidupkan listrik. Beberapa debu yang terlihat kusapu, lalu aku keluar hampir kututup pintunya kalau-kalau si merepotkan itu tidak memanggilku.
"Kau tidak memberiku minuman atau apa?" tanyanya, oke, aku baru saja ingin keluar dan membawakan sesuatu untuknya agar suasana hatinya membaik. Tapi tak perlu kukatakan kalau dia sedang di toilet, kan? "Bahkan kau tidak menanyakan kabarku atau setidaknya mengajakku mengobrol?"
Tunggu. Yang kutahu jika wanita sedang terdiam dan murung, jangan sekali-kali menegurnya. Biarkan wanita itu menghapus sendiri rasa sedihnya barulah oke, aku boleh menegurnya. Dan kau tahu siapa yang mengatakannya? Tepat, Temari. Aku membuka mulut untuk setidaknya membelaku, tapi racauan Temari bertubi-tubi menyerangku. "Oh, lebih baik aku sendiri dulu agar aku tenang." Ia mengakhiri, akhirnya.
Lagi, aku menghela napas. Aku yang salah, sweetheart, selalu aku yang salah.
Aku tidak perlu menunggu untuk diusir dan melihatnya menutup pintu dan mendendangku keluar, karena nyatanya dia tetap bergeming dan malah terduduk di dekat ranjangnya. Lihat? Wanita memang sedikit munafik. Yah, aku tidak berani berstatement bahwa wanita adalah makhluk munafik, aku menghindari konflik para wanita. Cukup aku selalu bertarung dengan wanita dulu, aku tidak mungkin beradu mulut dengan wanita-lagi.
Kembali aku memasuki ruangan itu, dan terduduk di sebelahnya dengan kedua tanganku sebagai penyangga.
Kisar dua menit kami teridam, lalu aku menangkap suara isakan dari makhluk di sebelahku. Aku menoleh. "Kau menangis?"
Ia menggeleng. Nah, sifat kekanakannya selalu kulihat. Tapi nyatanya, aku tidak jengkel melihat sifat moody gadis itu. Aku tahu persis, Temari hanya menujunkan sisi negatifnya hanya pada orang terdekatnya. Aku salah satu? Tak bisa kuhindari, karena Temari memang selalu ingin menempel padaku.
"Dasar cengeng,"
"Kau tidak mengerti, Shikamaru," ujarnya parau. Ia mengadahkan kepalanya meletakan irisnya di mataku, aku menaikan sebelah alisku, terasa sedikit menakutkan wajah Temari dengan penuh air mata itu. "Gaara…" aku memerhatikan Temari menyelidik, aku bersumpah serapah tidak ingin mendengar bahwa apa yang kupikirkan sesuai dengan kenyataan yang mungkin akan Temari ungkapkan setelah ini.
Kemudian dengan cepat ia memelukku, apa bisa dibilang 'memeluk' karena ia menerkamku dari samping tanpa persetujuanku? dan terisak tertahan. "H-hei," apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin kan aku mendorongnya seperti kebiasaan Temari menghajarku dalam situasi apapun?
Oke, aku hanya perlu melakukan apa yang Temari katakan padaku, diam sampai aku bisa menegurnya.
"…dia dalam bahaya, tapi apa yang dapat kulakukan? Ia merelakan dirinya menjadi umpan agar Akatsuki tidak melukai yang lain, tapi aku tahu persis kalau ia dapat terbunuh…tapi, tapi aku tidak dapat melakukan apapun, aku buntu, aku tidak dapat melindunginya!"
Sial, semua benar. Apa yang kupikirkan mengenai maksud dan tujuan ujian Chunin itu memang memiliki maksud demikian.
"Bahkan aku terlibat dalam rencana yang ia buat, membuat dirinya lebih dekat dengan kematian!"
Aku hanya bisa menatap sendu wanita itu. Meski aku sekarang tahu kebenarannya, apa beda aku dengan dirinya? Kami sama-sama tidak dapat mengubah apapun, apalagi yang membuat keputusan adalah Gaara. Sama halnya kau memaksa pohon besar untuk pindah dua senti. Jadi aku hanya dapat melihat gadis itu dalam diam. Gadis yang selalu saja cemas akan Adik-adiknya.
Gadis itulah, Temari. Wanita itu, wanita paling merepotkan, tidak seharusnya setelah Ibuku, wanita yang membuatku terpana dengan ketangguhannya. Temari tidak pernah ragu untuk menjalani apa yang ada di depannya.
Ketika berada pada satu arena pertarungan melawannya, baru pertama kali aku merasa takjub dengan lawanku. Mata itu, menatapku tajam, tanpa ampun mengintimidasiku dan menerjangku dengan kibasan angin tanpa berhenti.
Ia benar-benar membuatku menguras tenaga dan pikiran untuk membuat strategi agar aku setidaknya membuat dia terdiam.
Dan ketika di ujung batas kekuatan lebih tepatnya kesabaranku berhadapan dengan gadis tangguh di depanku, aku memutuskan untuk mengakhiri pertandingan dengan membuatnya berhenti seperti rencanaku dari awal. Kemudian rasa penasaranku terbayar sudah ketika aku berhasil memerhatikan Kunoichi Desa Pasir itu lebih dekat. Aku berhasil memerhatikannya dengan saksama. Kemudian aku menyerah karena tidak lagi sanggup berpikir untuk kabur lagi darinya.
Aku sadar betul, aku mengaguminya.
Lalu aku mendengar dari teman-temanku ketika Temari berusaha mengentikan Gaara yang menggila kala itu, tatapannya berbeda. Gadis itu tidak lagi memakai wajah angkuhnya, dengan seluruh kerendahan hati ia meminta agar Gaara berhenti.
Kemudian aku paham, ia adalah seorang Yatim dan Piatu dengan dua adik lelakinya dan si bungsu yang tidak bersahabat.
Tak dapat lagi aku merangkai kata-kataku untuk menjelaskan betapa kagumnya diriku yang payah pada Temari yang dengan sabar memberikan cinta kasihnya hingga Gaara dilantik menjadi seorang Kazekage. Meletakan seluruh kepercayaannya, waktu mudanya untuk kedua Adik dan Desanya dan seluruh tenaganya dan kesenangannya ia pertaruhkan untuk Sunagakure. Pengorbanan wanita itu sungguh luar biasa.
Kala Temari menolongku ketika misi pengejaran Sasuke, rasa kagumku semakin bertambah-tambah. Apalagi ia berempati ketika Ayahku memarahiku. Temari, dia penuh dengan kejutan.
Sekarang lagi, terulang. Di mana ia harus kembali mengorbankan perasaan, dirinya dan waktunya untuk Adiknya dan Desa. Aku tidak paham betul perasaannya saat ini, tetapi mungkin jika aku berada di posisinya saat ini, seorang wanita yang merepotkan, pasti aku akan kabur mencari ketenangan dan tidur selama yang kubisa. Heh, tapi tidak semudah itu. Lagi-lagi naluri menghendaki tiap Ninja harus bertanggung jawab dengan apa yang ada di depannya.
Tangan kananku, menyerah untuk merengkuh pundak Temari dan mendekapkannya lebih dekat. Berusaha sebisa mungkin ia membagikan perasaan cemasnya padaku agar berkurang sedikit, meski itu tak mungkin bisa. Ia semakin melesakan wajahnya lebih dalam, entah apa nyamannya begitu, aku tidak tahu tapi mau apalagi. Pasti ketika aku mengeluarkan satu kata, itu akan memperburuk suasana hatinya.
"Katakan sesuatu, Shikamaru…" pintanya. Mungkin setelah ini aku berani bercakap-cakap. "…kumohon," oke, tidak lagi mungkin, aku memang harus bercakap-cakap.
"Aku tidak suka kau memanggilku Cengeng, aku serius," kataku mulai bersuara, "tapi aku lebih tidak suka kalau kau yang jadi cengeng,"
Apa yang salah dengan ucapanku? Kini tangisnya terdengar lagi. Ayolah, aku benar-benar tidak pandai menyikapi wanita!
"Hei, hei aku tidak menyuruhmu menangis, itu menyebalkan," lanjutku. Bersyukurnya, suara gadis itu mereda, "Meski aku tahu kau kuat, tapi aku lebih tahu kalau Gaara adalah orang yang cakap dalam memutuskan sesuatu, Temari,"
Gadis itu mengendurkan pelukannya, mengadahkan kepalanya untuk menatapku dengan sisa-sisa isakannya, "Kau tidak perlu khawatir, itu tidak menyelesaikan masalah, kau hanya perlu mendukung dia, dan percaya bahwa Gaara adalah orang yang tepat untuk memberi pelajaran pada Akatsuki sialan itu,"
Matanya kini tidak lagi memproduksi air, kelihatannya ia sudah lebih tenang dengan napas yang stabil. Kemudian ia tersenyum, dan kembali memelukku. "Terima kasih, Shikamaru,"
"Hm, hm, iya, ngomong-ngomong bisa kita selesaikan ini? Tangan kiriku hampir patah menahan berat badanmu,"
Kemudian ia terkekeh. Senang mendengar kekehanmu, Nona.
Dan aku menyadari sesuatu, aku lebih dari mengagumi gadis itu. Aku memiliki perasaan rumit yang belum tersampaikan.
Kemudian banyak persoalan menimpa pribadi kami masing-masing, Gaara mati, tetapi kembali hidup. Kecemasan melandaku setengah mati memikirkan apa yang akan Temari lakukan, tapi setelahnya aku dapat menghela napas lega, ia cukup mendengarkanku. Ia hanya berdiam diri, mendukung Gaara dan percaya bahwa ia akan selamat meski kala itu rasanya tidak ada harapan. Tetapi takdirnya tidak bergitu, menurutku itu bagian dari ujian Temari mengenai seberapa sayang ia kepada Gaara dan seberapa banyak ia mendengarkanku. Aku bercanda.
Kemudian Ayahku gugur dalam medan perang, Temari satu-satunya temanku yang percaya bahwa aku akan menjadi Hokage yang hebat. Tidak meragukanku. Tapi sayangnya, aku sendiri yang meragukan diriku, aku tidak dapat mati ketika Perang Dunia Shinobi, karena Naruto tidak mungkin dapat berjalan sendiri kalau ia sudah menjadi Hokage. Aku harus menemaninya.
Lalu di akhir perang yang kami menangkan, aku bicara berdua dengan Gaara, menagih janjinya. Ia berkata padaku sebelumnya pada saat Perang Dunia Shinobi baru disiapkan, maka menangkanlah perang ini dan nikahi dia, katanya. Dan kala itu, ketika perang berkahir, aku dapat melihat Gaara memiliki rasa cemas sedikit. Ia lebih pandai menyembunyikannya dari Temari. Tapi bagiku, sangat mudah melihat orang beremosi. Mau apalagi, aku menghela napas dan mengakhirinya, 'Tidak sekarang, Tuan Gaara, tapi nanti, ketika alam sendiri yang menentukan, lagipula aku masih harus megurus satu bayi dulu,' kataku. Ia tersenyum, 'Terima kasih, Shikamaru. Kesabaranmu mengurus Mirai Sarutobi akan lebih meyakinkanku,' balasnya. Sedikit menyatukan alisku, heran kenapa dia bisa tahu kalau bayi yang kumaksud adalah Mirai? Sepertinya Gaara salah-satu mata-mataku. 'panggil aku Gaara, tak lama lagi aku akan menjadi Adikmu,' aku membalas senyumnya.
Dan selama beberapa tahun kami –aku dan Temari, berkomunikasi hanya melalui surat, lalu pindah ke surat elektronik saat Kakashi menerapkan komputer untuk orang-orang tertentu. Aku termasuk? Tidak, aku hanya terlibat.
Saat itu, aku ada misi, ketika umurku sembilan belas tahun. Misi bersama dua Anbu untuk mendatangi desa terpencil, menemui Sai dan mencari Ninja-ninja yang hilang lalu memberikan Kakashi informasi apa yang sebenarnya terjadi. Sangat gila tempat ini, aku hampir saja terjebak genjutsu kalau-kalau Temari tidak datang menolongku –lagi dan menghajarku agar segera sadar lalu yeah, benar, aku dimaki-maki –lagi.
Aku tidak pernah tahu dia akan datang bersama Shinobi Sunagakure membantuku dan menghenyahkan tempat terkutuk buatan Gengo ini. Ketika kutanya Kakashi dan Gaara, mereka serasi menjawab bahwa Gaara yang meminta Kakashi untuk mengerahkan pasukan Suna untuk menolongku. Siapa yang memaksa? Temari. Ia berisikeras menyusulku dan berkata sesuatu yang buruk akan terjadi padaku, ia mengancam akan kemari seorang diri kalau Gaara tidak mau mendengarkannya.
Rasa senang dan bahagia menyesaki dadaku. Tak perlu lagi aku merasa malu, aku sangat beruntung telah menjadi bagian dari prioritas Temari. Pada saat aku menjabat tangan Gaara, mengucap terima kasih karena bantuannya, ia menyinggung soal janjinya. Ia mengaku, bahwa hidupnya tidak tenang akhir-akhir ini, merasa menyembunyikan Temari dari hidupku. Berlebihan kupikir, tapi ia tidak pernah berbohong.
Kau tahu dia menyindirku pada saat apa? Pada saat kami akan berpisah dan tentu saja pasukannya ada di belakangnya dan Temari –memerhatikan kami. Tentu saja Gaara pengertian, ia mengatakan semuanya secara pelan-pelan dan harusnya tidak terdengar oleh siapa pun.
Aku mengangguk dan tersenyum. 'segera' kubilang. Lalu ia membalikan tubuhnya, memberi intruksi pasukannya untuk kembali ke Desa Pasir. Tentunya Temari mengikut dia.
Haruskah aku mendengar kata-kata Gaara? Dan bertindak layaknya Naruto yang memulai hubungannya dengan Hinata?
Ya, itu harus.
"Hei," tidak, tunggu. Maksudku aku hanya memanggil Temari, tetapi seluruh Shinobi Sunagakure bahkan Gaara menghentikan langkah mereka dan menoleh melihatku.
Untungnya, Gaara semakin peka terhadap situasi, ia memerintahkan semua orang untuk kembali dan meninggalkan aku –dengan Temari. Dan tidak mengganggu kami.
"Mau mengucap terima kasih?" tanyanya dengan senyum meremehkan yang ia pamerkan. Merepotkan. "aku sudah bosan mendengar ucapan terima kasihmu, Tuan pemalas."
Aku menghela napas, lalu berjalan mendekatinya. "Mau makan sesuatu?"
"Kencan? Tentu saja, aku ingin memakan seseorang yang selalu bergumam merepotkan tetapi orang harus kerepotan karenanya,"
Sombong sekali dia. Tapi itu yang kusuka darinya. "Terserah,"
Aku menunggu ia berjalan lebih dulu –seperti kebiasaan kami. Dan aku menyusul berjalan di sebelahnya.
"Shikamaru,"
Aku meliriknya. Menagih ucapan terima kasih, eh?
"Jangan lagi membuatku cemas, jangan tertutup padaku, katakan apa adanya,"
Senyum terukir di wajahku. Temari, penuh dengan kejutan. Sebelumnya ketika ada pembahasan mengenai hilangnya para Ninja, aku sempat mengobrol dengan Temari. Ia bertanya padaku apa yang sebenarnya direncanakan Kakashi dan diriku? Tapi aku tidak mau mengatakannya. Aku tidak ingin membuatnya cemas. Lagipula jiwaku terguncang saat itu, aku seperti seorang pengecut yang takut mati. Kemudian Temari dengan keras meninju wajahku lalu berkata 'Aku tak percaya bahwa aku salah menilaimu selama ini!' dan, aku menangis lagi. Konyol memang.
Tapi bentakan Temari melebihi terjangan badai apapun, kata-kata itu menusukku kala itu. Itu sebabnya aku menangis. Aku pikir aku tidak akan lagi dianggap baik oleh Temari, wajar saja aku berpikir seperti itu, karena pada dasarnya Temari tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Dan yang membuatku sangat bahagia, Temari tidak serius. Ia mendatangiku, dan menyelamatkanku seperti biasa.
Aku mengangguk merespon permintaannya. Permintaan yang tidak ada alasan lagi aku menyangkalnya. Seberapa kecil pun sesuatu kusembunyikan darinya, itu sia-sia. Temari adalah wanita andal dalam kepekaan. Ia tahu betul apa yang salah dalam sikap seseorang.
"Tuan pemalas, kau tidak berterima kasih padaku?"
Demi apapun, ia sangat senang membuatku jengkel. Dia sudah tahu apa yang tidak kusukai, tapi selalu ia lakukan. Ada baiknya aku tidak menanggapinya agar dia diam sebentar dan memberiku kesempatan untuk memikirkan sesuatu.
"Hei, cengeng!"
"Ck, kenapa kau suka sekali memanggilku begitu," bukan aku marah, aku hanya ingin diberi waktu sedikit saja untuk berpikir. Bukan malah mendengar celotehan Temari.
"Karena memang kau cengeng, kan? Gagal sedikit, menyerah lalu menangis, lalu aku juga yang repot-repot datang membantumu!"
"Kalau begitu teruslah bersamaku," akhirnya gadis itu melebarkan mata kejinya, "Eh?" tak peduli ia mengerti atau tidak, aku melanjutkan, "Agar kau tidak repot-repot datang membantuku dan agar aku tidak lagi menyerah lalu menangis."
"M-maksudmu apa, sih? Bodoh!"
Aku menghela napas lalu membuangnya jauh ke atas, bersamaan dengan atensiku yang menetap pada awan yang dengan damai melintasi langit.
Nampaknya cita-citaku sama-sekali tidak tercapai. Hidupku tidak sedamai petani dan sebagai suami yang tenang mendengar alunan music jazz dan hentakan papan shogi. Pekerjaanku menuntutku dan rupanya, Istriku tidak biasa-biasa saja. Ia cantik, tapi tidak terlalu tenang juga.
"Kan? Lagi-lagi aku salah," bisikku.
"Jelas salah! Kalau kau ingin melamar wanita, tanyalah maukah kau menikah denganku, bukan malah membalikan kata-kataku, tahu!"
"He? Untuk apa kutanya kalau jawabannya memang ya."
Dia teridam sejenak. Lalu tersenyum, "Kau benar juga."
Yah, kupikir juga begitu. Awalnya aku meminta waktu untuk berpikir, menyusun kalimat untuk melamar seorang wanita merepotkan bernama Temari. Tapi itu tidak penting, karena inilah Temari.
Penuh kejutan,dan tidak selamanya merepotkan.
"Aku benar-benar mencintaimu dan menginginkan kebahagiaanmu terbayarkan setelah pengorbanan berat yang kau lakukan," bisikku di telinga Temari yang masih sibuk mengerjapkan matanya menghalau air mata yang terus saja terjatuh.
Ibu jariku mengusap pipinya, mengajaknya turun dari altar dan berdansa mengikuti alunan musik dan beberapa pasangan yang mulai larut dalam lagu Can't help falling in love with you dilanjut For the First Time sampai aku paham bahwa Temari bukan pedansa yang baik. Tubuhnya benar-benar dirancang untuk bertempur.
.
.
Juga, kuharap kau sekalian sudah memahami perasaan yang sangat sulit kujabarkan ini.
.
.
Meski aku hanya sekali berkata aku mencintaimu, kupikir itu tidak masalah bagimu
Karena aku hanya ingin kau bahagia karena apa yang kulakukan
Bukan apa yang kukatakan
Dapat kusimpulkan
Bahwa aku benar-benar mencintaimu
Di saat pertama kali aku melihatmu,
Temari
.
Cie cie bapak Shikamaru bisa aja sih! Saya benar-benar jingkrak-jingkrak dan senyum-senyum gaje melihat performa Shikatema dalam Novel Shikamaru Hiden karangan Takashi Yano –thanks, Takashi.
Oke, maaf kalau saya malah menistakan pasangan fenomenal ini. Akhir kata, maukah berbagi review? :)
BTW, ini still in progress hahahaha
Sequel ga?
Thank you, sweetheart!
