Pair: NejiHina

Warn: OOC, AU, Misstypes, sedikit OC

Disclaimer: Never own Naruto

Musim panas kali ini, aku punya kisah bagus untuk menambah daftar di buku harianku. Kami memang tidak pergi berlibur kemana-mana, tapi Neji-nii membuatnya jadi menyenangkan. Di bawah langit cerah yang cukup menyilaukan siang itu, dia memberikanku secangkir teh hangat yang mampu membuatku sejuk seketika.

Akhirnya, kehidupan memang tak pernah sesuai dengan teoriku. Aku kira es krim yang bisa membuat musim panas terasa lebih sejuk, ternyata dapat secangkir teh juga bisa jadi menyegarkan.

Atau setidaknya, itulah yang ku rasa.

"Hinata, pulang bareng, yuk!" Ino yang teman sekolahku langsung berkata begitu saat bel pulang sekolah dibunyikan. Hari ini hari terakhir masuk sekolah sebelum liburan musim panas. Aku ingin mengangguk, tapi teringat saat Neji-nii bilang aku harus menunggunya seusai pulang sekolah.

"Maaf, Ino-chan. Aku bersama Neji-nii saja."

"Ya sudah. Duluan, ya?" Ino melambai sampai akhirnya menghilang di balik pintu. Aku hanya mengangguk membalasnya.

Aku dan Neji-nii berada di tingkatan kelas yang sama. Umur kami juga hanya berbeda beberapa bulan. Aku lebih muda darinya. Kelasku dan dia berjarak sedikit jauh. Menyeberangi koridor sekolah seorang diri dengan murid-murid yang mulai sepi membuatku lebih nyaman. Aku ini orang yang pemalu.

Aku yang berjalan agak sedikit menunduk bisa melihat lantai yang berdebu, potongan kertas yang tak berbentuk, lalu bayangan seseorang yang jangkung. Aku mendongak, lalu melihat Neji yang aku kenal mengacak-acak rambutku sambil tersenyum.

"Kenapa kau terus menunduk?" tanyanya.

Aku cuma bisa diam. Itu kebiasaan. Aku yang pemalu tak pernah punya cukup keberanian untuk menatap lurus. Ada banyak hal yang ada di bawah yang kadang luput dari perhatian. "Menunduk lebih merilekskan otot l-leher…?" Aku tak pintar untuk bohong. Alasanku terlalu mengada-ada. Neji tertawa. Tawanya entah kenapa terasa hangat. Suaranya yang besar dan dalam membuatku merasakan sesuatu. Di sini. Di dadaku. Di jantung lebih tepatnya.

"Siapa yang menceritakan padamu bualan itu?" tanyanya lagi. Aku ingin menjawab, tapi dia langsung menarik tanganku dan menyuruhku diam dan ikut saja.

Aku jadi tak bisa berbuat apa-apa.

Saat tiba di depan gerbang sekolah, ternyata ada yang memanggil Neji-nii. Seorang gadis yang dari gerak-geriknya seorang yang semangat. Setengah berlari ia menghampiri kami.

Dari tangannya yang melambai, aku melihat ada banyak gelang-gelangan di tangan kanannya. Telinganya juga di beri anting. Rambut pirangnya yang sebahu bergerak indah tertiup angin. Mata coklat madunya berbinar. Aku mengenalnya sebagai Sugimoto Hana.

"Hai Neji!"

Kata teman-teman sekelas, dia itu pintar sekali bernyanyi. Saat dia memanggil Neji, suaranya begitu indah.

"Uhm… kau, pasti Hinata?" katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku mengangguk gugup. "Senang bertemu!"

Dia orang yang bersemangat. Aku iri dengan semangatnya. Aku hanya bisa tertunduk malu pada orang lain, bahkan cenderung tak nyaman saat bersama mereka. Aku dan dia, mungkin bagai siang dan malam.

Tidak. Tidak. Dia terlalu cerah untuk malam. Aku terlalu suram untuk siang. Aku dan dia, bagaikan malam dan siang.

"Neji, kau ada waktu tidak? Temani aku, ya?"

Wajahnya yang memohon saat itu terlihat begitu manis. Meski aku perempuan, aku pasti tak akan bisa menyangkalnya. Lalu aku kembali teringat. Teman-temanku bilang, dia dekat dengan Neji. Neji adalah ketua di kelasnya. Hana adalah wakilnya. Entah kenapa, aku jadi serasa penganggu bagi mereka saat ini.

"Tidak bisa. Aku ada urusan."

Aku mengalihkan pandanganku pada Neji-nii. Wajahnya terlihat risih. Apa karena aku?

"Ne, Hinata…" Hana memandang penuh harap padaku, "boleh, kan?" dia melirik Neji.

Aku melihat Neji-nii sekilas, lalu mengangguk.

"Nah, Neji… sepupumu sudah kasih izin. Ayo! Sekarang temani aku."

Beberapa meter melangkah, Neji menoleh ke belakang, melemparkan tatapan aneh padaku. Aku bingung. Tapi setidaknya senang karena memberikan waktu untuk mereka berdua sebelum liburan.

Tapi serasa ada yang mengganjal. Apa aku sebenarnya tak senang?

"Hinata, ini aku, Neji."

"Y-ya?"

"Besok libur, kan? Temani aku. Bisa?"

Besok memang libur. Tapi aku punya banyak tugas dari guru. Kalau di kerjakan nanti-nanti, aku takut lupa. Lagi pula, Neji-nii mau kemana minta kutemani? "Y-ya."

"Bagus. Aku jemput jam delapan."

Sebelum aku bertanya ke mana, sambungan teleponnya telah putus.

Mataku menerawang ke arah jendela kaca yang ada di sebelah timur ruang tamu. Langit malam ini cukup cerah. Semoga besok juga sama.

Keesokan harinya, aku tak lagi yakin akan senang atau sedih karena harapanku jadi nyata. Aku yang membantu Neji membantu sepasang kakek-nenek membersihkan rumah mereka, merasa lelah. Ditambah dengan cuaca yang terlalu cerah, aku jadi gerah. Aku yang selalu pakai jaket jadi kepanasan.

"Neji! Bantu aku, sini!"

Hana yang ternyata juga ikut membantu memanggil Neji-nii dari dapur. Dia yang baru akan duduk di sampingku langsung berdiri lalu menuju ke asal suara. Aku yang duduk sendirian, melihat sekeliling. Ternyata teman-teman sekelas Neji ikut datang dan membantu. Mereka lebih kompak dari yang kukira.

"Hinata?"

Aku diselamatkan dari kesepian yang canggung oleh seorang siswa temannya Neji. Rambutnya yang hitam bergoyang saat ia mengambil tempat di sebelahku. Ia tersenyum, membuat matanya hampir tak terlihat.

"Aku tak menyangka kau ikut," katanya masih mempertahankan senyum, "kalau tahu, aku pasti akan pakai baju lebih bagus dari ini." Dia melirik ke arah tubuhnya yang mengenakan kaus hitam berlengan pendek dengan jeans yang juga berwarna gelap. Sederhana. Tapi elegan.

Aku tahu dia bercanda. Aku tahu itu. Tapi, mengingat belum pernah ada anak laki-laki yang berkata seperti itu, pipiku memanas.

Dia tertawa.

Aku semakin memerah.

"Seminggu yang lalu, kami diberi tugas oleh Sensei."

Apa aku ada bertanya?

"Mencari seseorang, atau tokoh apapun yang penting masih hidup, untuk diwawancarai."

Oh, jadi itu. Seminggu yang lalu, aku melihat Neji-nii yang akan memasuki gerbang depan rumahnya masih mengenakan seragam sekolah. Aku yang melihatnya dari jendela kamar kami di lantai dua sedikit heran. Saat itu jam delapan malam. Bukannya ingin jadi seorang penguntit atau apa, tapi rumah kami yang berseberangan memungkinkan aku untuk selalu memantau Neji meski aku tak menginginkannya.

"Neji menemukan kakek-nenek ini. Dia mewawancarai mereka, lalu menulis esai yang bagus sekali dari hasil wawancaranya."

Neji memang pintar. Berbakat. Seorang Hyuuga yang sejati. Apa aku bisa seperti itu?

"Tahu tidak? Nenek dan Kakek ini mantan pejuang, loh?"

Mantan pejuang? Wah, menakjubkan.

"Makanya kami minta ketemu. Jarang-jarang kan, ketemu sama tokoh –saksi hidup sejarah? Jadi, kami memutuskan untuk datang ke sini pada hari ini. Dan kebetulan tadi kita melihat kakek nenek itu sedang sibuk membereskan rumah mereka, maka kita membantunya. Iya, kan?"

Iya. Yang satu itu aku masih ingat baik. Aku juga ada di sana. Di balik punggung Neji.

"Teh datang!"

Hana yang muncul dari dapur berteriak semangat. Teman-teman sekelas Neji yang lain langsung mendekat untuk berebut minum. Neji datang tak lama kemudian. Dia keluar dari dapur dengan talam besar dan beberapa cangkir yang terisi teh. Alisnya yang mengkerut membuatku sadar dia tak suka ini.

Panas. Lelah. Berkeringat. Meminum teh yang hangat bukan pilihan baik. Banyak yang akhirnya menggerutu tapi terdiam karena sadar ini adalah rumah kakek-nenek yang seharusnya mereka hormati. Aku masih diam tanpa merubah posisiku semenjak tadi. Temannya Neji yang jadi teman bicaraku beberapa saat lalu telah pergi. Aku… jadi sendiri lagi.

Lalu, Neji kembali memainkan peranannya sebagai penyelamatku.

Dengan langkah pelan dia berjalan mendekat. Rambutnya entah kenapa terlihat jadi lebih bercahaya. Di saat yang sama saat dia membuat jarak kami hanya tinggal satu meter, perutku melilit. Aku yang awalnya sudah kepanasan kini jadi semakin gerah saat senyumnya mampir. Pasti matahari yang membuat pipiku memanas.

Dia tak bicara apa-apa saat mengambil tempat di sebelahku. Kami terus menikmati keheningan itu. Desiran angin musim panas bertabrakan dengan aku yang penuh keringat, membuat suasana terasa lebih sejuk. Hatiku juga jadi nyaman.

"Hinata?"

Suaranya besar dan dalam. Wajahnya juga sudah lebih bersegi. Dia terlihat lebih dewasa. Tubuh proporsional dan wajah tampannya pasti membuat banyak gadis terpikat. Aku salah satunya.

"Ini."

Aku mengambil cangkir yang diberikan Neji untukku, lalu meminumnya.

"Maaf, ya. Aku malah mengajakmu beres-beres di sini."

Wajahnya terlihat menyesal, tapi dari matanya ada kilatan cahaya jahil. Aku, jadi merona. "T-tidak apa-apa."

Tangan Neji terangkat dan berhenti di puncak kepalaku. Matanya menatap mataku dalam. Nafasnya menghantarkan udara panas lainnya ke pipiku. Kalau sudah begini, aku tak akan mungkin bisa lari atau sembunyi dari pesonanya. Aku, terjebak.

"Aku suka kamu," katanya. Tangannya mulai mengacak-acak rambutku. Melihat ini, otakku mulai berimajinasi sendiri. Aku dan dia… bagaikan sepasang kekasih.

Beberapa saat berikutnya, aku sadar kalau aku masih menyesap cangkir yang isinya telah habis.

"Uhm… terima kasih, Neji-nii."

"Iie. Aku yang harus berterima kasih padamu."

Aku membungkuk, lalu berbalik. Tanganku hampir meraih pintu pagar rumah saat kemudian aku tertarik dan menghantam tubuh Neji. Wajahku terbenam di antara dadanya. Aroma khas anak laki-laki yang dia punyai masuk ke sistem penciumanku. Aku, ingin mengingat yang ini.

"Hinata…"

Tangan kananku masih digenggam tangannya. "Y-ya?"

"Mau tidak jadi pacarku?"

Ini yang ku iginkan. Ini yang ku harapkan dari dulu. Jadi, apa aku ragu? "Ya."

Mungkin tidak.

Neji melonggarkan pelukannya. Matanya menatap mataku lama, lalu turun, dan tertuju penuh ke bibirku. Sebelum aku sempat bereaksi, dia menciumku.

Selanjutnya, waktu berjalan seperti biasa. Setelah libburan musim panas berakhir, aku dan dia masih tetap pergi ke sekolah bersama, pulang bersama, makan bento bersama. Tapi, ada satu rutinitas lain yang bertambah, Neji selalu mengajakku ke taman kota tiap akhir pekan, menikmati teh yang dia buat sendiri. Berkat itu, antioksidan dalam teh juga melindungiku dari rasa rendah diri yang selalu muncul dalam hati. Karena saat aku mulai menunduk, Neji akan datang dan menggenggam tanganku, memberikan keyakinan, dan aku berani lagi menatap ke depan.

.

.

.

Oh. My. God!

Saya baru aja nulis fic incest Hyuuga lagi!

Tahu gak? Sebenarnya, dalam aturan adat tempat saya tinggal, orang yang bermarga sama itu gak bisa punya hubungan romansa, loh. Itu sangat, sangat dilarang. Gak boleh. Dosa. Masuk penjara.

Wait.

Untuk yang terakhir enggak ding! Xp

Tapi tetep aja, taboo. Dan karenanya, butuh usaha keras agar saya bisa dapet feelnya mereka berdua ini. Semoga hasilnya bagus.

Pair dalam tiap chapter berbeda. Jadi, setiap cerita langsung tamat di chapter itu. Kali ini, semuanya saya coba diambil dari sudut pandang Hinata. Mungkin agak mengecewakan, tapi saya harap ada yang mau membaca.

Saya paling suka baca review. Tapi akhir-akhir ini kolom review saya banyakan kosong. Jadi, mau kan donasikan review Anda untuk saya?

Review? (*,*)

-:- H. Kazuki -:-