Disclaimer: C.S. Lewis
Warning: OOC, typo, etc.
...
Edmun menarikku, membawaku ke pojokan.
"Lu, dengar. Hari ini aku mau nembak Lilian. Apa gayaku sudah keren?" tanyanya dengan antusias.
Aku tertawa, Edmun tampan. Dia cukup tampan untuk pemuda seusianya, tapi sepertinya di memerlukan bantuan Susan untuk merapikan penampilannya.
"Kurasa kau harus melihat cermin, Ed." Kelakarku membuatnya cemberut.
"Ayolah, Lu. Aku tidak mau kalah dengan Sam yang sudah bisa menggandeng pacar baru ke prom nite nanti." Rajuknya.
Masih tertawa geli kurapikan rambut kakak laki-lakiku ini. Aku harus sedikit berjinjit untuk bisa melakukannya dan Edmun mengerti sehingga dia menunduk untuk mempermudahkanku. Tepat saat aku mendongak sehingga tatapan kami berdua bertemu.
...
Lilian memiliki mata biru yang tenang dan senyum yang menawan. Tapi entah mengapa mata coklat milik Lucy –yang serupa dengan milikku- terlihat begitu indah.
"Ed, kau baik-baik saja?" tegurnya sembari terus merapikan rambutku.
Entah mengapa aku agak segan berada dengan jarak seminim ini dengan Lucy. Aku harus mencegah sesuatu yang tidak boleh terjadi.
Lucy agak terlonjak saat kucengkram erat tangannya. Lucy adalah adikku, dan tidak hanya kali ini saja kami berdua bersentuhan. Tapi entah mengapa, kulitnya yang halus membuat darahku tersirap seketika. "Aku rasa, aku sudah siap Lu. Terimakasih sudah membantuku." Kataku yang membuat wajah tegangnya menjadi lebih santai.
Meskipun begitu, detak jantungku tidak bisa melambat dan santai. Rasanya aku ingin menyentuhnya lagi.
"Um, aku akan melakukannya sekarang." Ujarku dengan agak gugup, dan Lucy hanya tersenyum. Senyum yang kusukai. Senyum yang sama yang dimiliki oleh Ibu.
"Semoga beruntung, Ed. Kuharap kau bisa punya pasangan untuk malam perpisahan nanti." Lucy mengalihkan pandangannya, namun bibirnya masih mengulas senyum itu.
CUP!
Kecupan ringan kuberikan di pipi kanannya, dan semburat merah mewarnai wajahnya yang manis.
"Terima kasih, Lu." Kataku dan segera meninggalkannya. Berlari mencari Lilian dengan setangkai mawar di tanganku.
...
"Susan, bagaimana rasanya tinggal di Amerika? Pasti menyenangkan." Tanya Lucy pada Susan yang tengah sibuk memotong wortel.
"Hmmm, cukup menyenangkan. Tapi rasanya agak kesepian karena tidak ada kalian bertiga." Balas Susan yang kemudian mengaduk sup dan memasukkan wortel yang sudah dipotongnya.
"Yah, aku mengerti perasaanmu. Aku juga kadang merasa kesepian di sini." Gumam Lucy yang tengah mencuci piring.
"Hey, nikmati saja. Masa kuliah itu, masa yang menyenangkan." Kelakarnya.
"Meskipun tidak semenyenangkan dibandingkan di Amerika." Celetuk Lucy.
Susan tertawa, "Semua tempat itu menyenangkan, Lu.". Lucy tertawa. "Tapi bila kau mendengar kesan dari Peter, maka semuanya akan berbeda."
Mereka berdua tertawa, hingga tidak menyadari suara pintu yang dibuka.
"Susan!" itu suara Edmun.
"Hai, Edmun." Sapa Susan. Edmun segera memeluk kakak perempuannya itu.
"Bagaimana kabarmu? Bagaimana hubunganmu dengan Caspian? Dia sering bercerita padaku tentang kau yang sangat sibuk." Celoteh Edmun.
"Yah, kadang dia agak kesal bila aku sudah bekerja. Tapi seringkali dia juga menungguku menyelesaikan semua pekerjaan di depan pintu kamarku."
"Oh, itu romantis sekali." Ledek Edmun sementara Susan hanya tertawa.
"Tapi ngomong-ngomong kapan kau datang?" tanya Edmun.
"Tadi pagi, saat kita berdua masih kuliah." Celetuk Lucy dari belakang.
Gadis itu memegang semangkuk besar sup panas yang terlihat lezat.
Edmun meneguk air liurnya. Bukan karena supnya, tapi karena gaun Lucy yang agak rendah di bagian dadanya. Memperlihatkan leher jenjang adiknya itu.
'Terlihat nikmat.' Batin Edmun jahat. Namun akal sehatnya menamparnya, 'ingat, dia adikmu!'.
"Supnya sudah jadi, ayo kita makan siang." Ajak Lucy, pandangannya sayu kepada Edmun yang mulai berkeringat dingin.
"Benar! Ayo kita makan siang. Setelah itu kalian bisa mengantarku ke bandara." Ajak Susan.
Edmun dan Lucy yang tadinya duduk manis di meja makan tampak terkejut.
"Su, apa maksudnya?" tanya Lucy kebingungan.
"Aku hanya mampir, Lu. Aku haru ke Paris nanti sore." Jawab Susan dengan senyum penuh penyesalan.
Lucy tampak kecewa begitu juga dengan Susan. "Bagaimana kalau kita cepat makan? Supnya akan segera dingin." Sela Edmun menghancurkan kebisuan itu.
Baik Lucy ddan Susan mengambil sendok mereka dengan pandangan hampa.
...
Bandara tampak begitu ramai saat Edmun dan Lucy mengantarkan Susan.
"Jaga diri kalian. Jangan sampai sakit." Pesan Susan sembari memeuluk adiknya satu persatu.
"Edmun, jagalah Lucy." Kata Susan pada Edmun. Sementara yang diberi mandat hanya mengangguk sembari terdiam. Diam-diam diliriknya Lucy yang tampak sedih.
"Aku masih merindukanmu." Sungut Lucy, "Hey, kita akan bertemu lagi, honey. Aku pasti akan datang lagi." Ujarnya dengan senyum lembut.
Lucy hanya terdiam, menahan air mata agar tidak jatuh membasahi pipinya. Terlebih saat Susan menghilang di antara kerumunan orang-orang.
Edmun meraih tangan Lucy dan menggenggamnya.
"Jangan menangis. Bila dilihat teman-temanmu, kau akan malu." Hiburnya.
Lucy hanya mengangguk dan menyeka matanya.
"Ah, aku mau makan es krim." Bisik Lucy setengah manja.
Keduanya berjalan meninggalkan bandara, tapi genggaman tangan mereka tidak terlepas. Hingga tanpa disdari, semburat merah menghiasi wajah keduanya.
"Ayo kita ke taman." Bisik Edmun lembut, tepat di telinga Lucy.
...
To be continue
Saya menyebrang benua untuk menulis fanfic ini. Oke, mungkin rada aneh, tapi yah, nikmati saja dulu. Sementara author ini mencari ilham yang baru.
