Judul: Kyoukan nante iranai! (Aku tidak butuh simpati!)
Disclaimer: Sorachi Hideaki-sensei...
Genre: Angst/Hurt/Comfort
Rating: T
Summary: Okita tidak pernah suka menunjukkan emosi terdalamnya pada orang lain. Ia tidak mau orang-orang bersimpati padanya. Ia benci simpati. Ia tidak butuh!
ETA: Saya lupa gambar yang saya pajang di cover ini saya dapatkan dari mana. Sepertinya pixiv? Kalau ingat nanti saya tambah disclaimer gambarnya
.
Kyoukan Nante Iranai!
"Uhuk..Uhuk…" Okita refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya saat batuk lagi-lagi menyerangnya. Sudah lebih dari seminggu sejak batuk berdahak mulai mengganggunya. Kondo yang mudah cemas sempat menyuruh Yamazaki untuk mencarikan obat batuk yang terkenal paling mujarab. Tetapi, meskipun Okita sudah meminumnya, tidak ada tanda-tanda kalau batuknya mulai mereda.
"Uhuk!" Anak laki-laki berambut coklat itu terbatuk lebih keras. Tenggorokannya sakit setelah ia merasakan ada sesuatu yang sempat keluar. Dahak? Mungkin tidak. Rasanya agak hangat. Okita menjauhkan telapak tangan dari mulutnya untuk melihat apa yang ada di sana. Matanya sempat melebar saat melihat cairan berwarna merah di telapak tangannya, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
"Jadi benar..." Ia menyandarkan tubuhnya ke mobil patroli.
Ia tidak terkejut, tentu saja. Ia menyadari hal ini tak lama setelah Mitsuba meninggal. Sering batuk berdahak, dada sesak dan nyeri saat bernapas, nafsu makan menurun, sering demam, dan terlebih lagi sekarang..batuk berdarah. Ia sudah sangat familiar dengan gejala itu. Penyakit yang sama seperti yang diderita oleh sang kakak.
"Oi, Sougo. Ayo pe-" Perkataan Hijikata terhenti saat matanya menangkap cairan merah yang terdapat di telapak tangan Okita. Okita sempat terkejut melihat kemunculan Hijikata yang tiba-tiba, tapi ia cepat-cepat mengepalkan tangannya dan menjauhkannya dari jangkauan pengelihatan Hijikata.
"Itu…"
"Hijikata-san, apa kau tidak pernah melihat orang yang tangannya terluka?" Okita memotong perkataan Hijikata dengan suara monoton dan pokerfacenya seperti biasa. Anak bermata merah itu berjalan masuk ke dalam mobil patroli, melewati Hijikata yang masih terdiam.
Luka? Karena apa? Rasanya bahkan belum sampai 5 menit Hijikata meninggalkan Okita untuk membeli mayones. Lagipula aneh rasanya karena Okita cepat-cepat menyembunyikan tangannya seperti itu.
"Oi, Hijikata-san, kau memanggilku karena kita akan melanjutkan partoli kan? Kau mau naik tidak? Atau kau mau kutinggal?"
Suara Okita membuat Hijikata tersadar. Tahu pasti kalau Okita tidak pernah main-main dengan apa yang ia ucapkan, Hijikata pun segera masuk ke mobil sebelum anak itu benar-benar meninggalkannya. Ia memutuskan untuk tidak ambil pusing mengenai luka Si Pangeran Sadis.
.
.
"Sougo, kau tidak menghabiskan makananmu?" Kondo menegur Okita yang sudah bangkit padahal makanan di piringnya masih tersisa setengahnya.
"Aku sedang diet, Kondo-san. Aku tidak mau jadi gumpalan lemak seperti Hijikata-san," sahut Okita sambil melirik Hijikata yang sedang asik memakan nasi dengan mayones (atau lebih tepatnya mayones bernasi) favoritnya.
"APA MAKSUDMU?" Hijikata tidak terima.
Okita berjalan ke arah Yamazaki seolah tidak mendengar protes Hijikata. "Yamazaki, ayo patroli," katanya.
"Eee? Ta..tapi…aku belum…"
"Makanmu terlalu lama. Ayo pergi." Okita menyeret Yamazaki ke luar ruangan tanpa menunggu sang mata-mata menyelesaikan kalimatnya.
"Tu-tunggu dulu Taichou! I-ikanku… Ikaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn!" Teriakan Yamazaki mengiringi kepergian keduanya.
Tinggal Kondo dan Hijikata yang saling berpandangan. Tanpa berkata apa-apa pun mereka punya pikiran yang sama: ada yang aneh dengan anggota termuda Shinsengumi itu. Diet katanya? Mana mungkin mereka percaya. Akhir-akhir ini anak itu semakin kurus. Hijikata bahkan yakin kalau sebentar lagi anak itu tinggal tulang berbalut kulit saja. Lagipula, pergi patroli? Sejak kapan anak itu menjadi rajin? Biasanya kan anak itu selalu mencari-cari alasan untuk bolos dari tugasnya.
Tatapan Kondo berubah menjadi tatapan penuh tanya, seolah meminta Hijikata menjelaskan apa yang sudah terjadi pada Okita. Saat sang fukuchou mengangkat bahu, Kondo menghela napas agak kecewa. Ia benar-benar cemas pada Okita.
.
.
"Uhuk… Uhuk…"
"Taichou, kau flu?" tanya Yamazaki, menatap sang taichou yang berjalan di sebelahnya.
"Orang bodoh tidak akan flu," kata Okita tanpa menoleh sama sekali.
Yamazaki mengernyit. Apakah kalimat barusan dapat diartikan sebagai, "Aku orang bodoh, jadi aku tidak mungkin flu." begitu? Lalu, haruskah ia bilang kalau peribahasa yang benar adalah 'masuk angin', bukan 'flu'? Tapi, bukankah itu artinya secara tidak langsung ia setuju bahwa Okita bodoh? Yah, sebenarnya memang tidak salah juga sih…
"Ne, Zakky, tadi kau berpikir kalau aku memang bodoh kan?" Okita tiba-tiba menoleh dan menatap Yamazaki dengan tatapan tajam.
"Ti-tidak, kok. A-aku tidak…"
"Heee… Jadi kau mau mencoba katana baruku?" Okita mulai mengeluarkan seringai sadisnya.
"Hiiiii! Aku pergi memeriksa toko itu duluuu!" Yamazaki segera berlari memasuki sebuah toko tak jauh di depan mereka, berusaha menghindari sang taichou sejauh mungkin.
Okita tersenyum, puas berhasil mengusili bawahannya lagi. Tapi tiba-tiba tenggorokannya gatal dan membuat ia terbatuk-batuk cukup parah.
"Sial.." Ia memegangi dadanya yang mulai sesak karena terlalu sering batuk. Biasanya ia jarang batuk separah ini, kecuali saat malam hari. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di depan sebuah toko sambil mengatur napasnya.
Tak lama kemudian, saat napas Okita sudah mulai kembali teratur, Yamazaki muncul dengan dua bungkus dango. "Taichou, aku bawakan dango," katanya sambil menghampiri Okita.
"Are? Taichou, kau kelihatan pucat. Kau sakit?" tanyanya khawatir. Seperti Kondo dan Hijikata, Yamazaki juga sadar kalau akhir-akhir ini keadaan Okita agak aneh.
"Haaaa?" Okita menatap Yamazaki dengan tatapan 'jangan-bicara-aneh-aneh' sehingga Yamazaki mundur beberapa langkah.
"A-aku cuma.."
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Batuk lagi-lagi mengganggunya.
"Taichou…" Yamazaki kembali menatap Okita dengan wajah cemas.
Tiba-tiba saja Okita bangkit, membuat Yamazaki agak kaget. "Oi, Zakky…" panggilnya.
"'Yamazaki' desu kedo.."
"Selanjutnya tolong ya.. Uhuk.." Okita menyambar sebungkus dango yang ada di tangan Yamazaki, lalu berjalan meninggalkan bawahannya itu.
"Taichou, kau mau ke mana?" tanya Yamazaki. Taichounya itu kelihatan kurang sehat, ia agak khawatir.
"Tidur siang," jawab Okita singkat tanpa menoleh.
Biasanya Yamazaki akan berteriak protes kalau Okita membolos, tapi kali ini ia hanya menghembuskan napas dan tersenyum tipis. Kalau benar taichounya itu sakit, rasanya akan lebih baik kalau ia menghabiskan waktunya untuk tidur siang –walaupun ini masih terbilang pagi.
Yamazaki pun kembali melanjutkan tugasnya. Kali ini seorang diri.
.
.
Okita menghempaskan tubuhnya di bangku taman. Ia bersyukur karena batuknya sudah benar-benar berhenti. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Sudah separah apakah penyakitnya? Ia tahu, ini bukan penyakit yang baru berumur sebulan-dua bulan. Sebetulnya ia sudah cukup lama merasakan gejalanya, hanya saja selama ini ia tidak terlalu peduli. Hanya flu biasa, hanya sesak napas karena flu, dan lain-lain; ia selalu berusaha mengabaikan gejala itu. Dan kini, saat ia yakinpun, ia berusaha tetap mengabaikannya.
"Aneue, beginikah perasaanmu saat mengidap penyakit itu?" Okita bergumam seraya menatap langit.
Tiba-tiba ia teringat pada dango yang ia dapat dari Yamazaki. Dibukannya bungkusan dango itu, lalu diambilnya sebatang. Namun nafsu makannya langsung menghilang bahkan sebelum ia menghabiskan satu batang itu.
Ia menghela napas. Ditatapnya pergelangan tangannya yang semakin kurus. Ia tahu bahwa Kondo dan yang lainnya mulai menyadari keanehannya. Ia tahu kalau mereka khawatir padanya. Dan ia yakin bahwa Kondo dan yang lainnya akan semakin mengkhawatirkan dirinya kalau ia terus seperti itu.
Ia kembali mengambil dango yang tersisa dan berusaha untuk menghabiskannya sampai-sampai ia mual karena memaksakan diri. Akhirnya ia menyerah dan memberikan batang ketiga pada kucing liar yang lewat.
Ia pun memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan tidur.
.
.
Rupanya tidur cukup membantu. Saat sore harinya terbangun dan memutuskan untuk kembali ke markas Shinsengumi, Okita merasa jauh lebih baik.
"Oi, Sougo, tadi aku melihat Yamazaki patroli sendirian. Kau pasti bolos lagi ya?" tegur Hijikata saat ia melihat Okita muncul dari gerbang.
"Hijikata-san, kenapa kau kelihatan kesal sekali begitu? Ah, aku tahu. Kau pasti kalah melawan Danna lagi ya? Ck.. Hijikata-san, kau betul-betul tidak belajar dari kesalahan." Bukannya menjawab, Okita malah berusaha memancing emosi Hijikata.
"Berisik! Aku tidak melawan Yorozuya itu dan aku tidak kalah!"
"Sou desukai? Kalau begitu aku masuk dulu…" Okita melambai sepintas dan berjalan melewati Hijikata.
"Ya, ya, masuk sa.. OII! KAU CUMA MENGGANTI TOPIK SAJA KAN?" Dan Okita pun menghilang tanpa mempedulikan teriakan Hijikata.
Hijikata menghela napas. Tapi ia merasa lega karena sepertinya bocah sadis itu baik-baik saja.
.
.
Ternyata tidur siang tidak benar-benar membantu. Esok harinya Okita demam setelah mengalami sesak napas dan batuk yang cukup parah di tengah malam. Kondo dan Hijikata menyempatkan diri untuk menjenguknya sebelum pergi bertugas.
"Kau tidak apa-apa, Sougo? Sejak kemarin kau kelihatan pucat. Apa perlu kita panggil dokter? Biar kusuruh Yamazaki memanggilkan dokter untukmu. Kau mau aku membelikan sesuatu untukmu nanti? Es krim? Puding? Atau buah mungkin?" Kondo nyerocos panjang lebar. Ia memang selalu seperti itu kalau bawahannya, khususnya Okita, sakit.
"Tidak perlu, Kondo-san. Paling-paling cuma flu biasa." Okita berbohong.
"Yakin kau tidak apa-apa?" Kondo kelihatan agak sangsi. Okita mengangguk.
"Kondo-san, ayo kita pergi," ajak Hijikata.
Kondo kembali menatap Okita dengan tatapan khawatir, namun ia menghela napas pasrah. "Sougo, pokoknya kau harus istirahat! Hubungi aku kalau ada apa-apa. Oke?" kata Kondo. Okita lagi-lagi mengangguk.
"Oi, Bocah Sialan, cepat sembuh! Repot kalau harus mengerjakan bagianmu juga tahu!" kata Hijikata sepintas sebelum keluar dari kamar Sougo.
Okita tersenyum pahit. Seperti dugaannya, lagi-lagi ia sudah membuat Kondo-san (dan juga yang lainnya) khawatir.
Sebelumnya ia juga sempat demam dalam jangka waktu cukup lama. Itu berlangsung tak lama setelah kematian Mitsuba. Saat itu, orang-orang menganggap bahwa penyebabnya adalah tekanan batin akibat kematian sang kakak, dan Okita pun mengaku begitu. Tapi sebetulnya saat itulah ia mulai menyadari keberadaan penyakit itu di dalam tubuhnya.
Okita menatap makanan yang disediakan oleh Kondo untuknya. Ia tidak boleh membuat mereka khawatir lagi. Dengan susah payah Okita mencoba menghabiskan makanannya, tapi ia menyerah saat baru memakan sekitar setengahnya. Ia pun memutuskan untuk tidur supaya demamnya turun.
.
.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Hijikata yang baru saja pulang dari tugasnya sedang berjalan menuju kamarnya saat ia mendengar suara batuk dari kamar Okita. Ia berhenti sejenak, menimbang-nimbang apakah ia perlu melihat keadaan anak itu sebentar atau tidak, namun akhirnya ia putuskan untuk berjalan lurus ke kamarnya. Bukannya ia tidak khawatir. Tentu saja ia khawatir pada anak itu. Tapi mengingat hubungannya dengan anak itu bagaikan kucing dan anjing, rasanya bukan pilihan yang tepat kalau ia yang menemani anak itu. Salah-salah mereka malah berkelahi. Mungkin nanti Hijikata akan menyuruh Yamazaki atau bawahannya yang lain untuk melihat keadaan Okita, mengingat Kondo belum kembali.
"HOEK!" Kali ini Hijikata benar-benar berhenti. Terserahlah nanti apa yang harus ia lakukan, yang pasti keadaan Okita sepertinya semakin aneh. Hijikata pun buru-buru berbalik dan membuka pintu kamar Okita.
"SOUGO! KAU TIDAK APA-AP…" Hijikata terperangah melihat pemandangan di hadapannya. Tentu saja Hijikata sudah menduga kalau ia akan melihat sesuatu yang menjijikkan seperti 'mantan' sarapan Okita, tapi ada satu hal yang membuatnya terkejut. Diantara muntahan itu tercampur cairan merah. Hijikata tentu langsung mengenalinya sebagai darah.
"Oi, Sougo, kau…"
"..ngan…"
"Hah?"
"Jangan bilang..siapa-siapa…" kata Okita dengan napas putus-putus, masih memegangi dadanya.
"Tapi..kau.."
"KUBILANG JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA! Uhuk..uhuk.." Tanpa sadar Okita menaikkan volumenya, membuatnya kembali terbatuk.
Hijikata cepat-cepat mengambil segelas air yang ada di meja dan memberikannya pada Okita. Okita meraih gelas yang diberikan Hijikata lalu meneguk separuh isinya, kemudian berusaha mengatur napasnya kembali.
"Kenapa kau…"
Okita mencengkram kerah seragam Hijikata bahkan sebelum Hijikata menyelesaikan kalimatnya. "Jangan bilang...Kondo-san…" Napasnya masih agak putus-putus, tapi wajahnya yang serius terlihat mengancam.
Hijikata melepaskan cengkraman Okita, lalu menatap anak itu tajam. "Sejak kapan?" tanyanya.
Okita mengalihkan pandangannya dari Hijikata, lalu menyeringai. "Entah. Mungkin sejak dulu."
"Kau sudah ke dokter?" tanya Hijikata lagi.
Okita tidak menjawab, hanya tertawa sinis. Dan Hijikata tahu pasti apa artinya.
"Sougo, kau benar-be.."
"Jangan ikut campur!" Okita terlihat emosi. "Kau tidak pernah peduli pada Aneue, untuk apa kau peduli padaku?"
Hijikata merasa tertohok, tapi ia tidak berkata apapun. Setelah sempat terdiam, ia memutuskan untuk berjalan ke lemari, mengambil sebuah selimut baru dan mengganti selimut yang terkena muntahan Okita.
"Jangan khawatir, tadi kulihat semua sedang sibuk di dojo. Biar aku yang membereskan ini," katanya seraya membawa selimut kotor ke luar dari kamar Okita.
"Hijikata-san! Aku tidak butuh simpatimu!" teriak Okita sebelum Hijikata menutup pintu.
Okita benci terlihat lemah, apalagi di hadapan Hijikata, orang yang ada di urutan teratas di dalam daftar orang yang dibencinya. Dan simpati dari Hijikata hanya akan membuatnya teringat bagaimana dinginnya orang itu pada kakaknya dulu.
Hijikata menutup pintu tanpa berkata apa-apa.
.
.
Dua hari kemudian Okita sudah merasa kembali sehat. Bahkan ia sudah bisa menganiaya Yamazaki dan anak buahnya yang lain.
"Oi, Sougo! Kalau kau punya waktu untuk melakukan hal yang tidak penting seperti itu, lebih baik kau ikut patroli bersamaku!" tegur Hijikata.
Okita menghentikan kegiatannya dengan wajah bete. Tapi tiba-tiba ia menghampiri Hijikata dengan langkah terseret-seret dan wajah menunduk. "Hijikata-san.." Ia memegang bahu Hijikata, "Aku..mual…" katanya.
Hijikata mulai merasakan berat badan Okita tertumpu padanya. Ia pun mulai panik. "O-oi! Kau baik-baik saja?" Hijikata sebisa mungkin berusaha menahan tubuh Okita agar tidak terjatuh. "Bodoh! Harusnya kalau kau belum sembuh kau istirahat saja tahu!"
Secara tiba-tiba Okita mengangkat wajahnya dan menatap Hijikata sambil menyeringai. "Jaa~ Jadi aku bebas tugas?"
"Kauuu…" Hijikata menggeram saat menyadari bahwa anak di hadapannya hanya berakting.
Okita terkekeh dan melepaskan diri dari Hijikata. "Jadi kau benar-benar percaya kalau aku sakit parah? Benar-benar bodoh sekali, Hijikata-san…" Okita tersenyum meremehkan.
"Sooouuuugooooo!" Hijikata mengejar Okita yang sudah berlari menjauh. Percuma ia khawatir pada bocah itu.
Okita berlari menjauh dari kejaran Hijikata sambil tersenyum puas. Begini lebih baik. Ia tidak mau seorangpun tahu. Biar saja Hijikata mengira bahwa ia hanya main-main. Biar saja…
.
.
Hijikata melirik Okita yang berjalan di sebelahnya setelah berhasil ia seret untuk ikut berpatroli.
"Hijikata-san, jangan.." kata Okita tiba-tiba.
"Hah?"
"Jangan menatapku seperti itu.. Aku masih normal, tidak tertarik pada laki-laki." kata Okita dengan wajah polosnya.
"SIAPA JUGA YANG TERTARIK PADAMU?" teriak Hijikata gusar. Ia menghela napas. Anak di sampingnya itu memang paling jago berakting. Meskipun sudah mengenal anak itu sejak dulu, Hijikata masih sering bingung kapan ia harus percaya dan kapan tidak. Ia sudah terlalu sering tertipu.
"Ah! Ada takoyaki!" Okita tiba-tiba berseru, lalu berlari menuju tukang takoyaki.
Hijikata menatap sang taichou yang kini sudah menghampiri tukang takoyaki dengan wajah sumringah. Ia sudah terlalu sering tertipu. Tapi rasanya, ia tidak yakin kalau yang ia lihat dua hari yang lalu hanyalah akting. Yang mana yang harus ia percaya kali ini?
"Takoyakinya satu!" Tepat pada saat Okita memesan, sebuah suara yang familiar juga melakukan hal yang sama.
"Nandayo? China desukai?" Okita menatap gadis berpakaian Cina di sebelahnya.
"Ngapain kau mengikutiku, Bocah Sialan?" teriak gadis itu.
"Siapa yang Bocah? Kau yang lebih bocah dariku tahu!" Okita balas berteriak.
"Anoo… Niisan, Neesan.. Maaf, tapi takoyakinya tinggal seporsi. Hari ini kebetulan banyak yang beli sejak tadi pagi." Si penjual takoyaki menyela adu mulut antara Okita dan Kagura.
"Kau dengar itu Pangeran Sadis? Bagaimana kalau kau mengalah untuk seorang lady?" kata Kagura.
"Hoo.. Lady? Yang benar saja.. Siapa yang lady? Yang kulihat hanya cewek berpakaian Cina yang garang," kata Okita dengan wajah meremehkan.
"Kono yarooooo!"
Dan seperti yang sudah diduga Hijikata, dua bocah itu akhirnya berkelahi.
Ketika Okita dan Kagura sibuk berkelahi, seorang anak kecil menghampiri si penjual takoyaki dan memesan takoyaki. Si penjual takoyaki kebingungan. Seharusnya sih ia memberikan takoyaki terakhirnya pada pemenang pertarungan nanti. Tapi melihat pertarungan antara Okita dan Kagura kelihatannya tidak akan berakhir, akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan takoyaki terakhir pada anak kecil itu.
"Oi, Sougo, Cewek Cina, kalian terlalu sibuk berkelahi sampai-sampai takoyakinya sudah dibeli orang lain tahu!" Hijikata memberitahu kedua bocah itu.
"APAAA?" Kedua bocah itu berteriak dan menoleh ke arah Hijikata secara bersamaan, tapi tangan mereka tidak berhenti menyerang satu sama lain.
"Ini salahmu Pangeran Sadis Sialan!"
"Salahmu Cewek Cina Sialan!"
"Oi..oi…" Hijikata geleng-geleng kepala melihat kedua bocah itu malah semakin serius bertarung.
Belum terlalu lama bertarung, Okita sudah merasa lelah. Ternyata kondisinya sekarang memang sudah berbeda dengan ia yang dulu. Keringat sudah mulai membanjiri Okita, tapi ia masih tetap bertarung. Ia tidak berminat mengalah pada musuh bebuyutannya itu.
"Uhuk!" Okita tiba-tiba terbatuk. Setelah berhasil menghindari satu serangan Kagura, ia melompat mundur, menjauhi arena pertarungan. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Okita kembali batuk, dan parahnya lagi, batuknya tidak bisa berhenti.
"Oi, Sougo!" Hijikata yang menyadari keanehan itu langsung menghampiri Okita. Kagura yang merasa aneh juga memutuskan untuk menghampiri musuh bebuyutannya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Hijikata cemas.
"Oi, Sadis, kau tidak apa-apa?" Kagura ikut bertanya. Tapi Okita tidak bisa menjawab. Ia masih sibuk dengan batuknya.
"Itu…" Kagura menunjuk darah yang ada di tangan dan sekitar mulut Okita. Hijikata terperangah.
Sementara itu, Okita masih tidak bisa menjawab. Dadanya sakit dan sesak, kepalanya pusing karena kurang oksigen. Dan terlebih lagi, ia kesal karena tidak bisa melakukan apa-apa.
'Kenapa? Kenapa harus di depan mereka?' pikirnya. 'Kenapa harus mereka yang melihatku seperti ini?'
Sesaat kemudian kesadarannya menghilang.
.
.
"Ah, Okita-san, kau sudah sadar?"
Okita menatap langit-langit. Rasanya ini bukan langit-langit kamarnya. Lalu orang di hadapannya itu…
"Koko…yorozuya kai?" tanyanya pada anak berkacamata yang ada di hadapannya.
"Iya. Ini kamar Gin-san," jelas anak itu.
"Aku dan Mayora yang membawamu ke sini," kata suara lain. Okita menoleh dan melihat bahwa si cewek Cina rupanya ada di situ juga.
"Yareyare~ Rumahku bukan rumah sakit tahu," suara lain kembali terdengar. Kali ini suara Gintoki.
Okita, dibantu oleh Shinpachi, bangun untuk duduk. "Suimasen ne Danna.. Merepotkanmu begini. Padahal cuma flu biasa," kata Okita dengan suara monoton dan pokerface seperti biasa, berharap orang-orang di hadapannya ini masih bisa ditipu, walaupun ia sendiri tahu kalau hal itu agak mustahil.
Gintoki menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah malas, "Ya, ya..tidak apa-apa.. Kau cuma flu biasa kan… Flu biasa yang membuat batuk berdarah…" Ia menghela napas, "MANA MUNGKIN FLU BIASA KAN?" serunya tidak sabar.
"Okita-san…" Shinpachi menatap Okita dengan tatapan simpati.
Okita menunduk. Suasana menjadi hening sebelum akhirnya ia berkata lirih, "Jangan beritahu siapapun. Terutama Kondo-san…"
"Tapi Okita-san…"
"Jangan bersimpati padaku!" Ia sedikit membentak. Tiba-tiba ia tersenyum sinis, "Aku tidak pantas diberi simpati." Ia menunduk, "Aku..membiarkan Aneue sendirian saat ia sakit…" bisiknya.
Entah karena pengaruh penyakitnya atau bukan, tapi emosi dalam dirinya terasa campur-aduk sampai-sampai ia tidak bisa mengontrolnya. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia jarang sekali menunjukkan emosi terdalamnya di hadapan orang lain. Ia benci memperlihatkan emosinya. Ia benci karena ia akan terlihat lemah, seperti sekarang.
"Okita..san.."
Gintoki yang membaca suasana langsung bangkit. "Oi, Shinpachi, Kagura! Ayo keluar. Orang yang sakit 'flu' harus banyak istirahat," katanya. Mereka bertiga pun meninggalkan Okita sendirian di dalam kamar, lalu menutup pintu.
"Kau dengar itu, Oogushi-kun?" Gintoki menatap orang yang sejak tadi berdiri di dekat pintu kamarnya.
"Fuuh.." Hijikata menghembuskan asap rokoknya. "Tolong jangan biarkan dia keluar sampai dia kelihatan benar-benar sehat lagi atau aku yang akan repot menghadapi Kondo-san," katanya sambil berjalan menuju pintu keluar.
Tidak pantas diberi simpati katanya? Yang benar saja! Memangnya ia pikir Hijikata akan diam saja? Hijikata sudah cukup menyesal karena tidak berbuat apa-apa sampai kematian wanita itu dan ia tidak mau kembali melakukan kesalahan yang sama.
Kalau memang anak itu tidak ingin orang lain tahu, ia akan merahasiakannya. Biar ia yang menjaganya. Paling tidak kali ini ia ingin melakukan sesuatu untuk adik dari wanita itu, wanita yang penting baginya.
.
To be continue...
Notes:
Taichou: komandan
Fukuchou: Wakil ketua
'Yamazaki' desu kedo: Sebetulnya namaku 'Yamazaki'
Aneue: Kakak perempuan (lebih sopan daripada Neesan)
Danna: Tuan (panggilan Sougo dan Yamazaki untuk Gintoki)
Sou desu kai?: begitukah?
Nandayo? China desukai? : Hee.. ternyata si Cina
Niisan: Kakak laki-laki
Neesan: Kakak perempuan
Kono yarou: si sialan ini
Koko Yorozuya kai? : Ini di Yorozuya?
Yareyare.. : ya ampun..
Oogushi: panggilan Gintoki untuk Hijikata
A/N: Ahahahaha... -ketawa garing-
Anoo.. maafkan judulnya yang sangat aneh dan maksa (begitu juga summary-nya). Itu betul2 dicari (dan didapatkan) di saat-saat terakhir.. Maaf.. -menunduk dalam-dalam-
Masih bersambung.. Jadi ditunggu komennya. Terus, terutama masalah deskripsinya. Ru agak lemah masalah deskripsi, jadi nggak tau apa ini udah bisa bikin pembaca bisa ngebayangin situasinya atau nggak. Hahaha... -ketawa garing (lagi)-
Terima kasih udah baca :)
