Sudah sejak lama pengen nulis fanfic tentang Indonesia tapi nggak pernah dapet ide yang bagus, akhirnya kepikiran juga ide ini. Indonesia mempunya budaya yang unik, betul? Nah, kan sudah biasa bagi para Negara berkembang untuk mempelajari kebudayaan Negara maju, bagaimana sebaliknya? Tentu yang jadi objek perhatian di sini adalah Indonesia, yay!

Indonesia yang kugunakan adalah OC milikku (udah kugambar, juga lagi dibikin doujinnya, cuma lagi rehat karena sibuk belajar buat tes SNMPTN). Namanya adalah Doni Nusa Budiono yang tentu saja cowok (males bikin yang cewek, nggak tau kenapa). Sifatnya? Yah sama seperti orang Indonesia pada umumnya lah, baca aja sendiri!

Warning: OOC, aneh, jayus….miss typo, dll

Indonesia's Culture!

Chapter 1: America part 1! Learning Indonesia's daily live!

Setiap Negara memiliki budaya mereka sendiri, bahkan meskipun Negara tersebut terlihat sangat mirip sekilas, tapi tentu banyak hal yang membedakannya. Setiap Negara memiliki kelebihannya masing-masing, keistmewaannya masing-masing yang layak dipelajari oleh Negara lain sebagai panutan. Karena itu, tidak sedikit Negara-negara yang sibuk mempelajari kebudayaan Negara lain.

"Karena itulah aku datang kemari! Hahahaha!"

Indonesia memandang pria di depannya, yang sedang tertawa di depan pintu rumahnya. Entah ketiban duren apa kemarin, duren sawitkah? Tiba-tiba bosnya kemarin meneleponnya bahwa America akan datang ke rumahnya dan tinggal selama sehari bersamanya. Alasannya sih untuk "mempererat tali persahabatan" atau apa, Indonesia tidak begitu mengerti.

"Pantas pagi-pagi ada yang menggedor pintu rumahku tanpa mengucapkan salam [1], ternyata kau yang datang, America-san" gumam Indonesia sambil sedikit mengeluh, ah….tambah lagi kerjaannya hari ini.

America yang seperti biasa, tidak bisa membaca atmosfir keadaannya, hanya tersenyum saja. "Kau datang pagi sekali, sekarang baru setengah tujuh lho….oh ya, silahkan masuk," kata Indonesia, mundur dari depan pintu rumahnya agar bisa mempersilahkan America masuk.

"Aku memang sengaja datang pagi, aku kan ke sini untuk…uhm….," America berhenti bicara dan segera meraih notes yang ada di sakunya. Indonesia memandangnya dengan heran. Begitu America membuka halaman catatannya, ia kembali bicara. "Iya, aku datang ke sini untuk mempelajari kebudayaanmu…uhk…lebih ke kehidupan sehari-hari sih," kata America, membaca catatannya dengan bingung. Indonesia juga bingung.

"Kukira kamu datang ke sini untuk wisata, seperti biasa," kata Indonesia.

"Ah, untuk apa aku wisata kemari? Di tempatku juga lebih banyak tempat wisata yang lebih menarik daripada di sini," kata America dengan senyum sumringah, tidak menyadari perkataannya cukup menusuk Indonesia.

"Yah…terserah kamu sajalah," kata Indonesia dengan wajah sedikit pucat.

"Ngomong-ngomong, apa kamu sudah sarapan?" tanya Indonesia, sudah sedikit kembali ceria. Bukan Indonesia namanya jika pundung terlalu lama.

"Belum, aku lapar sekali! Aku mau makan hamburger yang banyak!" kata America dengan senang. Indonesia sweatdrop mendengarnya.

"Eh….tapi Mc Donald sudah buka belum ya jam segini? Eh, sudah ding….tapi jauh…aduh," Indonesia bergumam sendiri. Sudah sepatutnya bagi seorang tuan rumah untuk menjamu tamu, tapi kalau tamunya America? Waduh…dompetnya pasti tipis nanti….

"Bagaimana kalau makan makanan Indonesia saja, kan mumpung ada di sini?" tanya Indonesia dengan wajah membujuk. Terus terang saja, ia sudah punya hutang segunung, bukan sesuatu yang bagus bila ia mentratir Negara di depannya yang notabenya jauh lebih kaya dari dia.

"Eh iya ya? Yah, asal makanannya tidak seperti masakan England, tidak apa-apa kok," tambah America lagi. Indonesia menarik napas lega, dengan sedikit menaruh simpati pada England.

"Kalau begitu….biar kubelikan bubur ayam saja, itu sarapan paling wajar di sini," kata Indonesia. Yah, paling kalau bukan bubur ayam, paling nasi goreng dengan nasi bekas kemarin atau sisa lauk kemarin….yang penting bisa dimakan apa saja jadi.

"Eh? Bubur?" America kaget mendengarnya. Namun, Indonesia sudah berjalan keluar pintu untuk mencari tukang bubur yang biasanya lewat di depan rumahnya pada jam segini. Waduh…kemana pula tukang buburnya? Biasanya pagi-pagi begini sudah muncul di depan rumahnya.

"Nah itu dia," seru Indonesia saat melihat tukang bubur muncul bersama gerobaknya sambil memukul mangkok dengan sendok berulang kali. Tanpa pikir panjang, serta sandal, Indonesia segera mengejar tukang bubur langganannya, meninggalkan America yang heran melihatnya.

"Bang beli bubur…err…aduh berapa ya? Lima mangkok deh," kata Indonesia mengira-ngira, semoga segitu saja cukup.

"Ok mas, biasanya cuma tiga, kenapa? Lagi lapar ya mas?" tanya tukang bubur yang memang sudah akrab dengan Indonesia.

"Ah nggak, kebetulan komodo piaraan saya lagi ngidam makan bubur aja," jawab Indonesia asal, membuat sang tukang bubur plongo…

Setelah 5 mangkok bubur selesai disajikan, Indonesia berharap bubur ini tidak mengandung formalin atau zat apapun yang bisa bikin America semaput nantinya, Indonesia segera membawanya ke dalam rumah. Sempat ia melihat komodo piaraannya yang bertengger…err…berdiam di pojok halamannya memandang bubur-buburnya dengan mupeng.

"Ntar ya sarapannya, sekarang aku harus kasih makan binatang-piaraan-yang-numpang-lewat di rumah dulu," kata Indonesia sambil mengedipkan mata ke komodo kesayangannya.

Indonesia segera memasuki rumahnya dan menuju meja makan yang jarang dipakai….karena biasanya ia lebih suka makan di depan tv atau duduk di lantai [2]. Ia melihat America hampir terlelap di mejanya, Indonesia hanya tersenyum melihatnya. Yah, asal dia nggak sampai ngiler di situ nggak apa-apalah.

Memang sih, kehidupan pagi di Indonesia dimulainya pagi banget, bisa dimulai dari fajar menyingsing. Kalau di America, mungkin jam segini masih terlalu pagi? [3]

"Oi, America-san, bangun, mau sarapan nggak?" tanya Indonesia sambil mengguncang-guncang tubuh America. America segera terbangun dengan wajah beler mengantuk dan kacamata miring.

Indonesia segera menyodorkan semangkuk bubur ayam kehadapannya dan ia duduk di sebelah America dengan semangkuk bubur ayam lainnya? Sisanya? Tenang, nanti juga ludes.

"Ini buat sarapan?" tanya America memandang bubur ayam yang ada di depannya. Indonesia yang hendak memakan buburnya, lengkap dengan sendok penung bubur yang menggantung di udara, segera berhenti dan kebingungan. Maksudnya?

"Ya iyalah, masa' buat mandi?" kata Indonesia sambil tertawa kecil.

"Oh, habisnya, di tempatku, bubur cuma buat orang sakit saja [4]," kata America.

"Hm…gitu ya? Yah maklum, soalnya abangnya juga biasanya jualan di depan rumah sakit kok," jawab Indonesia (lagi-lagi) sekenanya. America hanya plongo tapi segera memakan buburnya.

"Wah, enak juga! Rasanya hambar-hambar gimana gitu, tapi enak!" kata America segera melahap buburnya dengan rakus.

'Itu pujian atau sindiran sih?' tanya Indonesia dalam hati.

Setelah 5 mangkok ludes, 3 mangkok oleh America dan 2 mangkok oleh Indonesia (yang sebenarnya masih lapar tapi nggak mau menderita kantong kering nantinya) Indonesia segera mengembalikan ke-5 mangkok tersebut kepada pemilik sebenarnya.

"Jadi di sini makanan juga ada yang dijual keliling ya?" tanya America memandang tukang bubur yang kembali ngider dari halaman.

"Memangnya di tempatmu nggak ada?" tanya Indonesia yang sudah begitu akrab dengan pedagang kaki lima hingga tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa mereka [5].

"Kalau di tempatku paling adanya, mobil perpustakaan keliling atau klinik keliling, nggak ada tuh yang keliling-keliling pakai gerobak kayak gitu, menarik ya tempatmu ini!" kata America, lagi-lagi menusuk Indonesia tanpa sadar.

'Hahaha….itu artinya aku masih tradisional banget ya?' tanya Indonesia dalam hati.

IoI

"Kamu masih pakai cuci baju pakai tangan?" tanya America yang kini sedang memperhatikan Indonesia mencuci setumpuk baju di kamar mandinya yang sempit. Indonesia, dengan wajah belepotan air dan busa serta baju setengah basah hanya menghela napas.

"Iyalah, ini sih sudah kebiasaan dari dulu [6]," jawabnya. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan America selanjutnya.

"Kalau di tempatku, mencuci baju pakai mesin cuci, memangnya kamu tidak punya?" tanya America lagi, rasanya repot bila harus mencuci setumpuk pakaian seperti itu dengan tangan.

'Daripada beli mesin cuci, mending buat beli beras deh…,' pikir Indonesia dalam hati.

"Kalau kamu mau, aku punya mesin cuci canggih yang bisa mencuci bersih dan langsung kering dalam hitungan menit kok," tawar America, tampak bangga dengan teknologi negaranya.

"Haha, nggak deh makasih…," tolak Indonesia dengan halus.

'Nanti makin tinggi tumpukan hutangku…kalau gratis boleh saja sih…,' pikir Indonesia dalam hati.

IoI

"Setelah mencuci, menjemur pakaian, sekarang kamu mau ngapain lagi?" tanya America tampak bersemangat. Keseharian Indonesia benar-benar berbeda dengannya, ia jadi sedikit penasaran.

"Hm, masak dulu baru nanti buang sampah terus nyapu dan ngepel," kata Indonesia. Sebenarnya kesehariannya yang asli adalah begitu sarapan, ia harus langsung pergi menemui bosnya dan mengerjakan tugas-tugas kenegaraannya. Tapi, berhubung hari ini bosnya mengatakan untuk menemani America seharian ya sudah….dan karena Americanya juga nggak berniat wisata, mendingan waktu seperti ini dipakai untuk beres-beres rumah.

Indonesia segera menuju dapur dan memikirkan apa yang akan ia masak hari ini, berhubung America juga ada di sini.

"Kamu bisa masak Indonesia?" tanya America.

"Iyalah, lumayan, lebih irit daripada harus beli di luar," jawab Indonesia yang sibuk mengeluarkan berbagai macam bahan makanan dari dalam kulkas dan lemari.

"Mau masak apa?" tanya America lagi.

"Alah, kamu juga nggak bakal tahu, liat ntar aja," kata Indonesia. Setelah semua bahan siap, mulailah Indonesia memasak, sebelum diganggu America.

"Indonesia..kamu masak di lantai?"

Indonesia tercengang sejenak sebelum ia sadar bahwa ia memang sedang memasak di lantai. Ia duduk di lantai dengan berbagai bahan makanan dan bumbu dapur mengelilinginya.

"Iya….udah kebiasaan," kata Indonesia sambil tersenyum.

"Kan kamu punya meja, kenapa nggak masak di situ?" tanya America lagi.

'Waduh, jawabnya gimana ya?' tanya Indonesia dalam hati. Sebenarnya kebiasaan ini muncul karena dulu Indonesia terbiasa pakai kompor minyak. Lazimnya, kompor minyak ditaruh di lantai, jadi memotong bahan, mempersiapkan bumbu, semuanya dikerjakan di lantai juga. Bahkan meskipun sekarang sudah berganti dari kompor minyak ke kompor gas, tetap saja kebiasaan itu belum hilang.

"Capek berdirinya," jawab Indonesia, nggak sepenuhnya bohong. Meski tidak suka mengakuinya, Indonesia memang sedikit sadar bahwa ia itu….tradisional sekali, meski bagi sebagian orang, mereka lebih senang menyebutnya sebagai 'budaya' [7].

America cuma mangut-mangut. Memang sudah ia kira, Indonesia itu unik sekali…dalam berbagai arti.

IoI

America mencatat di notesnya, dengan berantakan dan tidak beraturan, apa saja yang ia pelajari dari Indonesia. Di Indonesia, bubur adalah masakan yang lazim bukan cuma dimakan oleh orang sakit, ada pedagang keliling yang berjualan dengan menarik gerobaknya kemana pun ia pergi, Indonesia masih mencuci baju pakai tangan, ia juga memasaknya di lantai (aneh….), gas Indonesia dijual dalam bentuk tabung bukan dialirkan melalui pipa seperti di tempatnya (dan sejujurnya, tabungnya beresiko meledak setiap saat).

Setelah selesai, America menaruh kembali notesnya di dalam sakunya dan memandangi halaman Indonesia dimana komodo peliharaan Indonesia sedang mengejar ayam-ayam milik tetangganya.

"America-san, kamu sedang apa?" tanya Indonesia, yang tampaknya sudah selesai mandi setelah semua pekerjaan rumahnya beres.

"Nggak, cuma lagi melihat komodo milikmu, menarik ya?" tanya America sambil tertawa melihat komodonya kini sedang dikejar-kejar balik oleh ayam jago yang merupakan suaminya ayam-ayam yang ia kejar tadi.

"Iya, setahuku, komodo cuma ada di tempatku saja," kata Indonesia, senang rasanya….komodo adalah hal yang bisa ia banggakan.

"Boleh aku minta komodonya?"

"Nggak."

IoI

America menatap makanan berjejer yang ada di depannya. Tanpa dirasa, waktu sudah berlalu dan sekarang sudah waktunya makan siang. Meski menurut Indonesia, tidak ada waktu makan siang yang pasti di tempatnya. Intinya, kapan saja boleh….

America melihat Indonesia sedang mengambil nasi dari magicjer (tapi nasinya masih ia masak sendiri) dan mengambil berbagai lauk serta sayur dan disatukan di dalam piringnya.

"Kamu makannya disatukan begitu ya?" tanya America lagi.

Indonesia melirik piringnya yang kini penuh nasi, oseng kangkung, sambal, ikan asin dan juga tempe.

"Iya, di tempatku makannya begini," kata Indonesia. Memangnya kalau di Negara lain bagaimana? Oh ya, Japan biasanya makan dengan nasi dan lauk pauknya terpisah, tapi makan begitu kan ribet….

America segera mencontoh apa yang Indonesia lakukan, meski ia tidak begitu suka makan nasi, mendingan makan hamburger tapi aji mumpung lagi di Indonesia, sekalian saja coba semuanya.

Indonesia ragu apakah ia harus menggunakan sendok untuk makan….ia sudah terbiasa makan pakai tangan, itu sudah mendarah daging sekali. Meski ia kadang suka dimarahi bosnya karena kebiasaan 'jadul' itu tapi tetap saja ia tidak bisa berhenti. Kontras sekali bila dibandingkan dengan table manner milik Negara-negara mentereng [8].

Ah sudahlah, pakai tangan saja, toh yang dimakannya sekarang juga masakan Indonesia kan?

"Ternyata kamu makannya memang pakai tangan," kata America begitu Indonesia menggunakan tangannya untuk makan.

"Iya, kebiasaan," jawab Indonesia sambil tersenyum nervous. Agak malu juga harus makan ala rakyat jelata di depan Negara adi kuasa begini…tapi, siapa yang peduli? Segini masih mendingan kan? Setidak nya ia makan di meka, bukan makan dilantai dengan posisi kaki seperti orang makan di warteg (bisa bayangkan sendiri kan?).

Indonesia melanjutkan sesi makannya dengan santai, ia terkejut melihat America mencoba apa yang ia lakukan. Tapi, Negara berkacamata itu kesulitan menyendok nasi dengan tangannya yang terus berjatuhan atau lengket di jarinya. Melihat itu, Indonesia hanya tertawa.

"Begini, pertama kumpulkan nasinya, terus taruh lauk pauk di atasnya sedikit, lalu sendok pakai keempat jari dijepit dengan ibu jari, nah begitu," kata Indonesia membimbing America makan sambil menahan tawa dalam hati.

"Susah banget sih, kalau roti sih memang gampang dimakan pakai tangan tapi nasinya lengket dan gmpang jatuh begini….panas lagi," keluh America tapi tetap melanjutkan makannya. Mendengarnya, Indonesia hanya tertawa.

"Tapi enak banget, apalagi yang merah ini, pedas banget," kata America.

"Itu namanya sambal, emang pedas, kan dibuat dari cabe," jawab Indonesia melanjutkan makannya.

"Lebih enak makan begini deh, daripada makan seperti England, agak ribet harus pakai pisau, garpu dan sendok," terang America.

'Iya, memang makan 'ala rakyat jelata' lebih enak,' pikir Indonesia dalam hati.

Tbc?


[1] Di Indonesia terbiasa bertamu dengan mengucapkan salam kan? Bahkan terkadang yang non-Islam sekalipun mengucapkan salam, ini sudah merupakan kebiasaan hingga aneh rasanya bila bertamu tanpa mengucapkan salam. Soalnya dulu, aku pernah bertandang ke rumah orang non-Islam, begitu mengetuk pintu aku hampir mengucapkan "Assalamu'alaikum" tapi langsung berhenti dan kebingungan sendiri, waduh ngomong apa nih, jadinya cuma "Permisi!"

[2] Kehidupan orang Indonesia pada umumnya, terutama orang tua, sangat lekat dengan L-A-N-T-A-I. Rasanya di lantai kita bisa melakukan apa saja termasuk makan dan nonton tv, bahkan tidur juga belajar. Rasanya duduk di lantai cukup lekat dengan kebudayaan Asia, seperti Japan, tapi bedanya orang Indonesia tidak bermasalah duduk di lantai keramik yang dingin tanpa alas. Juga lebih memilih duduk di lantai bahkan meskipun sudah ada sofa, tapi kalau ada tamu tentu jadi segan duduk di lantai, bukan begitu?

[3] Meski banyak orang Indonesia pemalas, tapi sebenarnya kita termasuk rajin karena kehidupan pagi Indonesia biasanya dimulai sejak subuh. Ada istilah 'nanti rezekinya dipatuk ayam' bila bangunnya terlalu siang.

[4] Dulu ada orang bule (tapi nggak tau dari negara mana) yang bertanya pada guru les bahasa inggrisku ketika ia melihat orang-prang makan bubur di warung pinggir jalan, kelihatannya bubur bukan makanan yang lazim di negara barat ya? Mungkin karena beras dan nasi bukan makanan pokok di sana. Guruku cuma menjawab dengan "oh itu kan di depan rumah sakit" begitu, soalnya malas menjelaskan panjang lebar pada temannya itu.

[5] Penjual keliling paling lazim di temukan di Indonesia, sampai-sampai rasanya sulit hidup tanpa mereka (haha, lebay). Kalau di negara lain, aku cuma tahu Cina yang juga banyak penjual kelilingnya (tapi masih lebih banyak Indonesia).

[6] Untuk orang kaya jelas beda, tapi karena kebanyakan orang-orang Indonesia itu kelasnya menengah kebawah, jadi mencuci pakai tangan itu masih biasa banget kan? Jarang ada yang bergantung pada mesin cuci, sekalipun dipakai mungkin cuma untuk baju-baju tertentu. Atau malah gabungan keduanya, mencuci pakai tangan supaya bersih lalu dicuci lagi dan dikeringkan dengan mesin cuci. Tapi, itu untuk penduduk perkotaan, untuk pedesaan masih ada saja yang mencuci di sungai kan?

[7] Aku baru sadar, kebanyakan ibu-ibu lebih senang memasak di lantai (bahkan aku sudah bertanya ke teman-temanku soal ini) padahal ada meja untuk memasak. Kupikir, mungkin ini karena kebiasaan pakai kompor minyak? Mungkin inilah yang disebut dengan 'tradisional' atau seperti yang guruku bilang, inilah 'budaya' orang Indonesia

[8] Indonesia terbiasa makan pakai tangan, pasti udah pada tau ya? Dibanding dengan table manner orang barat rasanya benar-benar seperti rakyat jelata sekali, makan pakai tangan...aku juga suka! Table manner itu makan dengan aturan yang agak ketat, sendok garpu bermacam-macam untuk setiap jenis masakan, seperti sendok sup dll...wah ribet banget, beda sekali dengan makan ala rakyat jelata milik Indonesia

Itu dia chapter 1, maaf America agak OOC mungkin di sini, aku nggak bisa membuat dia menonjol seperti biasanya, nanti Indonesia tenggelam...hehe

Ada yang punya ide lain tentang 'budaya' Indonesia?

Review diterima, kalau reviewnya sedikit paling ini fanfic hiastus...garing sih...