Dare To Face The Future

Disclaimer : Masashi Kishimoto
Story : Rohma Amai
Warning : AU, Ooc, Typo
Cerita ini dibuat hanya untuk hiburan semata. Tidak ada maksud untuk menyinggung pihak manapun. Apabila ada kesamaan kejadian itu hanya kebetulan semata.

Untuk Teteh Vhi.

Naruto U, Shikamaru N, Kiba I, Hanabi H, Hiashi H, Sasuke U, Ino Y, Sakura H, Neji H, Hizashi H,

.
.
.

Namaku Hinata. Gadis berusia 16 tahun, berperawakan sedang dengan rambut indigo panjang serta pupil mata yang unik. Hidupku seperti remaja putri kebanyakan. Bersekolah, belajar, bermain bersama teman-teman, berkumpul bersama keluarga dan hal-hal biasa lainnya. Ayahku bernama Hiashi Hyuuga. Ia seorang kepala klan Hyuuga di Desa Konoha ini. Ia berkepribadian tegas dan tak pandang bulu. Walau ia terlihat sangar di luar, tetapi hatinya baik. Aku juga memiliki adik perempuan, namanya Hanabi Hyuuga. Kami kakak beradik yang tak pernah bertengkar. Walau Hanabi selalu berbuat jahil dengan menggodaku dalam hal apapun, aku tak pernah marah padanya. Sementara Ibuku sudah tiada sejak aku kecil.

Keluarga kecil kami hidup bahagia, sebelum akhirnya sebuah masalah muncul menghancurkan keluarga kami.

Saat itu di awal musim dingin, mansion Hyuuga ramai oleh para petinggi di negeri ini. Aku yang saat itu baru sampai dari sekolah, tak ambil pusing dan langsung memutar jalan menuju pintu belakang. Dari pada aku harus membungkuk hormat berulang kali kepada para petinggi itu, lebih baik aku masuk ke rumah lewat pintu belakang. Aku tidak suka politik, mendengar Ayah yang setiap hari membicarakan masalah politik saja sudah membuatku muak. Bukan berarti aku membenci pekerjaan Ayah, hanya saja aku tak ingin terlibat hal-hal seperti itu.

Setelah melepas sepatu dan memasuki rumah, aku langsung melesat ke kamar, meletakan tas di kursi belajar, berganti pakaian lalu melangkah menuju dapur. Di sana aku mulai makan siang, seorang diri. Hanabi belum pulang karena ada les bahasa, sementara Ayah sibuk bekerja. Hal seperti ini adalah hal yang lumrah di rumahku. Makan siang mendahului Ayah adalah sesuatu yang biasa pula, bahkan Ayah menyuruhku. Karena Ayah tahu pekerjaannya itu tak mungkin membuat anak-anaknya menunggu kelaparan. Tetapi, tiba-tiba saja Ayah bergabung ke meja makan. Ia mempertanyakan diriku yang tiba-tiba sudah ada di meja makan. Mendengar alasanku, Ayah menyemprotku dengan petuahnya karena aku berlaku tidak sopan. Lalu tanpa ditanya, Ayah menerangkan alasannya bergabung ke meja makan. Pertemuannya dengan para petinggi diberhentikan sejenak untuk istirahat.

"Kami juga manusia, butuh makan," guraunya. Lalu kubalas dengan tawa garing, karena menurutku Ayah sama sekali tidak memiliki selera humor yang baik. Makan siang itu kami habiskan dalam sunyi. Selepasnya, Ayah kembali ke ruang depan-melanjutkan pertemuannya. Aku menuju kamarku. Tidak ada hal yang harus kulakukan siang ini, jadi kuputuskan untuk membaca novel. Tiga puluh menit kemudian, sebuah ketukan pintu pada kamarku memaksaku menghentikan kegiatan membacaku, menghampiri pintu dan membukanya. Ternyata Hanabi yang ada di balik pintu.

"Kau sudah pulang?" tanyaku.

"Iya, baru saja. Ayah menyuruh kita ke ruang depan," ucapnya.

Aku menaikan sebelah alisku, "Untuk apa?" ucapku dengan nada tak suka.

"Entahlah. Ayo kita ke sana saja, dari pada dimarahi Ayah." Ia lalu berjalan menjauhiku yang masih berada di ambang pintu. Dengan terpaksa aku mengikutinya.

Mataku menyapu ruang depan yang menjadi ruang pertemuan dan membalas tatapan para petinggi yang menunjukan rasa kagum padaku. Menurutku itu tatapan yang menyebalkan karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Dengan senyum (sok) manis, aku duduk bergabung di sebelah Hanabi yang sudah duduk duluan.

"Baiklah, langsung pada intinya," ucap Paman Hizashi, adik Ayahku.

"Maksud kami menyuruh Hinata dan Hanabi datang ke sini adalah memberi tahu hasil pertemuan hari ini." Demi apa mereka menyuruhku mendengarkan pekerjaan mereka. Aku berusaha untuk tidak memasang wajah dendam kesumat dan tetap memasang senyum palsu.

"Hiashi Hyuuga, Ayah kalian dicalonkan sebagai pimpinan polisi melawan pemimpin sebelumnya, Fugaku Uchiha." Mendengar penuturan Pamanku itu, aku mematung selama beberapa detik. Lalu kutolehkan kepalaku pada Hanabi, ia malah tampak tersenyum senang berbanding terbalik denganku. Aku yakin Hanabi akan mengikuti jejak Ayah di politik.

"Oleh sebab itu Hiashi meminta restu kalian," lanjut Paman Hizashi.

"Iya. Tentu saja kami merestui." Itu Hanabi yang berbicara, bukan aku. Tanpa menunggu aku angkat bicara, Paman Hizashi sudah menyimpulkan pertemuan hari ini dan menutupnya.

Aku langsung saja meluncur ke kamarku setelah membungkuk hormat kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Kuhempaskan tubuhku ke kasur dan kupeluk gulingku erat-erat sambil bergumam, "mengapa tidak sekalian saja menjadi Hokage, Ayah."

db

Tak kusangka ternyata aku tertidur hingga fajar menyambut. Aku melewati makan malam serta drama televisi kesukaanku yang tayang setiap hari senin sampai kamis pukul lima sore. Aku beranjak dari kasur dan mulai melakukan rutinitas pagi seperti biasa, lalu bergabung ke meja makan untuk sarapan.

"Kakak, semalam kau melewati makan malam." Aku hanya menjawab pernyataan Hanabi dengan gumaman, lalu celingak-celinguk mencari Ayah yang belum bergabung dengan kami.

"Di mana Ayah?" tanyaku

"Ayah sudah berangkat lima belas menit yang lalu," jawab Hanabi

"Apa Ayah sudah sarapan?"

Setelah mengunyah makanannya, Hanabi menjawab. "Sudah, tapi hanya sedikit. Lalu aku siapkan saja bekal untuknya. Gara-gara kakak bangun telat, aku jadi sibuk pagi ini."

Aku menghempas napas pelan, seraya meminta maaf padanya. Sebenarnya di rumah kami ada asisten rumah tangga, tetapi ia akan datang saat pukul tujuh. Itu perintah Ayah, agar anak-anaknya bisa mandiri menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya di pagi hari.

db

Saat aku sudah sampai di sekolah, keadaan kelas sudah ramai. Langsung saja aku menghampiri kursiku dan sebuah sapaan tertangkap oleh pendengaranku. "Selamat pagi, Hinata." Ternyata Kiba yang menyapaku.

Laki-laki berambut coklat itu menghampiriku dengan senyum lebarnya.

"Apa pr kimiamu sudah selesai?" Aku mengernyit sejenak, lalu teringat semalam aku tak mengerjakannya karena tertidur.

"Aku tak mengerjakannya. Kemarin sore aku tertidur, jadi tak sempat membuatnya," aku diriku pada Kiba.

"Aduh. Bagaimana ini, Hinata?" ucap Kiba dengan air muka frustasi. Ia mengacak-acak rambut jabriknya lalu mengibas-ngibaskan bukunya untuk mengipasi wajahnya yang terlihat berkeringat dingin.

"Semoga Madara-sensei tidak masuk," doaku lirih. Aku juga jadi deg-degan karena tidak mengerjakan tugas dari guru super killer di sekolah ini.

Kiba beranjak menuju teman-teman yang sedang berkumpul menyalin tugas teman yang sudah selesai. Aku ikut menghampiri dan ternyata buku yang dikerumuni milik Shikamaru. Belum sempat aku ikut menyalin, tiba-tiba sebuah tangan menarik buku Shikamaru. Pelakunya adalah Naruto.

"Buku Shikamaru sudah aku booking. Silahkan cari sumber yang lain," ucap Naruto membuat teman-teman berseru kecewa.

Mereka bubar layaknya semut-semut yang kehilangan gulanya. Tetapi tidak denganku. Gulaku baru datang, gula yang mampu mengalihkan duniaku. Naruto Uzumaki, laki-laki pemilik surai kuning dengan tanda lahir berupa tiga garis mirip kumis kucing di kedua pipinya yang menawan itu adalah pujaan hatiku. Walau menurutku kata "pujaan hati" itu terlalu berlebihan karena sampai sekarang hubungan kami hanya teman satu kelas. Aku sangat ingin menggapainya, berdiri di sisinya dan selalu bersamanya.

Aku termenung beberapa saat hingga mata kami saling bertemu dan ia ikut termenung walau tak lama, lalu ia alihkan pandangannya ke arah lain, duduk di kursinya dan menyalin tugas Shikamaru. Hingga bel pertanda masuk berdering menyadarkanku. Kulihat buku tugas kimiaku yang masih kosong sambil bergumam lirih, "aku mengawali hari dengan buruk."

db

Hujan salju pertama menerjang bumi saat aku sedang berjalan pulang bersama Kiba. Kami singgah sejenak di halte dekat sekolah karena Kiba memintanya untuk menikmati hujan salju ini.

Lengang sejenak hingga Kiba angkat bicara. "Wajah kamu kayak uang kembalian angkot, lecek."

Aku reflek menoleh ke arahnya karena ucapan Kiba sangat menyebalkan.

Ia menghela napas pelan, lalu berucap kembali, "Seharusnya kamu senang karena tadi Madara-sensei tidak masuk, pr kimia aman. Sekarang kenapa kamu cemberut begitu?"

Aku menolehkan kepalaku ke seberang jalan yang terdapat papan reklame yang terpasang foto Ayah dan Ayah Sasuke-Fugaku Uchiha.

"Bukankah itu sangat merepotkan?" ucapku.

"Apanya?" Kiba mengikuti arah pandanganku lalu kembali berseru, "Seharusnya kamu bersyukur karena memiliki Ayah yang berperan penting membangun Desa Konoha ini, bukannya mengeluh macam Shikamaru yang selalu mengeluarkan mantra "merepotkan"."

"Kamu kan tahu kalau aku tidak suka menjadi pusat perhatian."

"Hinata, kamu hanya kurang bersyukur dengan keadaan kamu sekarang. Kamu sudah memiliki keluarga yang menyayangimu dan teman seganteng diriku, jadi kamu harus terus bersyukur." Di tengah nasihatnya Kiba masih sempat narsis. "Hey, mana Hinata yang selalu optimis dan pantang menyerah itu? Kau pasti bisa melalui semuanya."

Kiba benar, aku hanya kurang bersyukur. Aku harus kembali pada diriku sendiri dan tidak boleh mengeluh.

Kiba memang teman yang selalu ada jika aku dalam kesulitan. Kami memang memiliki nasib yang sama, dia yatim dan aku piatu. Kiba sudah kehilangan Ayahnya semenjak kecil, jadi aku bisa memahami perasaannya karena tak pernah merasakan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtua, begitupun sebaliknya.

Aku tersenyum terima kasih pada Kiba dan dibalas dengan senyum lebarnya.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, membuat kami berdua reflek menoleh. Terlihat Shikamaru yang berjalan ke arah kami lalu ikut duduk. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang rokok dengan koreknya. Ia nyalakan rokoknya dan mulai melakukan hal yang kubenci-merokok.

Aku reflek menutup hidung, lalu meminta Kiba untuk menyuruh Shikamaru mematikan rokoknya.

"Hey, Shikamaru," ucap Kiba. Si rambut nanas itu hanya melirik sekilas menanggapi panggilan Kiba.

"Tolong matikan rokokmu," lanjut Kiba.

Shikamaru mencibir lalu berucap, "Kenapa, kau tidak suka rokok? Dasar banci."

Kiba melotot tak terima dan beranjak dari duduknya ingin menghajar Shikamaru.

"Aku bukan banci, sialan!" Aku menahan kedua pundak Kiba agar tidak benar-benar menghajar Shikamaru dan menyuruhnya untuk tenang.

Melihat Shikamaru yang bergeming menghiraukan ucapan Kiba, aku angkat bicara. "Laki-laki sejati itu mencintai dirinya sendiri dan orang lain. Sementara seorang perokok tidak pernah melakukan kedua hal itu karena dia banci."

Shikamaru terhenyak lalu segera berdiri menghadap kami. Ia membuang rokoknya yang masih setengah dengan kasar dan membirakannya mati tertimpa salju. Wajahnya tersungging senyum mengejek.

"Oh, benarkah itu, Hinata!" ucapnya lalu mengalihkan pandangannya ke seberang jalan-papan reklame. "Kau tahu Ayahku memihak siapa? Tidak ada yang pernah menang melawan pemimpin klan Nara. Jadi bersiaplah untuk kalah, Hyuuga."

Aku tersentak, lalu berujar, "ini tidak ada hubungannya dengan pemilihan pimpinan Kepolisian, jadi jangan bawa urusan politik ke dalam masalah ini. Memang seharusnya rokok ditiadakan di lingkungan sekolah."

Lagi-lagi si rambut nanas itu mendengus menyebalkan. "Jika Uchiha yang menang, aku pastikan kau menderita."

Tanpa menunggu balasan dariku, Shikamaru berlalu pergi menerobos hujan salju.

Aku terduduk lemas, entah apa maksud dari perkataan Shikamaru, tetapi itu seperti ancaman yang mengusik diriku.

"Jangan dengarkan dia," ucap Kiba berusaha menenangkan diriku.

Entah mengapa dalam keadaan seperti ini aku ingin Ayah memenangkan pemilihan Kepala Kepolisian agar keresahan yang kurasakan akibat peryataan Shikamaru tadi menghilang.

db

Tiga bulan berlalu, musim semi datang dengan membawa api semangat, meninggalkan musim dingin yang beku. Tahun ajaran baru pun dimulai. Aku yang naik ke kelas dua merasa senang karena dapat sekelas lagi dengan Naruto-si gula penarik perhatianku.

Bulan ini juga bertepatan dengan pemilihan pimpinan Kepolisian. Yang memiliki hak suara adalah para anggota kepolisian serta para petinggi negara. Pemilihan dilaksanakan pada hari senin minggu pertama bulan April. Aku santai saja menanggapi hari pemilihan tersebut dan masih menjalankan rutinitas seperti biasanya, tetapi dalam hati aku berharap Ayah bisa menang karena aku masih gelisah dengan ucapan Shikamaru tiga bulan lalu. Berbeda dengan Hanabi, adikku itu meliburkan dirinya sendiri hanya untuk menunggu rekapitulasi suara. Adikku itu benar-benar bersemangat.

db

Istirahat kedua aku gunakan untuk makan siang di kantin bersama Kiba. Saat sedang asik-asiknya makan sandwich, suara seseorang membuat nafsu makanku hilang.

"Nanti sore pengumuman siapa yang terpilih menjadi pimpinan Kepolisian. Aku tidak yakin Ayahmu akan menang, karena Hokage memihak Uchiha. Kau sudah tahu kan Hokage itu Ayah Naruto." Orang itu berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Naruto tak memihakmu."

Aku mengerjap karena terkejut dan ia menyeringai.

"Apa maksudmu, Shikamaru?" tanyaku dengan setenang mungkin.

"Aku tahu kau menyukai Naruto, Hinata," ucap orang itu-Shikamaru.

Sebelum aku menanggapi, suara seseorang memanggil Shikamaru. Suara itu adalah Sasuke, "Shikamaru."

"Aku pastikan kau akan menderita," ucapnya sebelum meninggalkan aku yang shock dengan ancamannya.

"Hinata, kau tak apa?" ucap Kiba

"I-iya. Aku tak apa." Dan sejak siang itu, penderitaan benar-benar hadir dalam hidupku.

db

Di ruang keluarga, aku, Hanabi dan Natsu (pengasuh Hanabi) menonton televisi bersama, menunggu berita hasil pemilihan pimpinan Kepolisian. Nampak Hanabi dengan raut senang dan tak sabar terus menatap benda persegi panjang itu bagaikan akan menghilang jika ia berkedip sekali saja. Sementara aku memasang wajah datar, tentu bertolak belakang dengan hatiku. Aku masih gelisah karena ancaman Shikamaru tadi siang. Semoga tidak terjadi sesuatu padaku nanti.

db

Ayah kalah dan aku merengut khawatir.

Setiap chanel televisi menayangkan Hot News hasil pemilihan pimpinan Kepolisian untuk periode lima tahun kedepan. Terlihat Uchiha sedang bersalaman dengan Uzumaki (Hokage), memasang wajah gembira pada kamera-kamera wartawan. Lalu beralih kepada Ayahku dan melakukan hal yang sama seperti tadi. Ayah nampak berlapang dada atas kekalahannya. Tetapi, itu semua tidak cukup membuat gelisah hatiku menguap.

db

Koridor loker hari ini nampak lengang. Aku berjalan seorang diri menuju loker milikku. Tetapi belum sampai pada tujuan, terlihat dua orang berjalan beriringan menuju ke arahku.

"Naruto, Sasuke." Orang yang kusebut namanya berhenti di hadapanku.

"Selamat atas kemenangan Ayahmu, Sasuke," ucapku seraya membungkuk dalam.

"Hn, terima kasih," balas Sasuke dengan bungkukan juga. Aku beralih pada Naruto, membungkuk dalam seraya berucap, "selamat atas kerja keras Ayahmu, Naruto."

Naruto tak membalasku seperti Sasuke, ia hanya bergumam pelan. Raut wajahnya pun nampak tidak suka kepadaku yang menghalangi jalannya. Secepat mungkin aku menyingkir, memberi jalan pada mereka berdua.

Setelah sudah tak nampak lagi siluet mereka, aku bergegas membuka loker, memasukan buku ke dalamnya dan menutupnya kembali.

"Kenapa sikap Naruto begitu dingin kepadaku," gumamku lalu berjalan menjauhi koridor.

db

Kantin nampak sesak saat istirahat kedua. Aku dan Kiba terlambat datang dan tak mendapatkan meja, terpaksa kami berdua hanya membeli roti dan membawanya ke dalam kelas.

Saat tinggal beberapa senti lagi langkahku sampai di ambang pintu kelas, seseorang keluar dari sana dan langsung berbelok ke arahku. Kejadiannya sangat cepat hingga aku dan orang itu tak bisa menghindari tabrakan. Aku sempat berteriak tertahan karena terkejut. Roti dan minuman yang aku bawa pun jatuh berserakan di lantai, tetapi dengan cepat aku memungutinya kembali.

"Maaf," ucap orang yang bertabrakan denganku. Aku kembali menegakan tubuh dan melihat wajah seorang laki-laki tampan bermata coklat menatapku penuh sesal. Segera aku pun meminta maaf padanya dan berkata bahwa aku tak apa-apa. Setelahnya laki-laki itu pergi dengan senyum menawan tersungging untukku. Aku sempat terpana beberapa saat hingga Kiba mengguncang bahuku seraya berucap, "Hinata, wajahmu merah. Apa kau demam?"

"E-etto... aku tak apa, Kiba." Dengan gugup aku langsung masuk ke dalam kelas.

"Laki-laki itu aku baru melihatnya, apakah dia anak baru di sekolah ini?" Innerku berucap penasaran walaupun aku bingung apa yang membuatku tertarik padanya.

db

Jalan yang aku lewati siang ini nampak sepi. Angin musim semi berhembus mengisi kesunyian sekaligus menemani langkahku menuju rumah selepas sekolah. Aku berbelok ke arah kanan pada perempatan pertama menuju rumahku, dan di sana mulai tampak ramai orang-orang berlalu lalang karena jalan itu adalah pusat pertokoan.

Kuedarkan pandanganku mencari sesuatu yang unik, seperti promo kue atau bagi-bagi kue gratis. Atensiku terhenti pada sebuah kedai yang menjual kue coklat, tetapi aku urung ke sana ketika melihat Shikamaru ada di depan kedai itu.

Laki-laki itu tak sendiri, ia bersama Sasuke, Chouji, Ino, Sakura dan Naruto. Tetapi entah mengapa atensiku tak terpaku pada Naruto, melainkan pada laki-laki yang bertabrakan denganku tadi di sekolah yang juga ada di sana. Ternyata ia cukup dekat dengan gerombolan anak-anak dari para petinggi negara, itu berarti Ayahnya juga seorang petinggi negara, lalu siapa dia?

Karena terlalu asik dengan spekulasiku sendiri, posisiku saat ini telah di ketahui gerombolan anak-anak itu. Lalu dengan lantangnya Ino memanggilku, "Hinata... kemarilah," ucapnya seraya melambaikan tangan.

Aku tersentak karena menjadi pusat perhatian oleh yang lain, apalagi tatapan Shikamaru yang terlihat meremehkanku dan juga tatapan dingin Naruto yang menusuk hatiku.

"Go-gomen, aku buru-buru," ucapku mencoba menghindar.

"Ayolah, Sasuke yang bayar." Ino lantas mendekat dan menarikku agar bergabung dengan yang lain dan itu sama saja mendorongku ke dalam jurang tanpa dasar. Aku tersenyum canggung membalas tatapan mereka lalu kami langsung masuk ke dalam kedai untuk makan kue coklat bersama.

Walaupun aku suka coklat apalagi itu gratis, aku tak merasakan kenikmatan karena harus makan bersama Shikamaru yang sepertinya sedang menahan segala umpatan dan ejekan untukku. Kalau bukan di tempat umum seperti sekarang ini, aku pasti sudah jadi korban buli si rambut nanas itu.

Kulihat Naruto yang duduk di seberangku hanya asik dengan handphonenya, ia sama sekali tak melirikku. Aku mendengus pasrah, memainkan jari-jari tanganku di bawah meja, dan terus menunduk agar tak bertemu pandang dengan Shikamaru.

"Hinata." Sebuah panggilan dan tepukan pada pundak kiriku membuatku terlonjak. Aku sampai malu dibuatnya saat tahu yang menepukku adalah laki-laki bermata coklat menawan itu. Raut wajahnya nampak bingung melihatku yang melamun sedari tadi. Ia lalu melirik kue bagianku yang belum tersentuh sama sekali lalu menawarkan untuk menyuapiku. Tentu saja aku menolak, tetapi ia memaksa dan berhasil memasukan kue itu ke dalam mulutku. Ino dan Sakura sibuk menggodaku. Wajahku bersemu, dan Naruto melirikku sekilas lalu mendengus-entah apa maksudnya mungkin ia kesal.

Tetapi aku merasa senang, laki-laki ini yang pertama membuatku bersemu selain Naruto dan sikapnya lebih manis dari Naruto.
Ah, pikiranku mulai kacau. Aku merasa gejolak yang aku rasakan telah membuat diriku beralih dari Naruto menuju laki-laki ini.

db

Namanya Utakata. Laki-laki berbadan tinggi dengan rambut emo coklat senada dengan warna matanya yang menawan. Ia kakak kelas di sekolahku, pantas saja aku tak pernah melihatnya. Ayahnya seorang Diploma sekaligus pengusaha dari Desa Kiri dan sudah empat tahun bertugas di Konoha.

Selepas dari kedai kue coklat, ia mengantarku pulang dan banyak bercerita tentang dirinya yang selalu berpindah-pindah negara karena pekerjaan Ayahnya. Ia bukan laki-laki humoris, bahkan sifatnya hampir mendekati Sasuke. Tetapi ia baik dan juga manis. Sudah tak terhitung berapa kali wajahku bersemu ketika berbincang dengannya. Walau mungkin terlalu cepat, tetapi aku merasa nyaman berada di sisinya.

db

Jam pelajaran olahraga telah usai dan aku telah selesai berganti seragam. Saat hendak keluar dari ruang ganti seseorang masuk dan membuat atensiku membulat. Orang yang masuk itu adalah Naruto. Tak seharusnya ia berada di ruang ganti perempuan.

"Hai, Hinata," ucapnya santai. Aku sempat mencelos ketika ia memanggil namaku, tetapi aku kembali siaga, khawatir ia berbuat macam-macam.

"Ke-kenapa kau masuk ke sini, Naruto?" Ia tak lekas membalas, setelah berdiri di hadapanku dan menyunggingkan senyum sekilas, ia malah menatapku intens.

"Tenang, di sini sepi. Tak ada orang yang tahu." Kini ia menyeringai membuatku merinding, lagi aku tak mengerti maksud ucapannya.

Sejurus kemudian tanpa terduga, Naruto mencengkeram lenganku dan menarikku hingga tersudut pada pintu ruang ganti. Ia menghempas tubuhku membuat punggungku sakit akibat benturan dengan pintu yang kini ada di belakangku. Tak menyisakan barang sedetikpun, langsung saja anak Hokage itu menghimpit tubuhku dengan tubuhnya untuk mengunci pergerakanku agar tak bisa kabur.

Tentu saja aku terkejut. Dalam posisi bahaya seperti ini dengan seringai di wajah tannya, Naruto pasti akan berbuat macam-macam.

Berontak.

Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tetapi sayangnya tenagaku tak cukup membuat Naruto melepaskan kungkungannya.

"Le-lepas, Naruto," ujarku ditengah pemberontakan.

"Untuk apa aku melepaskanmu jika nanti kau benar-benar berpaling dariku." Kalimat Naruto benar-benar tak aku mengerti.

"Hinata, kau mengkhianatiku," lanjutnya.

"Ap-apa maksudmu?" tanyaku meminta penjelasan.

"Kau telah mencoba mengkhianatiku dengan laki-laki itu. Padahal kalian baru bertemu kemarin. Atensimu benar-benar sudah beralih." Ditengah ucapannya, Naruto membelai pipi kiriku lalu beralih meraih rambut indigoku. "Kau," jeda sejanak, ia mencium rambutku, "tak boleh seperti itu."

Aku menahan napas, benar-benar terkejut dengan perlakuan Naruto.

"Menurutku, aku lebih menawan dari pada Utakata-senpai," lanjutnya dengan penekanan diakhir kalimatnya. "Tetapi mengapa kau bisa dengan mudah tertarik olehnya dan meninggalkan aku sendiri, anata..."

Aku benar-benar tercekat mendengar Naruto yang memanggilku dengan panggilan sayang. Benar, tercekat. Bukan berdetak. Aku merasa perasaanku sudah... menghilang, walau seharusnya dalam posisi seperti ini aku merasakan yang sebaliknya.

"Naruto, lepas." Tanganku berusaha untuk mendorong tubuh Naruto, tetapi tetap saja tidak bisa.

"Kau masih menyukaiku kan?" Belum sempat aku membalas pertanyaannya, suara handphone Naruto membuatnnya melonggarkan kungkungannya dan meraih smartphone yang ada di saku celananya.

"Hmm, baiklah," imbuh Naruto pada seseorang di seberang sana lalu memutuskan sambungan telponnya. Setelahnya ia simpan kembali handphonenya di tempat semula, lalu mulai menjauhi tubuhku. Aku tidak sempat bernapas lega karena Naruto mengeluarkan suaranya lagi, "nanti malam kau datang ke acara para pejabat negara kan? Aku tunggu kau di sana. Dan jangan lupa..." Ia meraih rambutku dan mempermainkannya dengan jari-jarinya. "Berdandanlah yang cantik, Hinata." Ia akhiri kalimatnya dengan senyum aneh lalu pergi meninggalkanku yang masih mengatur napas. Aku benar-benar cemas dengan yang akan terjadi setelah ini.

db

Dekorasi megah hall tempat berlangsungnya acara tahunan para pejabat negara yang diselenggarakan setiap musim semi ini tak bisa membuat pikiranku diam di tempat. Aku terus membayangkan jika bertemu dengan Naruto dan hal-hal buruk terjadi, apalagi jika Naruto bersama Shikamaru, hidupku benar-benar terancam.

Dalam balutan gaun selutut berwarna pastel dan wedges di kaki, aku berjalan menbuntuti Ayah dan kak Neji-sepupuku-menuju kursi kami. Tetapi rasanya perjalan kami menuju tempat duduk sangatlah lama, karena Ayah sering berhenti dan bercengkrama dengan para pejabat lain yang ditemuinya dalam perjalanan ini, padahal kakiku sudah sangat pegal. Akhirnya kuputuskan menuju meja yang di atasnya terdapat name tag klan Hyuuga, seorang diri.

Tetapi baru saja aku duduk, seseorang menggenggam pergelangan tanganku. Reflek aku menoleh dan menangkap sosok pirang jabrik dengan tuxedonya yang rapih. Ia terlihat tersenyum-mendekati menyeringai-lalu mengeluarkan suaranya, "Anata, kau cantik sekali malam ini."

Ia lalu menuntunku untuk berdiri dan berjalan mengikuti langkahnya, walaupun aku enggan mengikutinya. Kami sempat menjadi pusat perhatian para tamu karena ia terus menggenggam pergelangan tanganku sepanjang perjalan. Kalian tahu, aku tak suka menjadi pusat perhatian.

Ia akhirnya berhenti melangkah di sebuah lorong jalur evakuasi. Lorong ini jauh dari keramaian serta kurangnya pencahayaan.

Dalam cahaya remang-remang ini, aku sempat terpana dengan shapire yang memancarkan cahaya biru dari kedua bola matanya. Tetapi segera saja aku menghalau semua itu dan tetap siaga atas seseorang yang kini berdiri di hadapanku.

"Naruto, kenapa kau bawa aku ke tempat ini?" aku memulai percakapan.

"Kita akan bersenang-senang di sini, Hinata," jawab Naruto dengan seringai mengerikannya.

"Aku tak bisa berlama-lama, aku harus kembali kepada Ayahku," ucapku mencoba pergi dari Naruto.

"Ayolah, Hinata. Kau bukan lagi anak-anak yang terus mengekori Ayahmu. Tetaplah di sini bersamaku, bersama orang yang kau cintai." Aku tak peduli dan segera mengayunkan kakiku menjauhi Naruto, tetapi lagi-lagi Naruto meraih tanganku dan kejadian tadi siang terulang kembali.
Naruto berhasil mengurungku dengan tubuhnya dan tembok di belakangku.

"Tenanglah, Hinata," bisiknya di telinga kiriku saat aku mulai memberontak. Tentu saja aku tak bisa tenang dengan seorang laki-laki yang berbahaya.

"Naruto, tolong lepaskan," ucapku terus memberontak.

"Kau tampak lebih menawan jika dilihat dalam jarak sedekat ini..." dalam jarak sedekat ini pula aku dapat melihat perubahan ekspresi Naruto yang terlihat mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa rambutmu digulung? Aku tak dapat memainkan rambut panjangmu yang indah dan..." ia menggantung kalimatnya, memajukan kepalanya menuju tengkukku dan mengendusnya, memberi rasa geli sekaligus menjijikan pada tengkukku. "Wangi... apa perlu aku buka ikatan rambutmu." Tanpa menunggu penolakan dariku, tangannya meraih rambutku dan melepaskan ikatannya.

Rambutku jatuh terurai dan bersamaan dengan itu buliran air mata keluar dari kedua mataku. Aku benar-benar tak bisa melawan dan hanya bisa menangis. Naruto nampak terkejut, tetapi ia sama sekali tak melepasku. Ia malah menghapus air mataku walau menurutku itu percuma karena semakin lama semakin deras.

"Kenapa kau menangis, apa yang kurang dari diriku, Hinata?" Aku terus menangis.

"Kini kau bisa menggapaiku...," ia mengangkat tangan kiriku lalu meletakkannya di pipi kanannya. Aku berharap merasakan sengatan hangat saat menyentuh kulit tannya, tetapi nihil.

"Kini kau bisa berdiri di sisiku, bahkan di hadapanku...," ia semakin mendekatkan wajahnya. Aku berharap ada dentuman bahagia di hatiku, tetapi nihil.

"Kau akan selalu bersamaku." Aku sama sekali tak luluh dengan pengakuannya. Aku sudah tak lagi...

PLAK

Aku tak menyia-nyiakan posisi tanganku yang ada di pipinya. Dengan cepat, sebelum wajah Naruto semakin dekat, aku menampar pipinya hingga kepalanya tertoleh ke arah lain. Ia tertegun, kungkungannya pun mengendur.
Ini kesempatanku untuk kabur.

Tetapi, lagi-lagi tak mudah. Setelah sadar dari keterkejutannya, ia mencengkeram kuat lenganku, menciptakan rasa sakit. Air mata masih mengalir melintasi pipiku.

Lalu aku memberanikan diri berteriak di depan wajah Naruto, "lepas, Naruto! Biarkan aku pergi darimu karena aku sudah tak menginginkan semua yang tadi kau ucapkan!" Naruto tetap tak melepaskan cengkramannya.

"Aku sudah tak lagi menyukaimu!"

Naruto melebarkan kedua matanya, ia terkejut walau hanya sesaat, kemudian menambah kekuatan cengkramannya pada lenganku.

Aku berteriak meminta tolong sekencang-kencangnya, berharap ada yang mendengar. Tetapi lorong yang jauh dari kerumunan serta kegaduhan dari suara musik dan percakapan di dalam kerumunan itu membuatku putus asa.

Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa karena rasa sakit yang dibuat Naruto pada tubuhku dan juga hatiku, aku hanya bisa berdoa dan berharap seseorang datang menolongku.

Naruto memajukan wajahnya menuju tengkukku. Kupejamkan mata, menahan rasa geli dari hembusan napas Naruto yang terasa pada kulitku. Tetapi tiba-tiba saja rasa geli itu menghilang dan cengkraman pada lenganku pun lenyap, bersamaan dengan itu suara pukulan terdengar.

Saat kubuka kedua mataku, terlihat Naruto terkapar dengan seseorang di atas tubuhnya memukuli wajahnya. Orang yang menghajar Naruto adalah... Utakata.

"Utakata-senpai, tolong berhenti," teriakku agar perkelahian itu terhenti. Utakata tak mengindahkan ucapanku, segera saja kutarik tubuhnya menjauh dari atas tubuh Naruto.

"Sialan!" Sumpah serapah Naruto seraya berdiri dan mengahalau darah dari sudut bibirnya.

"Kau yang sialan!" Utakata tak kalah sengit.

"Apa yang kau perbuat pada Hinata?" lanjut Utakata.

Aku bersembunyi di belakang tubuh tegap Utakata seraya menggenggam lengan jasnya.

"Kau merusak kesenangan kami, Utakata," imbuh Naruto.

"Apanya yang senang, Hinata nampak berantakan seperti ini? Kau, lelaki brengsek!"

"Kau yang brengsek! Kau telah merebut Hinataku. Karenamu, Hinata tak lagi mencintaiku."

"Apa ini balasanmu atas cinta Hinata? Membuatnya menangis dan berteriak kesakitan. Kau memang tak pantas mendapatkan cinta Hinata."
Utakata berbalik menghadapku, lalu meraih dan menggenggam tangaku.

Ia membawaku menjauh dari lorong menuju keramaian, meninggalkan Naruto yang masih mengucapkan sumpah serapahnya.

"Apa kau tak apa? Apa yang kau inginkan sekarang?" Utakata bertanya padaku dengan masih menggenggam tanganku.

"Aku ingin ke toilet untuk merapihkan rambutku," jawabku dengan perasaan lega karena akhirnya bisa terlepas dari Naruto. Aku benar-benar senang dan bersyukur karena yang menolongku adalah Utakata. Ia mengantarkanku ke toilet, menungguku keluar lalu menemaniku menuju kursiku.

"Terima kasih banyak, Utakata-senpai. Kau datang menyelamatkanku," ucapku dalam perjalanan kami menuju kursiku. Ia kembali menggenggam tanganku dan aku yakin ada semburat tipis di wajahku.

"Hmm. Lain kali berhati-hatilah," jawabnya terdengar dingin tetapi hangat di hati.

"Senpai, bagaimana kau tahu aku ada di sana sementara aku yakin teriakanku tak bisa terdengar sampai sini?"

"Aku melihat Naruto membawamu secara paksa. Awalnya aku akan segera mencegahnya, tapi aku tak bisa berlaku tidak sopan di depan para pejabat yang sedang berbincang denganku. Aku harus menahan rasa kesal karena tak bisa cepat menolongmu dan ternyata aku menjadi pahlawan kesiangan."

Aku tersenyum mendengarnya. "Aku senang sekali Senpai menolongku, terima kasih."

Tetapi ternyata penderitaanku tak selesai sampai di sini.

Saat kami sudah sampai di mejaku, hanya Ayah yang berada di sana.

"Ayah, di mana kak Neji?

Tanpa menoleh kepadaku Ayah menjawab, "Neji sedang berbisnis."

.

.

Next to chapter 2