Pokoknya mah ini murni pemikiran dari Kim Chi Hee~ dan saya mungkin mengambil plot dari drama STYLE!

sumpah! keren banget tu drama! yang bikin strorynya keren! sutradaranya dahsyat! pemainnya mantebh! sepuluh jempol buat merekaaaaaaaaa~ stop sekian dari hal puji-pujiannya kkkk

selamat dinikmati!


.

.


Prolog

Bunyi dentingan gelas dan juga sendok beradu seirama meramaikan sedikit suasana sepi dan tergolong tak bersahabat di sebuah café outdoor tengah kota. Orang-oran yang berlalu lalang di sekitar mereka sepertinya sama sekali tak mengacuhkan dua orang pemuda yang kini tengah bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.

"Aku menyerah.."

"Jangan ucapkan itu lagi."

Perkataan mereka saling tumpang tindih. Sama-sama meyakinkan pikiran pribadi yang ingin dilontarkan dan juga sama-sama ingin menyalahkan pikiran lawan biacaranya.

"Tapi aku mau pergi."

"Ku bilang jangan ucapkan itu lagi."

"Tapi ini harus."

"Ucapanmu seakan-akan ingin menyatakan kalau adalah pihak yang paling bersalah di sini."

Pemuda cantik dengan hoodie abu-abu menghentikan gerakan mengaduknya. Suasana kembali sepi saat ia hanya bisa memandang dalam bisu pemuda lain di hadapannya. Ia mendesah pelan—mencoba menenangkan pikirannya yang kacau balau dan tentu saja mencari cara lain agar pemuda di hapdapannya mau mengerti dan menerima kata-katanya.

"Han… tapi ini harus, demi masa depanmu, masa depanku, masa depan kita. Ini semua salah dari awal."

"Kalau kau merasa ini salah semua dari awal kenapa kau menerimanya? Menerima cinta tolol yang kuberikan, menerima lamaran bodoh yang kuucapkan?" Pemuda itu menyela ucapannya.

"Ah, aku tahu aku salah, tapi aku mohon. Lepaskan aku." Di akhir katanya pemuda cantik itu menggigit bibirnya, seperti ragu akan ucapannya sendiri. Ia pun menunduk dalam, tak berani menatap bahkan melirik.

Pemuda tampan di hadapannya mendesah pelan namun tetap menyimpan aroma sesak yang mengeras di dadanya. "Baik jika itu maumu." Ia bangkit berdiri. "Aku pergi, hubungan kita sampai di sini."

Pemuda cantik itu mendongak paksa setelah mendengar suara geretan kursi yang menggesek aspal. "Tunggu!"

"Ada apa lagi?" Begitu dingin kata-kata yang keluar dari mulutnya, apalagi saat melihat guratan kesedihan yang ditunjukan oleh wajah pemuda cantik yang kini menatap sendu di hadapannya. "Jangan memasang wajah sedihmu, kau yang memintanya tadi bukan?"

Pemuda cantik itu melepaskan cincin emas sederhana yang selama beberapa tahun ini melingkar di jari manis tangan kanannya. "Aku kembalikan ini." Ia meletakannya di atas meja lalu menyerahkannya kepadanya.

"Tidak, simpan saja. Anggap saja itu sebagai media pengingatmu terhadap diriku. Atau mungkin jika kau sudah tak membutuhkannya kau bisa membuangnya. Selamat tinggal, aku pergi." Satu kalimat perpisahan darinya menandai putusnya hubungan mereka yang sudah berjalan lebih dari lima tahun.

Pemuda cantik itu menatap dingin punggung yang kian menjauh dari pandangannya. Sidkit rasa penyesalan menggerogoti perasaannya. Waktu terasa melambat saat punggung itu benar-benar hilang dibalik kerumuman. Tanpa disadari olehnya setitik air mata meluncur jatuh dari mata besarnya.

Menangis dalam diam, tanpa suara, tanpa isakan. Hanya ia sendiri yang mengerti seberapa sakit dan sulitnya ia untuk berucap.

.

.

.

.

.

.

Prolog End


"***"

Seorang pemuda dengan kemeja berwarna pastel berjalan merendah saat memasuki sebuah bangunan. Kepalanya terus menunduk hormat saat tak sengaja berpapasan dengan siapa saja, bibirnya terus menampakan senyum ramah pada semua, mata indahnya berbinar memancarkan pesona kecantikan miliknya. Bibirnya yang merah penuh serta pipi putih mulus ditambah gurat merah di sana menambah kesan manis baginya.

Ia berjalan santai saat beberapa orang juga sepertinya berjalan searah dengannya. Kaki-kakinya berhenti tepat di depan sebuah lift bersamaan dengan orang-orang tadi. Matanya melirik sekilas ke atas—hanya untuk memastikan sudah sampai di lantai berapa lift yang sedang ditunggunya kini.

Suara dentingan penanda terbuka pintunya lift menyadarkannya. Penuh dan sesak saat ia pertama kali melihat ke dalamnya. Sedikit berbutan, akhirnya ia dapat masuk ke dalamnya bersamaan dengan yang lain. Malang baginya, tubuhnya yang tergolong mungil bagi seorang pria mengharuskan dirinya terdorong arus hingga menempel di bagian belakang lift yang terbuat dari bahan padat transparan.

Pemuda itu mengutuk pelan—berharap tak akan ada yang mendengar serapahnya.

"Hei! Aku dengar apa yang kau ucapkan tadi loh!"

Pemuda itu menolehkan kepalanya ke sumber suara. Terlihatlah sebuah wajah yang lumayan kecil tersenyum padanya. Matanya sipit seperti rubah, bibirnya kecil, bentuk rahang yang tegas serta kulit kecoklatan. Terkesan manly dan cool.

"Kau mendengarnya?" Tanyanya ragu.

"Hahaha~ aku dengar."

Sebuah kejadian tak terduga tiba-tiba terjadi. Lift yang membawa mereka terguncang pelan hingga orang-orang yang di dalamnya sedikit melompat kaget dan tak disadari oleh mereka kalau mereka kini sudah berganti posisi.

Pemuda itu menubruk sesuatu. Sesuatu yang tidak keras dan tidak juga lunak—seperti ada kain yang melapisi, pikirnya. Matanya yang tertutup menahan guncangan kini terbuka lebar. Pemandangan pertama yang terlihat olehnya adalah sebuah dasi dengan motif zebra. Dahinya berkerut bingung. Siapa?

"Sudah biasa. Lift di sini memang begitu. Pasti kau orang baru ya?"

Refleks ia mendongakan kepalanya. Orang yang tadi! Orang yang tak sengaja mendengar umpatannya. Ia menatap sebentar wajahnya hingga sepersekian detik ia diam terpaku menatapnya.

"Namaku Jung Yunho. Salam kenal." Wajah yang ditatapnya menampilkan senyuman, membuatnya terpaksa harus membuang mukanya ke arah lain. Sangat tidak enak rasanya disindir seperti itu.

"Bodoh!" Gumamnya.

"Kau tidak bodoh, siapa namamu?"

Pemuda itu kembali mengarahkan wajahnya kesana. "Jaejoong. Namaku Kim Jaejoong."

Yunho agak sedikit menggerakan tubuhnya saat merasakan posisi mereka terkesan aneh dan agak mengundang pertanyaan-pertanyaan buruk bagi yang melihatnya. Bagaimana tidak? Posisi mereka kini terlalu bahaya, sekilas mereka terlihat dua orang yang sedang ingin berciuman dengan punggung Yunho yang menempel erat dengan dinding, sedangkan Jaejoong berdiri bersandar pada dadanya. Wajah mereka? Jangan tanyakan, wajah mereka kini hanya beberapa senti saja.

"Sepertinya kantor ini harus membuat lift yang banyak." Gurau Yunho. "Jaejoong? namamu Jaejoong bukan? Apa kau calon asistennya Heechul yang baru?"

Jaejoong sedikit memeringkan kepalanya, jujur tadi ia sempat bingung dengan ucapan Yunho barusan. Namun saat mendengar nama Heechul disebut barulah ia paham. "Ia, aku calon asisten jaksa Kim yang baru."

"Berbaik-baiklah dengannya Jaejoong-ssi." Yunho tertawa pelan di akhir kalimatnya.

Kembali bunyi dentingan terdengar. Lift yang awalnya penuh sesak dengan manusia akhirnya menjadi lengang. Mereka berdua pun akhirnya menyudahi posisi bahaya yang mengundang tanya. Jaejoong menarik tubuhnya menjauhi Yunho. Sedikit membungkuk untuk memberi hormat dan sekedar untuk mengucapakan terima kasih, Jaejoong memilih untuk keluar lift sebelum Yunho.

"Terima kasih Jung Yunho-ssi." Ucap Jaejoong sambil tersenyum.

"***"

Suara alarm yang menggema sepertinya belum mampu mengusik ketengangan tidur seorang pemuda yang masih betah bergelut dalam selimut. Matanya yang masih terpejam seolah-olah enggan dan mungkin tak akan terbuka lagi. Lagi, alarm yang sengaja dipasang olehnya dari kemarin malam berbunyi.

Satu menit, dua menit. Dan akhirnya menit-menit berikutnya alarm itu ternyata sia-sia menyala. Pemuda itu masih betah di alam mimpinya. Namun, sebuah deringan ponselnya yang tergeletak di atas nakas tak jauh dari posisi kepalanya yang terebah membuat dirinya harus untuk membuka kedua matanya paksa.

Perlahan tangannya merayap ke atas nakas untuk mencari si sumber suara. Setelah dapat ia langsung menyambarnya. Matanya sedikit terbuka untuk melihat nama siapa yang tertera di ponselnya. Jung Yunho. Dahinya berkerut tak senang, dan akhirnya ia memutuskan untuk memencet tombol reject seenaknya.

"Sial!" Umpatnya.

Sambil terus bersungut-sungut ia bangkit dari rebahnya. Menatap sekilas pada alarm yang terus berbunyi, lalu kemudian mengalihkan pandangannya pada jendela yang tirainya tak mampu menaha cahaya matahari yang menerobos masuk tanpa permisi ke dalam kamarnya. Hari sudah siang.

Pemuda itu menurunkan kakinya perlahan. Matanya yang merah—mengindikasikan dirinya sama sekali tidak tidur selama beberapa hari—mengerjap-ngerjap cepat. Ia memukul-mukulkan kepalanya tanpa perasaan, hanya sekedar untuk menghilangkan rasa pening yang mendera kepalanya.

Ia bangkit berdiri lalu berjalan seperti zombi menjauhi tempat tidurnya, menyambar handuk yang tergeletak sembarangan, dan beberapa menit kemudian terdengarah suara kucuran air shower yang jatuh menghantam lantai marmer dingin.

Hampir tiga puluh menit ia berada di dalam kamar mandi, ia pun keluar dari sana. Masih menggunakan bathrobe ia berjalan menuju lemari pakian. Sedikit berdiam sebentar memandangi tumpukan kemeja yang terlihat menggunung di dalamnya. Akhitnya keputusannya jatuh pada kemeja lengan panjang berwarna biru langit. Ia mengambilnya cepat dan langsung memakainya.

Beberapa menit berlalu ia telah selesai mematut dirinya. Lengan yang digulung, dasi yang terikat rapi di lehernya, celana bahan hitam yang membalut tungkainya, serta sepatu kulit hitam yang rapi tersemir membuat penampilannya terlihat jauh begitu mempesona, berbanding terbalik pada penampilannya saat bangun tidur tadi.

Sebenarnya masih ada satu yang kurang, matanya yang masih memerah seperti seorang vampir yang haus darah mengharuskannya untuk memakai obat tetes mata untuk menyamarkannya. Tidak tidur selama empat hari tiga malam penuh benar-benar membuat dirinya seperti beruang yang diganggu saat berhibernasi atau zombi yang baru bangkit dari kubur.

Kim Heechul, jaksa muda dengan segudang prestasi dan bakat. Bakat analisisnya yang luar biasa serta instingnya yang tajam mampu membawanya pada puncak ketenaran tertinggi. Semua kasus yang pernah ditanganinya selesai dengan baik dan memuaskan. Jaksa berdarah dingin, magister hukum jebolan Rusia.

Seorang jaksa yang tak akan pernah main-main dengan pekerjaannya, walaupun ia harus bergadang dan tak tidak tidur selama berhari-hari di kantor kejaksaan tak sedikit pun melenyapkan sikap profesionalitasnya.

Melihat umurnya yang kini hampir memasuki kepala tiga, sebenarnya ia sudah cukup mapan untuk menjalin sebuah tali percintaan. Namun sepertinya ia masih terlalu terbuai dengan pekerjaan yang selalu dijunjung tinggi olehnya hingga ia sama sekali lupa dengan urusan yang satu itu.

Heechul berjalan ringan meninggalkan apartemennya yang terletak di pusat kota Hanju menuju mobilnya yang terparkir rapi di parkiran yang selanjutnya akan membawanya ke gedung kejaksaan negri di distrik wilayahnya tempatnya bekerja.

"***"

Heechul sedikit mengangguk sopan untuk sekedar membalas sapaan hormat yang ditujukan kepadanya. Ia sedikit memberikan senyum saat orang-orang tersenyum padanya—terutama wanita-wanita yang ada di sana. Siapa yang tak tergoda dengan ketampanan seorang Kim Heechul, seorang jaksa muda yang terkenal dan sangat berkelas. Tapi sayangnya wajahnya yang tampan terkadang tertutupi dengan kecantikan alami yang tak sengaja menguar dari dalam dirinya. Ya, Kim Heechul bisa diibaratkan seperti mata uang logam dengan dua sisi. Cantik dan tampan di saat bersamaan.

"Jaksa Kim." Terdengar suara panggilan yang menggema di gendang telinganya. Ia menoleh ke belakang mencari sumber suara.

Yunho datang menghampirinya sambil berlari kecil. "Kenapa kau mematikan ponselku seenak jidat heh?" Yunho merangkul bahu Heechul dengan cepat lantas membawanya untuk berjalan mengikutinya.

Heechul sebenarnya ingin menyingkirkan tangan Yunho yang kini bergelayut manja pada bahunya. Namun karena tenaganya masih belum tersedia sempurnya akhirnya ia memilih untuk membiarkannya. "Kenapa?" Tanya Heechul acuh.

"Asistenmu. Kim Jaejoong, dia sudah datang dari tadi."

"Lalu?"

"Ya dia menunggu di ruanganmu."

"Begitukah?"

"Dia cantik. Kukira dia tadi wanita."

"Terserah padamulah. Aku tak peduli." Akhirnya Heechul yang risih berhasil mengenyahkan lengan Yunho dari bahu serta pundaknya. "Kembali ke ruanganmu, apakah kau tak punya pekerjaan?"

"Aku sengaja menunggumu."

"Tak perlu jaksa Jung."

"Silahkan kau kembali ke ruanganmu. Kita sudah sampai di ruanganku. Terima kasih kau telah menemaniku sampai sini."

"Ruanganku dan ruanganmu berhadap-hadapan Kim Heechul." Yunho memajukan sedikit bibirnya.

"Jaga wibawamu jaksa Jung. Ini masih di lokasi kejaksaan."

"Kau terlalu kaku jaksa Kim." Setelah berkata demikian ia berbalik lalu berjalan menuju ruangannya sendiri yang hanya berjarak tiga meter dari tempat Heechul berdiri. Namun sebelum ia berhasil membuka pintu ruangannya ia berbalik. "Berbaiklah pada Jaejoong, Heechul." Kemudian ia kembali masuk ke dalam.

"Terserah." Balas Heechul acuh.

Heechul membuka pelan pintu ruangan khusus untuknya, dan pertama kali yang tertangkap oleh indra penglihatannya adalah seorang pemuda yang tengah memainkan ponsel di tangannya.

"Selamat siang." Heechul sengaja meninggikan suaranya—secara tak langsung menyuruhnya untuk berhenti bermain-main dengan ponselnya.

"Eh?" Pemuda itu meletakan ponselnya kasar, lalu buru-buru bangkit berdiri. "Selamat siang." Ucapnya terlalu semangat sambil membungkuk.

"Jaksa Kim?"

Heechul hanya berdeham pelan menjawab pertanyaan darinya.

Setelah beberapa lama Heechul merapikan sedikit mejanya, ia memanggil pemuda itu untuk mendekat, lantas mempersilahkannya duduk di kursi yang terletak persis di depan meja kerjanya.

Heechul membuka file-file milik pemuda itu, membacanya, kemudian menelitinya sekilas. "Namamu Kim Jaejoong."

Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum.

"Lulusan sekolah hukum di Swedia."

Lagi-lagi dia menangguk sambil kembali menunjukan senyuman manisnya.

"Yah, cukup mengesankan." Ucapan dingin dan terkesan ketus terlontar begitu saja dari mulut Heechul. Jujur! Instingnya menunjukan hal yang tidak terlalu bagus akan menimpa dirinya.

"Kuharap kita bisa bekerja sama Jaksa Kim."

"Terserah padamu." Jawab Heechul acuh dan dingin.

"Aku pasti bisa menjadi asistenmu yang baik, jika kau butuh pertolongan. Tinggal minta padaku. Aku pasti akan membantumu dengan senang hati."

Heechul menjatuhkan buku pasal tebal di atas meja dengan kasar, hal itu cukup berhasil menimbulkan bunyi debuman yang cukup kencang hingga membuat Jaejoong terlonjak kaget.

"Mulailah kau bekerja Jaejoong-ssi." Lagi-lagi Heechul berkata acuh dam terkesan sangat kasar.

Berhari-hari telah berlalu, berbagai macam kasus yang Heechul tangani hampir semuanya ia tangani sendiri. Berkas-berkas yang menumpuk diatas meja kerjanya pun terlihat sangat berantakan, sepertinya penampilannya pun tak kalah berantakan sebab selama berhari-hari itu pula ia tak cukup tidur.

Heechul tak mau atau bisa dibilang tidak sudi memberikan pekerjaannya pada Jaejoong. Ia menganggap Jaejoong hanyalah pengganggu baginya. Heechul sudah terbiasa bekerja sendiri dan sangat marah bila pekerjaan yang sedang di tanganinya tiba-tiba dibantu orang lain tanpa persetujuan darinya, bisa ditebak dari sifat Heechul yang dingin dan kejam ia sama sekali tak mau meminta bantuan pada siapapun, termasuk asistennya.

Itulah sebabnya mengapa tak ada yang sanggup bekerja sama dengan dirinya. Semua asistennya pasti akan mengeluh, dan ujung-ujungnya akan mengundurkan diri atau mengajukan petisi agar mereka dipindahkan.

Berbeda dengan Jaejoong, sebisa mungkin Jaejoong ingin membantu Heechul walaupun hal kecil. Jaejoong selalu menyempatkan diri untuk memperhatikan Heechul, mulai dari memberikan minum sampai apapun yang dibutuhkan Heechul Jaejoong pasti tahu.

Pernah suatu hari Heechul yang benar-benar sudah kepayahan tidak tidur hampir empat hari jatuh pingsan di ruangannya. Untungnya ada Jaejoong di sana. Dengan telaten ia merawat Heechul sampai siuman.

"***"

.

.

.

.

"Kau tahu? Dia hebat! Tapi yang aku sedikit sayangkan sifatnya itu pemarah dan menyeramkan." Jaejoong meletakan spatula di atas wajan lalu dengan segera mengusap tangannya yang belepotan pada apron gelap yang dipakainya.

"Aku jadi penasaran siapa yang menjadi atasanmu." Seorang pemuda mendekat ke arah Jaejoong. Ia langsung memeluk Jaejoong erat dari belakang sambil menumpukan kepalanya di pundak kiri Jaejoong.

"Dia... Errr... Bagaimana aku harus mengatakannya."

"Katakan saja."

"Dia tampan! Ah tidak! Dia cantik sangat cantik untuk ukuran seorang pria."

"Dia transgender?" Pertanyaan bodoh dari pemuda yang tengah memeluk Jaejoong itu sukses mendaratkan sebuah panci di atas kepalanya.

"Sakit..."

"Biar! Habis kau bicara seenaknya."

"Terus kalau bukan itu apa?"

"Hankyungie, kau itu pintar dalam CPR, atau apapunlah yang berhubugan dengan kedokteran, tapi kemampuan otakmu cukup payah dalam hal bersosialisasi."

"Aku bukan anak autis."

"Terserah, yang jelas dia hebat!"

"Dia hebat? Benarkah?"

"Dia jaksa yang dahsyat!"

"Kau dari tadi memujinya, aku jadi pensaran dengannya."

"Tidak juga, ah bagaimana kabarmu di rumah sakit? Apa ada sesuatu yang seru hari ini?" Jaejoong mulai beranjak dari tempatnya, ia pun melepaskan dua tangan Hangeng dari pinggangnya, dan hal itu awalnya mengundang protes dari Hangeng, hanya saja Jaejoong buru-buru membuat ultimatum, jika ia berani memeluknya lagi maka selamanya ia tak akan mendapatkan jatah makan malam.

Cukup kekanakan.

Hangeng duduk dengan tertib sambil menunggu Jaejoong yang tengah menyiapkan makan malam untuk mereka. meskipun begitu, matanya masih tak pernah mau lepas dari sosok Jaejoong yang berjalan kesana-kemari sambil menata masakan mereka. menurutnya Jaejoong sangat cantik jika di dapur. Ibu rumah tangga yang baik.

"Kau cocoknya jadi ibu rumah tangga Jae. Ah, salah! Harusnya ayah rumah tangga karena kau pria. Haha."

Jaejoong tertawa sinis mendengar guraun tidak mutu yang tadi terlontar dari mulut Hangeng.

"Sebegitu sensitifnya kamu malam ini." Hangeng merajuk.

"Jangan suka merajuk! Kau mau posisimu tergantikan olehku dokter Tan?" Jaejoong akhirnya telah siap menghidangkan berbagai macam masakan di atas meja. Ia pun memilih untuk duduk di kursi persis di depan Hangeng.

"Benarkah begitu?" Hangeng sepertinya tak peduli dengan ucapan Jaejoong barusan, buktinya ia kini tengah fokus dengan berbagai macam makanan yang tersaji di hadapannya.

Jaejoong tersenyum manis sebentar melihat tingkah Hangeng yang cukup bernafsu di atas meja makan, melahap semua masakannya. Namun, senyumnya tiba-tiba pudar saat ia melihat pantulan cahaya dari leher Hangeng.

"Kau masih memakai cincin itu?"

"Cincin? Cincin apa? Lihat aku tak pakai cincin kan?" Hangeng menunjukan kedua tangannya, lalu beberapa detik kemudian ia kembali fokus dengan acara santap-menyantapnya.

"Memang bukan di tanganmu, tapi ada di lehermu. Benda yang kau jadikan bandul di kalungmu itu adalah cincin pertunanganmu bersama mantanmu yang dulu bukan?"

"UHUK~"

Hangeng tiba-tiba saja tersedak mendengar ucapan Jaejoong, ia buru-buru menyambar segelas air mineral yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya, setelahnya ia menenggak isinya hingga habis begitu saja.

"Kenapa kau masih berpikiran seperti itu? Dia masa laluku." Hangeng melap mulutnya tidak sabar.

"Tidak, aku hanya bertanya." Jaejoong berusaha mengalihkan pembicaraan yang ia yakini kalau sebentar lagi akan terjadi hal-hal yang sama sekali tidak dinginkan, bertengkar contohnya. Hanya sebuah masalah sepele terlibat pertengkaran, memalukan—batin Jaejoong.

"Habis kau tak pernah mau cerita siapa masa lalumu itu. Aku kan hanya menerka-nerka saja. Ayo cepat habiskan." Jaejoong menunjuk-nunjuk makanan yang ada di hadapannya menggunakan sumpit. "Ah, itu enak! Aku baru mencoba resepnya yang kudapat dari internet."

Hangeng merubah mimik wajahnya. Yang awalnya terkejut setengah mati menjadi tenang dan lembut kembali. "Masakanmu, tidak ada yang bisa menandinginya."

"Aku bukan koki."

'Tapi setelah ini kau akan jadi kokiku selamanya."

"Baiklah kau terlalu banyak berkhayal tuan Tan. Cepat habiskan makananmu."

"Aku tak berkhayal. Itu kenyataan."

"Terserah katamu." Pipi Jaejoong mulai memerah samar. Tak ada yang bisa melihat atau merasakannya selain diri dan perasaannya sendiri.