Mungkin jalan hidupku tak semudah yang kubayangkan. Mungkin kebahagiaan hanyalah ironi belaka. Entahlah. Aku pun tak mengerti dengan hidupku sekarang. Just let it flow. Biarlah aku mengikuti alirannya, selagi aku masih mampu mengikuti. Meski aku tak tahu, aliran itu akan terus bergerak tanpa arah atau malah akan berhenti.

.

.

.

Happy Reading !

Please Enjoy That!


World can Change

Disclaimer By Masashi Kishimoto's

Story By Ranari Amayesa

Uzumaki Naruto X Hyuuga Hinata

Genre : Drama - Hurt/Comfort

M

Warning :

OOC, Typos, Cerita bak sinetron, Bad Story


Chapter 1

.

.

.

.

"Tadaima..." suara seorang pria berkulit tan memasuki rumahnya yang tidak mendapatkan respon apa pun. "Apa dia sedang pergi? Tapi mobilnya ada di garasi." gerutunya dalam hati. Ketika itu waktu menunjukkan pukul 8 malam lewat 25 menit. Pria tersebut kemudian membuka pintu sebuah ruangan, "Bahkan kamarnya kosong. Sebenarnya dia kemana sih malam-malam begini?" karena keberadaan orang yang dicarinya nihil, dia akhirnya menuju kamarnya dan mulai membersihkan diri.

"Hari ini sungguh melelahkan." dia bergumam sembari merebahkan diri di kasur empuk itu. Jemarinya sibuk memainkan smartphone hitam miliknya. Entah apa yang menyibukkan dirinya dengan ponsel itu.

.

.

kruyuuuuukk

.

"Aishh, haruskah aku lapar sekarang?" dia menggurutu sambil memegangi perutnya. Tak lama kemudian dia beranjak dari kasurnya dan menuju ke lantai bawah untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya. "Makan apa ya?" Dia membuka lemari pendingin dan mengambil ramen instan, makanan favoritnya. Dia membawa cup ramen hangatnya menuju ruang keluarga, lalu menyalakan televisi hitam mahal yang bertengger indah di tempatnya.

.

.

DRRTTTTT -

.

Getaran halus dari ponsel itu bebarengan dengan kosongnya cup ramen. Lalu dia menyautnya dari meja dan menggeser layarnya.

"Moshi-moshi." Dia mulai berbicara dengan seseorang diseberang telepon, setelah berhasil menelan ramen yang memenuhi mulutnya.

"Naruto?" suara seorang gadis di seberang telepon.

"Bagaimana Shion-chan?"

"Tidak ada. Aku hanya merindukanmu saja."

"Kau ini. Aku juga merindukanmu. Gomenasai- belakangan ini aku terlalu sibuk dengan urusan kantorku."

.

.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, pria bernama Naruto itu kemudian memutuskan sambungan teleponnya. "Oyasuminasai Shion-chan. Sampai jumpa akhir pekan." Baru beberapa detik dia meletakkan ponselnya, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mewahnya.

"Tidak mau masuk dulu Toneri-kun?" suara lembut seorang gadis yang terdengar sangat familiar di telinga Naruto.

"Hinata? Dengan siapa dia malam-malam begini?" Naruto berkata dalam hatinya.

"Arigatou gozaimasu Toneri-kun!" teriak gadis itu diiringi lambaian tangannya.

.

.

CKLEK

.

.

"Ohh. Pintunya tidak terkunci? Apa Naruto-kun sudah pulang?" kata gadis itu dalam hati. Dia lalu menginjakkan kaki putih nan mulusnya memasuki rumah mewah itu.

"Dari mana?" suara baritone Naruto yang sontak membuat sang gadis terlonjak kaget di tempatnya.

"Emmm, a-aku dari-" jawabnya terbata-bata.

"Dengan siapa kau pergi?" belum sempat pertanyaannya dijawab, Naruto sudah menjejalkan pertanyaan berikutnya. "Jawab Hinata! Jangan diam saja!" teriak Naruto detik berikutnya.

"Tadi Tou-chan menelepon. Katanya aku harus kesana." Jawab gadis itu.

"Untuk apa?"

"Neji-nii pulang dari Korea tadi pagi."

"Baru pulang tadi dan kau langsung berkunjung hah?"

"Tapi Neji-nii harus berangkat ke Jerman sore ini, dan dia pergi untuk 1 tahun kedepan. Kalau aku tadi tidak kesana, mungkin aku akan-"

"Oh, benarkah ceritamu itu? Tapi haruskah pergi kesana dengan pria lain, sedangkan kau sudah menikah Hinata?" Naruto berteriak pada gadis yang disebut Hinata itu.

"Ta-tadi a-aku sudah mencoba menghubungi Naruto-kun tapi tidak bisa." nada Hinata gemetar, dia merasa takut dengan pria di depannya ini.

"Dan kau menghubungi pria lain?" Naruto melangkahkan kakinya memperpendek jarak dengan Hinata.

"Apa kau tidak ingin bertanya tentang keadaan Tou-chan, atau Neji-niisan?" Mata Hinata berkaca-kaca menahan buliran bening itu agar tidak jatuh.

"Hoi, kau pintar sekali mengalihkan topik pembicaraan." Kata Naruto sambil memalingkan mukanya.

"Naruto-kun..."

Manik sebiru lautan milik Naruto kembali menatap manik lavender yang berkaca-kaca dan dipenuhi pancaran ketakutan itu.

"Naruto-kun, tadi Toneri-kun hanya berniat menolongku saja. Aku tidak enak badan, jadi tidak bisa menyetir mobil sendiri. Jadi-"

"Tidak enak badan? Dan kau langsung pulih setelah berduaan dengan Toneri? Hah, kau lucu sekali Hinata!" lagi-lagi Naruto memotong kalimat Hinata.

"Toneri-kun adalah teman dekatku. Dia hanya-"

"Teman dekat katamu? Seberapa dekat kalian, sehingga dia berani mengantarmu ke rumah Tou-chanmu itu?! Apa dia tidak tahu statusmu sekarang?"

Hinata tidak menjawab. Hanya terlihat jemari lentiknya yang terus berliak-liuk mengiringi rasa takut.

"Tidak ada yang ingin kau jelaskan lagi Hinata? Jadi dugaanku benar. Kedekatanmu dengan Toneri itu adalah 'kedekatan' yang, entahlah..." Naruto mengucapkan kalimat itu lalu memutar badannya.

.

.

Hinata berusaha membuka mulutnya untuk mengutarakan sesuatu.

"Lalu bagaimana dengan Naruto-kun?" kalimat Hinata berhasil menghentikan niat Naruto untuk melangkah pergi.

"Bagaimana hubunganmu dengan Shion-san? Apa dia juga belum tahu tentang statusmu kini?" Hinata melanjutkan kalimatnya.

.

.

PLAKK

.

.

Tangan kekar Naruto mendarat di pipi kiri Hinata. Dan kini pipi Hinata yang putih dan halus mulai berubah menjadi merah. Andai saja kaki Hinata tak kuat menopang tubuhnya sendiri, mungkin dia sudah ambruk detik itu juga. Tangan kirinya kemudian menutup bekas tamparan di pipinya. Sedangkan tangan sebelahnya hanya mencengkeram kuat rok merah yang melekat dengan indah di tubuhnya itu. Dan satu lagi, rasa perih dan panas di pipi kirinya mungkin tak sebanding dengan rasa sakit hatinya saat ini.

"Tahu apa kau tentang Shion?" Ucapan Naruto berhasil menjebol pertahanan Hinata. Buliran bening itu akhirnya jatuh juga dari tempatnya. Dan Hinata hanya mengelap asal cairan bening itu.

"Apa perlu kuingatkan sekali lagi Hinata?!

Aku menikahimu bukan karena keinginanku! Ingat itu!" Naruto berkata dengan nada tinggi.

.

.

FLASHBACK ON

"Tidak mau! Aku sudah mengatakannya berulang kali. Biarkan aku memilih yang terbaik untuk diriku sendiri!" teriak Naruto di depan pasangan suami-istri, yang tak lain adalah orang tuanya.

"Semua terserah padamu. Tou-san sudah memberikanmu pilihan." Balas si pria dengan rambut dan penampilan yang mirip Naruto.

"Tou-san, ini tahun berapa sih? Pilihan semacam itu harusnya sudah tidak berlaku." Naruto terus membela diri.

"Namun tidak untuk Uzumaki Corp." Sanggah Minato, ayah Naruto dengan nada datar.

"Naruto, kau sudah berjanji pada Jiraiya-jiisan. Dan ini permintaan terakhirnya, agar kau menjaga Uzumaki Corp. Sekali ini saja! Seorang pria tidak pernah menarik kata-katanya. Kau sudah berjanji akan menjaga Uzumaki Corp bagaimanapun caranya. Percayalah pada Kaa-san, ini yang terbaik untukmu." Dengan lembut wanita bersurai merah bernama Kushina menyela di tengah suasana mencekam kedua pria itu.

"menikah dengan putri Hyuuga Corp dan kau tetap menjalani kehidupan seperti biasa, atau-"

"Sudahlah! Pilihan itu tak perlu diperjelas lagi. Apapun yang aku katakan, kalian dan semua orang akan memaksaku menikahinya. Tapi aku benar-benar tidak tertarik dengannya apalagi menyukai atau mencintainya." Ucapan Naruto memotong kalimat minato yang masih menggantung.

"Berarti kau bersedia menikah dengan putri Hyuuga Corp?" ekspresi datar Minato dan Kushina berubah 180 derajat.

"Inilah kekejaman dunia bisnis. Kalian mengorbankan kebahagiannku demi-"

"Demi kehidupan banyak orang. Para karyawan dan keluarganya. Hidup dan mati mereka ada di tanganmu. Dan kau menyelamatkan mereka." Belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, Minato sudah mengungkapkan kalimatnya sendiri.

"Akkhhh! Terserah apa mau kalian!" dengan nada marah dan jengkel, Naruto meninggalkan kedua orang tuanya dan menuju kamarnya. Naruto menghubungi kekasinya, Shion. Dia mengungkapkan semuanya. Awalnya, Shion sangat marah. Namun, lama-kelamaan dia mengerti keadaan Naruto. Bahkan gilanya, Naruto menjelaskan pada Shion bahwa mereka tetap bisa menjalin hubungan meski Naruto sudah menikah. Hubungan macam apa ini?

FLASHBACK OFF

.

Hinata hanya menundukkan kepala membiarkan air matanya berjatuhan membasahi lantai dan sesekali bersentuhan dengan kaki mulusnya. Dia tidak berani menatap manik sapphire yang menatapnya tajam dengan aura penuh kemarahan itu. Dia mencoba mengangkat kaki-kaki jenjangnya untuk menjauhi tempat itu. Tubuhnya terasa sangat lelah. Mungkin hati dan perasaannya juga. Ketika dia berhasil melangkahkan kaki melewati pria di depannya, tiba-tiba sebuah tangan kekar menarik lengannya paksa dan dengan sangat kasar. Tarikan paksa itu berhasil membuat Hinata kesakitan lalu berdiri sejajar dengan Naruto.

"Dan satu lagi Hinata. Jika kau berharap untuk cerai dariku, hal itu takkan pernah terjadi." bisik Naruto pada telinga Hinata dengan nada penuh ancaman yang membuat Hinata merinding.

Tangan kekar Naruto melepaskan lengan Hinata dengan sangat kasar. Hinata beranjak dari tempatnya dan dengan setengah berlari dia mencoba mencapai kamarnya di lantai dua. Dengan langkah tertatih dan air matanya yang tak berhenti mengalir, Hinata mencoba meraih gagang pintu kamarnya. Dibukanya pintu bercat coklat tua dengan cepat. Setelah berada di dalam kamar bernuansa lavender itu, dia menutup pintu kamarnya dan bersandar pada benda tersebut. Kaki-kakinya seperti sudah tak sanggup menopang beban tubuhnya sendiri, hingga akhirnya Hinata tersungkur di tempat itu. Dia merapatkan kakinya dan memeluk lututnya dengan sangat erat.

"Apa ini kesalahanku? Hiks.. hiks.. untuk menikah dengan Naruto-kun? Pria yang dari dulu kucintai. Hiks.. hiks.. hiks.. Tuhan, bukan seperti ini yang aku harapkan!" keluh kesah Hinata mengungkapkan rasa lelahnya. Bukan lelah secara fisik, namun batinnya lelah. Lelah dengan sikap Naruto, lelaki yang dari dulu sangat dicintainya dan kini telah resmi menjadi suaminya. Bukankan harusnya Hinata bahagia menikah dengan pria idamannya? Entahlah. Mungkin hanya Hinata sendiri yang tahu.

Sudah cukup lama Hinata menangis di tempatnya. Dia melirik ke arah arloji di tangan kanannya. Jarum panjang menunjuk angka 9 dan jarum pendek di angka 10. Mungkin dia mulai merasa tidak nyaman dengan posisinya itu. Hingga ia memutuskan untuk bangkit dan menuju kasur empuknya dengan bed cover yang selaras dengan nuansa lavender di kamarnya. "Aku lelah Tuhan." Hinata merebahkan diri di kasur. Dia tidak berminat mengganti pakaian dengan baju tidur atau setidaknya pakaian yang lebih nyaman daripada apa yang dikenakannya kini. Ia tidak peduli. Ketika dia mulai merapatkan kedua matanya, dia membukanya kembali. Dia bangkit lalu duduk di tempatnya. Dia merapatkan tangan, menutup matanya, lalu berkeluh kesah pada Tuhan tentang masalahnya itu. Dia berdoa. Entah apa saja yang dia katakan.

Di ruangan lain, seorang pria berkaos orange dan bercelana pendek sedang sibuk dengan pikirannya yang entah itu benar-benar terjadi atau hanya khayalannya saja. Kadang terbersit rasa bersalah karena telah menampar seorang wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri. Lalu dia mengambil ponselnya dan mengetik permintaan maaf untuk Hinata melalui pesan singkat. Namun, ketika dia akan menekan tombol 'send', dia menghapus semua kalimat yang sudah diketiknya itu. "Apa-apaan aku ini? Dia patut mendapatkannya. Lagipula aku tidak memiliki perasaan apapun padanya. Hahaha... bakero."

.

.

DRRRTTT-

.

Naruto gagal memasuki alam mimpinya ketika dirasa getaran-getaran halus dari ponselnya itu terus mengganggu.

"Moshi-moshi Kaa-chan. Ada apa menelpon malam-malam begini? Aku sudah mau tidur."

.

.

Kurang lebih 10 menit Naruto berbincang dengan Kushina, ibunya.

"Hnn. Aku tutup telponnya. Oyasumi~ Kaa-chan, salam untuk Tou-chan."

Naruto kembali meletakkan ponsel di meja sebelah tempat tidurnya. "Apapun yang terjadi, aku harus tidur sekarang." Naruto memejamkan matanya. Namun, dia kembali membuka matanya. Hal itu terjadi berulang kali. Dia hanya mengedip-ngedipkan matanya sambil menunggu rasa kantuk menghampirinya. Hingga akhirnya ia pun tidur, entah sejak kapan.

.

.

.

TO BE CONTINUE :)

.

.

.


Ohayou Minna-san... :D

Ogenki desuka?

This is my first story in fanfiction. I know that my story is so bad and can't be perfect. But, I wish that minna-san will give your opinion about my story.

RA hanya sebagai author amatir disini. Jadi, maafkanlah saya jika cerita ini sangat jauh dari kata menarik maupun memuaskan. Sumimasen, gomenasai!

Tinggalkan jejakmu pada cerita saya, sehingga author bisa mempertimbangkan akan dilanjutkan atau sudahi saja semua ini. huhuhu

- REVIEW nya jangan lupa ye...?! :D

NB : Review dari reader bak oksigen kehidupan bagi author :* :*

Oke, see u in the next chapter. Arigatou gozaimasu.