A/N : yuhuu ayang mbeb Nami kembali *tebar kiss* /Dilempar tomat sama Minnasan/ hehe :Dgomen nasai. Yosh kali ini Nami bawa contoh Fic event yg diselenggarakan di Grup FB DurianTomat Mina-Kushi bagi minna-san yg pengen join langsung aja ya kita happy2an bareng. Disna jga ad yg bikin ff rata2 author newbie seperti Nami. Jdi yg masih newbie jngn malu. Kita bsa bljr brsama sekalian happy2an bersama. Yosh cukup segitu aj ya promotenya.. Hehe :Dgomen nasai utk contoh ficnya yg masih abal2 demi kewajiban Nami rela ngeluarin ff abal2 ini... Moga dpt inspirasi bagi peserta ya :D spesial thanks to Mikazuki Ryuuko yg udh nyaranin utk promote disni hehe :D dan udh nentuin genre fic ini. Jujur Nami bingung ama genre yg Nami bikin. Nami aneh ya? Bikin Fic tp gk tahu ama genrenya. Itulah slh satu keanehan Nami ahihi :D /nyadar niyeee/ oh ya inspirasi dr film "5 cm"


Yama Kōkai ( 山後悔 )

Disclamer : Masashi Kishimoto

Rate : T

Pair : Minato N., Kushina U.,

Genre : Mystery & Horor

Warning : AU, Abal2, Gaje

.

.

.


Read It—Enjoy It

Senja menjelang, namun seorang pemuda bersurai kuning beraksen duri durian, masih setia berkutat dengan laptopnya. Manik shappirenya masih mengikat setiap tampilan yang tersedia di layar monitornya. Tak peduli sunyi telah mendekap taman kampusnya. Bahkan sinar kejinggaan telah menyelimuti daratan itu. Ia hanya menunggu seseorang, sahabatnya Kushina Uzumaki.

Pemuda pemilik nama lengkap Minato Namikaze ini tak jua lelah dengan aktifitasnya. Ia sudah terlanjur fokus, hingga tak menyadari seseorang yang tengah mengintainya.

Jemarinya masih asik menari-nari di atas keyboard. Hingga 'orang itu' perlahan mulai mendekatinya. Semakin dekat kian dekat. Dan-

"Doorrr." jerit orang itu. Minato terlonjak hingga laptop yang berada dipangkuannya, hampir saja melompat jatuh. Orang itu terkekeh.

"Kushina! Apa yang kau lakukan?" dengus Minato, namun tak sebersit nada amarah maupun bentakan yang ia lontarkan.

Orang yang di keluhkannya hanya tertawa terbahak-bahak mengabaikan keluhan sahabatnya.

"Hahaha hahaha! Kau tahu ekspresimu itu konyol sekali! Hahaha lagian kau terlalu serius! Hingga kedatanganku pun kau tak menyadari hehe!" ia masih cengengesan. Di detik berikutnya, ia menarik nafas dan membuangnya perlahan.

"Oke, senam perutnya sudah usai! Sekarang, Tuan Durian," Kushina menatap Minato penuh selidik. "Apa yang membuatmu memasang tampang lansia seperti itu? Terlalu serius akan membuatmu berkeriput dan menua cepat. Kau tahu itu, bukan?"

Minato mengernyitkan dahinya. "Ah sudah lupakan! Aku mau melihatnya!" tuntut Kushina seraya mencondongkan wajahnya ke layar monitor yang berada dipangkuan Minato.

Netra Kushina membulat, ia kembali menarik kepalanya. "Ku kira apa? Ternyata—" suara tepukan membuat pemuda jabrik itu berjengat. "Oh iya, Minato! Aku punya tawaran yang lebih menarik ketimbang apapun itu yang ada dihadapanmu! Dijamin kau akan suka!" lanjutnya antusias.

Kushina meraih laptop Minato paksa, jemari lentiknya menari-nari di atas keyboard menjelajahi situs google. Ia pun menyusun beberapa kata.

Gunung Kōkai, eja Minato dalam hati.

"Semalam aku berpikir keras untuk menghabiskan masa liburan kita nanti, namun aku sama sekali tak mendapat ide. Akhirnya aku mencoba mencari informasi tentang pendakian yang keren. Dan setelah semalaman aku mencari lokasi pendakian yang bagus. Aku menemukan gunung ini. Gunung Kōkai." terang Kushina seraya meng-klik suatu situs yang menyajikan informasi tentang gunung tersebut.

Kushina terus menyajikan informasi tentang lokasi pendakian yang membuatnya senang bukan main, ia pun memperlihatkan keadaan alam di gunung tersebut. Minato menyimak dengan tatapan ganjil.

"Minato liburan nanti kita mendaki ke gunung itu ya! Lihat alamnya begitu asri! Ayo kita takhlukkan gunung itu! Oke?"

Minato masih membaca informasi tersebut, matanya membulat ketika ia menangkap sebuah foto gua yang cukup aneh. Jemarinya tergerak untuk menggulir ke bawah. Namun, tepat jemarinya melayang diudara. Kushina langsung menutup laptop miliknya.

"Yosh, sudah malam -ttebane! Ayo kita pulang, istirahat dan bersiap menakhlukkan gunung itu!" jerit Kushina antusias.

xxx

Cakrawala menjelma menjadi jelaga, sunyi menyelimuti kamar maskulin milik Minato. Pemuda itu menatap langit-langit kamarnya.

"Aku belum pernah mendengar nama gunung itu sebelumnya. Ini aneh! Jika gunung itu merupakan salah satu objek pendakian yang populer, seharusnya aku pernah mendengar namanya walaupun sekali!" gumamnya.

Hening sesaat. Minato mengacak surai kuningnya. Ia pun beranjak dari ranjangnya, menarik kursi di depan meja dan menyalakan laptopnya.

Ia berusaha menelusuri situs yang siang tadi dijamah oleh Kushina. Namun, nihil! Tak ada satupun situs yang menyimpan informasi tentang gunung tersebut. Sejam berlalu, Minato masih sibuk berkutat dengan laptopnya, menelusuri situs yang dimaksud Kushina. Namun, hingga detik itu. Minato tak kunjung menemukannya. Ini aneh. Ada sesuatu yang janggal. Minato kembali mendengus, ekspetasinya semakin kukuh. Tak ada gunung bernama "Kōkai" tak ada! Ia yakin itu, tapi mengapa Kushina bisa mendapatkan informasi tentang gunung misterius itu. Ini aneh, benar-benar aneh.

xxx

Lalu lalang para penumpang stasiun Kasai ( 火災 ), membuat Minato kian gusar. Rahangnya mengeras. Ia harus cepat memberitahu keanehan ini kepada Kushina. Firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang buruk jika mereka bersedia melanjutkan perjalanan kesana.

Konoha express adalah kereta yang akan membawa mereka ke kota Ame—lokasi Gunung Kōkai. Dan 10 menit lagi kereta tersebut akan tiba. Namun, Kushina tak kunjung datang.

Lebih dari 10 menit berlalu, sebentar lagi kereta akan berangkat. Minato menghela nafas, jika Kushina tak datang. Rencana perjalanan ini akan batal, dan Minato tak perlu mencemaskan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Namun, di detik-detik keberangkatan kereta Konoha Express. Sebuah tangan mengamitnya, menarik Minato masuk ke dalam kereta tersebut.

"Hosh..hosh..hosh..." nafasnya terengah-engah. Minato menatapnya empati, ia menyentuh bahu gadis itu.

"Uh.. hampir saja kita ketinggalan kereta -ttebane!" rutuk Kushina. "Yosh, sekarang kita cari tempat duduk. Kakiku lelah dan akan segera patah jika aku harus terus berdiri hingga tiba di stasiun tujuan akhir kita -ttebane!" Kushina kembali mengamit tangan Minato. Pemuda itu hanya menurut, ia belum mendapat kesempatan untuk berujar.

Violetnya menelusuri ruangan kereta api tersebut. Maniknya berseri-seri ketika ia menemukan dua bangku berjejer belum berpenghuni. Dengan cepat ia menarik Minato untuk duduk disana.

"Ah.. lelahnya -ttebane!" keluh Kushina seraya menghempaskan punggungnya ke punggung kursi tersebut. Kelihatannya, gadis magenta ini begitu lelah, kenyataannya ia berlari tergesa-gesa menuju stasiun. Lantaran kesiangan, telah menjadi adat baginya.

Kushina memejamkan mata, mencoba merileksasikan tubuhnya. Disaat inilah, Minato memutuskan untuk menyampaikan argumentasinya.

"Kushina.." panggil Minato hati-hati.

"Hmm" jawab Kushina singkat.

"Kurasa kita tak perlu mendaki gunung itu, kita cari lokasi pendakian yang lain saja!"

Di detik berikutnya, sepasang violet itu terbuka. Menatap tajam pemuda jabrik itu. "Apa alasanmu merubah rencana kita hah?" gadis itu mulai naik pitam.

"Ada keanehan tentang gunung itu!" ujar Minato seraya meneguk salivanya kasar.

"Keanehan apa maksudmu?" guratan tipis menghiasi dahinya.

"Sebelumnya aku belum pernah mendengar nama gunung itu—" hening sejenak. "—dan semalam selepas kau memberitahuku tentang gunung itu. Aku langsung mencari situs itu lagi. Namun, aku tidak menemukannya!"

Kushina terdiam sejenak, mencoba menimang-nimang. "Mungkin kau salah mengetik di kolom search, atau mungkin kau kurang jeli!" sanggah Kushina.

"Tapi Kushi—"

"Sudahlah, aku tak mau mendengar alasan apapun lagi. Bilang saja kalau kau memang tak ingin menemaniku dalam pendakian ini." potong Kushina.

"Bukan begi—"

"Stop! Aku ingin istirahat, jika kau memang tak berniat menemaniku. Kau boleh turun di stasiun berikutnya!" timpalnya seraya membenamkan kedua matanya.

Minato hanya menghela nafas. Sahabatnya ini memang terkenal akan wataknya yang keras, apapun tak akan mengubah pendiriannya. Hal inilah yang menjadi penghambat terbesarnya. Pemuda itu kembali menghela nafas. Mau tak mau, ia harus menemani sahabatnya itu. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Jika memang perihal itu benar-benar akan terjadi, maka Minato bersedia mengorbankan nyawanya hanya untuk menyelamatkan Kushina. Lantaran Minato sangat menyayangi gadis ini. Sangat.

xxx

Minato dan Kushina telah tiba di stasiun terakhir mereka. Rintik hujan mengguyur kota ini. Keadaan ini memang sudah menjadi bagian dari kota "Hujan" ini. Gadis magenta itu masih kesal, walau sudah sering kali Minato mengarih-arihnya. Namun, cukup susah juga menangani Habanero yang tengah merajuk.

Setelah menaiki bus, dan mobil khusus rute menanjak. Akhirnya mereka tiba di hutan yang dituju.

Minato menatap hutan itu seksama, sunyi. Tak ada pendaki lain kecuali mereka. Apa gunung ini merupakan objek pendakian yang baru saja dibuka. Atau objek pendakian ini kurang terkenal. Tidak, Minato paham betul dengan kota seberang ini—Ame. Ia bahkan paham dengan daerah kota yang lebih kecil dari kota tempat tinggalnya—Konoha—itu. Minato juga merasa curiga, hampir setiap hari kota ini diguyur hujan. Namun, hutan ini kadar kelembapannya normal. Tak becek sekalipun, seakan-akan jarang sekali tersentuh air langit.

"Yosh, mari siapkan kaki yang akan berjalan lebih jauh, tangan yang akan berpegangan lebih erat. Serta mata yang akan melihat pemandangan yang jauh lebih indah. Apa kau siap Tuan Durian?" seringai Kushina antusias. Orang yang disapanya hanya mengangguk.

Mereka memulai perjalanan, menyisiri setiap jalan menuju puncak keagungan. Minato memimpin, Kushina berjalan mengekorinya.

"Kushina adakah petunjuk tentang jalan yang harus kita lalui?" Tanya Minato masih menatap lurus.

"Menurut peta ini! Kita hanya perlu menyusuri jalan setapak ini!" terang Kushina.

Mendengar kata "Peta" pemuda itu langsung menoleh, menatap peta yang digenggam Kushina. Shappirenya mengamati lembar kulit yang terlihat sudah berumur itu.

"Dimana kau mendapatkan benda itu?" tanya Minato waswas.

"Oh, peta ini! Aku mendapatkannya dari seorang kakek-kakek yang aku bantu seminggu lepas sebagai hadiah. Dialah yang memberitahuku tentang gunung ini. Kau tahu kakek itu sangat baik dan ramah." ujar Kushina berseri-seri.

"Apa kau mengenal kakek itu?" tanya Minato penuh selidik.

"Tidak aku baru melihatnya sekali." jawab Kushina enteng.

"Dan kau langsung mempercayainya?" tanya Minato, tanpa sadar volumenya naik satu oktaf.

"Apa salahnya mempercayai kakek tua itu? Toh dia terlihat seperti kakek yang baik dan juga ramah! Memangnya apa masalahmu? Kenapa kau membentakku seperti itu -ttebane?" sungut gadis itu, lengannya ia tekuk di depan dada.

"Bukannya begitu! Seharusnya kau lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya dengan orang lain. Walaupun kakek itu terlihat seperti malaikat!" tukas Minato cepat.
"Aku tak menganggap kakek itu malaikat. Aku hanya menganggap kakek itu biasa, selaiknya orang tua pada umumnya! Dan apapun alasanmu untuk mencegahku mendaki gunung itu. Aku tak peduli, aku masih dalam pendirianku. Menakhlukkan gunung itu!" rupanya Kushina tahu ranah pembicaraan Minato. Kendati itulah ia langsung menyanggahnya. Minato hanya mendengus, gadis ini benar-benar keras kepala.
Netra Kushina membulat. "Hei tunggu!" jerit Kushina tiba-tiba, ia hendak berlari namun dengan cepat Minato menggenggam pergelangan tangan Kushina.
"Kau mau kemana?"

"Aku mau menyusul para pendaki itu!" ujar Kushina seraya menunjuk jalan di ujung sana.

"Rupanya ada pendaki lain selain kita -ttebane!" jerit Kushina girang.

Minato lekas menoleh ke belakang, shappirenya memendar mencari gerombolan pendaki yang dimaksud Kushina. Namun, netranya tak menangkap siapa pun. Hanya tumbuhan perdu dan semak-semak yang lumayan tinggi yang menjadi objek penglihatannya. Apa mereka sudah pergi?
Kushina melepas gengaman Minato, gadis itu berjalan menuju ujung jalan yang tadi sempat ia tunjuk. Minato lekas mengekor.
Sudah empat jam berlalu, namun rasanya mereka seperti berputar-putar di tengah hutan. Minato menatap sekeliling, hanya pemandangan yang sama yang ditangkapnya. Pohon perdu yang menantang langit, semak belukar dan batu berukuran sedang yang terbelah dua. Batu terbelah dua? Minato mendengus.
"Kushina sebaiknya kita istirahat! Kurasa kita hanya berputar-putar saja selama empat jam ini!" shappirenya menyorot arloji yang melingkar di lengannya sekilas. "Lihat batu yang terbelah itu!" Minato menunjuk seonggok batu yang berada di hadapannya.

Kushina mengikuti jari telunjuk Minato. "Aku sudah melihatnya lima kali. Tak salah lagi, kita tersesat dan hanya berputar-putar tanpa arah yang pasti!"

"Benarkah? Tapi menurut pe—eh petaku dimana?" seketika Kushina kalang kabut sendiri. "Petaku? Petaku dimana? Oii Durian, apa kau membawa petaku?" minato hanya mengendikkan bahu.

Kushina menggeram, sedari tadi ia masih menggengam peta itu erat. Ia tak melepasnya sedetik pun, ia yakin peta itu tak jatuh. Lantaran peta itu tak pernah luput dari gengamannya. Tapi, mengapa sekarang hilang? Apa mungkin jatuh? Tidak! Kushina menggeleng. Ia yakin petanya tak jatuh. Tapi dimana? Kushina menghela nafas. Gadis itu langsung terduduk lemas di atas tanah yang lembab.

"Kau lelah?" tanya Minato yang hanya dibalas anggukan lesu oleh Kushina. Pemuda itu meraih botol di serambi ranselnya. "Minum dulu!" ujarnya seraya menyodorkan sebotol air mineral. Kushina menerimanya dan lekas menengguk cepat. Selaiknya orang yang tak minum selama dua hari. Minato terkekeh.

"Baiklah mungkin kita harus mendirikan tenda disini! Senja sebentar lagi tiba!" ujar Minato yang hanya lagi-lagi dibalas anggukan oleh Kushina. Minato beranjak, mengangsurkan ranselnya namun hujan deras tiba-tiba mengguyur dengan ganasnya. Bahkan tak ada sekumpulan awan hitam di atas sana. Minato mendengus, bagaimana bisa ia memprediksi cuaca, lebatnya dahan menutupi cakrawala. Seakan hanya ada payung hijau sejauh mata memandang ke atas.

Manik shappire itu memendar, mencari tempat berteduh. Sayup-sayup ia mendengar desahan Kushina. "Kakek!" kalau tak salah kata itu yang ditangkap oleh Minato. Di detik berikutnya, Kushina bangkit dan langsung mengamit tangan Minato. Mengajaknya berlari, pemuda itu hanya menurut.
Tak jauh mereka berlari, mereka terhenti di muka mulut gua. Minato menatap seksama gua itu. Ia merasa tak asing dengan gua itu. Tandensinya mencoba mengingat. Namun, belum sempat menemukan jawaban. Tubuhnya kembali ditarik Kushina, mengajaknya untuk memasuki gua misterius itu.
Sunyi, gelap, dan pengap. Itulah kesan pertama yang Minato tangkap sesaat memasuki gua itu. Ya setidaknya mereka tidak mati kedinginan di guyur hujan lebat diluar sana, setidaknya mereka bisa menghangatkan badan disini.

Minato menatap sekeliling, terlihat mencengkam tak secercah sinar yang dapat ditangkap oleh netranya. Tepat ketika Minato menatap lurus kedepan, seonggok wajah menyeramkan yang bersinar menyambutnya. Minato pun terlonjak mundur beberapa langkah ke belakang. Sedetik kemudian, tawa khas yang telah familiar di telinganya itu pun meledak.

"Hahaha hahaha lagi-lagi ekspresimu membuatku tertawa, Minato!" ujar Kushina seraya menyorotkan senternya ke arah Minato. Pemuda itu menyipitkan matanya, lengangnya terangkat guna menghalau sinar terang itu.

"Ayo kemari! Kita jelajahi gua ini!" ajak Kushina mengulurkan tangannya. Minato menghampiri gadis usil itu, tangannya mengamit tangan hangat Kushina. Gadis itu menyelorotkan senternya ke atas ke bawah. Dengan sesekali berdecak kagum, menikmati stalaktit dan stalakmit yang memanjakan netranya. Hingga satu kata itu kembali terlontar.
"Kakek?" pekik Kushina menatap salah satu ujung lorong yang bercabang.

Minato langsung menggulir netranya ke arah yang dimaksud Kushina. Sesosok siluet ia tangkap. Dengan cepat Kushina melepas tangan Minato, siluet itu melambai-lambai ke arah Kushina. Mengajak Kushina untuk semakin mendekat.

"Kushina berhenti!" pekik Minato, ia hendak berlari menyusul Kushina namun serasa kakinya sukar untuk digerakkan. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang tak kasat mata. Ia hanya mampu berdiri dan mematung. Dengan berkali-kali meneriaki nama Kushina, kata "Jangan" dan "Berhenti" selaiknya orang gila. Ya Minato hampir saja frustasi lantaran Kushina berhasil diajak pergi oleh siluet itu.

Sedetik selepas kepergian Kushina bersama siluet itu. Minato jatuh dengan lutut menyentuh tanah terlebih dahulu. Kakinya terasa keram, lelah menyergapnya. Namun, tak ada waktu untuk sekedar istirahat. Ia harus membawa Kushina kembali ke sisinya. Minato berlari menyusuri lorong dimana Kushina dibawa pergi oleh sosok siluet itu. Ia terus berlari mengabaikan lelah yang mulai merayap, melewati setiap lorong gua yang ia temui. Sesaat bisingnya suara menginterupsinya.

"Minato apa yang kau lakukan? PERGI! PERGI SANA! AKU MEMBENCIMU!" suara Kushina menggema di sudut lorong yang dilaluinya. Nadanya terdengar begitu murka.

"Kushina! Kau dimana?" jerit Minato.

"Minato tolong aku!" rintihan Kushina kembali menggema. Kini nadanya terdengar pilu, cukup menyayat hati Minato.

"Kau dimana, Kushina?" Minato kembali berteriak. Kakinya masih berlari menyusuri lorong tersebut. Lorong kelam yang membingungkan. Minato bahkan tak menyadari kalau ia tengah berlari dengan mulus. Tanpa ada batu atau sesuatu yang menghambat larinya.

"MINATO! KU BILANG PERGI! AKU MEMBENCIMU! SANGAT MEMBENCIMU!"

"Kushina—" gumam Minato tercekat.

"Minato lari! Selamatkan dirimu!" kini nadanya terdengar memohon.

"Tolong! Selamatkan aku, Minato. Hiks!" Minato mendengar Kushina menangis. Hatinya kian perih. Ia berlari semakin kencang, kian kencang hingga seberkas cahaya menghantamnya.
BLLUUSHH
Nafasnya memburu. Tubuhnya lelah, kepalanya berdenyut hebat.
"Kus..shi..na!" gumamnya tersengal-sengal.

"Nak, kau kenapa?" ujar seseorang sambil menyentuh bahu Minato.

Sontak Minato terlonjak, ia lantas menoleh menatap orang itu dengan nafas memburu ia mencoba berujar. "Kumohon tolong saya, Kek! Selamatkan teman saya!" ujar Minato masih terengah-engah. Pemuda paruh baya itu tersenyum.

"Saya akan bantu kamu! Tenang saja! Sekarang dimana teman kamu?" tanyanya lembut dengan nadanya yang parau.

"Teman saya terjebak di kawasan Gunung Kōkai! Dia menghilang di dalam gua aneh itu!"

Kening pria itu mengerut. "Gunung Kōkai?" ulangnya.

"Iya! Salah satu gunung yang berada di kota Ame ini!" Minato mengerang.

"Nak, bukannya saya menganggap kamu gila atas khayalanmu yang tinggi itu! Tapi sungguh, di kota Ame tidak pernah ada yang namanya Gunung Kōkai atau apalah itu! Saya penduduk asli kota ini!"

Shappire minato terbelalak. "Lantas ini kawasan hutan apa?" pekik Minato seraya menoleh kebelakang. Betapa terkejutnya ketika ia tahu bahwa tak ada kawasan yang disebutnya hutan disana.

"Hutan? Kurasa kau benar-benar berhalusinasi, Nak? Disini tak ada hutan! Hanya lahan kosong nan luas dan gersang yang entah mengapa tak pernah sekalipun daerah ini dilanda hujan. Padahal hampir setiap hari kota ini diguyur hujan. Hanya derah ini saja yang tidak terjamah hujan. Daerah ini disebut "Tanah Mati", Nak! Bagaimana bisa kau menyebutnya hutan?"

Minato hanya terpengkur mendengar penjelasan pria paruh baya itu. Apa maksudnya ini? Di detik berikutnya benaknya dihujam berbagai pikiran-pikiran yang membingungkan. Situs misterius, Gunung Kōkai, kawasan tak lazim, Seorang kakek, peta aneh, gerombolan pendaki, gua misterius, hilangnya Kushina.

Kepalanya berdenyut hebat, serasa ingin meledak seketika. Satu pikiran yang membuat Minato tersadar, secara arti "Kōkai" ( 後悔 ) berarti "Sesal". Pemuda itu menutup mulutnya dengan salah satu tangannya. Kini Minato tahu maksudnya. Ia menyesal mengunjungi kawasan gunung ralat "Tanah Mati" ini. Ia menyesal tak melarang Kushina secara tegas untuk tidak mengunjungi daerah ini. Ia menyesal. Sangat. Kini sahabatnya tak akan kembali. Minato jatuh terduduk, menyesali apa yang dilakukannya sendiri. Seandainya ia lebih tegas! Mungkin Kushina tak akan hilang! Dan ia tak perlu menyesal. Namun, apa mau dikata? Semua sudah terlanjur. Penyesalan telah mendekap Minato erat.

Pria paruh baya itu menatap Minato sendu, namun jikalau diperhatikan secara seksama. Pria itu tersenyum mengejek. Bahkan terlihat seperti seringai, seringai lebar yang mengerikan.

THE END

A/N : Bagaimana? Aneh bukan? Yosh minat meninggalkan jejak di kolom review? Nami menerima keripik sambalado loh.. Hehe.. Enjoy aja sama Nami. Keluarin aja apa yg ada dipikaran kalian, mulai dr tercengang sangking anehnya, ato kesal lantaran ficnya yg banyak kekurangannya. Nami terima kok dengan lapang dada. So, woles bray.. Yeah.. Hehe :D