Konnichiwa, Annyeong~~~
Aqua'sora desu... story pertama aku nih. Mohon bimbingan teman-teman, ya. Enjoy and happy reading~~
Disclamer : Bleach by Tite Kubo. *Om, pinjam chara-nya, yah. (Minta Ijin)*
Rated : T
Genre : Romance, Drama, Family
Starring : Rukia Kuchiki, Ichigo Kurosaki, Byakuya Kuchiki, Hisana Kuchiki *that's all for now, masih ada yang akan muncul di chapter-chapter selanjutnya*
Warning : EYD ga sempurna *tahap belajar*, Typo di mana-mana *tahap belajar*
Chapter 1
~ Just, Only, you and me~
"Yah, inilah Gramy Award untuk penghargaan kategori penyanyi solo terbaik tahun ini..." suara pembawa acara penghargaan di TV itu terdengar bersemangat begitu pula para penontonnya, terlebih lagi saat nama sang penyanyi disebutkan, "Hisana Kuchiki!"
Rukia mengecilkan volume di TV yang sedari tadi menyala begitu saja saat dia tertidur, "Hah, benar-benar mengagetkanku saja!". Gadis bertubuh mungil itu bangun dari sofa merah bata yang dipakainya untuk tidur tadi, langkah kakinya yang pelan menyeretnya menuju dapur yang tidak jauh dari ruang televisi.
"Thanks for God, karena dia aku mendapat penghargaan ini, penghargaan yang ke lima kalinya tahun ini. Thanks to for my label, staf-staf manegement dan tentu manegerku juga yang sudah bekerja keras..." samar-samar suara TV itu terdengar sampai di dapur, Rukia yang masih kesal karena terbangun dengan perasaan tidak enak membanting pintu kulkas yang di bukanya. Susu dingin yang dia tuang di gelas tumpah dari botolnya dan merembes di samping gelasnya. Hal itu semakin membuatnya kesal, "Yang benar saja." Rukia berjalan ke konter dapur untuk mengambil serbet dan membersihkan tumpahan susunya di meja makan.
Setelah banyak nama terucap sebagai terima kasih, penyanyi yang berada di TV itu mengakhiri moment-moment bahagianya di panggung itu dengan memberikan kiss bye dan lambaian tangan kepada penonton. Rukia meneguk habis susu dinginnya sambil menatap sinis televisi yang masih menyiarkan acara penghargaan musik terbesar tahun ini, "Oh, lihatlah. Mana ucapan thanksmu itu untuk keluargamu?".
Gadis berumur 16 tahun itu berjalan meninggalkan gelas susunya di meja begitu saja menuju TV yang menyala itu, dengan sekali gerakan kaki, Rukia berhasil mencabut kabel televisi tak berdosa itu tanpa menekan tombol off. Mulutnya terbuka lebar saat menguap tanda dia masih mengantuk, niatnya untuk masuk kamar dan melanjutkan tidur malamnya tertunda ketika dering telepon rumah kembali mengagetkannya. "Oh, apalagi?" tanya Rukia pada dirinya sendiri sambil berjalan malas ke arah telepon rumah yang bertengger manis di meja bulat yang berwarna sama dengan kursi tamu berukiran rumit di sampingnya, warna emas.
"Ya, halo!" suara Rukia berat, entah karena kantuknya atau pengaruh moodnya saat itu.
"Rukia, tidurlah duluan! Beritahu Bibi kalau mau pulang tinggalkan kunci di tempat biasa, sepertinya ibu tidak pulang lagi malam ini." Suara diseberang terdengar riang dan dipenuhi dengan suara ribut lainnya, musik dan suara manusia.
"Bibi tidak datang hari ini, anaknya sakit dan sudah meminta ijin kemarin. Tidak ingat?" jawab Rukia malas sambil melihat-lihat kukunya yang putih bersih tanpa kuteks warna-warni yang biasa dipakai gadis seusianya di kota New York ini.
"Ya, aku segera ke sana..." lagi suara di seberang menyahut. "Apa?" tanya Rukia bingung.
"Oh, tidak. Iya, ibu lupa kalau sudah diminta ijin kemarin." Terdengar semakin berisik ditelinga Rukia, telepon itu penuh dengan suara-suara "Congrats" di seberang. "Ok, thanks... thanks... Rukia sudah kalau begitu ya..." suara ibunya terdengar seperti berteriak di telepon, Rukia sedikit menjauhkan gagang telepon itu dari telinganya. Kosong sesaat, tidak ada siapapun berbicara antara mereka. Seperti biasa, Rukia tahu ibunya tidak akan menutup telepon duluan. Tiba-tiba raut wajahnya menegang, dia membuka mulutnya perlahan dan suara rendah pun terdengar dari situ, "By the way, congrats buat awardnya," bola mata violetnya memutar malas dangan perasaan campur aduk, "Mom..." gadis berambut hitam kebiru-biruan itu menjauhkan gagang teleponnya perlahan sementara samar-samar terdengar suara ibunya di seberang, "Thanks and take care!"
Klik, Rukia menaruh gagang teleponnya di tempatnya semula. Rasanya suhu di ruangan yang besar dan penuh dengan perabotan-perabotan mahal itu semakin terasa dingin. Dengan sekali tepukan, lampu di ruangan itu mati. Dengan langkah gontai Rukia berjalan menuju kamarnya. Kaki putih pucat Rukia semakin terlihat memucat ketika hanya diterangi dengan lampu kamar yang putih dan redup, matanya masih di sana, di kedua kakinya saat pintu di belakangnya menutup. Kaki pucatnya terlihat seperti kristal-kristal bening dalam penglihatannya, matanya mulai basah. Dadanya terasa sesak ketika diputuskannya untuk berteriak sekencang mungkin.
"Aaaarrrrrggggghhhhh!"
Gadis kecil itu berjalan perlahan menyusuri danau dangan air yang berwarna biru dan hijau. Dress selutut berwarna biru muda bergerak-gerak tertiup angin sepoi di taman itu, meninggalkan jejak belaian lembut di tubuhnya yang masih mungil dan kecil. Air matanya masih terus mengalir di pipinya tanpa terdengar sedikit pun suara, dia memutuskan untuk berhenti berjalan dan memandangi pantulan wajahnya di air danau yang jernih itu. Terlihat wajahnya yang penuh dengan air mata dan sesekali terlihat ikan-ikan kecil di bawah air bergerak mengacaukan pantulan wajahnya di sana.
"Kau!" sebuah suara terdengar, tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat juga. Gadis kecil itu menoleh ke sekelilingnya, tapi tidak mendapati siapa pun. Akhirnya dia merasakan tubuhnya sedikit gemetar, rasa takut seorang anak kecil menjalar di tubuhnya.
"Siapa itu? Apa hantu?" tanyanya dengan suara gemetar, otaknya memerintahkannya untuk lari tetapi tubuhnya tidak menurut, malah terdiam kaku begitu saja.
"Hei, lihatlah ke atas sini!" perintah suara tadi, membuat gadis kecil itu semakin takut. Tetapi menurut dengan perintah suara itu. Dia memindahkan pandangannya yang sedari tadi mengitar ke arah sebuah pohon dan menatapnya sebentar. Kemudian dia melihat ke atasnya, dan mendapati seseorang sedang duduk di dahan pohon di hadapannya. Seorang bocah laki-laki sedang tersenyum menatapnya.
Gadis kecil itu masih merasakan gerakan pelan rambut di belakang lehernya, dia masih takut. "Kau siapa?" tanyanya sambil mengepalkan kedua tangannya. Anak kecil itu tertawa kecil, "Yang pastinya bukan hantu!" ucapnya sambil bergerak turun dari pohon yang lumayan besar untuk ukuran anak kecil sepertinya. Gerakannya lincah dan cepat, dengan sekali ayunan dari dahan, tubuhnya meloncat dan sudah berdiri di atas tanah.
Kaki kanan anak laki-laki itu bergerak untuk memakai sepatu yang sudah ada di atas tanah dari tadi. "Tadinya aku mau menyuruhmu mengambilkan sepatuku, tetapi..." ucapannya terpotong, dia lebih memilih sibuk dengan rambut 'merah'-nya yang penuh dengan serbuk bunga sakura. "Serbuk ini benar-benar mengganggu!"
Gadis itu memperhatikannya sebentar, lalu memaksa anak laki-laki itu untuk menunduk karena beda tinggi mereka sedikit jauh, dan anak laki-laki itu menurut begitu saja. "Aku tidak bisa panjat pohon, kau tahu?" ucapnya dengan nada cuek sambil tangan kecilnya membersihkan perlahan serbuk-serbuk bunga sakura dari rambut berwarna aneh itu, menurutnya. Anak laki-laki itu tidak menolak, tangannya juga ikut berhenti bergerak membiarkan tangan mungil gadis itu yang bergerak dengan lembut. "Aku tidak tahu, sebelumnya tetapi akhirnya tahu." Katanya sambil menahan tawa, membuat pundaknya bergerak-gerak sedikit.
"Kau menertawaiku?" gadis kecil itu berhenti membersihkan rambut yang terlihat olehnya berwarna merah—karena sinar matahari sore—itu dari serbuk-serbuk bunga, berjalan mundur dan sekarang sudah berdiri angkuh menatap anak laki-laki di hadapannya itu dengan tangan dilipat di depan dadanya. "Pasti, hanya kau di sini." Anak laki-laki berambut 'merah' itu kini duduk bersilah di hadapan gadis kecil itu sambil sesekali memeriksa rambutnya dari serbuk bunga, kelihatannya sudah bersih. "Kerja yang bagus!" ucapnya sambil menatap gadis kecil di hadapannya.
"Aku memang tidak bisa panjat pohon, tetapi apa yang lucu dari itu?" tanyanya penasaran, matanya tajam menatap anak laki-laki yang tersenyum-senyum sambil menatap danau itu. "Tidak ada yang lucu dari itu," ucapnya santai. "Lalu?" tanya gadis kecil itu sambil berpindah posisi, sedikit menjauh dari hadapan anak laki-laki itu.
"Bahkan mungkin untuk melemparkan sepatuku ke atas itu tidak akan sampai." Lagi, anak laki-laki itu berusaha menahan tawa. Gadis kecil itu kesal karenanya, "Apa? Maksudmu aku pendek?" berdirinya semakin angkuh dengan dagu yang diangkat meninggi, tatapannya di buat sejahat mungkin. Tetapi anak laki-laki itu terlihat santai, "Nah, kau sudah jawab sendiri kan? Bukan aku yang bilang."
"Kau! Huh, menyebalkan!" gadis kecil itu menghentakkan kakinya lalu memutuskan untuk pergi. Tetapi baru selangkah, ada sesuatu menarik dressnya sehingga dia pun jatuh terduduk tepat di samping anak laki-laki itu. "Apa yang..." gadis kecil itu berbalik menatap anak laki-laki itu dengan tatapan marah. "Aku tidak bermaksud mengejek," ucapnya sambil menatap mata gadis kecil itu. Seketika rasa kesal gadis kecil itu hilang saat melihat mata coklat keemasan itu. "Terima kasih." Ucapnya sambil tersenyum.
Gadis kecil itu bingung, "Untuk apa?" Matanya masih asik menatap bola mata di hadapannya yang bersinar-sinar itu. "Sudah membersihkan rambutku." Anak laki-laki itu terdiam sebentar, lalu jarinya menyentuh pipi gadis kecil itu. "Tadi, kau habis menangis ya?"
Gadis kecil itu memalingkan wajahnya ke arah danau, "Tidak juga, air mata ini yang tidak mau berhenti." Ucapnya datar. "Kenapa?" anak laki-laki itu ikut menatap danau, terlihat dari kejauhan beberapa serangga bergerak di atas air, capung mungkin pikirnya.
"Beberapa hari lalu kakekku meninggal, padahal aku sudah menangis banyak. Tetapi hari ini, ketika ingat kakek lagi air mata ini keluar begitu saja. Rasanya sakit, di sini." Katanya sambil menyentuh dadanya. Anak laki-laki itu menoleh dan mendapati wajah sedih gadis kecil itu, "Tidak apa, kadang orang yang sudah pergi itu harus kita ingat sehingga mereka bisa tetap hidup dalam hati kita. Entah nanti kita akan tersenyum atau menangis karenanya, tetapi itulah yang membuat hidup mereka dulu berarti untuk kita yang masih ada."
Gadis kecil itu tertawa pelan, "Kau pintar bicara." Anak laki-laki itu tidak ikut tertawa, hanya tersenyum lembut. "Bukan pintar bicara, itu karena aku pernah merasakannya juga." Ucapanya datar. Ketika gadis kecil itu membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, samar-samar di dengarnya dari kejauhan, suara ibunya. "Rukia-chan... Rukia-chan..." tapi sepertinya anak laki-laki itu tidak menyadarinya.
"Tanda persahabatan kita! Terima kasih sudah menghiburku hari ini!" ucap gadis kecil itu sambil melepas kalung yang dipakainya dan dengan gerakan cepat memasangnya di leher anak laki-laki itu yang hanya bisa terdiam dan sedikit kaget. Kalung berliontin 'K' dengan ukiran permata biru muda di setiap sudut liontin berukuran kelereng itu kini bertengger manis di lehernya.
"Aku harus pulang, besok aku datang lagi." gadis kecil itu mengambil jarak.
"Tunggu!" panggil anak laki-laki itu sambil bangkit dari duduknya.
"Aku janji, kita ketemu lagi di sini!" teriaknya kencang sambil berlari semakin menjauhi tempatnya tadi. Tubuh anak laki-laki itu semakin hilang di telan jarak, gadis kecil itu tidak dapat lagi melihat jelas tubuhnya yang kurus tinggi itu.
"Tunggu! Aku belum tahu namanya!" keringat dingin mengucur deras dari dahinya, "Jangan pergi dulu! Aku harus tanya namanya!" keringat membuat rambutnya sedikit basah dan menjadi lepek. Badannya bergerak tidak tenang di atas kasurnya, "Tunggu!"
"Tunggu!" teriaknya dengan suara kencang, rambut orangenya melengkat di wajahnya ketika dia terbangun. Dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya memburu. Disandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur, tangan kanannya mengambil gelas di meja samping tempat tidurnya dan menggenggamnya dengan erat sambil meneguk habis isinya, sebagian mengalir di samping mulutnya. Membuat air itu seperti aliran sungai kecil di kedua sudut bibirnya.
Sinar matahari dari jendela kamarnya membuat siluet keemasan diseluruh tubuhnya, matanya memejam sesaat karena silau matahari yang ditatapnya. Mimpi ini... batinnya seraya meremas rambutnya yang basah karena keringat dengan sebelah tangannya. Kepalanya berdenyut-denyut saat ponselnya berbunyi. Ia menaruh gelas kosong itu di tempatnya semula dan sedikit menggeser tangannya agar dapat meraih ponsel tepat disebelah gelas itu.
"Ya," jawabnya pendek.
"Ichigo, kau harus datang sekarang!" suara di seberang terdengar panik. "Ada masalah!"
Ichigo, cowok berambut orange itu terdiam sebentar, kemudian membuka mulutnya. "Tunggulah." kakinya kini telah menyentuh lantai kamarnya, dinginnya merasuk sampai di dalam kulit. "Aku segera ke sana."
Rukia berjalan santai keluar dari kamarnya, penampilannya sudah rapi. Langit yang ia lihat dari jendelanya terlihat begitu biru, bertolak belakang dengan perasaannya saat ini. "Mau ke mana?" sebuah suara sedikit mengagetkannya.
Rukia berbalik untuk melihat sosok yang beberapa minggu ini tidak di lihatnya. "Sekolah." Kata Rukia pelan. Tangannya membetulkan tas ransel di pundaknya.
"Dengan baju seperti itu?" suara itu terdengar lagi, kali ini lebih berat. Rukia kembali menatap sosok tinggi yang tak jauh dari tempatnya berdiri, kemudian pandangannya turun ke arah celana jins biru tua yang dipakainya, naik ke atas dengan kaos berwarna hitam dengan tulisan 'Go to the Hell!'. Tangannya memperbaiki posisi topi hitam berbordir 'NY'. "Tidak ada yang salah dengan ini," ucapnya santai sambil berjalan melewati sosok yang sedari tadi berdiri sambil memegang map-map berisi kertas-kertas penting di dalamnya, "Menurutku..."
"Itu kan menurutmu, Tetapi orang lain? Ayah seperti melihat gelandangan." Ucapnya sambil menatap anak perempuannya yang kini tiba-tiba berhenti dari aktivitasnya memakai sepatu kets hitamnya. Mata Rukia menyimpit, tidak ingin menatap lagi pria dengan rambut panjang sepundaknya dengan jas rapi yang menutup tubuh bidangnya. "Seperti orang lain peduli saja, bahkan mungkin kau juga sama. Pasti hanya formalitas saja kan bertanya seperti itu?" ucapnya pedas sambil melanjutkan memakai sepatunya.
"Rukia, Ayah..."
Hentakan sepatunya terdengar keras begitu tali terakhir selesai dia ikat. "Berhenti bersikap sok peduli, setiap hari aku seperti ini. Kalau kau ingin aku seperti yang ada di kepalamu, cobalah untuk pulang..." Rukia berbalik dan mulai melangkah pergi menuju pintu depan. "Setiap hari!" ucapnya kasar sambil membanting pintu di belakangnya.
Pria itu mengatupkan rahangnya, kesal sudah mencapai otaknya. Anak perempuan satu-satunya itu melawannya, tanpa dia sadari matanya mulai basah karena menahan emosi. Tetapi getaran ponsel dalam saku jasnya membuatnya menyadarinya dan cepat-cepat berusaha menghapus kesedihan dalam hatinya. "Pak, klien dari London ingin segera kita ke sana. Mereka menyetujui gagasan proyek kita, dan meminta Anda sendiri untuk ke sana langsung." orang di seberang langsung bersuara ketika tombol angkat ia tekan.
"Bagus, siapkan penerbangan. Kita segera ke sana!" perintahnya sekaligus mengakhiri telepon dengan bawahannya itu. Senyum mengembang di wajahnya, menghapus kesedihan yang baru saja dia rasakan. Seakan perasaan itu tadi tidak ada, ia segera mempersiapkan semua keperluannya dan meninggalkan rumah yang baru lima belas menit dia injak setelah lebih lima minggu dia tinggalkan itu.
Suara berisik dari botol kaleng yang menggelinding tidak mengganggu pendengarannya, Rukia terus saja menendang botol kaleng itu selama perjalanan menuju sekolahnya. Seakan suara botol kaleng itu bisa meredakan emosinya setelah bertemu Ayahnya tadi. Tiba-tiba dia ditabrak seseorang dari depan, "Gomenasai, gomenasai." Ucap orang yang menabraknya itu. Rukia mengangkat wajahnya dan mendapati orang yang menabraknya itu wanita berkulit putih Asia. Sepertinya orang Jepang, pikirnya.
"It's okay," kemudian Rukia berlalu dari tempatnya itu, botol kaleng yang ia tendang-tendang tadi sudah tidak ia tahu keberadaannya. Tiba-tiba ia berhenti, kepalanya seakan memaksanya untuk mengingat kembali mimpi semalam. Mimpi pertemuannya dengan anak laki-laki berambut orange, yang sebenarnya dulu bukan sebuah mimpi. Itu merupakan kejadian nyata sepuluh tahun lalu.
"Kenapa, semalam aku bermimpi tentang kejadian waktu itu?" suara dalam hatinya bertanya, membuat alisnya berkerut. Baginya, kejadian itu seperti dongeng anak kecil. Termasuk dalam cerita yang bergenre happy menurutnya. Tetapi mimpi semalam seperti membuat dongeng itu menjadi cerita yang unhappy, berpisah begitu saja tanpa pernah bertemu lagi.
Rasa bersalah mulai merasuki hatinya, "Maaf, aku tidak menepati janji." Ucapnya pelan sambil menatap langit. "Haha..." gadis berambut sebahu itu tertawa hambar. "Seperti dia bisa mendengar itu saja." Kakinya mulai bergerak, selangkah demi selangkah membuat perasaanya semakin kacau. Seperti hidupnya yang tidak bahagia dan kacau. Seandainya dulu dia dan kedua orang tuanya tidak ke Amerika, tidak meninggalkan Jepang. Mungkin saja dia bukan termasuk salah satu anak dari keluarga 'hampir' broken home.
Ketika pikirannya di penuhi dengan Jepang, negara di mana ia di lahirkan. Ide itu pun muncul, "Kenapa aku tidak ke sana saja," ucapnya sambil menarik bibir membentuk senyum. "Jepang."
"Dear Mom & Dad...
Saat kalian... maksudku, salah satu dari kalian membaca surat ini, mungkin kakiku sudah tidak menginjak tanah kota New York lagi. Aku tidak akan memberitahukan kemana kakiku sekarang menapak, karena aku yakin beberapa detik kemudian aku akan dipaksa kembali ke New York oleh orang suruhan kalian.
Jangan khawatir, aku bisa hidup dengan uang tabunganku sendiri. Untuk saat ini dan entah sampai kapan, aku ingin hidup sendiri tanpa uang kalian, tanpa nama kalian dan pasti tanpa kasih sayang kalian, walaupun aku sepertinya sudah terbiasa.
Semoga dengan begini, kalian bisa lebih menyadari bagaimana rasanya hidup tanpa 'Kuchiki Rukia' dan seberapa penting gadis yang baru kemarin berumur 16 tahun tanpa kalian sadari itu bagi kalian. Tidak usah mencariku sampai kalian merasa aku lebih penting dibanding 'pekerjaan'.
Goodbye,
Mom & Dad
Kertas berwarna biru muda terlepas dari tangan Kuchiki Hisana ketika baru saja dia selesai membaca tulisan berwarna hitam disana. Perasaannya bercampur aduk, bingung, khawatir, panik, sedih, kecewa bukan hanya untuk anak semata wayangnya itu tetapi juga untuk dirinya sendiri. Kecewa karena dialah salah satu alasan anaknya pergi dari rumah. Air matanya menetes perlahan tanpa ada sedikitpun isakan keluar dari bibirnya.
Tangannya bergetar ketika menyentuh layar handphone-nya, ada sebuah nama yang ingin dia hubungi. 'Rukia'
Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktiv atau berada diluar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi.
"Rukia..." panggilnya dengan suara parau karena menahan tangis agar tidak meledak.
Kembali tangannya bergerak menyentuh layar handphone untuk kedua kali menghubungi seseorang. Kali ini suaminya.
"Halo..." suara di seberang terdengar berat.
"Rukia..." ucap Hisana tertahan.
"Ada apa?" masih dengan suara berat dan datar.
"Rukia... pergi dari... rumah" kali ini Hisana tidak bisa lagi menyembunyikan suaranya yang bergetar. "Lakukanlah sesuatu..."
"Kemana dia pergi? Aku akan perintahkan orang-orangku untuk membawanya pulang." Suara di seberang walau masih datar tetapi tidak dapat menyembunyikan sedikit nada kekhawatiran di dalamnya.
"Aku tidak tahu, dia tidak... bilang..." Hisana kembali menatap kertas biru muda yang kini tergeletak begitu saja di lantai. "Dia tidak bilang apa-apa... di surat... kecuali meninggalkan New York."
Hening. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar sedikit isakan dari Hisana.
"Kau tanyakan pada teman-temannya, mungkin dia ada di salah satu rumah mereka." Kata Byakuya, di seberang ia terdengar sedikit sibuk dengan suara-suara kertas.
"Aku tidak tahu..." Hisana berhenti, menyadari sesuatu. "Siapa saja temannya."
"Pergilah ke sekolahnya, tanya saja di sana." Perintah Byakuya lagi.
"Tapi, dia sendiri bilang pergi dari New York. Lagi pula, aku sejam lagi ada show di Los Angeles. Tidak bisa." Hisana menggigit bibir bawahnya. Bingung apa yang harus dilakukannya.
"Rukia pasti masih di New York, dia tidak akan berani pergi jauh! Tinggalkan saja show itu! Cari Rukia!" suara Byakuya sedikit mengeras.
"Show itu sangat penting, ini masih acara dari Award kemarin. Apa kau tidak bisa pulang dan mengurus ini?" Kini suara Isakan sudah lenyap berganti dengan nada kesal dari Hisana.
"Hhhhh..." helaan nafas Byakuya terdengar berat, "Masih ada proyek yang belum selesai." Ucapnya kembali datar.
"Lalu bagaimana dengan Rukia?" tanya Hisana kembali khawatir.
"Tenanglah," suara di seberang mencoba menenangkan, "Nanti dia akan pulang kalau sudah kehabisan uang." Byakuya terdengar sedang sibuk mengetik, sepertinya dia me-loadspeaker-kan handphonenya.
"Aku harap begitu," Hisana sudah terdengar tenang, pikirannya kini sama dengan suaminya. Rukia pasti pulang jika sudah tidak punya uang. "Baiklah, lanjutkan saja proyekmu. Aku mau siap-siap berangkat sejam lagi."
"Ya." Tidak berapa lama komunikasi jarak jauh itu pun berakhir.
Hisana mengambil kembali kertas yang tadi dijatuhkannya lalu menaruhnya kembali di atas meja belajar Rukia. Bunyi sepatunya terdengar senada saat mulai meninggalkan kamar Rukia, beberapa menit sebelum ini dia berencana akan menyapa Rukia sebentar, memberinya uang jajan kemudian pergi ke shownya setelah mendengar ocehan-ocehan Rukia yang memintanya untuk tidak pergi. Sekarang baginya terasa lebih mudah, tanpa harus berdebat kecil tentang... Rukia, profesi artisnya dan rumah. Dia yakin Rukia akan pulang dan surat itu hanya ancaman seorang anak kecil.
Kini di dalam pikirannya, Rukia masih anak-anak, Rukia tidak akan mampu hidup sendiri, Rukia tidak bisa hidup tanpa uang dari orang tuanya, dan Rukia tidak bisa pergi jauh apa lagi meninggalkan New York...
"Welcome to Tokyo-Japan, Thank You for Your..." Suara pramugari berlalu begitu saja di telinga Rukia saat matanya terbuka. Selama penerbangan, dia menggunakannya untuk tidur, mendengar musik, membaca buku, dan tidur. Perjalanan yang memakan hampir duabelas jam itu membuatnya lelah.
Ditariknya tas ransel dari dek penyimpanan tepat di atas tempat duduknya. Lalu berjalan menuju pintu pesawat yang sedari tadi terbuka. Sepertinya dialah penumpang yang terakhir turun dari pesawat.
Rukia terdiam sebentar saat tubuhnya terkena sinar matahari musim gugur di Jepang, segaris senyum tercetak di wajahnya. Kakinya dengan perlahan melangkah menuruni tangga pesawat.
"Selangkah lagi," batinnya masih terus tersenyum.
Saat langkah terakhirnya memastikannya memijak tanah, Rukia mengangkat kepalanya yang sedari tadi memperhatikan langkahnya sendiri. Seperti anak kecil yang baru belajar jalan. Dihirupnya udara dalam-dalam, dia merindukan ini. Udara yang sama, udara yang dia hirup ketika berumur enam tahun. Udara yang di hirup oleh anak laki-laki berambut merah yang ditemuinya di taman.
"Aku kembali..." ucap Rukia entah pada siapa dengan perasaan tenang dan juga bahagia.
To Be Continue~~
Yohohohoho~~ (Ketawa ala Brook) akhirnya jadi juga nih, tapi masih chapter 1... bagi teman-teman yang udah baca, mungkin berpikir, "Nih cerita panjang amat, ya?" betul sekali, kalau dibilang mungkin masih beberapa chapter lagi, hhmmm... sepuluh chapter lagi? Maybe~~ kkkk~
Aku sebagai Newbie ini, berharap teman-teman suka cerita pertama aku ini. Dan smoga nggak bosan, yah~~ dan si Newbie ini butuh review dari Chingu sekalian untuk menjadi obat penyemangat buat lanjutin cerita ini. Mohon bantuannya, Minna-san~~ *bowing.. bowing...*
And~~ Thank you, arigatou, Kamsahamnida, terima kasih buat chingu sekalian yang udah meluangkan waktunya untuk membaca dan juga me-review- (please~~) /(*o*)\
Sekali lagi terima kasih, chingudeul~~ tunggu chapter selanjutnya yah... Annyeong~~
